Oleh: Libasut Taqwa, S. HI[1]
Hari ini saya menghabiskan sebagian
hari di Bogor, kota yang selalu dibumbui sendunya aroma hujan. Perjalanan ke
Bogor semula tak terduga, sebab kereta yang saya tumpangi ternyata tak mampu
melancarkan situasi tercegat longsor di dua stasiun. Bersama seorang teman,
saya yang seharusnya turun di Stasiun Universitas Indonesia (UI), harus rela
meneruskan lebih dua jam perjalanan ke Bogor demi bermalam. Agak melankolis
memang, tapi bagi orang yang belum punya ketetapan hidup, bermalam di rumah teman
adalah salah satu karunia memantapkan silaturahmi. Setidaknya itu penyangkalan
saya.
Demi mengurangi kebosanan, sebab
jarak tempuh cukup jauh, kami mengobrol berbagai tema hingga hal pribadi dan
latar belakang keluarga. Harus Anda sadari, di Indonesia, kita sulit
menghindari soal tetek bengek itu. Di tengah jalan, teman ini bercerita tentang
asal-muasal keturunannya. Dari mana ia, juga bagaimana kehidupannya. Semula tak
ada yang spesial, sampai terlontar satu nama yang cukup membuat saya tertegun;
Supriyadi. Bagi yang awam, nama ini tak punya kredit sama sekali. Toh banyak
nama seperti itu, khususnya bagi mereka dari Jawa. Tapi bagaimana jika
Supriyadi yang dimaksud adalah dia yang menjadi tokoh Pemberontakan Pembela
Tanah Air (PETA) dahulu, dan hingga sekarang misterius keberadaan serta nasibnya
pasca hilang sekitar 1945? Tentu kening saya berkerut. Awalnya, cukup sulit bagi saya menerima cerita
itu sebagai satu kesatuan utuh. Tapi apa boleh buat, rupanya rencana bermalam
akan menjadi semacam rihlah intelektual menarik.
Ia bercerita tentang Soepriyadi
panjang-lebar, tak kurang sedikit pun dengan beberapa literatur yang saya baca.
Bahkan seperti pengakuannya, ada lukisan langka Supriyadi yang ia anggap paling
mirip aslinya di rumah. Tentu telah saya saksikan persis setelah tiba. Dan,
eureka!, semuanya persis seperti cerita. Lalu siapa dan bagaimana hubungan
Supriyadi dengannya? Baik, persisnya saya tidak ingat betul. Tapi teman saya
ini Buyut dari Raden Darmadi, Bupati Blitar era kemerdekaan yang juga ayah dari
Supriyadi. Menurut pengakuannya, Raden Darmadi memiliki dua istri, Supriyadi
lahir dari istri pertama, sedangkan nenek dari teman saya anak Raden Darmadi
dari istrinya yang kedua. Jadi, apabila pembahasan njlimet keturunannya
kita tulis, maka berarti Supriyadi adalah kakak tiri dari nenek teman saya.
Artinya, Raden Darmadi memiliki dua istri. Tapi karena bukan demi informasi
Supriyadi saya tulis cerita ini, maka saya akan beranjak ke sesuatu yang lain.
Minimal ada kaitannya dengan hari guru.
Teman ini, sebut saja Badu, hanya
tinggal bertiga dengan Ibu dan neneknya. Tidak mungkin saya bahas detail
mengapa dan bagaimana sampai mereka hanya bertiga sebab tak ada sedikit pun
kepentingan saya akan itu. Karena keturunan bangsawan, gaya khas rumah tempo
doeloe masih terjaga. Tak ada yang berubah. Sedikit pun. Lukisan dan foto penghias
ruangan gaya khas abad ke-20, ornamen klasik gaya semi Eropa yang khas,
tumpukan barang-barang kuno serta dipadu kesunyian akut, membawa saya ibarat
kembali ke zaman Siti Nurbaya. Seharian saya terkesima dengan kemampuannya
menjaga barang-barang itu. “20 tahun lagi, barang-barang di rumahmu menjadi
klasik dan sangat mahal,” Seloroh saya. ia mengangguk mengiyakannya.
Oleh karena berasal dari Blitar,
kecintaan Badu pada Bung Karno menjadikan ia dan keluarganya fanatik buta terhadap
proklamator ini. Didebat pun, akan sangat sia-sia. Baginya, Bung Karno Waliyullah;
tentu dengan nada agak bercanda. Tapi bagi saya, ini menunjukkan betapa
hormatnya ia kepada Bung Karno. Di luar itu, riwayat kakek-neneknya yang
memiliki hubungan khusus dengan Bung Karno cukup membuat Badu menjadi serba
mutlak.
Siang menjelang pergi, saya diajak
berkeliling rumah dan berbincang sedikit hal tentang hidupnya. Saya cukup
menjaga diri, sebab saya jarang bertemu model kehidupan seperti ini. Saat akan
berpamitan, Badu memaksa agar sebelumnya berkenalan dengan neneknya. Tinggal di
bagian belakang rumah, dengan kamar sekitar 4 x 3 meter, sosok wanita sepuh
dengan semangat menyambut saya. Ia masih ingat betul 1931 sebagai tahun lahirnya.
“ini ada teman mau tanya-tanya tentang Supriyadi”, ucap Badu disambut senyum
neneknya. “mengapa tertarik dengan Supriyadi?” sergap si Nenek pada saya. Saya
hanya terdiam, ibarat dijejali sepatu tentara tepat di bagian rahang. Dengan
tatapan mata nanar, saya yakin betul waktu belum mengalahkan mantan guru Bahasa
Jerman ini. “Nak, tertariknya pada studi apa?” saya masih saja terdiam. Untuk
mencairkan suasana Badu seringkali menimpali jawaban yang seharusnya tanggung
jawab saya. Mungkin terlihat berlebihan. Mengapa pertanyaan-pertanyaan ringan
seperti itu tak mampu saya jawab. tapi pembaca, bagaimana mampu lidah ini
menjawab pertanyaan di hadapan seseorang yang dikelilingi buku 4 bahasa dengan
varian bacaan cukup berat? Kamarnya dikelilingi buku-buku berbahasa Jawa,
Inggris, Indonesia, Jerman, dan Belanda. Dan anda tahu, hampir semuanya
berkaitan dengan politik kelas berat.
Tak ayal, nenek yang dulunya ternyata juga aktivis Politik era Bung Karno dan
Pak Harto ini punya pemahaman cukup luas dan dalam. Diskusi berakhir searah,
terlebih dengan ciri kejujuran intelektualnya yang patut saya hormati. “Libas
ini sukanya politik dan sejarah, Nek”, Ucap Badu. “sukanya Politik apa, kalau
tahu arah politiknya, kan bisa kebaca tuh, arahnya kemana, tujuannya
apa, bisa kita tangkap?!” jawab si nenek. “saya fokusnya Timur Tengah, Bu”,
jawab saya. “oh, kalau itu saya tidak tahu, saya tidak belajar jika
Timur Tengah, ada memang bayangan-bayangannya, tapi saya tidak tahu”,
timpalnya. Bayangkan, 84 tahun, dengan logat asing persis penutur aslinya,
mencemooh mahasiswa era 90-an. “saya harus segera pamit”, gumam saya. Nenek itu
masih segar-bugar. Ingatan-ingatannya akan masa lalu cukup jelas. Tidak hanya
perihal pendidikan tapi jauh ke arah politik. Karena hampir terpojok, Saya pun
mengalihkan pembicaraan, “Bu, kenapa dulu anak sekolah mampu menguasai bahasa
asing dengan baik?” Jawabannya bisa ditebak. “praktik, dulu kita praktik tidak
teori saja, jadi bisa dan lancar.” Jawabnya. Penjelasan-penjelasannya syarat
akan metafora kelas tinggi, sebagaimana kebiasaan pelajar dan tokoh bangsa di
masa lalu “bahasa Inggris itu lebih sulit, kita pegang kepalanya, ekornya masih
kemana-mana, berbeda dengan Bahasa Jerman, kita pegang kepalanya, kita kuasai
ia”. Betul-betul ciri pendidik pedagogis. Model seperti inilah yang musti
diajarkan para guru masa sekarang, saat merdeka kian dirundung tua. Setiap yang
dipelajari harus diantar oleh pamahaman filosofis dahulu. Tanpa itu, ibarat
membangun rumah di daun talas. Ingat,
masa pendidikan saat itu yang walaupun lahir dari rahim kolonialisme tapi serat
akan makna dan pergaulan intelektual. Masa itu adalah masa di mana seorang
guru, adalah juga aktivis politik. Mereka yang dituntut tidak hanya tahu tetek
bengek administrasi saja, tapi membaca pergaulan hidup dunia. Masa di mana di bawah ketertindasan, mereka
mampu menguasai berbagai bahasa dengan sempurna. Masa itu adalah masa di mana
Individualisme berarti kebebasan individu untuk berpihak dan menentukan pilihan,
bukan kepentingan individu. Masa di mana kita merdeka sebagai manusia, sebab
itu adalah hak hakiki yang harus dimiliki masing-masing orang. Indonesia
Belajar Institut (IBI), kalau ada kesempatan, agendakan berkunjung dan
belajar, ia tak segan-segan memberikan buku. Anyway, selamat hari guru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...