Senin, 30 November 2015

Selamat Hari Guru

Oleh: Libasut Taqwa, S. HI[1]

Hari ini saya menghabiskan sebagian hari di Bogor, kota yang selalu dibumbui sendunya aroma hujan. Perjalanan ke Bogor semula tak terduga, sebab kereta yang saya tumpangi ternyata tak mampu melancarkan situasi tercegat longsor di dua stasiun. Bersama seorang teman, saya yang seharusnya turun di Stasiun Universitas Indonesia (UI), harus rela meneruskan lebih dua jam perjalanan ke Bogor demi bermalam. Agak melankolis memang, tapi bagi orang yang belum punya ketetapan hidup, bermalam di rumah teman adalah salah satu karunia memantapkan silaturahmi. Setidaknya itu penyangkalan saya.

Demi mengurangi kebosanan, sebab jarak tempuh cukup jauh, kami mengobrol berbagai tema hingga hal pribadi dan latar belakang keluarga. Harus Anda sadari, di Indonesia, kita sulit menghindari soal tetek bengek itu. Di tengah jalan, teman ini bercerita tentang asal-muasal keturunannya. Dari mana ia, juga bagaimana kehidupannya. Semula tak ada yang spesial, sampai terlontar satu nama yang cukup membuat saya tertegun; Supriyadi. Bagi yang awam, nama ini tak punya kredit sama sekali. Toh banyak nama seperti itu, khususnya bagi mereka dari Jawa. Tapi bagaimana jika Supriyadi yang dimaksud adalah dia yang menjadi tokoh Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) dahulu, dan hingga sekarang misterius keberadaan serta nasibnya pasca hilang sekitar 1945? Tentu kening saya berkerut.  Awalnya, cukup sulit bagi saya menerima cerita itu sebagai satu kesatuan utuh. Tapi apa boleh buat, rupanya rencana bermalam akan menjadi semacam rihlah intelektual menarik.

Ia bercerita tentang Soepriyadi panjang-lebar, tak kurang sedikit pun dengan beberapa literatur yang saya baca. Bahkan seperti pengakuannya, ada lukisan langka Supriyadi yang ia anggap paling mirip aslinya di rumah. Tentu telah saya saksikan persis setelah tiba. Dan, eureka!, semuanya persis seperti cerita. Lalu siapa dan bagaimana hubungan Supriyadi dengannya? Baik, persisnya saya tidak ingat betul. Tapi teman saya ini Buyut dari Raden Darmadi, Bupati Blitar era kemerdekaan yang juga ayah dari Supriyadi. Menurut pengakuannya, Raden Darmadi memiliki dua istri, Supriyadi lahir dari istri pertama, sedangkan nenek dari teman saya anak Raden Darmadi dari istrinya yang kedua. Jadi, apabila pembahasan njlimet keturunannya kita tulis, maka berarti Supriyadi adalah kakak tiri dari nenek teman saya. Artinya, Raden Darmadi memiliki dua istri. Tapi karena bukan demi informasi Supriyadi saya tulis cerita ini, maka saya akan beranjak ke sesuatu yang lain. Minimal ada kaitannya dengan hari guru.

Teman ini, sebut saja Badu, hanya tinggal bertiga dengan Ibu dan neneknya. Tidak mungkin saya bahas detail mengapa dan bagaimana sampai mereka hanya bertiga sebab tak ada sedikit pun kepentingan saya akan itu. Karena keturunan bangsawan, gaya khas rumah tempo doeloe masih terjaga. Tak ada yang berubah. Sedikit pun. Lukisan dan foto penghias ruangan gaya khas abad ke-20, ornamen klasik gaya semi Eropa yang khas, tumpukan barang-barang kuno serta dipadu kesunyian akut, membawa saya ibarat kembali ke zaman Siti Nurbaya. Seharian saya terkesima dengan kemampuannya menjaga barang-barang itu. “20 tahun lagi, barang-barang di rumahmu menjadi klasik dan sangat mahal,” Seloroh saya. ia mengangguk mengiyakannya.

Oleh karena berasal dari Blitar, kecintaan Badu pada Bung Karno menjadikan ia dan keluarganya fanatik buta terhadap proklamator ini. Didebat pun, akan sangat sia-sia. Baginya, Bung Karno Waliyullah; tentu dengan nada agak bercanda. Tapi bagi saya, ini menunjukkan betapa hormatnya ia kepada Bung Karno. Di luar itu, riwayat kakek-neneknya yang memiliki hubungan khusus dengan Bung Karno cukup membuat Badu menjadi serba mutlak.

Siang menjelang pergi, saya diajak berkeliling rumah dan berbincang sedikit hal tentang hidupnya. Saya cukup menjaga diri, sebab saya jarang bertemu model kehidupan seperti ini. Saat akan berpamitan, Badu memaksa agar sebelumnya berkenalan dengan neneknya. Tinggal di bagian belakang rumah, dengan kamar sekitar 4 x 3 meter, sosok wanita sepuh dengan semangat menyambut saya. Ia masih ingat betul 1931 sebagai tahun lahirnya. “ini ada teman mau tanya-tanya tentang Supriyadi”, ucap Badu disambut senyum neneknya. “mengapa tertarik dengan Supriyadi?” sergap si Nenek pada saya. Saya hanya terdiam, ibarat dijejali sepatu tentara tepat di bagian rahang. Dengan tatapan mata nanar, saya yakin betul waktu belum mengalahkan mantan guru Bahasa Jerman ini. “Nak, tertariknya pada studi apa?” saya masih saja terdiam. Untuk mencairkan suasana Badu seringkali menimpali jawaban yang seharusnya tanggung jawab saya. Mungkin terlihat berlebihan. Mengapa pertanyaan-pertanyaan ringan seperti itu tak mampu saya jawab. tapi pembaca, bagaimana mampu lidah ini menjawab pertanyaan di hadapan seseorang yang dikelilingi buku 4 bahasa dengan varian bacaan cukup berat? Kamarnya dikelilingi buku-buku berbahasa Jawa, Inggris, Indonesia, Jerman, dan Belanda. Dan anda tahu, hampir semuanya berkaitan dengan politik  kelas berat. Tak ayal, nenek yang dulunya ternyata juga aktivis Politik era Bung Karno dan Pak Harto ini punya pemahaman cukup luas dan dalam. Diskusi berakhir searah, terlebih dengan ciri kejujuran intelektualnya yang patut saya hormati. “Libas ini sukanya politik dan sejarah, Nek”, Ucap Badu. “sukanya Politik apa, kalau tahu arah politiknya, kan bisa kebaca tuh, arahnya kemana, tujuannya apa, bisa kita tangkap?!” jawab si nenek. “saya fokusnya Timur Tengah, Bu”, jawab saya. “oh, kalau itu saya tidak tahu, saya tidak belajar jika Timur Tengah, ada memang bayangan-bayangannya, tapi saya tidak tahu”, timpalnya. Bayangkan, 84 tahun, dengan logat asing persis penutur aslinya, mencemooh mahasiswa era 90-an. “saya harus segera pamit”, gumam saya. Nenek itu masih segar-bugar. Ingatan-ingatannya akan masa lalu cukup jelas. Tidak hanya perihal pendidikan tapi jauh ke arah politik. Karena hampir terpojok, Saya pun mengalihkan pembicaraan, “Bu, kenapa dulu anak sekolah mampu menguasai bahasa asing dengan baik?” Jawabannya bisa ditebak. “praktik, dulu kita praktik tidak teori saja, jadi bisa dan lancar.” Jawabnya. Penjelasan-penjelasannya syarat akan metafora kelas tinggi, sebagaimana kebiasaan pelajar dan tokoh bangsa di masa lalu “bahasa Inggris itu lebih sulit, kita pegang kepalanya, ekornya masih kemana-mana, berbeda dengan Bahasa Jerman, kita pegang kepalanya, kita kuasai ia”. Betul-betul ciri pendidik pedagogis. Model seperti inilah yang musti diajarkan para guru masa sekarang, saat merdeka kian dirundung tua. Setiap yang dipelajari harus diantar oleh pamahaman filosofis dahulu. Tanpa itu, ibarat membangun rumah di daun talas.  Ingat, masa pendidikan saat itu yang walaupun lahir dari rahim kolonialisme tapi serat akan makna dan pergaulan intelektual. Masa itu adalah masa di mana seorang guru, adalah juga aktivis politik. Mereka yang dituntut tidak hanya tahu tetek bengek administrasi saja, tapi membaca pergaulan hidup dunia.  Masa di mana di bawah ketertindasan, mereka mampu menguasai berbagai bahasa dengan sempurna. Masa itu adalah masa di mana Individualisme berarti kebebasan individu untuk berpihak dan menentukan pilihan, bukan kepentingan individu. Masa di mana kita merdeka sebagai manusia, sebab itu adalah hak hakiki yang harus dimiliki masing-masing orang. Indonesia Belajar Institut (IBI), kalau ada kesempatan, agendakan berkunjung dan belajar, ia tak segan-segan memberikan buku. Anyway, selamat hari guru!  


[1] Mahasiswa Magister Hubungan Internasional, Universitas Indonesia (UI) Depok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...