Oleh: Chabib Musthofa[2]
Beberapa
pertanyaan mendasar ketika berbicara tentang akhlak dan posisi sebagai orang
yang sedang menempuh rihlah a-ilmiyah adalah: 1). Apakah akhlak itu? 2).
Di wilayah mana domain akhlak dalam beragama dan kehidupan? 3). Bagaimana
berakhlak sebagai al-salik al-ilmiyah?
Ada dua
istilah yang sudah kaprah dianggap mirip atau sama dalam hal ini, yaitu al-akhlak
dan al-adab. Sejatinya, kedua istilah tersebut berbeda. Al-akhlak
bisa dimaknakan dengan sikap batiniah yang diresponkan seseorang atas segala
sesuatu, sedangkan al-adab adalah ekspresi fenomenal dari akhlak. Al-akhlak
lebih berada dalam dimensi batin, sedang al-adab lebih pada dimensi
lahir. Nilai substantif al-akhlak lebih bersifat universal, sedang nilai
formalitas al-adab lebih bersifat partikular, komunal, dan kontekstual.
Baik akhlak maupun adab, keduanya merupakan respon insaniyah atas
berbagai obyek di sekitarnya, bahkan diri manusia itu sendiri. Secara
sederhana, al-akhlak bisa diartikan dengan tata karma batin, sedangkan al-adab
diartikan dengan tata karma lahir. Maka baik berakhlak maupun beradab bisa
mengarah pada siapa pun dan apapun, pada diri sendiri, keluarga, sahabat,
lingkungan, dan Tuhan. Dalam ekspresinya, al-akhlak sulit dilihat
apalagi diukur dengan nominasi kuantitatif, kecuali oleh orang-orang yang
secara batiniyah diberi kelebihan Tuhan dapat mengerti domain tersebut secara
jelas. Namun yang batiniyah ini bukan berarti “tidak ada”, ia “ada” tapi tidak
dapat didekati dengan kerangka epistemologi ilmiah yang kini dianut
kebenarannya. Al-adab bisa dilihat dan diamati secara inderawi-empiris
berdasarkan kaidah-kaidah sosiologis dimana adab tersebut diekspresikan. Contoh
sederhananya, khosyah (bila boleh dimaknai secara sederhana dengan
“takut”) kepada Allah dengan menjaga jamaah shalat lima waktu. Maka khosyah
adalah sikap batin, sedangkan istiqomah menjaga shalat berjamaah adalah sikap
lahir. Atau, khosyah adalah akhlak sedangkan istiqomah menjaga shalat
berjamaah adalah adab.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, pada dimensi apa saja seorang manusia dituntut untuk
berakhlak? Secara normatif, berakhlak dan beradab adalah bagian dari ketentuan
yang sudah dilegalisasi Tuhan pada diri manusia, sedangkan secara sosiologis,
keduanya merupakan tuntutan subyek di sekeliling manusia yang memiliki
konsekwensi horizontal. Maka baik berakhlak dan beradab, keduanya adalah bagian
yang tidak terlepaskan dari tiap gerak ragawi-ruhani manusia di mana pun dan
kapan pun ia berada serta berinteraksi. Bahkan, ketika seorang manusia
“sendiri” pun juga masih berada dalam tuntutan kewajiban untuk berakhlak.
Bila
menjalani hidup itu dianggap sebagai bagian dari beragama, maka praktis
berakhlak dan beradab dalam hidup adalah
keniscayaan. Tidak ada jarak demarkatif apalagi kontradiktif antara berakhlak
kepada diri sendiri, lingkungan sekitar, dan kepada Tuhan. Ketiganya sejalan
beriringan secara simultan dan saling mempengaruhi. Walaupu dalam bentuk
ekspresi praktisnya (adab), dapat berbeda-beda sesuai dengan kapasitas ilmu dan
tuntutan sosial di mana pelakunya berperilaku.
Ada istilah
PIS (person in self), PIE (person in environment), dan PIU (person
in universe) dalam kajian ilmu-ilmu sosial.
PIS adalah bagaimana subyek “berinteraksi” dengan dirinya sendiri, PIE
adalah bagaimana subyek “berinteraksi dengan diri dan lingkungan sekitarnya,
sedangkan PIU adalah bagaimana subyek “berinteraksi” dengan lingkungan
sekitarnya dan “semesta” yang meliputinya. Interaksi tersebut bersifat
dialogis, terus menerus, dan bahkan terus terjadi bahkan sebelum atau sesudah
keberadaan subyek tesebut. Pada PIS terjadi proses interaksi dialogis dan dua
arah antara subyek dengan dirinya sendiri. Maka pada dimensi ini ia akan kerap
kali melakukan dialog internal tentang berbagai persoalan hidup dan kehidupan
untuk kemudian disikapkan dalam bentuk keputusan-keputusan ide dan perilaku
nyata. Teori tentang ego, super-ego dan it/id dalam kajian psikologis yang
ditawarkan oleh Sigmund Freud dengan Psikoanalisis-nya biasa digunakan
sebagai alat dalam menjelaskan pola dialog ini.
Pada PIE
terjadi proses dialogis antara subyek dengan dirinya sendiri dan lingkungan
sekitarnya sehingga proses situ menjadi tanur lahirnya berbagai keputusan
individual dan kolektif. Bahkan, dialog antar subyek yang sama dan berbeda,
antara subyek dengan komunitas, antar komunitas yang sama atau berbeda, kerap
terjadi dalam rangka membangun komposisi ideal bagaimana kepatutan sikap
dirumuskan dan harus dijalankan. Teori tentang Sosial Konstruksi dan Konstruksi
Sosial yang ditawarkan oleh Peter L. Berger dengan istilah eksternalisasi,
obyektivasi, dan internalisasi juga dapat digunakan untuk melihat
dimensi ini. Apakah lingkungan menjadi penyebab dan ukuran utama dalam
mengkonstruk ide serta kepatutan perilaku sebagaimana pendapat kaum
Konstruksionis dalam jalur Sosial Konstruksi, ataukah sistem gagasan subyek
dengan sifat subyektif dan inter-subyektif yang menjadi ukuran dalam menentukan
pilihan serta kepatutan sikap sebagaimana pendapat kaum Konstruktivis dalam
jalur Konstruksi Sosial. Keduanya adalah alat akademis untuk menjelaskannya.
Pada masa sebelumnya, Fenomenologi sebagai aliran filsafat, oleh Edmund Husserl
berusaha diimplementasikan menjadi sebuah metodologi filsafat yang bisa
menjelaskan hubungan relasional yang bersifat interaktif, antraktif, dan
dialogis ini. Dengan meminjam teknik verstehen dan teori pilihan
tindakan Max Weber, Edmund Husserl mampu menjelaskan proses fenomenal tersebut
dengan konsepnya yang disebut in order to motive. Kemudian oleh muridnya
bernama Alferd Schutz pendepat itu dikritik dan juga disempurnakan dengan
temuan teori tentang motif eksternal dalam realitas sosial yang disebut because
motive. Pada PIU terjadi proses dialog antara subyek, lingkungan
sekitarnya, dan semesta yang meliputinya. Pada dimensi semesta inilah kemudian
alam makrokosmik (semesta besar) dan alam mikrokosmik (semesta kecil) saling
berdialog dengan lingkungan berada di posisi tengahnya. Istilah mikrokosmik dan
makrokosmik ini mejadi istilah dalam kajian metafisik pada tradisi filsafat
Barat. Sederhananya, mikrokosmik adalah semesta kecil yang disebut manusia,
sedangkan makrokosmik adalah semesta besar yang disebut Tuhan. Dialog antara dua dimensi alam ini selalu melintasi
batas domain realitas sosial yang bisa diamati dengan riil dan bersifat
fenomenal seiring dengan adanya potensi noumenal yang sulit terdefinisikan.
Aliran filsasat seperti Humanism, Posmodernisme, dan Eksistensialisme adalah
tiga kelompok yang biasa membahas dimensi ini. Tokoh seperti Mahatma Gandhi,
Bunda Teresa, dan Martin Luther King adalah inspirator bagaimana spiritualitas
bisa mengkonversi misterinya dalam kehidupan sosial. Tokoh Michael Lowy, Leela
Gandhi, Asghar Ali, Husein Nasr, Ali
Syariati, Hasan Hanafi, dan Arkoun adalah tokoh yang diyakini secara akademis
juga melakukan hal yang sama. Sedang dalam Islam sendiri, kita mengenal Ibnu
Rusyd, Ibnu Thufail, dan al-Kindi yang membahas ini dalam disiplin filsafat
Islam, sedangkan dalam disiplin sufistik dikenal tokoh seperti al-Kibrit
al-Ahmar Muhyiddin Ibnu Arobi, Imam Qusyairi, Junaid al-Baghdadi, Sulthon
al-Auliya Syaikh Abdul Qodir Jailani, dan juga tentunya Hujjatul Islam
al-Ghazali. Tanpa mendikotomikan kajian fiilsafat, tasawuf, fiqih, dan tauhid
dalam membicarakan yang mikrokosmik dan makrokosmik, tokoh-tokoh tersebut
berkontribusi dalam menguraikan pembahasan antara relasi keduanya. Kira-kira,
ilustrasi sederhana dari PIS, PIE, dan PIU sebagai berikut:
Ada sebuah
definisi bahwa tasawuf adalah “al-shidqu ila al-haqqi wa al-khulqu ma’a
al-kholqi”. Terjemahan bebasnya adalah “bersikap shiddiq (“temmen”
dalam istilah bahasa Jawa) pada Yang Haq (Allah) dan berakhlaq pada
segenap makhluk-Nya”. Ada juga yang memaknakan bahwa bertasawuf adalah “al-khulqu
ma’allah” (berakhlak bersama Allah). Bila definisi ini kita gunakan, maka
sebenarya inti bertasawuf adalah berakhlak dan bertata-krama pada Allah dan
setiap makhluk-Nya. Bila dicermati, definisi “sederhana” ini memiliki makna,
konsekwensi, dan kawasan yang dalam dan luas.
Al-‘Arif
Syaikh Ibnu ‘Ajibah dalam Iqodhu al-Himam menjelaskan bahwa ada tiga dimensi
spiritual dalam Islam yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiganya melahirkan status
spiritual yaitu sebagai mukmin, muslim, dan muhsin. Tindakan (amal) ketiga
status itu adalah ‘ibadah, ‘ubudiyah, dan ‘abudiyah. Atau
bisa juga disebutkan ada tiga tingkatan jalur spiritual yaitu syariah, thoriqoh,
dan haqiqoh. Tujuan amaliyah dalam tingkatan spiritual tersebut secara
berurutan adalah menyembah (al-ta’budahu), menyengajakan diri (al-taqshidahu),
dan menyaksikan Keagungan Allah (al-tasyhadahu). Pada domain “al-ta’budahu”,
kita menyadari sebagai mukallaf yang terkena aturan relasional dengan Tuhan,
maka tiap amal yang kita lakukan adalah dalam rangka beribadah kepada Tuhan. Orang
yang berada dalam jalur ini–biasanya—hanya melihat bahwa hukum taklifi
seperti halal, haram, sunnah, makruh, dan mubah, adalah sebuah mekanisme atau
aturan yang harus ditaati karena itu aturan doktrinal dari agama yang sudah
diyakini kebenarannya. Secara spiritual, “yang tampak” dalam amal tersebut
adalah semangat menjalankan hukum taklifi karena hukum itu sendiri. Orang
akan sah menanyakan pahala-siksa dalam beramal, karena itu memang diperbolehkan
Allah swt. Misalnya, mengapa kita shalat lima waktu? Karena shalat lima waktu
itu kewajiban yang sudah ditegaskan Allah swt. Mengapa kita masuk kuliah jam
07.00? Karena itu jadwal yang sudah diatur legalitasnya. Maka tata krama
lahir-batin pada domain ini adalah mengetahui ilmu dan mengamalkannya dengan mekanisme yang sudah
ditentukan. Pada domain “al-taqshidahu”, kita menyadari bahwa sebenarnya
hukum taklifi itu dibuat oleh Allah swt. Maka dalam amal, “yang tampak”
berorientasi hanya kepada Allah swt, bukan pada yang lainnya, termasuk amal itu
sendiri. Istilah “al-taqshidahu” ini bisa diartikan dengan selalu menganggap
bahwa Allah swt sebagai sentrum setiap amal. Contohnya, mengapa kita shalat
lima waktu? Sebab Allah yang memerintahkannya, atau bisa juga, sebab shalat
itulah tata cara untuk kita “sowan” pada Allah. Mengapa kau masuk kuliah
jam 06.30, padahal masuknya jam 07.00? Sebab aku senang dosen dan matakuliah
itu, maka aku sudah di kelas jam 06.30 walau masuknya jam 07.00. Maka tata
karma lahir-batin pada domain ini adalah dengan menyadari bahwa Allah swt
adalah aktor utama atas semesta dan memupuk kepatuhan “luar-dalam” semata-mata
pada-Nya. Pada domain “al-tasyhadahu”, yang terjadi adalah amal sebagai
ekspresi “persyahadatan” pada keagungan Allah semata, bukan atas dasar yang
lain. Maka dalam hal apapun, bila semua tindakan adalah “al-‘amal al-musyahadah”,
maka perilaku apapun itu adalah wujud persaksian kita atas Keagungan Allah swt.
Contohnya, bila ditanya mengapa shalat lima waktu? Maka kira-kira jawabannya
adalah “dalam shalat itulah Asma’ dan Sifat Allah itu tampil dengan
ke-Agungan-Nya menghampiri”. Mengapa belajar? Jawabnya kira-kira, “sebab Yang
Maha al-‘Alim dan Bersifat ‘Aliman kusaksikan secara nyata dengan kebodohanku”.
Sebagai
orang yang diyakini terus berjalan menggapai kedewasaan manusiawi dalam ilmu,
pertanyaannya adalah, bagaimana sikap (akhlak batin dan adab lahir) kita atas
diri, lingkungan, dan semesta ini? Ijinkan kami mengutip dawuh Al-‘Arif Syaikh
Ibnu ‘Ajibah yang kira-kira tepat merefleksikan pertanyaan ini. Bahwa kiranya
intisari agama itu tidak bisa didapatkan melalui melahap tulisan semata bahwa hal
itu memang penting, namun tidak mampu mengantarkan pada pemahaman substansial
pada agama. Juga tidak dapat didapatkan dengan perdebatan yang didasari
persepsi pengetahuan dan syahwat kebenaran personal. Juga tidak bisa digapai
dengan gemar mengutip pendapat dari sumber apapun. Akan tetapi substansi agama
hanya akan dapat teranugerahkan melalui dua hal, yaitu “al-khidmah al-rijal”
dan “shuhbah ahllu al-kamal”.
Moga Allah
swt mengampuni dan menolong kita semua. Amin.
[1]
Disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI) edisi Jumat, 18
Desember 2015 di Angkringan 57 Surabaya jam 19:30 Wib
[2]
Akademisi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...