Selasa, 29 September 2015

Memperingati Hari Damai Internasional

Oleh: Marlaf Sucipto

Hari ini (21/9) atas nama Indonesia Belajar Institut (IBI), saya menghadiri sebuah acara bertajuk International Day of Peace. Acara yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan penggerak utamanya adalah komunitas anak muda yang tergabung dalam Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia. Acara ini dihelat dalam rangka agar kita terus menyemai damai, mulai dari kata dan tindakan, di mana pun, kapan pun, dan saat dalam kondisi seperti apa pun kita hidup.
 
Peringatan hari damai international lahir, lebih karena kata dan prilaku sebagian manusia, sudah mulai tidak mendamaikan. Mereka cenderung semena-mena dalam memperlakukan sesama ciptaan-Nya. Memang, sejarah pengrusakan di muka bumi ini sebab utamanya karena ulah manusia yang takluk tunduk atas nafsu serakahnya sendiri. Ia mau melakukan apa pun, membunuh, merusak, mengeksploitasi di luar batas kewajaran hanya semata pemujaannya atas keserakahan tersebut. Kini, mereka yang gandrung memuja keserakahan, kerap berlindung di balik kata-kata yang seakan baik. Modernis, maju, beradab, dan istilah-istilah lain yang sengaja dicipta untuk memupuk delusi hidup.

Kita tahu alam dirusak atas nama kemajuan, pembangunan, dan modernitas?, ya, isitilah-istilah yang seakan baik itu sengaja dicipta untuk mempermulus hasrat. Alam dieksploitasi secara berlebihan tanpa mempertimbangkan konservasi. Mereka yang mendiami hutan dianggap hama yang harus dibasmi. Orangutan, gajah dan segala ragam hayati lain teralineasi dari kehidupan dan sumber penghidupannya sehari-hari. Pohon-pohon yang menyediakan ogsigen (02) sebagai penggerak utama kehidupan ditumbangi tanpa mempertimbangkan dampak negatif seperti banjir bandang dan kekeringan. Sampai gaya hidup sehari-hari kita, dikonstruksi –oleh pasar- agar terus melakukan pemujaan atas hasrat berlebih kaum kapital. Gaya hidup kita, seperti menyalakanAir Conditioning(AC) di luar batas kewajaran, membuang sampah tidak pada tempatnya dan tak pernah terbesit untuk mendaur ulang, menggunakan alat makan, masak, bahkan sampai soal pembalut saat haid pun yang sekali pakai, merupakan contoh sederhana dan kongkrit,bahwa kita telah kadung terjebak dalam arus besar yang tidak pro terhadap alam.

Demi terwujudnya sebuah kedamaian, kita juga perlu menundukkan egoisme diri barbasis iman. Menahan, mengendalikan diri dari kehendak berlebih dalam segala hal di luar kebutuhan. Menundukkan egoisme diri juga bermakna supaya jangan sampai terbesit rasa benci, apalagi sampai mengeksekusi rasa benci tersebut.Atas siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Karena membenci, baik dalam angan, rencana, apalagi tindakan, sungguh tidak mendamaikan, baik atas diri maupun kepada yang lain. Seyogyanya, ayo yang dipupuk adalah rasa cinta atas sesama mahluk ciptaan, bukan dusta dan pertikaian yang dikembangsuburkan. Kita harus saling menghormati, memahami, dan menghargai sesama mahluk ciptaan tanpa membeda-bedakan apa pun. Karena kita sengaja dicipta dalam kondisi dan situasi yang tidak sama. Dengan perbedaan itulah, mari kita bangun kemesraan yang saling melengkapi dari sekian ketidakberdayaan dan ketidakmampuan diri. Karena kita ini bukan siapa-siapa tanpa mereka, kita ada karena mereka ada. Kita, dalam makna yang lebih dalam, sesama mahluk ciptaan-Nya, tidak semata bermakna sempit, keterhubungan antara manusia satu dan lainnya.

Jadikan agama sebagai pegangan hidup dalam menata dan menempa diri menjadi pribadi yang bermakna bagi yang lain. Jangan jadikan agama sebagai alat politik picik untuk menghegemoni, merusak, mempertengkarkan, mengadu domba, membunuh, bahkan membisniskan darah sebagai pemasok senjata di daerah konflik seperti Timur Tengah. Kita tahu Timur Tengah? Agama-agama -utamanya samawi; Abrahamik- lahir di Timur Tengah. Tapi orang Timur Tengah sendiri terjerembab dalam kubangan konflik yang pemicu utamanya adalah perbadaan, utamanya agama dan firqoh-firqoh atas nama agama. Menjadi mantap saat perbedaan itu justru dipralat oleh para pebisnis sumber daya alam (SDA) dan senjata agar tetap hidup demi melanggengkan bisnisnya. Orang Timur Tengah dibuat sibuk berkonflik, SDA-nya digarap mereka yang rata-rata dari negera Eropa, senjata mereka disuplai penuh, baik legal maupun ilegal, dikerjasamakan atas nama persahabatan, kemanusiaan, dan istilah-istilah lain yang sebenarnya utopis atas kedamaian. Karena satu-satunya cara dalam meraih kedamain, ya, berhenti berperang dan melakukan penumpahan darah atas nama apa pun. Jika perang dihentikan, maka bisnis senjata yang turut mempermudah penumpahan darah akan bangkrut dengan sendirinya. Selain itu, bahwa sebaiknya perbedaan disyukuri dan diterima. Kita tak perlu berperang, bersitegang, mencaci maki, dan segala distruktifikasi kata dan sikap lainnya hanya karena perbedaan. Lagian, agama-agama melalui para rosulnya –Islam oleh Muhammad, Kristen oleh Isa putra Maryam, Yahudi oleh Ishaq- substansi seruannya supaya kita membawa damai di mana pun kaki berpijak. Anda tahu, bahwa para rosul itu dalam mengemban risalah ketuhanan, ia tidak membalas cacian dengan mencaci balik, ia tidak membalas cercaan dengan cercaan balik, ia tidak membalas olokan dan prolokan balik, ia membalas segala tindakan  itu dengan penuh cinta, kasih, dan sayang. Itu mengapa sampai detik ini, para rosul itu terus dikenang. Bukan karena ia rajin merapal ritus agama, tapi karena ia kongkrit mencintai, mengasihi, dan menyayangi sesama ciptaan-Nya. Mereka yang menjadikan agama sebagai alat politik, baik untuk menginvasi, mengekspansi, melanggengkan kekuasaan dan sumber pendapatan, adalah gaya umat beragama belakangan, mereka statusnya sama dengan kita: sama-sama beragama. Cuma, meraka menunggangi agama untuk mengecoh umat beragama lain supaya mendukung atas hasrat penguasaan berlebihnya. Padahal jelas, agama lahir tidak untuk dipaksa-paksakan, apalagi nyawa yang harus sebagai taruhan.

Selamat hari damai Internasional. Di balik kata “inter”, ayo internalisasi dulu damai dalam diri kita masing-masing untuk kemudian disemai dalam wujud kongkrit atas siapa pun, kapan pun dan di mana pun kaki kita berpijak tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang sebenarnya hal itu tak lebih dari sekedar “atribut” hidup untuk dikenal dan saling mengenal.

Villa Slamet Indah, 22 September 2015
Jam : 10:56 Wib




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...