Oleh : Muhammad Najid Aufar[2]
Nama KH. MA. Sahal Mahfudh (alm.) di kalangan
warga Nahdliyin mungkin sudah sangat familiar. Bagaimana tidak, Kiai Sahal
menjabat Rais ‘Am (Jabatan tertinggi di NU) selama hampir 15 tahun (dari tahun
1999 sampai wafat, tahun 2014). Selain itu, kiai yang lahir pada 17 Desember
1937 ini juga dikenal di kalangan akademisi dengan berbagai karyanya, baik
karya tertulis maupun karya sosialnya. Di antara karya tulis beliau adalah Nuansa
Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994 dan 2007), Pesantren Mencari Makna
(Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), Wajah Baru Fiqh Pesantren (Jakarta: Citra
Pustaka, 2004, dan Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh: Telaah Fikih Sosial
(Semarang: Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997).
Meskipun banyak karya yang beliau hasilkan,
kiai yang menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) ini
dikenal sebagai penggagas Fiqih Sosial. Bahkan beliau dalam pengukuhan gelar
Doktor Honoris Causa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
menyampaikan pidato dengan judul FIQH SOSIAL: Upaya Pengembangan Madzhab
Qauli dan Manhaji.
Nuansa Fikih Sosial
Setiap pemikiran tidak akan muncul di ruang
hampa. Ia muncul sebagai refleksi atas kondisi sosial yang melingkupinya.
Sebegitu besar pengaruh kondisi sosial atas suatu pemikiran, maka wajar kalau
pemikiran adalah produk dari zamannya. Dalam arti, pemikiran merupakan buah
hasil dari pergumulan kondisi sosial di mana pemikiran itu dilahirkan.
Namun di sisi lain, pemikiran dapat melahirkan
suatu kondisi sosial yang baru. Suatu pemikiran menjadi dasar pijakan dalam
melakukan perubahan atau transformasi sosial. Maka sebenarnya hubungan antara
realita dengan sebuah ide adalah saling mempengaruhi satu sama lain. Realitas
(kondisi sosial) mempengaruhi sebuah ide dan ide pun dapat membentuk suatu
realitas yang baru.
Kiai Sahal sebagai sosok yang dilahirkan,
dibesarkan, dan hidup di lingkungan pesantren hingga wafatnya, melihat kondisi
kajian pesantren semakin jauh dari harapan. Kajian pesantren, khususnya di
Kajen Pati tempat tinggal Kiai Sahal, terkesan stagnan, formalis, dan final. Bahtsul
Masail yang diharapkan menjadi wahana kajian fiqih secara kontekstual
menjadi wahana kajian yang mengukuhkan otoritas teks fiqih atas realitas
tertentu. Kondisi ini membuat banyak kalangan, khususnya para modernis,
menganggap apa yang dipelajari di pesantren sudah ketinggalan zaman dan tidak
mampu tantangan zaman. Hal ini membuat Kiai Sahal dengan segenap kemampuan
keilmuwan yang dipelajari di pesantren serta pengalaman dalam berorganisasi
merumuskan suatu fiqih yang dapat merespon dunia yang terus mengalami
perubahan.
Fiqih gagasan Kiai Sahal ini yang kita kenal
dengan fiqih sosial. Fikih yang melakukan lompatan pemikiran yang tajam dan
cepat atas fikih pesantren yang mainstream. Fikih ini tidak hanya
mengadopsi konsep kemaslahatan umum yang mantap, tetapi juga mengenalkan
teori-teori sosial dalam kajian fiqih serta mengadopsi kajian filsafat dalam
merespons aspek sosial dan budaya.
Fikih dalam tradisi Islam memang lah lebih
dominan daripada konteks teologi. Berbeda dalam tradisi Kristen yang lebih
mengedepankan tradisi teologinya. Karena itulah Kiai Sahal dalam memulai
gerakannya untuk membawa masyarakat, khususnya umat Islam, menuju lebih baik
dengan melakukan perubahan serta pengembangan dalam bidang fiqih.
Fikih dalam hal ini, menurut Kiai Sahal,
mempunyai pengertian sebagai ilmu tentang hukum-hukum Allah yang bersifat
praktis (amaliyyah). Menurut Kiai Sahal, fiqih memang tumbuh dan
berkembang secara kuat dalam tradisi umat Islam karena memang pada sejarahnya,
Islam saat di Madinah selain menjadi agama juga berkembang menjadi sebuah
negara. Sehingga dalam prosesnya, negara tersebut membutuhkan instrumen hukum
untuk mengatur masyarakatnya.
Setelah nabi wafat pun permasalahan yang muncul
pun cenderung sosial keagamaan yang bersifat praktis, sehingga butuh untuk
diberikan solusi dengan legalitas dari agama. Namun dalam berjalannya waktu, fiqih
menjadi salah satu keilmuwan Islam yang bersifat formalistik. Sifat formalistik
ini mengakibatkan banyak yang melakukan manipulasi atas fiqih tersebut. Padahal
fiqih yang tidak mengindahkan etik ini ditentang oleh al-Ghazali.
Paradigma formalistik ini hingga ke pesantren
dan kiai-kiai-nya. Oleh Kiai Sahal yang telah bertemu dengan berbagai keilmuwan
modern serta kedalaman ilmu agamanya, ingin diubah melalui Fiqih Sosial-nya; yakni
fiqih yang tidak hanya berbicara tentang halal-haram yang kental unsur individualnya,
namun fiqih yang berfungsi sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas
permasalahan kehidupan praktis, baik yang bersifat individual maupun sosial.
Fiqih sosial ini memiliki 5 (lima) ciri utama
yang menonjol. Pertama, interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Dua,
perubahan pola dalam bermazhab, dari bermazhab secara qauliy (tekstual)
menjadi bermazhab secara manhajiy (metodologis). Ketiga, verifikasi
mendasar mana ajaran yang dasar (ushul) dan mana yang cabang (furu’).
Keempat, menghadirkan fiqih sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif
negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam
masalah sosial dan budaya.
Pada kesempatan kali ini, penulis hanya
memfokuskan pada ciri utama yang pertama yakni interpretasi teks-teks fiqih
secara kontekstual. Yang dimaksudkan di sini adalah usaha untuk memahami teks
fikih agar sesuai dengan konteks (ruang dan waktu) yang dihadapi fiqih
tersebut. Untuk memahami konteks yang dihadapi, diperlukan ilmu-ilmu sosial
yang banyak dikembangkan oleh bukan dari kalangan internal Islam.
Pada titik ini, di sinilah keunikan pemikiran
KH. MA. Sahal Mahfudh dibandingkan dengan pemikiran para kiai yang lain.
Meskipun pada awalnya pemikiran beliau banyak yang menentang, bahkan hingga
dituduh sebagai agen zionis, namun pada akhirnya perlahan-lahan pemikirannya diterima
oleh para kiai dan dunia pesantren. Beliau tidak hanya menggunakan keilmuwan
dalam tradisi Islam, namun juga mengakomodir keilmuwan dari tradisi keilmuwan
lain. Perpaduan antara dimensi uluhiyyah dan dimensi dunyawiyyah
sebagaimana dimensi yang ada dalam fiqih menurut Kiai Sahal.
Fiqih Sosial dan Transformasi Masyarakat
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan
dalam kehidupan di dunia sejalan dengan perubahan dalam teknologi dan sistem
ekonomi serta sendi-sendi kehidupan lainnya. Perubahan sosial ini menuntut
adanya suatu panduan rohaniah yang memiliki relevansi yang kuat serta
keterkaitan dengan masalah yang akan terus menerus muncul seiring perubahan
nilai dan budaya yang ada.
Dalam pandangan Kiai Sahal, fiqih akan
ditinggalkan oleh para pengikutnya jika hanya berwatak formalistik dan tidak
menyentuh esensi permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. Akibatnya,
masyarakat akan semakin jauh dari nilai-nilai transendental dan menjadikannya
berwatak serta bersikap sekuler. Sikap ini dalam kenyataannya tidak menemukan
kesejahteraan hakiki.
Islam, menurut Kiai Sahal, merumuskan bahwa
hidup adalah amanat yang harus digunakan untuk pencapaian sa'adah al-darain
(kesejahteraan dunia dan akhirat). Tujuan pemenuhan kebutuhan spiritual jelas
menjadi tujuan utama dalam mencapai kesejahteraan di akhirat, karena
kesejahteraan akhirat yang bersifat kekal hanya dapat diperoleh melalui
pemenuhan kebutuhan spiritual. Namun di sisi lain, manusia juga melewati
kondisi sosial yang ada di dunia, yang pada akhirnya juga membutuhkan
kesejahteraan yang ada di dunia. Maka kehidupan dunia yang sepenuhnya bersifat
temporer dan maya berhubungan secara integratif dan kausatif dengan kebahagiaan
ukhrawi yang kekal dan hakiki. Hal ini seolah-olah bersifat kontradiktif, namun
pada hakikatnya tidaklah demikian, karena untuk mencapai akhirat haruslah
melalui dunia. Dunia adalah ladang akhirat.
Salah satu kesejahteraan di dunia adalah
tentang perekonomian rakyat. Fikih sosial Kiai Sahal pun lahir dari pergulatan
aktif beliau memberdayakan ekonomi masyarakat Kajen dan sekitarnya yang
tergolong dalam masyarakat miskin. Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat,
Kiai Sahal membentuk kerja tim yang berbasis kompetensi dan profesional untuk
menggerakkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ketrampilan hidup dan memulai
usaha-usaha produktif. Proses pemberdayaan ini pun langsung dipimpin oleh Kiai
Sahal dengan jiwa kepemimpinan yang efektif.
Gerakan pemberdayaan Kiai Sahal ini benar-benar
bersumber dari teks-teks fiqih yang beliau pelajari dengan berdasarkan maqasid
syariah (tujuan aplikasi syariat), bukan dari pemikiran yang profan semata.
Hal ini sebagaimana keyakinan beliau atas fiqih sebagai ilmu yang tidak hanya
mengandung dimensi Ketuhanan saja melainkan juga dimensi kemanusiaan.
Gerakan ini membawa sukses dalam mengubah
kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat menjadi kondisi yang makmur,
sejahtera, produktif, dan kompetitif. Tentunya dimensi spiritual juga tidak
terlepas dari masyarakat Kajen dan sekitarnya.
Antara Liberalisme dan Fundamentalisme
Pemikiran Kiai Sahal dalam hal ini menjadi
penengah antara pemahaman Islam yang liberal dan pemahaman yang fundamental. Di
mana liberalisme dengan gampang melakukan dekonstruksi atas tradisi peninggalan
pendahulu untuk ditinggalkan serta diganti dengan tradisi barat murni.
Sedangkan fundamentalisme, terlalu kuat memegang tradisi dan tidak mau mengadopsi
keilmuwan baru.
Kiai Sahal berhasil dalam menggabungkan unsur
sakral dan profan dalam sebuah bangunan pemikiran yang dikenal dengan Fiqih
Sosial.
Allahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...