Oleh: Ary
Naufal[2]
Sebagaimana
telah jamak diketahui dari media, muncul wacana dari Pemerintah melalui
Menkopolhukam untuk
membubarkan HTI. Tiga argumen yang dinyatakan pemerintah sebagai pertimbangan
pembubaran, yaitu karena HTI tidak melaksanakan peran positif, terindikasi kuat
bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan aktivitas yang dilakukan menimbulkan
benturan di masyarakat.
Publik
pun menjadi bertanya-tanya perihal motif di balik wacana yang digulirkan
Pemerintah di Jakarta pada Senin, 8 Mei 2017 tersebut. Pasalnya, pernyataan
rencana pembubaran HTI mendadak jelang sehari keputusan vonis persidangan
Ahok.
Selain
itu, tiga argumen pertimbangan pembubaran HTI juga mengada-ada dan terkesan
dipaksakan, khususnya bila menilik dari perspektif hukum. Padahal, Indonesia
adalah negara hukum (rechtsstaat), di mana gerak-gerik pemerintah diatur
oleh hukum. Bukan negara kekuasan (machtsstaat), di mana Pemerintah
boleh berada di atas bahkan melawan hukum yang berlaku.
Seperti
pada argumen bahwa HTI tidak melaksanakan peran positif. Justru, kenyataan di
lapangan menunjukkan HTI sangat berkontribusi positif bagi masyarakat. Dengan
pembinaan keislaman yang dilakukannya, HTI meningkatkan keshalihan dan
ketakwaan sosial. HTI juga terlibat aktif dalam membantu korban bencana alam,
seperti pada tsunami Aceh dan gempa Yogyakarta. Tak hanya bagi masyarakat,
peran positif HTI juga dilaksanakan bagi negara. Sebagaimana dikemukakan oleh
Wakil Ketua DPR Fadli Zon, HTI berperan penting dalam revisi UU Migas dan
sejumlah UU liberal lainnya yang mengancam negara. Oleh karena itu, tudingan
bahwa HTI tidak berkontribusi positif adalah tidak benar.
Argumen
pertentangan dengan Pancasila juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ajaran atau
paham Islam, termasuk di dalamnya khilafah (lihat kitab Fiqih Islam, Sulaiman
Rasyid) yang dianut dan didakwahkan HTI, tidak tergolong ke dalam paham yang
dilarang bagi ormas dalam UU Ormas No. 17/2013. Menurut UU itu, ormas dilarang
menganut dan menyebarkan paham Ateisme, Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, sebagai
paham yang bertentangan dengan Pancasila. Adapun paham Islam tidak termasuk.
Berarti, yang mempersoalkan dakwah ajaran/paham Islam-lah yang layak dilabeli anti Pancasila,
lebih-lebih anti Islam, bukannya HTI.
Berikutnya,
argumen bahwa aktivitas HTI menimbulkan benturan di masyarakat, jelas sangat
mengada-ada. Lihat saja, selama lebih dari 25 tahun beraktivitas dakwah di
Indonesia, semua kegiatan HTI berlangsung sangat damai sebagai ejawantah dari
prinsip la ‘unfiyah (non kekerasan). Di samping damai, kegiatan-kegiatan
HTI juga berjalan prosedural sehingga sangat diapresiasi oleh aparat keamanan
dan pemerintah daerah.
Walhasil,
jika argumen-argumen yang disebutkan Pemerintah nampak tidak memiliki dasar
sama sekali, terlebih dasar hukum, maka motif dari rencana pembubaran HTI
sebenarnya bukanlah motif hukum. Rentetan peristiwa mulai dari kampanye masif
HTI menolak pemimpin kafir, kalahnya Ahok dalam pilkada DKI, hingga muncul rencana
pembubaran HTI, semakin mengungkapkan motif sebenarnya di balik wacana ini,
yaitu semata-mata motif politik.
Tulisan versi PDF-nya dapat dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...