Oleh: Qori Maghfirotillah*
“Tidakpentingapapun agama atau
sukumu.Kalaukamubisamelakukansesuatu yang baikuntuksemua orang, orang
tidakakanpernahbertanyaapaagamamu”
(Gus Dur)
(Gus Dur)
Dari potongan kalimat di
atas, dapat kita simpulkan bahwa Gus Dur—Abdurrahman Wahid, salah seorang
cendekia yang diakui dunia, mengajarkan kepada kita untuk tidak lagi meributkan
hal-hal yang berkenaan dengan atribut, seperti halnya agama, etnis, organisasi,
dan sebagainya. Sebagaimanusia,
kita hanya akan mendapatkan tempat di dada semesta apabila keberadaan kita dapat
membawa kebermanfaatan dan kebaikan bagi sesama ciptaan-Nya.
Peng-kotak-kotak-an atas nama agama tak lagi menjadi soal apalagi
halangan bagi pemeluk agama tertentu untuk menjadi bermanfaat bagi
keluhuran kemanusiaan yang bersifat universal. Saya
temukan suatu malam pada saat menghadiri sebuah dialog lintas agama dengan tajuk
sebagaimana tema
tulisan ini ditulis, “overcoming
poverty and ideology violence through a talk; a world conference”.
Konferensi Internasional ini diadakan oleh Yayasan Pondok Kasih; yayasan sosial yang bergerak di bidang
kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat. Pendiri yayasan ini adalah Mama Hanna
beserta suami yang pada malam itu juga kebetulan merayakan hari ulang tahun
pernikahan yang keempat puluh tiga. Acara yang berlangsung antara tanggal 14-17
september tersebut (sayang, Indonesia Belajar
Institut (IBI) hanya
diundang pada malam puncaknya pada tanggal 16 saja. Tanpa turut terlibat dalam rangkaian
acara sebelumnya). Mengundang perwakilan dari 16 negara, yakni: Thailand,
Fillipina, Myanmar, Australia, Amerika, China, Vietnam, India, dan lain
sebagainya.
Dikemas dengan apik dan menarik, acara yang
diselenggarakan di halaman GrahaPondok Kasih jl. Keputih Surabaya ini
menyuguhkan keberagaman dan kekayaan khazanah budaya Indonesia. Terdapat banyak
tari-tarian yang ditampilkan; Tarian China, Papua, Nusa Tenggara, dan masih
banyak lagi. Kemudian api unggun dipilih sebagai acara berikutnya.
Tarian
penghormatan dan penyambutan dari berbagai daerah banyak dilakukan untuk memberikan
penyanjungan yang setinggi-tingginya kepada para tamu.
Dalam acara api unggun, terdapat prosesi
pelepasan balon udara, sebagai symbol deklarasi bahwa siapa yang hadir di situ
siap menjadi agen pewarta damai. Menjadi penerang dan pemersatu dengan jalan
damai, jalan cinta. Ada haru dan khusyuk yang ikut mengalir di dalam desiran darah saya, pada
malam itu. Doa dipanjatkan, syahdu dan khusyuk, Bhinneka Tunggal Ika.
Ya, satu dalam perbedaan. Itu yang barangkali ingin
ditunjukkan kepada dunia oleh Yayasan Pndok Kasih dengan diselenggarakannya acara
ini.Bahwa Indonesia, salah satu Negara tempat perbedaan
bersarang, tetap dapat mengasihi dan berbagi satu
sama lain tanpa perlu sibuk mempreteli terlebih dahulu status agama
masing-masing. “Seberapa berbedanya kita, kita hidup untuk mencapai satu misi
yang sama; kemanusiaan”. Jadi, agama, etnis,
golongan, kelompok, itu hanya atribut. Hanya wadah di mana secara acak kita
berada. Jauh di atas semua itu, ada satu
hal agung yang bersama-sama harus kita capai yaitu kebaikan bagi seluruh
semesta.
Ghandi—Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948), tentu akan ikut tersenyum jika mengetahui bahwa
jejak-jejak kakinya melingkari semesta dengan pita kasih masih tetap diteruskan. Atau Muhammad (570-632 M), barangkali dia pun akan berterimakasih kepada
agen-agen damai meski itu nasrani sebab terhadap ajaran Tuhan dan bisik-bisik nurani
tak berniat untuk lalai. Dan Tuhan sendiri pun, mungkin, manggut-manggut bahagia,
bersiap menebar rahman
dan cinta kepada mereka yang terhadap sesamanya
mau membuka telinga, mengulurkan tangan dan memberi pelukan.
Sebagai penutup, saya
kutipkan apa yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi, salah seorang penulis asal Madura dan Direktur Moderate
Muslim Society, “Dulu, saat kuliah
di Al-Azhar Kairo, seorang pastur bertanya kepada saya: apakah Tuhan beragama? Saya diam, sejak itu saya tercerahkan”. Bagaimana
teks kutipan ini selanjutnya ditafsirkan, bergantung pada masing-masing arah
berpikir anda.
Salam kebebasan berpikir!
* Komisioner Indonesia Belajar Instutut (IBI), Aktivis dan
alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.
** Refleksi saat menghadiri
forum internasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Pondok Kasih Surabaya
pada 16 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...