Kamis, 29 Oktober 2015

Hari Santri; Antara Esensi Dan Sensasi*

Oleh: Marlaf Sucipto
Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres), tertanggal 15 Oktober 2015, terkait penetapan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015.

Hari Santri Nasional, jelas disuarakan oleh organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama’ (NU). Ormas terbesar pertama ini menghendaki penetapan Hari Santri agar negara mau mengakui peran santri dalam memperjuangkan kemerdekaan di republik. Penetapan Hari Santri, 22 Oktober, mengacu kepada waktu saat digelorakannya Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asyari (1875-1947) pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad ini kemudian yang dianggap menjadi cikal-bakal lahirnya gerakan melawan Belanda yang ingin kembali menjajah melalui tentara Nederlandsch IndiĆ« Civil Administratie (NICA) pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya dengan komando kondangnya bernama Sutomo—Bung Tomo, (1920-1981). 10 November ini kemudian kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Apa motif di balik diusulkannya Hari Santri? Apa hubungannya dengan resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari? Pesantren yang saya tahu, rata-rata mengajarkan untuk tidak memperjuangkan peng-AKU-an, untuk tidak terjebak apalagi memperjuangkan secara mati-matian atas hal yang tersurat. Tapi lebih kepada, memperjuangkan yang tersirat, berjuang untuk kebermanfaatan tanpa menjadikan peng-AKU-an sebagai keharusan, apalagi tujuan dari sebuah perjuangan. Dalam hal ini, NU terkesan “menodong” Jokowi untuk segera mengesahkan Hari Santri. Gool dari di-sah-kannya Hari Santri, ya, peng-AKU-an. Menurut saya, di-AKU-i atau tidak, eksistensi santri dan perjuangannya akan tetap diakui, setidaknya dalam catatan ke-Tuhan-an yang abadi. Santri ketika tindak-tinduknya kemudian hanya untuk mendapatkan sebuah peng-AKU-an, di situ tingkat muru’ah-nya telah mengalami degradasi.

Mestinya, NU memiliki sikap yang bijak sejak tahu ada ormas seperti Muhammadiyah yang menolak ditetapkannya Hari Santri. Langkahnya bijaknya apa? NU mempersilakan Jokowi untuk menarik atau tidak atas Kepres yang baru ditandatanganinya sebagai respon arif atas Muhammadiyah, bahwa NU dalam mengusulkan ditetapkannya Hari Santri, tidak semata untuk sebuah peng-AKU-an yang bersifat seremonial formal. Tapi sekedar mempertegas, bahwa santri juga telah turut urun angan dan turun tangan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Jika ini pilihanya, sifat muru’ah yang melakat dalam pribadi santri dapat terjaga keotentikannya.

Kemudian, jika maksudnya ingin mengenang perjuangan orang-orang Pesantren, mulai dari keterlibatan kiai sampai santri, kenapa kok tidak mengatasnamakan hari pesantren nasional? Karena santri hanya satu entitas yang berada di pesantren. Padahal yang lebih tepat menurut saya, ya, hari pesantren nasional. Karena dalam pesantren, ada kiai dan ada santri. Gerakan kiai dan santri ini kemudian menjadi gerakan kolektif tatkala atas nama pesantren. Kata “santri”, terkesan individualistik, sedangkan “pesantren” jelas kolektif.

Saat Din Syamsudin selaku tokoh Muhammadiyah menolak Hari Santri dengan narasi kongkritnya, NU malah tak memiliki narasi epistemik di balik diusulkannya Hari Santri. Penjelasan KH. Said Aqil Siradj masih “menari” di atas pribahasa umum dalam memaknai resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari sebagai rujukan ontologis di balik diusulkannya Hari Santri. Menurut Din Syamsudin, resolusi jihad malah akan mengalami degradasi saat hanya diterjemahkan atas perjuangan kaum santri. Pendapat Din jelas mengacu atas klasifikasi umat Islam ala Clifford Geerts (1926-2006); santri, abangan, dan priyai. Klasifikasi ini di-amini oleh Muhammadiyah dan ditolak oleh Agus Sunyoto dalam kapasitasnya sebagai sejarawan Nusantara dan tokoh NU. Resolusi jihad, jelas seruannya atas umat Islam tanpa pengkotak-kotakan sebagaimana klasifikasi Geerts. Sikap Muhammadiyah bisa jadi betul jika dipandang menggunakan “kecamata” Geerts, dan sikap NU juga bisa jadi betul jika spirit keber-Islam-an santri prinsipnya sama dengan ajaran Islam yang telah diteladankan Muhammad sebagai nabi.

Karena spirit perjuangan hari santri mengacu kepada resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari, maka tak cukup jika Hari Santri hanya sekedar kegiatan kirab, sholawatan, rebanaan, yasinan, tahlilan dan segala kebiasaan formal dan khasnya orang-orang perawat tradisi. Mesti juga memiliki gerakan kongkrit untuk mengusir segala bentuk penjajahan, utamanya di bidang ekonomi, yang kini sudah berlindung di balik pribahasa investasi.

Dalam hal ini, Muhammadiyah telah mampu melakukan jihad bil-konstitusi. Terbukti ada banyak Undang-Undang yang di-yudicial review ke Mahkamah Konstitusi karena diduga bertentangan dengan amanah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, Muhammadiyah telah banyak membangun sarana dan prasarana, baik dalam hal pendidikan, rumah sakit, dan lembaga-lembaga yang memiliki program pengentasan kemiskinan, yang secara kualitas dan kuantitas, jauh lebih oke ketimbang NU.

Menjadi menarik, jika NU, dengan spirit resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari, juga mampu membuat trobosan kongkrit dalam melawan segala bentuk penjajahan yang kini telah berkedok investasi. Bukan malah terus memilih berada di bawah “ketiak” pemerintah yang amat “toleran” atas konglomerat penguras aset rakyat. Apalagi di tengah pemerintahan kini yang amat gencar mengundang para “penjajah” untuk “menjajah” dan kelimpungan saat di-loby untuk perpanjangan investasi yang jelas-jelas adalah penjajahan gaya baru berkedok investasi. Seperti Freeport misalnya. Perusahaan Amerika yang berdiri di Indonesia sejak 1967 sampai detik ini, terhitung sampai tahun 2014, hanya mau membayar royalti kepada republik dari emas yang ditambang sebesar 1 persen dan 0,5 persen dari tembaga. Ini jelas tidak adil. Freeport juga enggan tunduk atas paraturan dan perundangan yang berlaku seperti UU 14/2014 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang tidak memperkenankan kegiatan ekspor bahan mentah. Juga, PP 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba pasal 7c yang mengamanatkan pembatasan kepemilikan saham asing, yakni maksimal 75 persen untuk eksplorasi dan 70 persen untuk produksi. Implikasinya, perusahaan ini harus melakukan devestasi saham. Pelanggaran ini terus berjalan sampai kini dan pemerintah seakan “kikuk” menghadapi korporasi swasta asal negara berjuluk Pamas Syam ini.

Belum lagi problem kebangsaan lain yang menuntut kita untuk mengkontekstualisasi resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari.

NU, harus mengawal ini karena sudah kadung mendemonstrasikan berikut melembagakan resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari melalui Hari Santri. Jika ke depan NU hanya terus bergelut dalam soal yasinan dan tahlilan misalnya, Hari Santri patut dicurigai hanya sebagai tumpangan para politisi untuk menarik jatah yang formalnya sekedar rebanaan dan kirab dengan biaya milyaran.

Esensi, jika NU mau menerjemahkan resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari untuk melawan segala macam bentuk penjajahan mulai di bidang ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan. Sensasi jika NU hanya mampu mengawal kegiatan kirab dan rebanaan yang diatasnamai santri.

Wallahu A’lam

*Disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 23 Oktober 2015 di Angkringan 57 Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...