Selasa, 29 September 2015

Transform Word South East Asia

Oleh: Qori Maghfirotillah*

“Tidakpentingapapun agama atau sukumu.Kalaukamubisamelakukansesuatu yang baikuntuksemua orang, orang tidakakanpernahbertanyaapaagamamu”
(Gus Dur)



Dari potongan kalimat di atas, dapat kita simpulkan bahwa Gus Dur—Abdurrahman Wahid, salah seorang cendekia yang diakui dunia, mengajarkan kepada kita untuk tidak lagi meributkan hal-hal yang berkenaan dengan atribut, seperti halnya agama, etnis, organisasi, dan sebagainya. Sebagaimanusia, kita hanya akan mendapatkan tempat di dada semesta apabila keberadaan kita dapat membawa kebermanfaatan dan kebaikan bagi sesama ciptaan-Nya.

Peng-kotak-kotak-an atas nama agama tak lagi menjadi soal apalagi  halangan bagi pemeluk agama tertentu untuk menjadi bermanfaat bagi keluhuran kemanusiaan yang bersifat universal. Saya temukan suatu malam pada saat menghadiri sebuah dialog lintas agama dengan tajuk sebagaimana tema tulisan ini ditulis, “overcoming poverty and ideology violence through a talk; a world conference”.

 Konferensi Internasional ini diadakan oleh Yayasan Pondok Kasih; yayasan sosial yang bergerak di bidang kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat. Pendiri yayasan ini adalah Mama Hanna beserta suami yang pada malam itu juga kebetulan merayakan hari ulang tahun pernikahan yang keempat puluh tiga. Acara yang berlangsung antara tanggal 14-17 september tersebut (sayang, Indonesia Belajar Institut (IBI) hanya diundang pada malam puncaknya pada tanggal 16 saja. Tanpa turut terlibat dalam rangkaian acara sebelumnya). Mengundang perwakilan dari 16 negara, yakni: Thailand, Fillipina, Myanmar, Australia, Amerika, China, Vietnam, India, dan lain sebagainya.

Dikemas dengan apik dan menarik, acara yang diselenggarakan di halaman GrahaPondok Kasih jl. Keputih Surabaya ini menyuguhkan keberagaman dan kekayaan khazanah budaya Indonesia. Terdapat banyak tari-tarian yang ditampilkan; Tarian China, Papua, Nusa Tenggara, dan masih banyak lagi. Kemudian api unggun dipilih sebagai acara berikutnya.
 Tarian penghormatan dan penyambutan dari berbagai daerah banyak dilakukan untuk memberikan penyanjungan yang setinggi-tingginya kepada para tamu.

Dalam acara api unggun, terdapat prosesi pelepasan balon udara, sebagai symbol deklarasi bahwa siapa yang hadir di situ siap menjadi agen pewarta damai. Menjadi penerang dan pemersatu dengan jalan damai, jalan cinta. Ada haru dan khusyuk yang ikut  mengalir di dalam desiran darah saya, pada malam itu. Doa dipanjatkan, syahdu dan khusyuk, Bhinneka Tunggal Ika.

Ya, satu dalam perbedaan. Itu yang barangkali ingin ditunjukkan kepada dunia oleh Yayasan Pndok Kasih dengan diselenggarakannya acara ini.Bahwa Indonesia, salah satu Negara tempat perbedaan bersarang, tetap dapat mengasihi dan berbagi satu sama lain tanpa perlu sibuk mempreteli terlebih dahulu status agama masing-masing. “Seberapa berbedanya kita, kita hidup untuk mencapai satu misi yang sama; kemanusiaan”. Jadi, agama, etnis, golongan, kelompok, itu hanya atribut. Hanya wadah di mana secara acak kita berada. Jauh di atas semua itu,  ada satu hal agung yang bersama-sama harus kita capai yaitu kebaikan bagi seluruh semesta.

Ghandi—Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948), tentu akan ikut tersenyum jika mengetahui bahwa jejak-jejak kakinya melingkari semesta dengan pita kasih masih tetap diteruskan.  Atau Muhammad (570-632 M), barangkali dia pun akan berterimakasih kepada agen-agen damai meski itu nasrani sebab terhadap ajaran Tuhan dan bisik-bisik nurani tak berniat untuk lalai. Dan Tuhan sendiri pun, mungkin, manggut-manggut bahagia, bersiap menebar rahman dan cinta kepada mereka yang terhadap sesamanya mau membuka telinga, mengulurkan tangan dan memberi pelukan.

Sebagai penutup, saya kutipkan apa yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi, salah seorang  penulis asal Madura dan Direktur Moderate Muslim Society, “Dulu, saat  kuliah di Al-Azhar Kairo, seorang pastur bertanya kepada saya: apakah Tuhan beragama? Saya diam, sejak itu saya tercerahkan”. Bagaimana teks kutipan ini selanjutnya ditafsirkan, bergantung pada masing-masing arah berpikir anda.

Salam kebebasan berpikir!


* Komisioner Indonesia Belajar Instutut (IBI), Aktivis dan alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

** Refleksi saat menghadiri forum internasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Pondok Kasih Surabaya pada 16 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...