Minggu, 21 Mei 2017

Mengungkap Motif Pembubaran HTI[1]

Oleh: Ary Naufal[2]
Sebagaimana telah jamak diketahui dari media, muncul wacana dari Pemerintah melalui Menkopolhukam untuk membubarkan HTI. Tiga argumen yang dinyatakan pemerintah sebagai pertimbangan pembubaran, yaitu karena HTI tidak melaksanakan peran positif, terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan aktivitas yang dilakukan menimbulkan benturan di masyarakat.
Publik pun menjadi bertanya-tanya perihal motif di balik wacana yang digulirkan Pemerintah di Jakarta pada Senin, 8 Mei 2017 tersebut. Pasalnya, pernyataan rencana pembubaran HTI mendadak jelang sehari keputusan vonis persidangan Ahok.

Selain itu, tiga argumen pertimbangan pembubaran HTI juga mengada-ada dan terkesan dipaksakan, khususnya bila menilik dari perspektif hukum. Padahal, Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), di mana gerak-gerik pemerintah diatur oleh hukum. Bukan negara kekuasan (machtsstaat), di mana Pemerintah boleh berada di atas bahkan melawan hukum yang berlaku.

Seperti pada argumen bahwa HTI tidak melaksanakan peran positif. Justru, kenyataan di lapangan menunjukkan HTI sangat berkontribusi positif bagi masyarakat. Dengan pembinaan keislaman yang dilakukannya, HTI meningkatkan keshalihan dan ketakwaan sosial. HTI juga terlibat aktif dalam membantu korban bencana alam, seperti pada tsunami Aceh dan gempa Yogyakarta. Tak hanya bagi masyarakat, peran positif HTI juga dilaksanakan bagi negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon, HTI berperan penting dalam revisi UU Migas dan sejumlah UU liberal lainnya yang mengancam negara. Oleh karena itu, tudingan bahwa HTI tidak berkontribusi positif adalah tidak benar.
Argumen pertentangan dengan Pancasila juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ajaran atau paham Islam, termasuk di dalamnya khilafah (lihat kitab Fiqih Islam, Sulaiman Rasyid) yang dianut dan didakwahkan HTI, tidak tergolong ke dalam paham yang dilarang bagi ormas dalam UU Ormas No. 17/2013. Menurut UU itu, ormas dilarang menganut dan menyebarkan paham Ateisme, Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, sebagai paham yang bertentangan dengan Pancasila. Adapun paham Islam tidak termasuk. Berarti, yang mempersoalkan dakwah ajaran/paham Islam-lah yang layak dilabeli anti Pancasila, lebih-lebih anti Islam, bukannya HTI.
Berikutnya, argumen bahwa aktivitas HTI menimbulkan benturan di masyarakat, jelas sangat mengada-ada. Lihat saja, selama lebih dari 25 tahun beraktivitas dakwah di Indonesia, semua kegiatan HTI berlangsung sangat damai sebagai ejawantah dari prinsip la ‘unfiyah (non kekerasan). Di samping damai, kegiatan-kegiatan HTI juga berjalan prosedural sehingga sangat diapresiasi oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah.
Walhasil, jika argumen-argumen yang disebutkan Pemerintah nampak tidak memiliki dasar sama sekali, terlebih dasar hukum, maka motif dari rencana pembubaran HTI sebenarnya bukanlah motif hukum. Rentetan peristiwa mulai dari kampanye masif HTI menolak pemimpin kafir, kalahnya Ahok dalam pilkada DKI, hingga muncul rencana pembubaran HTI, semakin mengungkapkan motif sebenarnya di balik wacana ini, yaitu semata-mata motif politik.
Tulisan versi PDF-nya dapat dibaca di sini


[1] Disampaikan dalam Panggung Dialektika Indonesia Belajar Institut (IBI): “Quo Vadis Hizbut Tahrir Indonesia”, Ahad 21 Mei 2017 di Warkop 96 Surabaya.
[2] Pembina GEMA Pembebasan Komisariat Universitas Airlangga Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...