Jumat, 04 Desember 2015

Kapitalisme dan Kemiskinan Struktural[1]

Oleh: Muhammad Mihrob[2]
Hingga detik ini, problematika kemiskinan tidak habis dibahas. Para pakar, teoretisi, maupun praktisi sosial tak henti-hentinya mencari, menentukan dan memberikan suatu solusi dalam mengentaskan kemiskinan. Hanya, sebagian dari mereka banyak perbedaan pendapat mengenai kategorisasi maupun karakteristik seorang dikatakan miskin. Namun, tiada salahnya jika dalam mendefinisikan kemiskinan tersebut kita dapat meminjam pendapat pakar yang intens membahas kemiskinan.

Dalam perspektif Ghose dan Keffin di dalam bukunya, Andre Bayo (1996), Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan, ia menganalisis, bahwa kemiskinan, terutama di negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, adalah kelaparan, kekurangan gizi, pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan rendah, tidak adanya kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, dan sebagainya. Definisi ini membuktikan kalau dalam menganalisa kemiskinan itu tidak cukup hanya dari sisi ekonomi saja, melainkan juga menggunakan aspek lain seperti pemenuhan gizi, pendidikan, dan kesehatan. Aspek non material yang merupakan kebutuhan dasar (basic needs) ini bukan dari si miskin sendiri, namun karena kurangnya kesempatan atau meminjam istilah Ghose dan Keffin, kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur.
Kemudian, menganalisa kemiskinan struktural ini akan lebih jelas ketika menuju pada penjelasan Freidmann dalam Andre Bayo yang mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial ini bukan hanya meliputi modal produktif semisal tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi politik dan sosial, dan; jaringan (network) sosial dalam mendapatkan pekerjaan.
Kemiskinan struktural juga erat kaitannya dengan sumber daya ekonomi, politik, teknologi, dan informasi yang hanya dikuasai oleh sebagian orang. Tetapi, kesempatan-kesempatan ini seolah tertutupi gap antara si miskin dan si kaya. Konsekuensi logisnya: si miskin makin terpinggirkan akibat sistem ekonomi yang membudaya di Indonesia ini.
Sejak program Millenium Development Goals (MDGs) digulirkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada sistem ekonomi negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) tahun 2000 lalu, malah terbukti “jauh panggang dari api”. Pada awalnya program ini memang sangat menarik karena merupakan perwujudan tekad bersama bangsa-bangsa di dunia untuk memahami dan menemukan solusi dalam mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi, dalam perjalanan MDGs yang rencananya akan berakhir pada tahun 2015 ini, problem kemiskinan di Indonesia jauh dari kata terentaskan (Azra, 2007). Program-program yang dilaksanakan di dalamnya banyak yang tidak tepat sasaran, justru dengan adanya program itu kesenjangan si miskin dan si kaya makin lebar.
Dalam analisa ini, MDGs yang dibuat PBB sangat kental nuansanya dengan Amerika. Walaupun mengaku sebagai lembaga yang netral tetapi dilihat dari penguasaannya saja sudah jelas berada di Amerika Serikat yang kuat sistem kapitalismenya. Dari segi pendanaannya saja, kapitalisme di-support oleh lembaga keuangan internasional semacam World Bank dan IMF. Tentu hal ini sangat berimplikasi kuat terhadap negara Dunia Ketiga dan negara lainnya yang telah diberikan bantuan berupa pinjaman, termasuk di dalamnya adalah Indonesia.
Tak Bisa Mengelak dari Kapitalisme
John Galtung (1971) menyebutkan, jika kita membaca langkah perusahaan transnasional atau lembaga keuangan internasional di negara-negara Dunia Ketiga, maka penjajahan bentuk baru ini begitu tampak. Dalam penjajahan ini, hampir tak ada peluru yang ditembakkan. Melalui program-program pembangunannya, sistem kapitalisme sangat tidak cocok dalam menanggulangi masalah kemiskinan. Segala program tersebut justeru akan membuat ketimpangan semakin besar antara si kaya dan si miskin, karena pola hutang-piutang yang dihasilkannya akan membuat negara mengalami ketergantungan dengan hutang. Padahal, dalam mekanisme hutang pada lembaga keuangan konvensional pasti juga ada bunga dengan jumlah yang banyak dan terakumulasi tiap tahunnya.
Ironisnya, Indonesia dalam beberapa pengamatan mudah berbangga diri dengan kebijakan ekspor bahan mentah agar diolah di luar negeri, padahal kegiatan ini sangat merugikan si miskin karena susah memperoleh kesempatan kerja. Hingga kini, sistem semacam ini masih terpelihara dengan baik dan merupakan suatu bentuk warisan kolonialisme.
Yang lebih ironis lagi dalam sistem kapitalisme ini adalah adanya istilah “supply and demands”. Melalui kedua istilah ini, pasar dipercaya sebagai sebuah tempat untuk mengalokasikan barang-barang dan menjamu konsumen dengan service yang baik. Hingga pada akhirnya menjadi sebuah pemaksaan dari pasar sebagai mekanisme yang harus diterapkan dalam relasi sosial, semisal kebutuhan dasar publik yang dijadikan komoditas untuk diperjual-belikan seperti pendidikan dan kesehatan.
Semua barang-barang publik dijadikan komoditas. Tentu saja, bagi si kaya dapat membeli pelayanan dasar tersebut dengan cara mudah karena punya uang. Akan tetapi, kondisi ini amat berbeda bagi si miskin yang justeru akan semakin mencekik kehidupan mereka. Oscar Lewis dalam Suparlan (1995) menjelaskan bahwa kondisi semacam ini akan menimbulkan pembudayaan kemiskinan, dan membuat kemiskinan itu bertambah seiring pertambahan penduduk.
Sungguh mustahil pembangunan akan mengatasi kemiskinan tanpa disertai peningkatan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan pokok, dan peningkatan produktivitas rakyat miskin. Walaupun pemenuhan basic needs dianggap akan mengentaskan kemiskinan, tetapi yang juga penting adalah tindakan pemerintah untuk mengubah pola-pola pemilikan tanah, mengurangi investasi padat modal, mengatur perdagangan luar negeri, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan pasar dalam mempengaruhi perubahan nilai-nilai (Bayo, 1996: 37).
Memang tidak mudah merubah sistem yang kadung berjalan di Indonesia, tetapi tak ada salahnya jika dicoba. Sebab, strategi dalam pengentasan kemiskinan memang sangat dibutuhkan peran negara bukan hanya dalam bidang advokasi sosial, melainkan juga meredistribusi kekayaan dan pendapatan, dan memastikan bahwa distribusi tersebut tidak mengeksploitasi aspek lainnya. Semoga!

[1] Disampaikan dalam forum diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), Jumat, 4 Desember 2015. Tulisan ini terbit di Harian Umum Duta Masyarakat, 10 Juni 2015
[2] Akademisi Sosiologi di FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...