Oleh: Muhammad
Mihrob[2]
Hingga
detik ini, problematika kemiskinan tidak habis dibahas. Para pakar, teoretisi,
maupun praktisi sosial tak henti-hentinya mencari, menentukan dan memberikan
suatu solusi dalam mengentaskan kemiskinan. Hanya, sebagian dari mereka banyak
perbedaan pendapat mengenai kategorisasi maupun karakteristik seorang dikatakan
miskin. Namun, tiada salahnya jika dalam mendefinisikan kemiskinan tersebut
kita dapat meminjam pendapat pakar yang intens membahas kemiskinan.
Dalam
perspektif Ghose dan Keffin di dalam bukunya, Andre Bayo (1996), Kemiskinan
dan Strategi Memerangi Kemiskinan, ia menganalisis, bahwa kemiskinan,
terutama di negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, adalah kelaparan, kekurangan
gizi, pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan rendah,
tidak adanya kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, dan
sebagainya. Definisi ini membuktikan kalau dalam menganalisa kemiskinan itu
tidak cukup hanya dari sisi ekonomi saja, melainkan juga menggunakan aspek lain
seperti pemenuhan gizi, pendidikan, dan kesehatan. Aspek non material yang
merupakan kebutuhan dasar (basic needs) ini bukan dari si miskin
sendiri, namun karena kurangnya kesempatan atau meminjam istilah Ghose dan
Keffin, kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur.
Kemudian,
menganalisa kemiskinan struktural ini akan lebih jelas ketika menuju pada
penjelasan Freidmann dalam Andre Bayo yang mendefinisikan kemiskinan sebagai
ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis
kekuasaan sosial ini bukan hanya meliputi modal produktif semisal tanah,
perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi politik dan
sosial, dan; jaringan (network) sosial dalam mendapatkan pekerjaan.
Kemiskinan
struktural juga erat kaitannya dengan sumber daya ekonomi, politik, teknologi,
dan informasi yang hanya dikuasai oleh sebagian orang. Tetapi,
kesempatan-kesempatan ini seolah tertutupi gap antara si miskin dan si
kaya. Konsekuensi logisnya: si miskin makin terpinggirkan akibat sistem ekonomi
yang membudaya di Indonesia ini.
Sejak
program Millenium Development Goals (MDGs) digulirkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada sistem ekonomi negara Dunia Ketiga (termasuk
Indonesia) tahun 2000 lalu, malah terbukti “jauh panggang dari api”. Pada
awalnya program ini memang sangat menarik karena merupakan perwujudan tekad
bersama bangsa-bangsa di dunia untuk memahami dan menemukan solusi dalam
mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi, dalam perjalanan MDGs yang rencananya
akan berakhir pada tahun 2015 ini, problem kemiskinan di Indonesia jauh dari
kata terentaskan (Azra, 2007). Program-program yang dilaksanakan di dalamnya
banyak yang tidak tepat sasaran, justru dengan adanya program itu kesenjangan
si miskin dan si kaya makin lebar.
Dalam
analisa ini, MDGs yang dibuat PBB sangat kental nuansanya dengan Amerika.
Walaupun mengaku sebagai lembaga yang netral tetapi dilihat dari penguasaannya
saja sudah jelas berada di Amerika Serikat yang kuat sistem kapitalismenya.
Dari segi pendanaannya saja, kapitalisme di-support oleh lembaga
keuangan internasional semacam World Bank dan IMF. Tentu hal ini
sangat berimplikasi kuat terhadap negara Dunia Ketiga dan negara lainnya yang
telah diberikan bantuan berupa pinjaman, termasuk di dalamnya adalah Indonesia.
Tak Bisa Mengelak
dari Kapitalisme
John
Galtung (1971) menyebutkan, jika kita membaca langkah perusahaan transnasional
atau lembaga keuangan internasional di negara-negara Dunia Ketiga, maka
penjajahan bentuk baru ini begitu tampak. Dalam penjajahan ini, hampir tak ada
peluru yang ditembakkan. Melalui program-program pembangunannya, sistem
kapitalisme sangat tidak cocok dalam menanggulangi masalah kemiskinan. Segala
program tersebut justeru akan membuat ketimpangan semakin besar antara si kaya
dan si miskin, karena pola hutang-piutang yang dihasilkannya akan membuat
negara mengalami ketergantungan dengan hutang. Padahal, dalam mekanisme hutang
pada lembaga keuangan konvensional pasti juga ada bunga dengan jumlah yang
banyak dan terakumulasi tiap tahunnya.
Ironisnya,
Indonesia dalam beberapa pengamatan mudah berbangga diri dengan kebijakan
ekspor bahan mentah agar diolah di luar negeri, padahal kegiatan ini sangat
merugikan si miskin karena susah memperoleh kesempatan kerja. Hingga kini,
sistem semacam ini masih terpelihara dengan baik dan merupakan suatu bentuk
warisan kolonialisme.
Yang
lebih ironis lagi dalam sistem kapitalisme ini adalah adanya istilah “supply
and demands”. Melalui kedua istilah ini, pasar dipercaya sebagai sebuah
tempat untuk mengalokasikan barang-barang dan menjamu konsumen dengan service
yang baik. Hingga pada akhirnya menjadi sebuah pemaksaan dari pasar sebagai
mekanisme yang harus diterapkan dalam relasi sosial, semisal kebutuhan dasar
publik yang dijadikan komoditas untuk diperjual-belikan seperti pendidikan dan
kesehatan.
Semua
barang-barang publik dijadikan komoditas. Tentu saja, bagi si kaya dapat
membeli pelayanan dasar tersebut dengan cara mudah karena punya uang. Akan
tetapi, kondisi ini amat berbeda bagi si miskin yang justeru akan semakin
mencekik kehidupan mereka. Oscar Lewis dalam Suparlan (1995) menjelaskan bahwa
kondisi semacam ini akan menimbulkan pembudayaan kemiskinan, dan membuat
kemiskinan itu bertambah seiring pertambahan penduduk.
Sungguh
mustahil pembangunan akan mengatasi kemiskinan tanpa disertai peningkatan
kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan pokok, dan peningkatan produktivitas
rakyat miskin. Walaupun pemenuhan basic needs dianggap akan
mengentaskan kemiskinan, tetapi yang juga penting adalah tindakan pemerintah
untuk mengubah pola-pola pemilikan tanah, mengurangi investasi padat modal,
mengatur perdagangan luar negeri, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan pasar dalam
mempengaruhi perubahan nilai-nilai (Bayo, 1996: 37).
Memang
tidak mudah merubah sistem yang kadung berjalan di Indonesia, tetapi tak ada
salahnya jika dicoba. Sebab, strategi dalam pengentasan kemiskinan memang
sangat dibutuhkan peran negara bukan hanya dalam bidang advokasi sosial,
melainkan juga meredistribusi kekayaan dan pendapatan, dan memastikan bahwa
distribusi tersebut tidak mengeksploitasi aspek lainnya. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...