Oleh:
Marlaf Sucipto
Hari
ini (21/9) atas nama Indonesia Belajar Institut (IBI), saya menghadiri
sebuah acara bertajuk International Day of Peace. Acara yang diprakarsai
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan penggerak utamanya adalah
komunitas anak muda yang tergabung dalam Young Interfaith Peacemaker
Community Indonesia. Acara ini dihelat dalam rangka agar kita terus
menyemai damai, mulai dari kata dan tindakan, di mana pun, kapan pun, dan saat
dalam kondisi seperti apa pun kita hidup.
Peringatan
hari damai international lahir, lebih karena kata dan prilaku sebagian manusia,
sudah mulai tidak mendamaikan. Mereka cenderung semena-mena dalam memperlakukan
sesama ciptaan-Nya. Memang, sejarah pengrusakan di muka bumi ini sebab utamanya
karena ulah manusia yang takluk tunduk atas nafsu serakahnya sendiri. Ia mau
melakukan apa pun, membunuh, merusak, mengeksploitasi di luar batas kewajaran
hanya semata pemujaannya atas keserakahan tersebut. Kini, mereka yang gandrung
memuja keserakahan, kerap berlindung di balik kata-kata yang seakan baik.
Modernis, maju, beradab, dan istilah-istilah lain yang sengaja dicipta untuk
memupuk delusi hidup.
Kita
tahu alam dirusak atas nama kemajuan, pembangunan, dan modernitas?, ya,
isitilah-istilah yang seakan baik itu sengaja dicipta untuk mempermulus hasrat.
Alam dieksploitasi secara berlebihan tanpa mempertimbangkan konservasi. Mereka
yang mendiami hutan dianggap hama yang harus dibasmi. Orangutan, gajah dan
segala ragam hayati lain teralineasi dari kehidupan dan sumber penghidupannya
sehari-hari. Pohon-pohon yang menyediakan ogsigen (02) sebagai penggerak utama
kehidupan ditumbangi tanpa mempertimbangkan dampak negatif seperti banjir
bandang dan kekeringan. Sampai gaya hidup sehari-hari kita, dikonstruksi –oleh
pasar- agar terus melakukan pemujaan atas hasrat berlebih kaum kapital. Gaya
hidup kita, seperti menyalakanAir Conditioning(AC) di luar batas
kewajaran, membuang sampah tidak pada tempatnya dan tak pernah terbesit untuk
mendaur ulang, menggunakan alat makan, masak, bahkan sampai soal pembalut saat
haid pun yang sekali pakai, merupakan contoh sederhana dan kongkrit,bahwa kita
telah kadung terjebak dalam arus besar yang tidak pro terhadap alam.
Demi
terwujudnya sebuah kedamaian, kita juga perlu menundukkan egoisme diri barbasis
iman. Menahan, mengendalikan diri dari kehendak berlebih dalam segala hal di
luar kebutuhan. Menundukkan egoisme diri juga bermakna supaya jangan sampai
terbesit rasa benci, apalagi sampai mengeksekusi rasa benci tersebut.Atas siapa
pun, kapan pun, dan di mana pun. Karena membenci, baik dalam angan, rencana,
apalagi tindakan, sungguh tidak mendamaikan, baik atas diri maupun kepada yang
lain. Seyogyanya, ayo yang dipupuk adalah rasa cinta atas sesama mahluk
ciptaan, bukan dusta dan pertikaian yang dikembangsuburkan. Kita harus saling
menghormati, memahami, dan menghargai sesama mahluk ciptaan tanpa
membeda-bedakan apa pun. Karena kita sengaja dicipta dalam kondisi dan situasi
yang tidak sama. Dengan perbedaan itulah, mari kita bangun kemesraan yang
saling melengkapi dari sekian ketidakberdayaan dan ketidakmampuan diri. Karena
kita ini bukan siapa-siapa tanpa mereka, kita ada karena mereka ada. Kita,
dalam makna yang lebih dalam, sesama mahluk ciptaan-Nya, tidak semata bermakna
sempit, keterhubungan antara manusia satu dan lainnya.
Jadikan
agama sebagai pegangan hidup dalam menata dan menempa diri menjadi pribadi yang
bermakna bagi yang lain. Jangan jadikan agama sebagai alat politik picik untuk
menghegemoni, merusak, mempertengkarkan, mengadu domba, membunuh, bahkan
membisniskan darah sebagai pemasok senjata di daerah konflik seperti Timur
Tengah. Kita tahu Timur Tengah? Agama-agama -utamanya samawi; Abrahamik- lahir
di Timur Tengah. Tapi orang Timur Tengah sendiri terjerembab dalam kubangan
konflik yang pemicu utamanya adalah perbadaan, utamanya agama dan firqoh-firqoh
atas nama agama. Menjadi mantap saat perbedaan itu justru dipralat oleh para pebisnis
sumber daya alam (SDA) dan senjata agar tetap hidup demi melanggengkan
bisnisnya. Orang Timur Tengah dibuat sibuk berkonflik, SDA-nya digarap mereka
yang rata-rata dari negera Eropa, senjata mereka disuplai penuh, baik legal
maupun ilegal, dikerjasamakan atas nama persahabatan, kemanusiaan, dan
istilah-istilah lain yang sebenarnya utopis atas kedamaian. Karena satu-satunya
cara dalam meraih kedamain, ya, berhenti berperang dan melakukan penumpahan
darah atas nama apa pun. Jika perang dihentikan, maka bisnis senjata yang turut
mempermudah penumpahan darah akan bangkrut dengan sendirinya. Selain itu, bahwa
sebaiknya perbedaan disyukuri dan diterima. Kita tak perlu berperang,
bersitegang, mencaci maki, dan segala distruktifikasi kata dan sikap lainnya hanya
karena perbedaan. Lagian, agama-agama melalui para rosulnya –Islam oleh
Muhammad, Kristen oleh Isa putra Maryam, Yahudi oleh Ishaq- substansi seruannya
supaya kita membawa damai di mana pun kaki berpijak. Anda tahu, bahwa para
rosul itu dalam mengemban risalah ketuhanan, ia tidak membalas cacian dengan
mencaci balik, ia tidak membalas cercaan dengan cercaan balik, ia tidak
membalas olokan dan prolokan balik, ia membalas segala tindakan itu dengan penuh cinta, kasih, dan sayang.
Itu mengapa sampai detik ini, para rosul itu terus dikenang. Bukan karena ia
rajin merapal ritus agama, tapi karena ia kongkrit mencintai, mengasihi, dan
menyayangi sesama ciptaan-Nya. Mereka yang menjadikan agama sebagai alat
politik, baik untuk menginvasi, mengekspansi, melanggengkan kekuasaan dan
sumber pendapatan, adalah gaya umat beragama belakangan, mereka statusnya sama
dengan kita: sama-sama beragama. Cuma, meraka menunggangi agama untuk mengecoh
umat beragama lain supaya mendukung atas hasrat penguasaan berlebihnya. Padahal
jelas, agama lahir tidak untuk dipaksa-paksakan, apalagi nyawa yang harus
sebagai taruhan.
Selamat
hari damai Internasional. Di balik kata “inter”, ayo internalisasi dulu damai
dalam diri kita masing-masing untuk kemudian disemai dalam wujud kongkrit atas
siapa pun, kapan pun dan di mana pun kaki kita berpijak tanpa mempersoalkan
perbedaan-perbedaan yang sebenarnya hal itu tak lebih dari sekedar “atribut”
hidup untuk dikenal dan saling mengenal.
Villa Slamet Indah, 22 September 2015
Jam : 10:56 Wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...