Kamis, 21 Januari 2016

Mari Berhijrah, Saudara!

Oleh: Libasut Taqwa
Terus terang, saya tidak terlalu ambil pusing atas maraknya penyebaran dakwah akhir-akhir ini di berbagai wilayah Indonesia. Toh usaha-usaha itu merupakan bagian langsung dari ikhtiar manusia meneruskan risalah kenabian agar diterima siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Saya juga tak cukup kecewa apabila melihat misalnya dakwah mulai berubah orientasinya kepada hal-hal tidak wajar. Salah ini, salah itu. Tidak begini, tidak begitu. Bid’ah ini, bid’ah itu. Kafir ini, kafir itu. Jenggot benar, tidak jenggot tidak benar, dan lain sebagainya (semoga Anda sekalian paham aliran mana yang suka bicara hal khilafiyah seperti soal hidup-mati). Itu semua tidak lain saya anggap sebagai bagian dari variasi manusia dalam menyebarkan pengalaman dan ekspresi keagamaan masing-masing.

Islam yang saya kenal selama ini, dimulai sejak kakek saya hingga belajar sekarang. Tidak pernah menyentuh perihal aneh-aneh. Dengan model pengajaran ala sufisme, tentu orientasi keagamaan yang saya terima di keluarga besar selalu condong pada term sayang-menyayangi, kelemah-lembutan, serta pandai menghargai orang lain. Tidak ada masalah apabila satu-dua orang di antara keluarga lebih bagus ritual keagamaannya, atau agak kurang ibadah formalnya. Segalanya selalu bisa diselesaikan dengan legowo. Maksudnya, oleh Datu’ (Bima; Kakek), khusus hal-hal yang berkaitan dengan khilafiyah Ulama’ selalu diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Oleh karenanya, dalam hal agama, tak ada pertentangan berarti di keluarga besar. Namun ketika Datu’ saya meninggal (oleh masyarakat Bima, ia dipanggil Tuan Guru), orientasi keagamaan keluarga besar perlahan berbeda. bagi saya, ini salah satunya disebabkan oleh tidak adanya otoritas pengikat dalam transmisi ilmu keagamaan sebagaimana yang kami kenal dahulu. Sebagian besar keluarga juga pada akhirnya cenderung memperdalam ilmu kesehatan di banding –mohon maaf- ilmu-ilmu keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun asumsi saya tidak sepenuhnya benar, tapi pengalaman berikut menuntut saya untuk akhirnya mawas diri. Berlaku waspada bahwa model dakwah yang aneh bin ajaib seperti ciri di atas telah mulai mewabah, khususnya pada ruang lingkup keluarga dengan umur lebih muda.

Suatu hari, saya menerima telepon dari salah sorang saudara yang memperdalam ilmu kesehatan di Jawa Timur. Seperti biasa, racauan kami ke sana-kemari tidak jelas. Mulai ini, mulai itu, dan lain-lain. Hingga akhirnya saudara ini bertanya agak “menyimpang”. Saya sebut demikian sebab ia tak pernah bertanya seperti berikut sebelumnya. Tapi untuk meringkas tulisan, saya cukupkan rangkumannya saja, “mas, bagaimana pendapatnya tentang jenggot dan tidak jenggot, jenggot kan Sunnah Nabi, tentang Sholat yang baik, jari telunjuknya gerak atau tidak, celananya cingkrang atau tidak, ngopi di warung itu buang-buang waktu, dan lebih berpahala kalau kita ikut pengajian di masjid, belajar kesehatan itu tidak mulia sebab lebih mulia belajar agama, belajar akhirat, karena dunia sudah rusak”.

Saya yang sebelumnya tidak suka lebay sesegera mungkin terperanjat, emosional, sembari memaksakan diri untuk tidak berteriak, karena sedang di rumah orang. Akhirnya saya mengalihkannya dengan berpikir, mengapa saudara ini tidak bertanya bagaimana Islam merumuskan pola pemberantasan buta huruf, atau apakah Islam secara rinci memberikan gambaran bagaimana perihal kemiskinan harus menjadi prioritas pemerintah hingga struktur paling kecil di tingkat Rukun Tangga. Atau sudikah misalnya Islam meninggalkan perbincangan jenggot cukur atau dibiarkan dengan dada membusung dan mementingkan cara kita memperlakukan tetangga di samping yang faqir tapi tidak berjenggot? Mungkin apabila pertanyaannya demikian, saya akan bersyukur, setidaknya ia tidak ingin masuk surga sendirian, ia akan membawa serta masakin, fuqara, Ibnu Sabil, dsb.

Sejumput kemudian, pikiran saya segera tertuju pada salah satu kelompok yang selalu saja meributkan hal-hal demikian di saat tukang cukur sudah berubah nama jadi barbershop. Apa hubungannya!. Sungguh pun begitu, sejujurnya saya sangat bersyukur apabila si saudara merubah haluan menjadi cinta akhirat daripada dunia. Saya juga tidak masalah kalau ia memilih mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW dengan penuh seluruh dengan gigi gerahamnya. Apalagi merubah kecenderungan perihal sholat menjadi teguh dan melakukannya persis seperti apa yang Nabi lakukan; shallu kama ro’aitumuni ushalli. Sebab selama ini ia jarang sholat. Yang jadi soal, si saudara perlahan berpikir bahwa ilmu kesehatan yang ia tuntut bertahun-tahun tidak berguna, hanya gara-gara seringkali melihat temannya bolos kuliah sebab rutin mengikuti pengajian, Nah loh?!. Setali tiga uang, ia seringkali iseng berfikir segala kegiatannya di masa lalu begitu jauh dari jalan Allah, Subhanallah! dan mulai mempertimbangkan meninggalkan kebiasaan futsal, atau memilih tidak ngopi (sebagai kata kerja) karena teman-teman tongkrongan telah hijrah ke tempat pengajian.

Dalam soal ini, saya tidak ingin terjebak perbincangan dalil yang tentu jika menyentuh persoalan Khilafiyah tidak akan selesai bahkan sampai Justin Beiber jualan bakso. Yang saya ingin tekankan, bahwa dalam beberapa hal, telah bermunculan aliran keagamaan yang memisahkan wilayah akhirat dan wilayah dunia. Bahwa selain belajar agama, adalah belajar sesuatu yang tidak bermanfaat dan secara integral tidak memiliki kredit point pembuka jalan ke surga. Tidak ada pahala. Bertahun-tahun anda belajar fisika, akan 1000% sia-sia karena bukan ilmu agama. Tidak peduli suatu saat sebab ilmu itu ada kereta api, ada pesawat terbang, apalagi sistem navigasi kelautan yang serba canggih.

Di luar itu, walaupun sekarang ngopi di berbagai tempat sudah mulai tak aman, tapi kalau ngopi adalah kegiatan yang sia-sia jauh dari ghirah keagamaan para salaf, ya sudah, harus ditinggalkan saja semuanya. Jangan kita pikirkan entah si empunya warung kopi akan menafkahi keluarganya dengan apa karena terlanjur kehilangan semua pelanggan yang memilih ke tempat pengajian sebagai sesuatu yang tidak sia-sia.

Saudaraku, ikhwafillah, saya kira Tuhan tidak akan begitu jahat kepada kita karena tidak memanjangkan jenggot dengan catatan jangan memusuhi yang berjenggot, kecuali Abu Jahal.

Saya juga mengira Tuhan menetapkan hati orang untuk membuka usaha warung kopi sebab di situlah Allah menetapkan jalur re-je-ki-nya. Jadi jangan menghalangi jalan yang ditetapkan Allah dengan menghindari nongkrong di kedai kopi dengan alasan sia-sia. Lebih baik, di setiap tegukan nikmatnya Tora**ka, sisipkan dzikir di lidahmu, siapa tahu akan menambah kenikmatan setiap kecapan pahitnya kopi. Atau tak ada halangan sama sekali apabila engkau berkenan istighfar di tiap gigitan gorengan guna mengingat Allah di setiap waktu, tempat (bukan hanya di tempat pengajian), dan di setiap kesempatan.

Kalau sudah begitu, saya kira kita tidak akan terjebak lagi dengan pernyataan bahwa Tuhan hanya ada di masjid, atau di tempat pengajian, tapi Tuhan akan ada dalam hati yang suci dan selalu ingat, setia, dan menemani kita di kedai kopi angkringan, termasuk Star***cK punya Amerika.

Setelah hampir dua jam menerangkan, saudara saya mengerti sepenuhnya apa yang harus dilakukan. Walaupun harus diakui, jawaban panjang yang saya berikan tidak menjamin di belakang hari persoalan ini tidak muncul lagi. Tapi, setidaknya jawaban ustadz a-m-a-t-i-r-a-n ini adalah salah satu upaya penyelamatan warung kopi dari embargo para pelanggannya yang hijrah ke tempat pengajian. Semoga!

Depok, 19 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...