Oleh: Marlaf
Sucipto
Presiden Jokowi
telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres), tertanggal 15 Oktober 2015,
terkait penetapan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015.
Hari Santri
Nasional, jelas disuarakan oleh organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama’
(NU). Ormas terbesar pertama ini menghendaki penetapan Hari Santri agar negara
mau mengakui peran santri dalam memperjuangkan kemerdekaan di republik. Penetapan
Hari Santri, 22 Oktober, mengacu kepada waktu saat digelorakannya Resolusi
Jihad oleh KH. Hasyim Asyari (1875-1947) pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad
ini kemudian yang dianggap menjadi cikal-bakal lahirnya gerakan melawan Belanda
yang ingin kembali menjajah melalui tentara Nederlandsch Indiƫ Civil
Administratie (NICA) pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya dengan komando
kondangnya bernama Sutomo—Bung Tomo, (1920-1981). 10 November ini kemudian kini
diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Apa motif di
balik diusulkannya Hari Santri? Apa hubungannya dengan resolusi jihad-nya
KH. Hasyim Asyari? Pesantren yang saya tahu, rata-rata mengajarkan untuk tidak
memperjuangkan peng-AKU-an, untuk tidak terjebak apalagi memperjuangkan secara
mati-matian atas hal yang tersurat. Tapi lebih kepada, memperjuangkan yang
tersirat, berjuang untuk kebermanfaatan tanpa menjadikan peng-AKU-an sebagai keharusan,
apalagi tujuan dari sebuah perjuangan. Dalam hal ini, NU terkesan “menodong”
Jokowi untuk segera mengesahkan Hari Santri. Gool dari di-sah-kannya
Hari Santri, ya, peng-AKU-an. Menurut saya, di-AKU-i atau tidak, eksistensi
santri dan perjuangannya akan tetap diakui, setidaknya dalam catatan
ke-Tuhan-an yang abadi. Santri ketika tindak-tinduknya kemudian hanya untuk
mendapatkan sebuah peng-AKU-an, di situ tingkat muru’ah-nya telah
mengalami degradasi.
Mestinya, NU memiliki
sikap yang bijak sejak tahu ada ormas seperti Muhammadiyah yang menolak
ditetapkannya Hari Santri. Langkahnya bijaknya apa? NU mempersilakan Jokowi
untuk menarik atau tidak atas Kepres yang baru ditandatanganinya sebagai respon
arif atas Muhammadiyah, bahwa NU dalam mengusulkan ditetapkannya Hari Santri,
tidak semata untuk sebuah peng-AKU-an yang bersifat seremonial formal. Tapi sekedar
mempertegas, bahwa santri juga telah turut urun angan dan turun tangan dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Jika ini pilihanya, sifat muru’ah yang
melakat dalam pribadi santri dapat terjaga keotentikannya.
Kemudian, jika
maksudnya ingin mengenang perjuangan orang-orang Pesantren, mulai dari
keterlibatan kiai sampai santri, kenapa kok tidak mengatasnamakan hari
pesantren nasional? Karena santri hanya satu entitas yang berada di pesantren. Padahal
yang lebih tepat menurut saya, ya, hari pesantren nasional. Karena dalam
pesantren, ada kiai dan ada santri. Gerakan kiai dan santri ini kemudian
menjadi gerakan kolektif tatkala atas nama pesantren. Kata “santri”, terkesan
individualistik, sedangkan “pesantren” jelas kolektif.
Saat Din
Syamsudin selaku tokoh Muhammadiyah menolak Hari Santri dengan narasi
kongkritnya, NU malah tak memiliki narasi epistemik di balik diusulkannya Hari
Santri. Penjelasan KH. Said Aqil Siradj masih “menari” di atas pribahasa umum dalam
memaknai resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari sebagai rujukan ontologis di
balik diusulkannya Hari Santri. Menurut Din Syamsudin, resolusi jihad malah akan
mengalami degradasi saat hanya diterjemahkan atas perjuangan kaum santri. Pendapat
Din jelas mengacu atas klasifikasi umat Islam ala Clifford Geerts (1926-2006);
santri, abangan, dan priyai. Klasifikasi ini di-amini oleh Muhammadiyah dan
ditolak oleh Agus Sunyoto dalam kapasitasnya sebagai sejarawan Nusantara dan
tokoh NU. Resolusi jihad, jelas seruannya atas umat Islam tanpa
pengkotak-kotakan sebagaimana klasifikasi Geerts. Sikap Muhammadiyah bisa jadi
betul jika dipandang menggunakan “kecamata” Geerts, dan sikap NU juga bisa jadi
betul jika spirit keber-Islam-an santri prinsipnya sama dengan ajaran Islam
yang telah diteladankan Muhammad sebagai nabi.
Karena spirit
perjuangan hari santri mengacu kepada resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari,
maka tak cukup jika Hari Santri hanya sekedar kegiatan kirab, sholawatan,
rebanaan, yasinan, tahlilan dan segala kebiasaan formal dan khasnya orang-orang
perawat tradisi. Mesti juga memiliki gerakan kongkrit untuk mengusir segala
bentuk penjajahan, utamanya di bidang ekonomi, yang kini sudah berlindung di balik
pribahasa investasi.
Dalam hal ini,
Muhammadiyah telah mampu melakukan jihad bil-konstitusi. Terbukti ada
banyak Undang-Undang yang di-yudicial review ke Mahkamah Konstitusi
karena diduga bertentangan dengan amanah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Selain itu, Muhammadiyah telah banyak membangun sarana dan prasarana,
baik dalam hal pendidikan, rumah sakit, dan lembaga-lembaga yang memiliki
program pengentasan kemiskinan, yang secara kualitas dan kuantitas, jauh lebih oke
ketimbang NU.
Menjadi menarik,
jika NU, dengan spirit resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari, juga mampu membuat
trobosan kongkrit dalam melawan segala bentuk penjajahan yang kini telah berkedok
investasi. Bukan malah terus memilih berada di bawah “ketiak” pemerintah yang
amat “toleran” atas konglomerat penguras aset rakyat. Apalagi di tengah
pemerintahan kini yang amat gencar mengundang para “penjajah” untuk “menjajah” dan
kelimpungan saat di-loby untuk perpanjangan investasi yang jelas-jelas adalah
penjajahan gaya baru berkedok investasi. Seperti Freeport misalnya. Perusahaan
Amerika yang berdiri di Indonesia sejak 1967 sampai detik ini, terhitung sampai
tahun 2014, hanya mau membayar royalti kepada republik dari emas yang ditambang
sebesar 1 persen dan 0,5 persen dari tembaga. Ini jelas tidak adil. Freeport
juga enggan tunduk atas paraturan dan perundangan yang berlaku seperti UU
14/2014 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang tidak memperkenankan
kegiatan ekspor bahan mentah. Juga, PP 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Minerba pasal 7c yang mengamanatkan pembatasan kepemilikan
saham asing, yakni maksimal 75 persen untuk eksplorasi dan 70 persen untuk
produksi. Implikasinya, perusahaan ini harus melakukan devestasi saham. Pelanggaran
ini terus berjalan sampai kini dan pemerintah seakan “kikuk” menghadapi
korporasi swasta asal negara berjuluk Pamas Syam ini.
Belum lagi
problem kebangsaan lain yang menuntut kita untuk mengkontekstualisasi resolusi
jihad-nya KH. Hasyim Asyari.
NU, harus
mengawal ini karena sudah kadung mendemonstrasikan berikut melembagakan resolusi
jihad-nya KH. Hasyim Asyari melalui Hari Santri. Jika ke depan NU hanya terus
bergelut dalam soal yasinan dan tahlilan misalnya, Hari Santri patut dicurigai hanya
sebagai tumpangan para politisi untuk menarik jatah yang formalnya sekedar rebanaan
dan kirab dengan biaya milyaran.
Esensi, jika
NU mau menerjemahkan resolusi jihad-nya KH. Hasyim Asyari untuk melawan segala
macam bentuk penjajahan mulai di bidang ekonomi, politik, hukum, dan
kebudayaan. Sensasi jika NU hanya mampu mengawal kegiatan kirab dan rebanaan
yang diatasnamai santri.
Wallahu A’lam
*Disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 23 Oktober 2015 di Angkringan 57 Surabaya
*Disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 23 Oktober 2015 di Angkringan 57 Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...