Oleh: Marlaf Sucipto
Tema
ini dibahas dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia
Belajar (IB) pada Jumat, 12 September 2014. Diskusi yang berlangsung
sejak jam 20:40 sampai 23:50 ini berjalan khidmat dengan fokus
pembahasan atas ‘etika politik’ dan ‘Demokrasi’. Dalam
konteks etika politik, hampir semua peserta diskusi bersepakat, bahwa
politik kita dalam bernegara dan berbangsa masih belum mengedapankan
tata nilai etik. Malah, mindset umum masyarakat kita kini, ketika
dimunculkan kosa kata politik, yang tergambar adalah, politik itu
picik, licik, penuh tipu muslihat, dan sederet pelebelan lain yang
tidak mengandung nilai positif. Hal ini terjadi barangkali, salah
satunya karena prilaku elit politik kita kebanyakan mempertontonkan
akrobat politik yang tidak etis. Bukan berarti mereka tidak faham
atas etika politik, tapi lebih kepada, mereka-mereka itu enggan
berpolitik etik karena sebab tekanan mindset berfikir mayoritas yang
sudah kadung menuhankan materialistik. Politisi sebagai pejuang
kesejahteraan beralih fungsi menjadi profesi untuk gaya-gayaan dan
menumpuk uang, untuk kemaslahatan diri dan golongan. Politisi
kebanyakan hanya pandai berorasi tapi miskin implementasi. Dari
sekian produk legislasi yang dihasilkan banyak yang dipatahkan di
meja hakim Mahkamah Konstitusi karena sebab bertentangan dengan
maksud cita-cita republik ini dibentuk. Tidak sedikit dari prodak
legislasi itu yang melegalkan ‘perselingkuhan’ politisi dan
pengusaha untuk menguras habis aset negeri. Kepentingannya tidak
untuk semua, tapi bagi dirinya dan orang-orang terdekatnya. Dan
banyak lagi akrobat politisi yang tidak mencerminkan politik etik.
Yang lainnya, silakan terka-terka sendiri.