Minggu, 21 Mei 2017

Mengintip Pancasila dari Halaman Pendiri Bangsa[1]

Oleh: Rosy Asliandra[2]
Indonesia adalah kisah panjang yang tertaut di permukaan dinding sejarah peradaban dunia. Terlalu dangkal kiranya jika memaknai Indonesia hanya kelanjutan wilayah administatif Hindia-Belanda. Lebih dari itu, kawasan yang dahulu dikenal dengan Nusantara ini, adalah gugusan pulau-pulau yang menjahit peradaban lintas benua. Posisinya yang menjadi jembatan dua samudera dan dua benua, memungkinkan kawasan ini memiliki intensitas kesibukan di atas rata-rata belahan dunia lainnya. Sebagai jembatan, nusantara tidak pernah sepi dari interaksi lintas peradaban yang pada gilirannya menimbulkan dialog peradaban dengan konsekuensi akulturasi. Tidak hanya itu, gugusan pulau-pulau yang dihuni beragam corak masyarakat, budaya, dan tradisi mengantarkan masyarakat Nusantara pada sebuah proses mengenal dan menghormati perbedaan di sekitar.

Rosy Asliandra: Kordinator Bipliopolis Book Review Surabaya
Lebih dari itu, popularitas Nusantara sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur tiada terperi, dan manusianya ramah berperadaban tinggi, jelas menjadi modal besar untuk menarik bangsa-bangsa belahan dunia lain singgah di negeri ini. Tabiat ramah dan keadaban tinggi manusia Nusantara inilah menjadi alasan keterbukaan dalam pergaulan global dan kesiapan menerima hal-hal yang berasal dari luar tanah moyangnya. Nusantara adalah kawasan yang siap menerima sekaligus menumbuhkan segala macam bentuk budaya, ideologi, dan tradisi. Hal itu akan mudah tumbuh dan hidup berkelanjutan sepanjang bisa dicerna oleh sistem nilai setempat.

Warisan agung Nusantara selanjutnya yang kemudian hari direfleksikan oleh para pendiri bangsa sebagai semangat ke-Indonesia-an adalah etos kerja sama alias gotong royong. Semangat gotong royong sudah mendarah daging dalam jiwa manusia Indonesia jauh sebelum Negara konstitusional diproklamirkan 17 Agustus 1945 silam. Dalam keseharian masyarakat Nusantara, semangat gotong royong menjadi mercusuar kekeluargaan dalam berbagai bidang pekerjaan. Sebut saja dalam penggarapan lahan. Masyarakat agraris kita mampu mewarnai kesehariannya dengan etos pertanian yang bersifat religius dan gotong royong dalam rangka meringankan penggarapan lahan secara bersama-sama. Sifat-sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan pelbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia manapun (Oppenheimer: Latief, 2011: 3).

Sejarah terus berlangsung. Ekspansi kolonialis-kapitalis telah menjelma dalam wujud penindasan ekonomi-politik yang pada gilirannya meruntuhkan sifat kemakmuran, toleransi, kosmopolitan, dan kekeluargaan dari tanah air. Di sisi lain, kolonialis-kapitalis juga membawa kontradiksi-kontradiksi internal sendiri yang membawa unsur emansipasi baru, seperti humanism, prikebangsaan, demokrasi, dan keadilan yang semakin memperkokoh karakter keindonesiaan (Latief: 2011, 5). Dari anasir-anasir kebangsaan yang mengendap dalam jiwa masyarakat Indonesia dan dikolaborasi dengan gaya emansipasi baru itulah kelak para pendiri bangsa merumuskan sumber jati diri, falsafah Negara, dan pandangan hidup bersama.

Secara resmi bangsa Indonesia mendiskusikan konsepsi dasar Negara Indonesia merdeka setelah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Dr. Radjiman Wediodiningrat yang bertindak sebagai ketua BPUPKI, dengan resmi meminta kepada sidang (29 Mei 1945) untuk mengemukakan dasar Negara Indonesia merdeka. Permintaan ini sontak merangsang para pendiri bangsa untuk memutar ulang ingatan-ingatan tentang Indonesia masa lalu. Mereka tertuntut untuk menggali ulang api sejarah, kerohanian, kepribadian, dan wawasan kebangsaan yang terpendam dalam lumpur sejarah. Khasanah peradaban masa lalu yang mereka upayakan untuk digali dengan tujuan kelak dimanifestasikan dalam bentuk konsepsi rasional dan runtut.

Dari kenyataan di atas, jelaslah Pancasila sebagai dasar Negara bukanlah pungutan yang semata-semata sesuai dengan selera para perumus kala itu. Akan tetapi, Pancasila dirumuskan berdasar pada kenyataan-kenyataan yang hidup dan konsisten mewarnai kehidupan peradaban Indonesia masa lalu. Secara legal formal, dasar Negara yang disebut Pancasila diramu di atas meja BPUPKI. Akan tetapi bahan-bahan ramuan pemikirannya telah diracik sejak awal pergerakan kebangsaan Indonesia. Setidaknya semenjak awal tahun 1920-an di mana bertebaran kreativitas anak bangsa merumuskan gugus kebangsaan yang diidealisasi.

Dapur Para Pendiri Bangsa
Semangat perumusan konsepsi ideologi pada masa awal pergerakan nasional tidak hanya bergaung di Indonesia. Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda pada tahun 1924, juga gegap gempita mencari rumusan ideologi politik Indonesia merdeka. Dalam konsepsi PI, Indonesia merdeka harus berdasar pada empat hal: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian. Empat konsepsi ideologis PI ini sebenarnya merupakan sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu. Persatuan nasional adalah konsepsi dari Indische Partij. Non-kooperasi adalah plat form kaum marxis, kemandirian adalah konsepsi politik Sarekat Islam, dan solidaritas adalah simpul pemersatu dari tiga tema utama tersebut (Latief: 2011).

Upaya penciptaan sintesis juga dilakukan HOS Tjokroaminoto. Raja Jawa tanpa mahkota itu mensintesiskan antara Islam, Sosialisme, dan Demokrasi. Sebagaiman Tjokro menegaskan “Jika kita, kaum muslim benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi demokrat dan sosialis sejati” (Tjokroaminoto). Selain Tjokroaminoto, upaya mensintesiskan arus besar ideologi dunia untuk konsepsi ideologi Indonesia merdeka adalah Tan Malaka. Meskipun Tan dibesarkan di luar negeri, tapi ia tidak melupakan kenyataan-kenyataan yang berkembang di Indonesia. Karya monumentalnya yang berjudul Naar De Republiek Indonesia (menuju republik Indonesia) adalah konsepsi ideologi luar biasa untuk Indonesia merdeka seratus persen. Tan percaya bahwa demokrasi memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia. Bahakan dia pernah menyarankan kepada komunis internasional (komintern) agar bekerja sama dengan Pan-Islamisme dengan pertimbangan Islam di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.

Adalah Sukarno yang juga memiliki libido perjuangan menuju Indonesia merdeka turut menyumbangkan gagasan konsepsi ideologis lewat tulisannya di majalah Indonesia moeda dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Tulisan ini mengisyaratkan betapa pentingnya pertautan antara tiga ideologi besar dalam membesarkan sebuah bangsa dan ketiganya jualah menjadi roh perjuangan bangsa-bangsa di Asia, serta tiada guna ketiganya bertikai di Negara terjajah.

Puncak petualang intelektual para pendiri bangsa menciptakan monumen besarnya tepat pada tanggal 28 Oktober 1928. Momen yang kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda itu adalah simbol perjuangan mensintesiskan anasir-anasir kebangsaan yang beragam. Saat itu pemuda seluruh Nusantara berkumpul mengucapkan sumpah di hadapan ibu pertiwi atas nama kesamaan tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan.

Perdebatan-perdebatan seputar dasar Negara memang memanas di meja BPUPKI, PPKI, dan panitia Sembilan. Akan tetapi perdebatan seputar pancasila sebagai dasar Negara telah final. Para pendiri bangsa dari berbagai golongan, baik dari golongan Islam, kebangsaan dan yang lain sama-sama menerima Pancasila sebagai dasar Negara dan pemersatu bangsa. Dari kenyataan ini jelas, bahwa Pancasila adalah karya bersama bangsa Indonesia. Sukarno pun menegaskan bahwa pancasila bukanlah karya Sukarno, tapi karya bersama bangsa Indonesia.

Sebagai rujukan universal, Pancasila menjadi penting diusahakan bagi bangsa Indonesia untuk kian memperdalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan di setiap sisi kehidupan. Dalam menghidupkan kembali nilai-nilai dan keutamaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perlu diupayakan perjuangan serius dalam upaya membumikan pancasila. Upaya kontekstualisasi dalam keseharian membutuhkan kesadaran kolektif dari seluruh elemen kebangsaan, terlebih pihak yang memegang kendali kuasa. Mari ber-Pancasila secara menggaram dengan penghayatan dan implementasi konkrit dalam setiap pola pikir, pola tindak, dan pola laku keseharian kita.

Yudi Latief menawarkan gagasan radikalisasi Pancasila sebagai upaya revolusi gagasan. Radikalidasi dimaksud adalah: 1) Mengembalikan Pancasila sebagai ideologi Negara, (2) Mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) Mengupayakan Pancasila memiliki konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula melayani kepentingan vertikal (Negara), menjadi Pancasila yang melayani secara horizontal, (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan Negara.

Tulisan versi PDF-nya dapat dibaca/download di sini


[1] Tulisan pengantar diskusi di Indonesia Belajar Institut (IBI) pada tanggal 21 Mei 2017, di Surabaya
[2] Kordinator Bibliopolis Book Review Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...