Oleh: Alifia Nisa Ikbar & Robbah Munjidin Ahmada
Ketika membaca
sekilas judul di atas, banyak persepsi yang muncul dan cenderung negatif. Ada
yang mengatakan tidak penting dan bahkan tidak peduli terhadap masalah
pengungsian ini. Padahal, yang sedang terjadi di lapangan saat ini, jumlah
pengungsi tiap tahun terus bertambah. Oleh karena itu, Selasa (22/11), Indonesia Belajar Institut (IBI)
menghelat diskusi dan dialog interaktif, kemitraan dengan Jesuit Refugee Servis (JRS) Pasuruan dengan tajuk: “Mengenal Lebih
Jauh Masalah Kepengungsian di Indonesia”, guna mengetahui lebih dalam tentang seputar
pengungsi yang datang ke Indonesia.
Hadir sebagai
narasumber dalam diskusi ini, Daryadi dari JRS, dan Muhammad Idris Blus;
seorang refugee asal Sudan. Tentu
diskusi ini berada pada momen yang tepat sebab gelombang pengungsi yang cukup
tinggi, seiring dengan konflik di beberapa negara yang belum usai.
Menurut
pemaparan Daryadi; salah seorang narasumber dari tim JRS, pengungsian merupakan
perpindahan yang dilakukan perorangan atau kelompok dari suatu tempat ke tempat
lain dalam jangka waktu tertentu.
Menurut Konvensi 1951 dan Protokol 1967, seseorang bisa dikatakan pengungsi
(Refugee) jika berada di luar negara
asal (Country of Origin). Mereka tidak
memungkinkan untuk kembali ke negara asalnya dikarenakan faktor-faktor tertentu;
sebab politik, tidak memiliki dan mendapatkan
perlindungan dari negaranya, dan apabila pulang ke negara asalnya memiliki
kemungkinan akan mengalami persekusi.