Minggu, 21 Mei 2017

Negara Sejahtera, Konsep dan Penerapan[1]


M. Firdaus[2]
Negara adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan diorganisasi oleh pemerintah negara yang sah, yang umumnya memiliki kedaulatan. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independen. Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. (https://id.wikipedia.org/wiki/Negara)
Negara kesatuan adalah negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal,di mana pemerintah pusat adalah yang tertinggi dan satuan-satuan subnasionalnya hanya menjalankan kekuasaan-kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat untuk didelegasikan. Bentuk pemerintahan kesatuan diterapkan oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Britania Raya adalah contoh negara kesatuan. SkotlandiaWales, dan Irlandia Utara, bersama-sama dengan Inggris adalah negara-negara konstituen dari Britania Raya, mereka memiliki satu taraf kekuasaan devolutif otonom-yakni Pemerintah Skotlandia dan Parlemen Skotlandia di Skotlandia, Majelis Pemerintah Wales dan Majelis Nasional Wales di Wales, dan Eksekutif Irlandia Utara dan Majelis Irlandia Utara di Irlandia Utara. Tetapi kekuasan devolutif itu hanya didelegasikan oleh Pemerintah Britania Raya, lebih spesifiknya oleh Parlemen Britania Raya, yang tertinggi di bawah doktrin kedaulatan parlementer. Lebih jauhnya, pemerintah-pemerintah devolutif secara konstitusional tidak dapat menentang undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen Britania Raya, dan kekuasaan pemerintah-pemerintah devolutif tidak dapat diperluas atau dipersempit oleh pemerintah pusat (parlemen dengan suatu pemerintahan yang terdiri dari Kabinet, yang dikepalai oleh perdana menteri). Misalnya, Majelis Irlandia Utara pernah dibubarkan sebanyak empat kali, dan kekuasaannya dialihkan kepada Kantor Irlandia Utara yang dijalankan pemerintah pusat.
Wajah Indonesia Kekinian
Demokrasi: Dari, oleh, dan untuk pemodal
M. Firdaus: DPW HTI Jatim
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses demokrasi sangat mahal. Untuk Pemilu 2014, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Tahun 2014 sebanyak Rp 14,4 triliun. Dana pesta demokrasi juga harus dirogoh mahal oleh peserta Pemilu. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan bahwa seorang calon anggota legislatif DPR wajarnya mengeluarkan rata-rata dana sebesar Rp 1,18 miliar (Sumber: Antara, LPEM FE UI). Teguh Dartanto selaku peneliti LPEM menyebutkan, besarnya anggaran Pemilu seorang caleg menyebabkan potensi tindakan korupsi ketika terpilih.

Semakin tinggi jabatan yang diperebutkan semakin tinggi pula biaya kampanye yang dikeluarkan. Total belanja iklan capres di media massa (Cetak, Televisi dan Radio) mencapai Rp 123,54 miliar. Dengan rincian kubu Jokowi-Kalla menghabiskan Rp 61,94 miliar untuk iklan. Adapun kubu Prabowo-Hatta menghabiskan Rp 61,41 miliar. Angka belanja iklan para capres 2014 belum dihitung biaya iklan di media online. Angka belanja iklan di atas pun hanya dihitung di lima kota.
Pada titik inilah kepentingan pemodal bertemu. Para kandidat baik caleg maupun calon kepala daerah dan calon presiden membutuhkan dana sangat besar. Adapun para pemodal membutuhkan pengistimewaan dari penguasa. Jadilah para pemodal sebagai investor Pemilu. Mereka membiayai kandidat untuk imbalan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Karena itu sudah menjadi kewajiban penguasa yang menang Pemilu untuk mengabdi kepada investornya. Terbitlah berbagai regulasi yang menguntungkan mereka. Tepatlah dikatakan bahwa demokrasi itu bukan “dari, oleh dan untuk rakyat”; namun demokrasi “dari, oleh dan untuk pemodal”.
Bentuk konkrit persekongkolan antara penguasa dan pemodal adalah banyaknya UU produk DPR yang menguntungkan asing. Anggota DPR Eva Kusuma Sundari kepada Tempo interaktif mengatakan, “Ada 76 undang-undang yang draft-nya dilakukan pihak asing,” kata Eva. Eva mengatakan, temuan ini diperoleh dari sumber Badan Intelijen Negara. Puluhan UU dengan intervensi asing itu dilakukan dalam 12 tahun pasca reformasi. Inti dari intervensi ini adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Contohnya:  UU tentang Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, serta Sumber Daya Air.
Menurut Eva, akibat  intervensi itu  telah dirasakan masyarakat kini. Contohnya  dalam industri perbankan dan pertanian. Di industri perbankan, aset bank nasional masih miskin. Pada bidang pertanian, nasib petani makin rentan. “Kita sangat tergantung pada impor akibat liberalisasi yang dilakukan,” ujarnya. Jelas, penyebab kehancuran negeri ini adalah ideologi dan sistem kapitalis (ekonomi liberal dan politik demokrasi). 
Negara dengan penguasa boneka hanya menjadi regulator. Dengan regulasi pesanan pemodal. Kekayaan alam menjadi milik swasta. Dengan alasan negara tak punya dana maka semua sektor publik yang menguasai kehidupan rakyat diswastanisasi, dari hulu sampai hilir; termasuk air bersih, listrik, BBM, pendidikan bahkan kesehatan. Untuk penyelenggaraan negara, penguasa pun memeras rakyat dengan pajak yang mencapai 80% pendapatan dalam APBN. Ideologi sekular mengharuskan negara berdiri netral terhadap semua agama dan keyakinan. Agama tidak boleh mengatur negara, termasuk Islam yang menjadi agama bagi mayoritas penduduk negeri ini. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan telah disingkirkan secara permanen oleh negara. Akibatnya, kehidupan umat Islam makin hari makin jauh dari agamanya.
Politik Pemerintahan
Dalam ruang politik di negeri ini, sistem pemerintahan seakan berjalan bukan untuk kepentingan, keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan kemandirian rakyatnya. Rezim berjalan untuk kepentingan asing, aseng maupun asong. Dalih-dalih berkedok hukum digunakan dalam rangka mempelancar proyek-proyek penyokong rezim. Kepentingan menjadi poros dalam roda pemerintahan. Saat kepentingan mereka harus mengorbankan rakyat, tanpa ragu itulah yang dilakukan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan.
Politik berjalan dengan prinsip mencari kesempatan agar meraih keuntungan besar demi kepentingan pihaknya. Inilah politik oportunistik dan pragmatis yang sedang terjadi di negeri ini. Asal sama dalam kepentingan demi keuntungan, pihak-pihak yang dulu “perang” bisa begitu “lengket” seakan tidak bisa terpisah. Juga sebaliknya, ketika saatnya berbeda kepentingan, komitmen politik yang dibangun bersama, bisa pecah dan menjadi seakan “musuh” dalam politik.
Sehingga ketika politik hanya berbasis kepada kepentingan partai atau kelompoknya. Sangat mungkin jika kepentingan rakyat akan terabaikan. Hal ini terjadi sebenarnya karena perilaku para pemangku kekuasaan yang tidak menunjukkan sikap negarawan sejati. Serta ditambah dengan sistem politik yang berlaku saat ini adalah demokrasi-liberal. Hasilnya bisa dilihat dari kombinasi politikus dan sistem politik yang berdasar kepentingan dan kebebasan ini, akan muncul kebijakan-kebijakan yang merusak seperti legalisasi miras, prostitusi, dan lainnya. Selain tidak berpihak kepada rakyat, juga akan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Semua muncul, sejatinya atas peran serta sistem politiknya, yakni demokrasi, dan juga perilaku orang di dalamnya.
Ekonomi
Dalam ruang ekonomi, negeri ini menggunakan paradigma neo-imperialisme dan neo-liberalisme dan ideologi kapitalisme. Negeri ini sekarang berada dalam cengkeraman neo-liberalisme dan neo-imperialisme, yang menjadi penyebab terpuruknya perekonomian. Neo-liberialisme dengan gagasan dasar agar negara tidak mempunyai peran dalam mengatur masyarakat. Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, negara hanyalah regulator, dan kedepannya mengarah kepada corporate state. Karena pada ujungnya pemenangnya adalah para pengusaha dengan adanya regulasi dari negara. Regulasi tersebut berupa undang-undang liberal yang tidak pro rakyat. Inilah kombinasi antara pengusaha dengan para politikus, dan kadang dibantu oleh pihak asing, aseng maupun asong.
Terbukti dengan adanya catatan oleh pengamat di Universitas Airlangga Surabaya, Bambang Budiono MS, M. Sosio yang mengatakan, 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. Contohnya World Bank pada UU BOS, UU PNPM; IMF pada UU BUMN (No 19/2003), UU PMA (No 25/2007) dan USAID pada UU Migas (No 22/2001).
Kemudian neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru, yang berbeda dengan dulu. Ketika dulu menjajah dengan penjajahan fisik, serta rakyat sadar secara langsung jika dijajah, maka neo-imperialisme saat ini sesungguhnya lebih berbahaya, karena banyak masyarakat yang belum sadar jika dijajah. Substansinya juga sama, jika dulu mengambil rempah-rempah (penguasaan sumber ekonomi/gold), menancapkan kekuasaaan (glory), penyebaran ajaran tertentu (gospel). Sedangkan sekarang juga terjadi eksploitasi kekayaan alam, menancapkan demokrasi, liberalisme, kapitalisme dan lainnya yang nyatanya menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.
Dampaknya bisa terlihat, rupiah yang melemah, kekayaan alam dirampok, daya beli rendah, PHK dan lain-lain. Selain itu, akibat yang sangat terlihat adalah utang negara yang kian melambung. Menurut data BPS utang negara pada tahun 2005 sebesar US$ 134.504 juta. Pada tahun 2010, sebesar US$ 202.413 juta, dan pada tahun 2015 mencapai US$ 310.722 juta. Kesimpulan dari data di atas adalah rata-rata setiap tahunnya bukan penurunan utang yang terjadi. Akan tetapi sebaliknya, utang negara Indonesia kian melambung tinggi. Dan bahkan hingga triwulan pertama 2017, utang negara Indonesia mencapai US$ 326,3 miliar atau setara dengan Rp 4.343,38 triliun.  Angka itu naik 2,9 persen dibandingkan periode yang sama pada 2016.
Masalah-masalah yang terjadi dalam persoalan ekonomi adalah karena pola dari sistem ekonomi kapitalisme dalam mengcengkeram Indonesia dengan neo-liberalisme dan neo-imperialisme-nya. Pada akhirnya negara akan dikendalikan oleh pemilik modal, dan akan mempengaruhi keluarnya kebijakan yang tidak pro rakyat. Selain itu secara perlahan aset-aset negara semakin terkuras oleh para kapital yang dipayungi oleh regulasi negara.
Hukum
Dalam persoalan hukum sudah bukan barang baru lagi jika orang akan mengatakan hukum seperti pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Pandangan tersebut bukan berdasarkan asumsi semata, namun karena fakta penegakan hukum di negeri ini. Bahkan Prof. Mahfud MD mengatakan  bahwa salah satu masalah utama di negeri ini adalah keadilan yang belum dirasakan secara penuh oleh rakyat, dan belum tegaknya hukum dengan seadil-adilnya.
Sebagai contoh adalah adanya kegaduhan akhir-akhir ini. Kegaduhan terjadi sebenarnya disebabkan oleh penindakan hukum yang terlihat jelas lambat dari perangkat-perangkat negara kepada oknum yang notabene dekat dengan rezim.
Islam Mencegah Dominasi Pemilik Modal Terhadap Negara
Bagaimana Islam menyelesaikan semua karut-marut kehidupan di negeri ini? Bagaimana cara Islam agar penguasa, yakni Khalifah, yang terpilih bukan antek pengusaha, namun benar-benar pelayan umat?
1.    Kedaulatan di tangan syariah.
Kedaulatan adalah di tangan syariah (as-siyâdah li asy-syar’i).
Kedaulatan di tangan syariah itu berarti, hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia (lihat, misalnya: QS al-An’am: 57; QS asy-Syura: 10) (Shalah ash-ShawiNazhariyah as-Siyâdah wa Atsaruha ‘ala Syar’iyyah al-Anzhimah al-Wadh’iyyah, hlm. 31-32).
Dengan demikian, secara otomatis syariah-lah yang menentukan segalanya, bukan manusia seperti dalam sistem demokrasi. Karena itu, siapa pun penguasanya, tidak berwenang membuat UU yang bertentangan dengan syariah. Para pengusaha tidak bisa mengintervensi pembuatan UU agar memberikan pengistimewaan kepada mereka. Anggota Majelis Umat juga tidak bisa mengintervensi Khalifah atas kepentingan para pengusaha. Misal, UU tentang khamar atau miras. Miras jelas dalam Islam haram. Itu pasti dan disepakati seluruh umat Islam sepanjang masa. Karena itu, semua bentuk miras dilarang, termasuk pabriknya dan distribusinya. Dalam hal pengelolaan kekayaan umum seperti tambang migas dll, para pengusaha juga tidak bisa menekan penguasa agar memberi mereka kewenangan mengelola tambang-tambang migas.
2.    Konsepsi kepemilikan umum memutus rantai penjajahan dalam ekonomi oleh konglomerat.
Kepemilikan umum adalah ijin Asy-Syâri’ kepada masyarakat dalam memanfaatkan harta. Harta-harta ini terealisasi dalam tiga jenis. Pertama: Harta yang dinilai sebagai bagian dari fasilitas umum, yang jika tidak tersedia untuk masyarakat maka mereka akan terpecah atau berselisih dalam mencarinya. Kedua: Tambang yang berlimpah. Ketiga: Sesuatu yang tabiat pembentukannya menghalangi individu untuk menguasainya. Nabi saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءٌ فِيْ ثَلَاثٍ: اَلْمَاءِ وَالْكَلَأِ وَالنَّارِ
Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Baihaqi).
Itu artinya, air (seperti sungai, laut, pantai, danau); padang yang luas di gunung, dataran, sabana dan hutan; api dengan makna sumber api seperti hutan kayu, tambang batubara, minyak dan gas; semuanya adalah milik umum. Artinya, barang-barang itu dan apa yang dihasilkan darinya termasuk harta yang dimiliki oleh semua individu rakyat secara bersama. Semuanya dimungkinkan untuk memanfaatkannya secara langsung atau melalui pengaturan tertentu yang dilakukan oleh negara.
Adapun tambang mineral yang tidak terputus, yakni depositnya besar, Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Abyadh bin Hamal: bahwa ia pernah menghadap Rasulullah saw. dan meminta tambang garam. Lalu beliau memberikan tambang itu kepada dia. Ketika ia hendak pergi, seseorang dari majelis berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan? Tidak lain Anda memberikan kepada dia sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Ia (perawi) berkata, “Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Air yang terus mengalir, yakni tidak terputus, merupakan garam (yaitu mineral) dengan air yang terus mengalir karena tidak terputus. Hal itu menunjukkan bahwa mineral semisal ini—tambang berbagai mineral seperti besi, tembaga, fosfat, uranium, emas, perak dan lainnya—termasuk sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh individu.
Sistem Islam memastikan agar rakyat memperoleh kesejahteraan yang menjadi haknya. Kekayaan alam milik umum tidak boleh sama sekali dikuasai swasta. Apalagi swasta asing. Karena itu Khalifah tidak berhak menyerahkan pengelolaan migas, misalnya, kepada para pengusaha. Tambang emas di Papua, misalnya, harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini dengan sendirinya akan mampu menjauhkan para penguasa menjalin KKN dengan pengusaha.
3.    Sikap tegas memberantas korupsi dan kolusi.
Dengan penerapan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif). KH Muhammad Shidiq al-Jawi menjelaskan bahwa secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut syariah Islam sebagai berikut:
Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW. pernah bersabda, ”Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari).
Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok.”
Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,” Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Ketiga: Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW. bersabda, “Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW. berkata, “Hadiah yang diberikan  kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).
Keempat: Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menghitung kekayaan para pejabat pada awal dan akhir jabatannya.
Kelima: Adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya, kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Keenam: Pengawasan oleh negara dan masyarakat. Khalifah Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, wahai Umar.”
Kalau memang korupsi telah terjadi, syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat-ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 78-89).
Masukan HTI untuk Kebaikan Indonesia
Dengan banyaknya masalah yang mendera Indonesia, di sinilah kemudian saya melihat HTI mempunyai peran sangat penting. Sebab HTI memberikan tawaran berupa gagasan-gagasan yang mampu menyelesaikan segala persoalan negeri. HTI ingin agar masalah-masalah yang ada bisa terselesaikan. Saya melihat HTI hadir dengan gagasan yang jernih sebagai penyelesaian atas segenap problem di Indonesia.
HTI tidak pernah berhenti menyuarakan gagasan-gagasan dalam setiap kegiatannya. HTI berusaha membangun kesadaran dan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa semua masalah di dalam negeri ini bisa diselesaikan. Memberikan edukasi adalah peran strategis dalam membangun masyarakat, dan ini adalah peran yang begitu vital di saat pemerintah cenderung belum mampu melakukannya.
Oleh karena itu, saya melihat ketika HTI mengajak masyarakat untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat serta negara adalah semata untuk menyelesaikan segala masalah di Indonesia. Dan atas apa yang HTI lakukan semua, itu adalah peran yang sangat penting dalam membangun negeri agar semakin baik, sehingga Indonesia sebenarnya sangat membutuhkan peran serta HTI.
HTI adalah aset bangsa dengan konsep-konsepnya yang total solusi dalam berbangsa dan bernegara, carut marut problematika dalam negeri akan mampu diurai bukan hanya sekedar retorika namun semuanya ada acuan fakta serta keimanan, begitu pula posisioning dalam percaturan peran dan nilai strategis Negara di kancah luar negeri agar mampu memberikan nilai tawar sekaligus memimpin dunia.
Inilah konsep HTI, sekarang mana konsepmu!
Wallaahua’alam
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.

Tulisan versi PDF-nya dapat dibaca/download di sini


[1] Tulisan pengantar dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), Minggu, 21 Mei 2017, di Kedai Kopi 96, Jl. Wonocolo Pabrik Kulit, Surabaya
[2]  Hizbut Tahrir Indonesia DPD Jawa Timur, dosen di Fakultas Teknik, Universitas Bhayangkara (Ubhara), Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...