Senin, 09 November 2015

Fikih Sosial Kiai Sahal; Antara Liberalisme dan Fundamentalisme[1]

Oleh : Muhammad Najid Aufar[2]
Nama KH. MA. Sahal Mahfudh (alm.) di kalangan warga Nahdliyin mungkin sudah sangat familiar. Bagaimana tidak, Kiai Sahal menjabat Rais ‘Am (Jabatan tertinggi di NU) selama hampir 15 tahun (dari tahun 1999 sampai wafat, tahun 2014). Selain itu, kiai yang lahir pada 17 Desember 1937 ini juga dikenal di kalangan akademisi dengan berbagai karyanya, baik karya tertulis maupun karya sosialnya. Di antara karya tulis beliau adalah Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994 dan 2007), Pesantren Mencari Makna (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), Wajah Baru Fiqh Pesantren (Jakarta: Citra Pustaka, 2004, dan Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh: Telaah Fikih Sosial (Semarang: Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997).
Meskipun banyak karya yang beliau hasilkan, kiai yang menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) ini dikenal sebagai penggagas Fiqih Sosial. Bahkan beliau dalam pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menyampaikan pidato dengan judul FIQH SOSIAL: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji.

Nuansa Fikih Sosial
Setiap pemikiran tidak akan muncul di ruang hampa. Ia muncul sebagai refleksi atas kondisi sosial yang melingkupinya. Sebegitu besar pengaruh kondisi sosial atas suatu pemikiran, maka wajar kalau pemikiran adalah produk dari zamannya. Dalam arti, pemikiran merupakan buah hasil dari pergumulan kondisi sosial di mana pemikiran itu dilahirkan.

Namun di sisi lain, pemikiran dapat melahirkan suatu kondisi sosial yang baru. Suatu pemikiran menjadi dasar pijakan dalam melakukan perubahan atau transformasi sosial. Maka sebenarnya hubungan antara realita dengan sebuah ide adalah saling mempengaruhi satu sama lain. Realitas (kondisi sosial) mempengaruhi sebuah ide dan ide pun dapat membentuk suatu realitas yang baru.

Kiai Sahal sebagai sosok yang dilahirkan, dibesarkan, dan hidup di lingkungan pesantren hingga wafatnya, melihat kondisi kajian pesantren semakin jauh dari harapan. Kajian pesantren, khususnya di Kajen Pati tempat tinggal Kiai Sahal, terkesan stagnan, formalis, dan final. Bahtsul Masail yang diharapkan menjadi wahana kajian fiqih secara kontekstual menjadi wahana kajian yang mengukuhkan otoritas teks fiqih atas realitas tertentu. Kondisi ini membuat banyak kalangan, khususnya para modernis, menganggap apa yang dipelajari di pesantren sudah ketinggalan zaman dan tidak mampu tantangan zaman. Hal ini membuat Kiai Sahal dengan segenap kemampuan keilmuwan yang dipelajari di pesantren serta pengalaman dalam berorganisasi merumuskan suatu fiqih yang dapat merespon dunia yang terus mengalami perubahan.

Fiqih gagasan Kiai Sahal ini yang kita kenal dengan fiqih sosial. Fikih yang melakukan lompatan pemikiran yang tajam dan cepat atas fikih pesantren yang mainstream. Fikih ini tidak hanya mengadopsi konsep kemaslahatan umum yang mantap, tetapi juga mengenalkan teori-teori sosial dalam kajian fiqih serta mengadopsi kajian filsafat dalam merespons aspek sosial dan budaya.

Fikih dalam tradisi Islam memang lah lebih dominan daripada konteks teologi. Berbeda dalam tradisi Kristen yang lebih mengedepankan tradisi teologinya. Karena itulah Kiai Sahal dalam memulai gerakannya untuk membawa masyarakat, khususnya umat Islam, menuju lebih baik dengan melakukan perubahan serta pengembangan dalam bidang fiqih.

Fikih dalam hal ini, menurut Kiai Sahal, mempunyai pengertian sebagai ilmu tentang hukum-hukum Allah yang bersifat praktis (amaliyyah). Menurut Kiai Sahal, fiqih memang tumbuh dan berkembang secara kuat dalam tradisi umat Islam karena memang pada sejarahnya, Islam saat di Madinah selain menjadi agama juga berkembang menjadi sebuah negara. Sehingga dalam prosesnya, negara tersebut membutuhkan instrumen hukum untuk mengatur masyarakatnya.

Setelah nabi wafat pun permasalahan yang muncul pun cenderung sosial keagamaan yang bersifat praktis, sehingga butuh untuk diberikan solusi dengan legalitas dari agama. Namun dalam berjalannya waktu, fiqih menjadi salah satu keilmuwan Islam yang bersifat formalistik. Sifat formalistik ini mengakibatkan banyak yang melakukan manipulasi atas fiqih tersebut. Padahal fiqih yang tidak mengindahkan etik ini ditentang oleh al-Ghazali.

Paradigma formalistik ini hingga ke pesantren dan kiai-kiai-nya. Oleh Kiai Sahal yang telah bertemu dengan berbagai keilmuwan modern serta kedalaman ilmu agamanya, ingin diubah melalui Fiqih Sosial-nya; yakni fiqih yang tidak hanya berbicara tentang halal-haram yang kental unsur individualnya, namun fiqih yang berfungsi sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis, baik yang bersifat individual maupun sosial.

Fiqih sosial ini memiliki 5 (lima) ciri utama yang menonjol. Pertama, interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Dua, perubahan pola dalam bermazhab, dari bermazhab secara qauliy (tekstual) menjadi bermazhab secara manhajiy (metodologis). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang dasar (ushul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, menghadirkan fiqih sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya.

Pada kesempatan kali ini, penulis hanya memfokuskan pada ciri utama yang pertama yakni interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Yang dimaksudkan di sini adalah usaha untuk memahami teks fikih agar sesuai dengan konteks (ruang dan waktu) yang dihadapi fiqih tersebut. Untuk memahami konteks yang dihadapi, diperlukan ilmu-ilmu sosial yang banyak dikembangkan oleh bukan dari kalangan internal Islam.

Pada titik ini, di sinilah keunikan pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dibandingkan dengan pemikiran para kiai yang lain. Meskipun pada awalnya pemikiran beliau banyak yang menentang, bahkan hingga dituduh sebagai agen zionis, namun pada akhirnya perlahan-lahan pemikirannya diterima oleh para kiai dan dunia pesantren. Beliau tidak hanya menggunakan keilmuwan dalam tradisi Islam, namun juga mengakomodir keilmuwan dari tradisi keilmuwan lain. Perpaduan antara dimensi uluhiyyah dan dimensi dunyawiyyah sebagaimana dimensi yang ada dalam fiqih menurut Kiai Sahal.

Fiqih Sosial dan Transformasi Masyarakat
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan di dunia sejalan dengan perubahan dalam teknologi dan sistem ekonomi serta sendi-sendi kehidupan lainnya. Perubahan sosial ini menuntut adanya suatu panduan rohaniah yang memiliki relevansi yang kuat serta keterkaitan dengan masalah yang akan terus menerus muncul seiring perubahan nilai dan budaya yang ada.

Dalam pandangan Kiai Sahal, fiqih akan ditinggalkan oleh para pengikutnya jika hanya berwatak formalistik dan tidak menyentuh esensi permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. Akibatnya, masyarakat akan semakin jauh dari nilai-nilai transendental dan menjadikannya berwatak serta bersikap sekuler. Sikap ini dalam kenyataannya tidak menemukan kesejahteraan hakiki.

Islam, menurut Kiai Sahal, merumuskan bahwa hidup adalah amanat yang harus digunakan untuk pencapaian sa'adah al-darain (kesejahteraan dunia dan akhirat). Tujuan pemenuhan kebutuhan spiritual jelas menjadi tujuan utama dalam mencapai kesejahteraan di akhirat, karena kesejahteraan akhirat yang bersifat kekal hanya dapat diperoleh melalui pemenuhan kebutuhan spiritual. Namun di sisi lain, manusia juga melewati kondisi sosial yang ada di dunia, yang pada akhirnya juga membutuhkan kesejahteraan yang ada di dunia. Maka kehidupan dunia yang sepenuhnya bersifat temporer dan maya berhubungan secara integratif dan kausatif dengan kebahagiaan ukhrawi yang kekal dan hakiki. Hal ini seolah-olah bersifat kontradiktif, namun pada hakikatnya tidaklah demikian, karena untuk mencapai akhirat haruslah melalui dunia. Dunia adalah ladang akhirat.

Salah satu kesejahteraan di dunia adalah tentang perekonomian rakyat. Fikih sosial Kiai Sahal pun lahir dari pergulatan aktif beliau memberdayakan ekonomi masyarakat Kajen dan sekitarnya yang tergolong dalam masyarakat miskin. Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, Kiai Sahal membentuk kerja tim yang berbasis kompetensi dan profesional untuk menggerakkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ketrampilan hidup dan memulai usaha-usaha produktif. Proses pemberdayaan ini pun langsung dipimpin oleh Kiai Sahal dengan jiwa kepemimpinan yang efektif.

Gerakan pemberdayaan Kiai Sahal ini benar-benar bersumber dari teks-teks fiqih yang beliau pelajari dengan berdasarkan maqasid syariah (tujuan aplikasi syariat), bukan dari pemikiran yang profan semata. Hal ini sebagaimana keyakinan beliau atas fiqih sebagai ilmu yang tidak hanya mengandung dimensi Ketuhanan saja melainkan juga dimensi kemanusiaan.

Gerakan ini membawa sukses dalam mengubah kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat menjadi kondisi yang makmur, sejahtera, produktif, dan kompetitif. Tentunya dimensi spiritual juga tidak terlepas dari masyarakat Kajen dan sekitarnya.

Antara Liberalisme dan Fundamentalisme
Pemikiran Kiai Sahal dalam hal ini menjadi penengah antara pemahaman Islam yang liberal dan pemahaman yang fundamental. Di mana liberalisme dengan gampang melakukan dekonstruksi atas tradisi peninggalan pendahulu untuk ditinggalkan serta diganti dengan tradisi barat murni. Sedangkan fundamentalisme, terlalu kuat memegang tradisi dan tidak mau mengadopsi keilmuwan baru.

Kiai Sahal berhasil dalam menggabungkan unsur sakral dan profan dalam sebuah bangunan pemikiran yang dikenal dengan Fiqih Sosial.

Allahu A’lam


[1] Disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi, Jumat, 07 November 2015
[2] Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...