Minggu, 20 Desember 2015

Menjadi Berakhlak[1]


Oleh: Chabib Musthofa[2]

Beberapa pertanyaan mendasar ketika berbicara tentang akhlak dan posisi sebagai orang yang sedang menempuh rihlah a-ilmiyah adalah: 1). Apakah akhlak itu? 2). Di wilayah mana domain akhlak dalam beragama dan kehidupan? 3). Bagaimana berakhlak sebagai al-salik al-ilmiyah?


Ada dua istilah yang sudah kaprah dianggap mirip atau sama dalam hal ini, yaitu al-akhlak dan al-adab. Sejatinya, kedua istilah tersebut berbeda. Al-akhlak bisa dimaknakan dengan sikap batiniah yang diresponkan seseorang atas segala sesuatu, sedangkan al-adab adalah ekspresi fenomenal dari akhlak. Al-akhlak lebih berada dalam dimensi batin, sedang al-adab lebih pada dimensi lahir. Nilai substantif al-akhlak lebih bersifat universal, sedang nilai formalitas al-adab lebih bersifat partikular, komunal, dan kontekstual. Baik akhlak maupun adab, keduanya merupakan respon insaniyah atas berbagai obyek di sekitarnya, bahkan diri manusia itu sendiri. Secara sederhana, al-akhlak bisa diartikan dengan tata karma batin, sedangkan al-adab diartikan dengan tata karma lahir. Maka baik berakhlak maupun beradab bisa mengarah pada siapa pun dan apapun, pada diri sendiri, keluarga, sahabat, lingkungan, dan Tuhan. Dalam ekspresinya, al-akhlak sulit dilihat apalagi diukur dengan nominasi kuantitatif, kecuali oleh orang-orang yang secara batiniyah diberi kelebihan Tuhan dapat mengerti domain tersebut secara jelas. Namun yang batiniyah ini bukan berarti “tidak ada”, ia “ada” tapi tidak dapat didekati dengan kerangka epistemologi ilmiah yang kini dianut kebenarannya. Al-adab bisa dilihat dan diamati secara inderawi-empiris berdasarkan kaidah-kaidah sosiologis dimana adab tersebut diekspresikan. Contoh sederhananya, khosyah (bila boleh dimaknai secara sederhana dengan “takut”) kepada Allah dengan menjaga jamaah shalat lima waktu. Maka khosyah adalah sikap batin, sedangkan istiqomah menjaga shalat berjamaah adalah sikap lahir. Atau, khosyah adalah akhlak sedangkan istiqomah menjaga shalat berjamaah adalah adab.
           
Pertanyaan selanjutnya adalah, pada dimensi apa saja seorang manusia dituntut untuk berakhlak? Secara normatif, berakhlak dan beradab adalah bagian dari ketentuan yang sudah dilegalisasi Tuhan pada diri manusia, sedangkan secara sosiologis, keduanya merupakan tuntutan subyek di sekeliling manusia yang memiliki konsekwensi horizontal. Maka baik berakhlak dan beradab, keduanya adalah bagian yang tidak terlepaskan dari tiap gerak ragawi-ruhani manusia di mana pun dan kapan pun ia berada serta berinteraksi. Bahkan, ketika seorang manusia “sendiri” pun juga masih berada dalam tuntutan kewajiban untuk berakhlak.

Bila menjalani hidup itu dianggap sebagai bagian dari beragama, maka praktis berakhlak dan beradab dalam  hidup adalah keniscayaan. Tidak ada jarak demarkatif apalagi kontradiktif antara berakhlak kepada diri sendiri, lingkungan sekitar, dan kepada Tuhan. Ketiganya sejalan beriringan secara simultan dan saling mempengaruhi. Walaupu dalam bentuk ekspresi praktisnya (adab), dapat berbeda-beda sesuai dengan kapasitas ilmu dan tuntutan sosial di mana pelakunya berperilaku.

Ada istilah PIS (person in self), PIE (person in environment), dan PIU (person in universe) dalam kajian ilmu-ilmu sosial.  PIS adalah bagaimana subyek “berinteraksi” dengan dirinya sendiri, PIE adalah bagaimana subyek “berinteraksi dengan diri dan lingkungan sekitarnya, sedangkan PIU adalah bagaimana subyek “berinteraksi” dengan lingkungan sekitarnya dan “semesta” yang meliputinya. Interaksi tersebut bersifat dialogis, terus menerus, dan bahkan terus terjadi bahkan sebelum atau sesudah keberadaan subyek tesebut. Pada PIS terjadi proses interaksi dialogis dan dua arah antara subyek dengan dirinya sendiri. Maka pada dimensi ini ia akan kerap kali melakukan dialog internal tentang berbagai persoalan hidup dan kehidupan untuk kemudian disikapkan dalam bentuk keputusan-keputusan ide dan perilaku nyata. Teori tentang ego, super-ego dan it/id dalam kajian psikologis yang ditawarkan oleh Sigmund Freud dengan Psikoanalisis-nya biasa digunakan sebagai alat dalam menjelaskan pola dialog ini.

Pada PIE terjadi proses dialogis antara subyek dengan dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya sehingga proses situ menjadi tanur lahirnya berbagai keputusan individual dan kolektif. Bahkan, dialog antar subyek yang sama dan berbeda, antara subyek dengan komunitas, antar komunitas yang sama atau berbeda, kerap terjadi dalam rangka membangun komposisi ideal bagaimana kepatutan sikap dirumuskan dan harus dijalankan. Teori tentang Sosial Konstruksi dan Konstruksi Sosial yang ditawarkan oleh Peter L. Berger dengan istilah eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi juga dapat digunakan untuk melihat dimensi ini. Apakah lingkungan menjadi penyebab dan ukuran utama dalam mengkonstruk ide serta kepatutan perilaku sebagaimana pendapat kaum Konstruksionis dalam jalur Sosial Konstruksi, ataukah sistem gagasan subyek dengan sifat subyektif dan inter-subyektif yang menjadi ukuran dalam menentukan pilihan serta kepatutan sikap sebagaimana pendapat kaum Konstruktivis dalam jalur Konstruksi Sosial. Keduanya adalah alat akademis untuk menjelaskannya. Pada masa sebelumnya, Fenomenologi sebagai aliran filsafat, oleh Edmund Husserl berusaha diimplementasikan menjadi sebuah metodologi filsafat yang bisa menjelaskan hubungan relasional yang bersifat interaktif, antraktif, dan dialogis ini. Dengan meminjam teknik verstehen dan teori pilihan tindakan Max Weber, Edmund Husserl mampu menjelaskan proses fenomenal tersebut dengan konsepnya yang disebut in order to motive. Kemudian oleh muridnya bernama Alferd Schutz pendepat itu dikritik dan juga disempurnakan dengan temuan teori tentang motif eksternal dalam realitas sosial yang disebut because motive. Pada PIU terjadi proses dialog antara subyek, lingkungan sekitarnya, dan semesta yang meliputinya. Pada dimensi semesta inilah kemudian alam makrokosmik (semesta besar) dan alam mikrokosmik (semesta kecil) saling berdialog dengan lingkungan berada di posisi tengahnya. Istilah mikrokosmik dan makrokosmik ini mejadi istilah dalam kajian metafisik pada tradisi filsafat Barat. Sederhananya, mikrokosmik adalah semesta kecil yang disebut manusia, sedangkan makrokosmik adalah semesta besar yang disebut Tuhan.  Dialog antara dua dimensi alam ini selalu melintasi batas domain realitas sosial yang bisa diamati dengan riil dan bersifat fenomenal seiring dengan adanya potensi noumenal yang sulit terdefinisikan. Aliran filsasat seperti Humanism, Posmodernisme, dan Eksistensialisme adalah tiga kelompok yang biasa membahas dimensi ini. Tokoh seperti Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Martin Luther King adalah inspirator bagaimana spiritualitas bisa mengkonversi misterinya dalam kehidupan sosial. Tokoh Michael Lowy, Leela Gandhi,  Asghar Ali, Husein Nasr, Ali Syariati, Hasan Hanafi, dan Arkoun adalah tokoh yang diyakini secara akademis juga melakukan hal yang sama. Sedang dalam Islam sendiri, kita mengenal Ibnu Rusyd, Ibnu Thufail, dan al-Kindi yang membahas ini dalam disiplin filsafat Islam, sedangkan dalam disiplin sufistik dikenal tokoh seperti al-Kibrit al-Ahmar Muhyiddin Ibnu Arobi, Imam Qusyairi, Junaid al-Baghdadi, Sulthon al-Auliya Syaikh Abdul Qodir Jailani, dan juga tentunya Hujjatul Islam al-Ghazali. Tanpa mendikotomikan kajian fiilsafat, tasawuf, fiqih, dan tauhid dalam membicarakan yang mikrokosmik dan makrokosmik, tokoh-tokoh tersebut berkontribusi dalam menguraikan pembahasan antara relasi keduanya. Kira-kira, ilustrasi sederhana dari PIS, PIE, dan PIU sebagai berikut:


Ada sebuah definisi bahwa tasawuf adalah “al-shidqu ila al-haqqi wa al-khulqu ma’a al-kholqi”. Terjemahan bebasnya adalah “bersikap shiddiq (“temmen” dalam istilah bahasa Jawa) pada Yang Haq (Allah) dan berakhlaq pada segenap makhluk-Nya”. Ada juga yang memaknakan bahwa bertasawuf adalah “al-khulqu ma’allah” (berakhlak bersama Allah). Bila definisi ini kita gunakan, maka sebenarya inti bertasawuf adalah berakhlak dan bertata-krama pada Allah dan setiap makhluk-Nya. Bila dicermati, definisi “sederhana” ini memiliki makna, konsekwensi, dan kawasan yang dalam dan luas.

Al-‘Arif Syaikh Ibnu ‘Ajibah dalam Iqodhu al-Himam menjelaskan bahwa ada tiga dimensi spiritual dalam Islam yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiganya melahirkan status spiritual yaitu sebagai mukmin, muslim, dan muhsin. Tindakan (amal) ketiga status itu adalah ‘ibadah, ‘ubudiyah, dan ‘abudiyah. Atau bisa juga disebutkan ada tiga tingkatan jalur spiritual yaitu syariah, thoriqoh, dan haqiqoh. Tujuan amaliyah dalam tingkatan spiritual tersebut secara berurutan adalah menyembah (al-ta’budahu), menyengajakan diri (al-taqshidahu), dan menyaksikan Keagungan Allah (al-tasyhadahu). Pada domain “al-ta’budahu”, kita menyadari sebagai mukallaf yang terkena aturan relasional dengan Tuhan, maka tiap amal yang kita lakukan adalah dalam rangka beribadah kepada Tuhan. Orang yang berada dalam jalur ini–biasanya—hanya melihat bahwa hukum taklifi seperti halal, haram, sunnah, makruh, dan mubah, adalah sebuah mekanisme atau aturan yang harus ditaati karena itu aturan doktrinal dari agama yang sudah diyakini kebenarannya. Secara spiritual, “yang tampak” dalam amal tersebut adalah semangat menjalankan hukum taklifi karena hukum itu sendiri. Orang akan sah menanyakan pahala-siksa dalam beramal, karena itu memang diperbolehkan Allah swt. Misalnya, mengapa kita shalat lima waktu? Karena shalat lima waktu itu kewajiban yang sudah ditegaskan Allah swt. Mengapa kita masuk kuliah jam 07.00? Karena itu jadwal yang sudah diatur legalitasnya. Maka tata krama lahir-batin pada domain ini adalah mengetahui ilmu dan  mengamalkannya dengan mekanisme yang sudah ditentukan. Pada domain “al-taqshidahu”, kita menyadari bahwa sebenarnya hukum taklifi itu dibuat oleh Allah swt. Maka dalam amal, “yang tampak” berorientasi hanya kepada Allah swt, bukan pada yang lainnya, termasuk amal itu sendiri. Istilah “al-taqshidahu” ini bisa diartikan dengan selalu menganggap bahwa Allah swt sebagai sentrum setiap amal. Contohnya, mengapa kita shalat lima waktu? Sebab Allah yang memerintahkannya, atau bisa juga, sebab shalat itulah tata cara untuk kita “sowan” pada Allah. Mengapa kau masuk kuliah jam 06.30, padahal masuknya jam 07.00? Sebab aku senang dosen dan matakuliah itu, maka aku sudah di kelas jam 06.30 walau masuknya jam 07.00. Maka tata karma lahir-batin pada domain ini adalah dengan menyadari bahwa Allah swt adalah aktor utama atas semesta dan memupuk kepatuhan “luar-dalam” semata-mata pada-Nya. Pada domain “al-tasyhadahu”, yang terjadi adalah amal sebagai ekspresi “persyahadatan” pada keagungan Allah semata, bukan atas dasar yang lain. Maka dalam hal apapun, bila semua tindakan adalah “al-‘amal al-musyahadah”, maka perilaku apapun itu adalah wujud persaksian kita atas Keagungan Allah swt. Contohnya, bila ditanya mengapa shalat lima waktu? Maka kira-kira jawabannya adalah “dalam shalat itulah Asma’ dan Sifat Allah itu tampil dengan ke-Agungan-Nya menghampiri”. Mengapa belajar? Jawabnya kira-kira, “sebab Yang Maha al-‘Alim dan Bersifat ‘Aliman kusaksikan secara nyata dengan kebodohanku”.

Sebagai orang yang diyakini terus berjalan menggapai kedewasaan manusiawi dalam ilmu, pertanyaannya adalah, bagaimana sikap (akhlak batin dan adab lahir) kita atas diri, lingkungan, dan semesta ini? Ijinkan kami mengutip dawuh Al-‘Arif Syaikh Ibnu ‘Ajibah yang kira-kira tepat merefleksikan pertanyaan ini. Bahwa kiranya intisari agama itu tidak bisa didapatkan melalui melahap tulisan semata bahwa hal itu memang penting, namun tidak mampu mengantarkan pada pemahaman substansial pada agama. Juga tidak dapat didapatkan dengan perdebatan yang didasari persepsi pengetahuan dan syahwat kebenaran personal. Juga tidak bisa digapai dengan gemar mengutip pendapat dari sumber apapun. Akan tetapi substansi agama hanya akan dapat teranugerahkan melalui dua hal, yaitu “al-khidmah al-rijal” dan “shuhbah ahllu al-kamal”.

Moga Allah swt mengampuni dan menolong kita semua. Amin.


[1] Disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI) edisi Jumat, 18 Desember 2015 di Angkringan 57 Surabaya jam 19:30 Wib
[2] Akademisi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...