Oleh: Libasut Taqwa
Terus terang, saya tidak terlalu ambil pusing
atas maraknya penyebaran dakwah akhir-akhir ini di berbagai wilayah Indonesia.
Toh usaha-usaha itu merupakan bagian langsung dari ikhtiar manusia meneruskan risalah
kenabian agar diterima siapa pun,
kapan pun, dan di mana pun.
Saya juga tak cukup kecewa apabila melihat misalnya dakwah mulai berubah
orientasinya kepada hal-hal tidak wajar. Salah ini, salah itu. Tidak begini,
tidak begitu. Bid’ah ini, bid’ah itu. Kafir ini, kafir itu. Jenggot
benar, tidak jenggot tidak benar, dan
lain sebagainya (semoga Anda sekalian paham aliran mana yang suka bicara hal khilafiyah
seperti soal hidup-mati). Itu
semua tidak lain saya anggap sebagai bagian dari variasi manusia dalam menyebarkan
pengalaman dan ekspresi keagamaan masing-masing.
Islam yang saya kenal selama ini, dimulai
sejak kakek saya hingga belajar sekarang. Tidak pernah menyentuh perihal
aneh-aneh. Dengan model pengajaran ala sufisme, tentu orientasi
keagamaan yang saya terima di keluarga besar selalu condong pada term
sayang-menyayangi, kelemah-lembutan, serta pandai menghargai orang lain. Tidak
ada masalah apabila satu-dua orang di antara keluarga lebih bagus ritual
keagamaannya, atau agak kurang ibadah formalnya. Segalanya selalu bisa
diselesaikan dengan legowo. Maksudnya, oleh Datu’ (Bima; Kakek),
khusus hal-hal yang berkaitan dengan khilafiyah Ulama’ selalu
diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Oleh karenanya, dalam hal agama, tak
ada pertentangan berarti di keluarga besar. Namun ketika Datu’ saya
meninggal (oleh masyarakat Bima, ia dipanggil Tuan Guru), orientasi keagamaan
keluarga besar perlahan berbeda. bagi saya, ini salah satunya disebabkan oleh
tidak adanya otoritas pengikat dalam transmisi ilmu keagamaan sebagaimana yang
kami kenal dahulu. Sebagian besar keluarga juga pada akhirnya cenderung
memperdalam ilmu kesehatan di banding
–mohon maaf- ilmu-ilmu keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun asumsi
saya tidak sepenuhnya benar, tapi pengalaman berikut menuntut saya untuk
akhirnya mawas diri. Berlaku waspada bahwa model dakwah yang aneh bin ajaib
seperti ciri di atas telah mulai mewabah, khususnya pada ruang lingkup keluarga
dengan umur lebih muda.
Suatu hari, saya menerima telepon dari salah
sorang saudara yang memperdalam ilmu kesehatan di Jawa Timur. Seperti biasa,
racauan kami ke sana-kemari tidak
jelas. Mulai ini, mulai itu, dan lain-lain. Hingga akhirnya saudara ini
bertanya agak “menyimpang”. Saya sebut demikian sebab ia tak pernah bertanya
seperti berikut sebelumnya. Tapi untuk meringkas tulisan, saya cukupkan
rangkumannya saja, “mas, bagaimana pendapatnya tentang jenggot dan tidak
jenggot, jenggot kan Sunnah Nabi, tentang Sholat yang baik, jari telunjuknya
gerak atau tidak, celananya cingkrang atau tidak, ngopi di warung itu
buang-buang waktu, dan lebih berpahala kalau kita ikut pengajian di masjid,
belajar kesehatan itu tidak mulia sebab lebih mulia belajar agama, belajar
akhirat, karena dunia sudah rusak”.
Saya yang sebelumnya tidak suka lebay sesegera
mungkin terperanjat, emosional, sembari memaksakan diri untuk tidak berteriak,
karena sedang di rumah orang. Akhirnya saya mengalihkannya dengan berpikir,
mengapa saudara ini tidak bertanya bagaimana Islam
merumuskan pola pemberantasan buta huruf, atau apakah Islam secara rinci memberikan gambaran
bagaimana perihal kemiskinan harus menjadi prioritas pemerintah hingga struktur
paling kecil di tingkat Rukun Tangga. Atau sudikah misalnya Islam
meninggalkan perbincangan jenggot cukur atau dibiarkan dengan dada membusung
dan mementingkan cara kita memperlakukan tetangga di samping yang faqir
tapi tidak berjenggot? Mungkin apabila pertanyaannya demikian, saya akan
bersyukur, setidaknya ia tidak ingin masuk surga sendirian, ia akan membawa
serta masakin, fuqara’, Ibnu Sabil, dsb.
Sejumput kemudian, pikiran saya segera tertuju
pada salah satu kelompok yang selalu saja meributkan hal-hal demikian di saat
tukang cukur sudah berubah nama jadi barbershop. Apa hubungannya!. Sungguh pun begitu, sejujurnya saya sangat bersyukur apabila si
saudara merubah haluan menjadi cinta akhirat daripada dunia. Saya juga tidak
masalah kalau ia memilih mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW dengan penuh
seluruh dengan gigi gerahamnya. Apalagi merubah kecenderungan perihal sholat
menjadi teguh dan melakukannya persis seperti apa yang Nabi lakukan; shallu kama ro’aitumuni ushalli. Sebab selama ini ia jarang sholat. Yang jadi
soal, si saudara perlahan berpikir bahwa ilmu kesehatan yang ia tuntut
bertahun-tahun tidak berguna, hanya gara-gara seringkali melihat temannya bolos
kuliah sebab rutin mengikuti pengajian, Nah loh?!. Setali tiga uang, ia
seringkali iseng berfikir segala kegiatannya di masa lalu begitu jauh dari
jalan Allah, Subhanallah! dan mulai mempertimbangkan meninggalkan
kebiasaan futsal, atau memilih tidak ngopi (sebagai kata kerja) karena
teman-teman tongkrongan telah hijrah ke tempat pengajian.
Dalam soal ini, saya tidak ingin terjebak perbincangan
dalil yang tentu jika menyentuh persoalan Khilafiyah tidak akan selesai
bahkan sampai Justin Beiber jualan bakso. Yang saya ingin tekankan, bahwa dalam
beberapa hal, telah bermunculan aliran keagamaan yang memisahkan wilayah
akhirat dan wilayah dunia. Bahwa selain belajar agama, adalah belajar sesuatu
yang tidak bermanfaat dan secara integral tidak memiliki kredit point
pembuka jalan ke surga. Tidak ada pahala. Bertahun-tahun anda belajar fisika,
akan 1000% sia-sia karena bukan ilmu agama. Tidak peduli suatu saat sebab ilmu
itu ada kereta api, ada pesawat terbang, apalagi sistem navigasi kelautan yang
serba canggih.
Di luar itu, walaupun sekarang ngopi di
berbagai tempat sudah mulai tak aman, tapi kalau ngopi adalah kegiatan
yang sia-sia jauh dari ghirah keagamaan para salaf, ya sudah, harus ditinggalkan
saja semuanya. Jangan kita pikirkan entah si empunya warung kopi akan menafkahi
keluarganya dengan apa karena terlanjur kehilangan semua pelanggan yang memilih
ke tempat pengajian sebagai sesuatu yang tidak sia-sia.
Saudaraku, ikhwafillah, saya kira Tuhan
tidak akan begitu jahat kepada kita karena tidak memanjangkan jenggot dengan
catatan jangan memusuhi yang berjenggot, kecuali Abu Jahal.
Saya juga mengira Tuhan menetapkan hati orang
untuk membuka usaha warung kopi sebab di situlah
Allah menetapkan jalur re-je-ki-nya. Jadi jangan menghalangi jalan yang
ditetapkan Allah dengan menghindari nongkrong di kedai kopi dengan
alasan sia-sia. Lebih baik, di setiap tegukan nikmatnya Tora**ka, sisipkan
dzikir di lidahmu, siapa tahu akan menambah kenikmatan setiap kecapan pahitnya
kopi. Atau tak ada halangan sama sekali apabila engkau berkenan istighfar di tiap
gigitan gorengan guna mengingat Allah di setiap waktu, tempat (bukan hanya di tempat
pengajian), dan di setiap
kesempatan.
Kalau sudah begitu, saya kira kita tidak akan
terjebak lagi dengan pernyataan bahwa Tuhan hanya ada di masjid, atau di tempat
pengajian, tapi Tuhan akan ada dalam hati yang suci dan selalu ingat, setia, dan
menemani kita di kedai kopi angkringan, termasuk Star***cK punya Amerika.
Setelah hampir dua jam menerangkan, saudara
saya mengerti sepenuhnya apa yang harus dilakukan. Walaupun harus diakui,
jawaban panjang yang saya berikan tidak menjamin di belakang hari persoalan ini
tidak muncul lagi. Tapi, setidaknya jawaban ustadz a-m-a-t-i-r-a-n ini
adalah salah satu upaya penyelamatan warung kopi dari embargo para pelanggannya
yang hijrah ke tempat pengajian. Semoga!
Depok, 19 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...