Oleh: Ahmad Jauhar Fathoni[1]
Pertama-tama, perlu diketahui ini bukan tulisan pembelaan, ini juga
bukan tulisan bantahan, manakala ada kalimat yang bernada pembelaan dan
bantahan semata-mata ingin mengajukan perspektif lain saja, yang mungkin dirasa
kontradiktif dengan wacana yang ditulis oleh kawan saya Marlaf Sucipto dan
Libasut Taqwa. Itu saja. Saya berusaha menyampaikan perspektif lain itu semampu
saya.
Ada yang berfikir begini: bahwa di suatu negeri eksistensi sebuah
gerakan diberangus dan para aktifisnya banyak yang mendekam di penjara-penjara
rezim. Lantas dari fakta itu di buatlah penilaian terhadap ketidaklayakan ide
yang diusung dari gerakan tersebut. Namun, saya punya cara berpikir berbeda. Saya
tidak terburu-buru menilai kelayakan suatu pemikiran dari aspek penerimaan
masyarakat. Kenapa? Karena banyak pemikiran dalam sejarah manusia yang awalnya
ditentang dan berusaha diberangus namun pada akhirnya ia menjadi pemikiran yang
diadopsi oleh jutaan manusia. Ide Indonesia merdeka misalnya, ide ini juga
awalnya kontroversi dan mendapat penentangan bahkan pengusungnya disebut
ekstrimis. Mereka diperangi dan diasingkan. Sebuah ide 14 abad yang lalu di
tanah Arab juga diperangi dan diboikot. Para pemeluknya dijuluki orang gila dan
penyihir. Tapi ide-ide itu kini dinikmati dan dipeluk oleh jutaan manusia.
Babakan sejarah pemikiran orang Eropa, pernah melalui satu fase yang heroik,
yang sampai hari ini terus dikenang sebagai awal kemenangan dan kebebesan alam
berpikir. Ya, itulah abad pencerahan. Pada awalnya ia ditandai dengan
penyebaran ide-ide baru. Ide yang secara heroik menentang rezim gereja yang
despotik itu. Lalu ia menjadi arus baru yang ternyata mendapat dukungan massa
dan mampu meruntuhkan dominasi gereja dan sistem feodalisme. Ide baru itu ialah
sekulerisme yang dirintis oleh para filosof, ditulis dalam ribuan buku,
didiskusikan dalam lingkaran-lingkaran ilmuwan dan rakyat jelata meski di bawah
bayang-bayang kejamnya inkuisisi. Namun akhirnya ide ini menang dan Eropa
menikmati tatanan masyarakat baru yang hingga kini mereka bangga-banggakan itu.
Jadi saya punya cara berpikir yang berbeda, saya tidak memutuskan
ketidaklayakan sebuah pemikiran dari realita bahwa pemikiran itu yang
menganutnya masih sedikit, mendapat penentangan dan lain sebagainya. Jika
pemikiran itu bersebrangan dengan status quo, namanya penentangan itu merupakan
hal yang alamiah.
Cara saya menimbang sebuah pemikiran itu dengan akal dan hati. Ini
bukan karena saya orangnya melankolis lo ya. Maksudnya begini, saya
menimbangnya dari sisi apakah pemikiran itu dibangun dengan proses berpikir
atau tidak. Apakah dalil-dalil yang membangun pemikiran itu konsisten tidak dengan
akal kita. Lalu apakah ide itu menyalahi fitrah manusia atau tidak. Sehingga
ide itu saya terima manakala mampu memenuhi kriteria itu sehingga ia menjadi
ide yang memuaskan akal dan hati saya. Nah, demikianlah Islam yang saya
pelajari sejak berkenalan dengan sebuah gerakan yang dalam slogannya mengusung
kembalinya kehidupan Islam dengan tegaknya syariah dalam naungan Khilafah. Jika
kawan-kawan berkenan, bisa mendiskusikan satu buku berjudul Nizhamul Islam
untuk membuktikan bahwa Islam itu rasional, baik Aqidah-nya maupun Syariah-nya,
itu satu kesatuan sebagai sistem hidup yang lengkap.[2]
Khusus Khilafah, karena ini menjadi topik diskusi yang menghangat
akhir-akhir ini di media sosial, saya pun akhirnya turut menulis ini untuk
berbagi kacamata pandangan, Khilafah itu adalah bagian dari ajaran Islam. Idiom
kata Khilafah itu keluar dari lisan mulia Nabi. Ia dipraktikkan sebagai bagian
dari cara hidup islami yang ditegakkan oleh para Khulafaur Rasyidin.
Sampai hari ini setiap bulan Ramadhan umat Islam di Nusantara sering mendengar
kata khalifah dalam bacaan bilal shalat tarawih. Nah, khalifah itu sebutan
untuk kepala negara dalam sistem Khilafah. Sebagaimana raja untuk menyebut
pemimpin kerajaan. Presiden untuk demokrasi republik presidensial. Kaisar untuk
kekaisaran. Begitulah. Jadi secara istilah, Khilafah bukan hal asing, ia ada
dalam nash otoritatif umat Islam dan terus hidup, disebut-sebut dalam
lisan-lisan umat ini sampai sekarang.
Lalu jika ada satu kelompok mengusung tema ini sebagai tujuan
perjuangannya maka itu juga bukanlah hal yang aneh. Tapi dunia memang sedang
anomali. Sebagaimana Nabi SAW pernah mengabarkan: Islam muncul dalam keadaan
asing dan akan kembali menjadi asing. Menyebut kata Khilafah dianggap aneh di
saat dunia sedang dipimpin oleh Kapitalisme, sebagaimana dulu menyebut kalimat
tauhid di-katain gila di saat dunia sedang memuja-muja berhala. Mengapa hari
ini dalam diri kebanyakan-umat Islam merasa gak comfort dengan
istilah khilafah, syariah, jihad, dan thaghut sedangkan mereka berasa lebih
keren manakala pembicaraan mereka dibumbui istilah demokrasi, feminisme, pasar Bebas,
pluralisme dan anak turunnya seperti multikulturalisme dll? Ini karena umat
Islam hidup dalam peradaban di mana Kapitalisme menjadi ideologi pemenang. Ibnu
Khaldun pernah mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk mengikuti tradisi
pihak yang menang (al-maghluub muulaun abadan bil iqtida bil ghaliib).
Kekalahan umat Islam hari ini adalah kekalahan peradaban. Semenjak Khilafah
Utmani, the Sick Man of Europe yang akhirnya ditikam mati oleh Barat,
lalu kekayaan dan kekuasaannya diperebutkan layaknya anak-anak yang serakah
terhadap makanan. Datanglah masa ketika Khilafah menjadi asing dan idiom-idiom
politik akhirnya disetir oleh konsep-konsep Barat yang mereka sebut sebagai
konsep yang kebenarannya universal. Konsep-konsep itu dipaksakan untuk
diterapkan di negeri-negeri Islam di bawah payung penindasan.
Benar pada akhirnya negeri-negeri Islam yang dulu terjajah kini
merdeka. Para pejuang kemerdekaan di Libya, kita mengenal Omar Mukhtar, di
Palestina ada Izzuddin Al Qassam, di Indonesia kita mengenal Diponegoro. Mereka
adalah para ulama, berada di garis depan perang melawan penjajahan dengan
motivasi jihad fi sabilillah telah berhasil mengusir para penjajah itu.
Tapi apakah sistem penjajah benar-benar pergi? Secara faktual tidak.
Rezim-rezim pribumi nyatanya tetap melanjutkan dan menjadi penjaga sistem
penjajah itu.
Kita coba kaji satu tesis menarik dari Dr. Revrisond Baswir. Kita ambil
kasus Indonesia supaya dekat dengan kehidupan kita. Menurut Revrisond Baswir,
perekonomian Indonesia hanyalah transisi dari kolonialisme ke neokolonialisme.
Ia menyebutnya sebagai struktur ekonomi terjajah. Apa pasalnya? Ada 10 Subversi
Neokolonialisme yang menjerat rezim Indonesia Merdeka untuk tetap berada dalam
pusaran sistem penjajah itu sehingga gagal untuk menciptakan negara yang
mandiri.[3]
Paska era kolonial dan berakhirnya perang dingin, Barat dengan
Kapitalisme-nya muncul sebagai pemenang. Barat berusaha menjadikan peradabannya
sebagai peradaban tunggal. Barat mengekspor peradabannya kepada bangsa-bangsa yang
lain lewat apa yang disebut neo imperialisme. Nasib dunia Islam di belahan yang
lain juga tidak lebih beruntung dari Indonesia, sama-sama hidup dalam hegemoni
sistem dan ideologi penjajah. Ada negeri Islam yang sampai hari ini hidup
terjajah secara fisik, tak berdaya, dan terusir dari negerinya di depan mata
dunia, HAM, Demokrasi dan hukum Internasional yang dijunjung Barat sebagai
nilai-nilai keadilan universal itu.
Neo imprealisme bukanlah omong kosong. Ada satu buku yang ditulis oleh
William Blum berjudul Americas Deadliest Export Democracy di sana
penulisnya menyebut demokrasi sebagai alat dominasi Amerika atas seluruh dunia.
Secara vulgar dia mengatakan demokrasi merupakan alat untuk menguasai dunia
demi kepentingan ekonomi dan ideologi. Itulah mengapa Bush Jr. pernah
berpidato: Jikalau sekiranya kita ingin melindungi Amerika dalam jangka
panjang, maka sebarkanlah demokrasi dan kebebasan. Seraya di kesempatan lain
dia katakan bahwa Peradaban Barat adalah nilai-nilai universal dari semangat
kemanusiaan, kebebasan bukan tirani, demokrasi bukan diktator. Namun, Barat
juga menginvasi Irak, menghancurkan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan atas
nama penyebaran demokrasi. Wajah neo imprealisme sebagaimana Dieter Nohlen
katakan adalah berupa dominasi politik, ekonomi dan budaya. Di era kepemimpinan
Kapitalisme ini kita hidup. Dan di bumi kita lahir ini, Indonesia, berada di
pusaran itu.
Nah, neo imprealisme adalah ancaman nyata, relevan dalam semesta
pembicaraan kita tentang upaya menyelamatkan negara ini. Pun demikian dengan
kawan-kawan yang memegang slogan NKRI harga mati. Namun, ide Khilafah bukanlah
ancaman. Apakah orang-orang yang memekikkan “NKRI Harga Mati” telah mematok
harga yang tidak bisa ditawar lagi saat berdialog dengan gagasan Khilafah? Tapi
membuka pintu negosiasi harga dengan pengibar bendera neo imprealisme,
separatisme dan disintegrasi? Kekayaan negara ini telah di-’dol’ kepada
korporasi berbendera penjajah yang dulu kakek kita berjuang mengusirnya dengan
bersimbah darah. UU dilegislasi dari gedung dewan menjadi pintu masuk bagi
robot-robot penghisap itu menyedot rakus minyak tambang kita secara sah dan
pongah. Sialnya, dari gedung itu dewan terhormat sambil berkacak pinggang
berkata bahwa mereka sedang menjalankan aspirasi rakyat. Kakek kita dulu
menyebut penjajah itu Kompeni (Perusahaan) dan kini Company itu disambut
hormat oleh rezim pribumi untuk melanjutkan penghisapan terhadap apa-apa yang
masih tersisa di bumi pertiwi. Inilah neo imprealisme. Dan ini yang harus kita
lawan!
Kawan, Khilafah Rasyidah merupakan institusi politik yang diwariskan
oleh Nabi dan Khulafa’ur Rasyidin. Ia menjadi thariqah islamiyah untuk
mengembalikan kembali kemuliaan umat Islam dan umat manusia. Khilafah itu
negara Islam global bukan lokal seperti gagasan Kartosuwiryo. Memang kata “daulah”
merupakan kata asing. Artinya kata ini tidak dikenal pada masa jahiliyah maupun
pada masa datangnya Islam. Ibn Manzhur mengatakan bahwa kata “daulah” atau “dulah” sama maknanya dengan al-‘uqbah
fil mal wal harb (perputaran kekayaan dan peperangan). Namun, di dalam
Muqaddimah Ibn Khaldun terdapat kata “daulah” dengan pengertian negara
dalam bab Fi Ma’na Al-Khilafah Wal Imamah. Meskipun kata “daulah”
dengan makna negara tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan berarti
realitas dari kata itu tidak ada di dalam Islam. Karena nash menggunakan
kata lain yang unik, yaitu al-khilafah, yang menunjukkan makna yang sama
dengan daulah. Nah, Ibn Khaldun menggunakan kata Daulah Islamiyyah. Kata
“daulah” disifati dengan kata islamiyah untuk menyebut al-Khilafah.[4]
Khilafah sebagai sebuah konsep negara tidak lahir karena konteks
sosiologis masyarakat Arab jahiliyyah kala itu. Apalagi menganggapnya sebagai
ide reaktif yang lahir dari kondisi dunia Arab yang hari ini sedang konflik. Khilafah
adalah ide yang lahir dari nash-nash Islam. Sedang nash-nash
Islam adalah wahyu dan ia tidak dibentuk oleh budaya manusia. Sangat aneh
dengan mereka yang terpengaruh cara pandang hermeunetik Nasr Hamid Abu Zaid
yang menyebut nash (Al-Qur’an dan As Sunnah) sebagai muntaj tsaqafi
(produk budaya). Metodologi Islam itu mengkaji realitas sebagai obyek hukum (manathul
hukmi) bukan sebagai sandaran hukum (mashdarul hukmi). Realitas
ditimbang hukumnya dengan nash Islam yang abadi. Bukan menundukkan nash
agar sesuai dengan realitas. Jadi, alasan bahwa Khilafah diambil sebagai bentuk
negara itu karena Khilafah disyariatkan, yang dalil-dalil-nya bersumber dari nash
semata. Ia wajib diterapkan sebagai bentuk pengamalan terhadap syariat dan
ketaatan terhadap pembuat syariat yaitu Allah SWT.
Itu kajian secara normatif. Secara historis, di Nusantara ide
Khilafah/Negara Islam sendiri bukanlah ide yang ahistoris. Ia menjadi
perbincangan dan perhatian yang menyelimuti pikiran tokoh pergerakan
kemerdekaan. Misalnya Konggres Al Islam tahun 1924 yang diprakarsai oleh
Syarikat Islam dan Muhammadiyah sebagai respon terhadap dihapuskannya Khilafah
Utsmani. Kongres yang diketuai oleh Haji Agus Salim itu dibuat untuk turut
menyelesaikan persoalan Khilafah yang menyangkut kepentingan seluruh umat
Islam.[5]
Benar jika kemudian perbincangan soal bentuk, dasar dan ideologi negara
menjadi persoalan yang telah menyita masa di mana founding fathers
berdebat tentang hal itu. Namun, ada satu hal yang penting diungkap bahwa
sebenarnya aspirasi Negara Islam itu merupakan arus populer di dekade awal
kemerdekaan, bukan hanya di kalangan tokoh islamis saja tapi juga di
tengah-tengah rakyat Indonesia.
Apa buktinya? Pidato Soekarno di Amuntai 27 Januari 1953. Pada satu
kesempatan ketika Soekarno berpidato di tengah-tengah masyarakat Amuntai. Kala
itu ada tulisan spanduk yang dibentangkan oleh pemuda-pemuda dan rakyat Amuntai
“Minta Pendjelasan Negara Nasional atau Negara Islam?”. Lalu Soekarno
menanggapi dengan pernyataan bahwa, “Jika kita mendirikan negara berdasarkan
Islam, banyak penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri...”
Ternyata, pidato Soekarno itu berbuntut panjang dan menuai reaksi keras
berbagai pihak dari kaum muslimin dan tokoh-tokohnya. Dalam nota protesnya
kepada pemerintah, politisi Masyumi, Isa Anshary, berkomentar bahwa jawaban
Soekarno itu: “Bukan suatu kebijakan yang dapat dihargakan, karena berisi
penentangan terhadap suatu ideologi Islam yang dianut oleh sebagian besar dari
warga Indonesia”. Protes resmi atas pidato itu juga dilayangkan oleh PBNU pada
4 Februari 1953, menyusul Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB
Persis.[6]
Nah, apa yang bisa kita ambil dari fakta sejarah ini? Dahulu, dekade
pertama kemerdekaan, arus aspirasi pendirian Negara Islam ternyata merupakan
hal yang kuat dan populer di masyarakat, bukan hal yang aneh dan asing, apalagi
terlarang. Nah, jika hari ini kata
“Negara Islam” seolah haram untuk diperdengarkan, apalagi diperjuangkan.
Menyebutnya saja sudah dianggap tabu dan mengerikan, seolah hendak menodai
kesakralan dari sesuatu yang telah terlanjur disebut sebagai ideologi dan dasar
negara. Menurut saya, semua itu tak lepas skenario pencitra-burukkan konsep
negara Islam yang dilakukan secara sistematis selama akhir pemerintahan
Soekarno dan disempurnakan pada masa Orde Baru (Orba) dan terus berlanjut
hingga hari ini. Ada upaya untuk terus menakut-nakuti masyarakat dengan
menggambarkan seakan Negara Islam, Daulah Islamiyah, Khilafah adalah monster
yang patut diwaspadai. Pengusungnya patut dibungkam. Organisaasi yang
memperjuangkannya diintimidasi dengan ancaman rekomendasi pembubaran. Bahkan
ada spanduk yang dipasang oleh oknum di desa saya: “Jika Ingin Negara Khilafah
silahkan keluar dari NKRI”.
Kawan, propaganda negatif itu ada karena memang ide Khilafah itu
menyimpan bahaya; bahaya bagi kepentingan neo imprealisme, eksistensi sistem
penjajah, dan rezim boneka berwajah pribumi. Saya beberapa kali mengulang
sistem penjajah untuk menyebut sistem yang lahir dari ideologi Kapitalisme.
Ideologi milik adikuasa Imperialis. Ada baiknya baca juga riset Zeyno Baran.
Saya setuju bahwa Negara Kesatuan adalah keharusan yang tidak bisa ditawar,
NKRI harga mati dalam konteks kesatuan wilayah teritorial harus kita dukung
karena syariah Islam mengharamkan disintegrasi. Saya setuju bahwa Negara
Kesatuan adalah upaya final, karena negara federal bertentangan dengan Islam.
Namun, jika yang dimaksud final itu adalah konsitusi atau sistem pemerintahan,
kenyataannya hingga kini tidak pernah final, selalu berubah-ubah dan dinamis
bergantung aspirasi rakyat.
Dulu awalnya sistem presidensial, lalu berganti sistem parlementer dan
kembali lagi ke sistem presidensial hingga sekarang. Dulu kita mengenal
Demokrasi Terpimpin, Nasakom tafsiran sosialis ala Soekarno. Lalu demokrasi Pancasila
dan Kapitalisme-Pembangunan ala Soeharto. Dan kini paska Reformasi hadir dengan
wajah kian Neoliberal. Bicara Undang-Undang Dasar (UUD) juga selalu
berubah-ubah dan telah mengalami amandemen berkali-kali.
Nah, tawaran Khilafah dengan Dustur Islamy itu untuk mengkoreksi basis
ideologi yang salah yang telah membawa kapal besar Indonesia ini berlayar tak
tentu arah. Syariah dan Khilafah itu solusi atas kritik terhadap kegagalan
sistem sekuler dan ‘kapitalisme malu-malu’ yang dilakonkan oleh rezim boneka
berwajah pribumi. Ia bukan ide separatis dan disintegrasi tapi ide penyatuan
dan ikatan. Ikatan yang berbasis risalah langit. Risalah yang dulunya pernah
menyinari langit peradaban manusia dengan cahaya dari Baghdad, Damaskus dan
Andalusia, yang sebelumnya pekat oleh pemujaan berhala dan penindasan manusia
atas manusia. Hari ini langit peradaban manusia itu kembali pekat oleh
asap-asap mesin kerakusan Kapitalisme yang menyeret manusia dalam lembah
kenistaan baru. Penghisapan kekayaan oleh segelintir orang. Kerusakan alam.
Hancurnya moral. Lenyapnya spiritual.[7]
Bersambung .... []
kita sambung di
diskusi jalanan saja ya.. :D
Note:
- Negara Khilafah merupakan gagasan yang sangat terperinci. Hizbut Tahrir misalnya memiliki puluhan kitab yang menjelaskannya secara mendetail dan sistemik. Saya akan inbokskan beberapa e-booknya sebagai hadiah. Insyaallah.
- Sebagian dari kalangan menakut-nakuti dengan konflik di Timur Tengah. Konflik dan malapetaka yang terjadi di dunia Islam, termasuk di Timur Tengah itu karena berbagai faktor. Ada dua yang sangat menonjol. Pertama, keberadaan rezim-rezim tiran seperti Bashar Assad di Suriah, Mubarak dan dilanjutkan oleh As Sisi di Mesir, Qadzafi di Libya. Mereka adalah rezim bengis penjaga kepentingan Barat dan sistem sekuler. Kedua, intervensi politik dan militer yang terus dilakukan oleh negara-negara adikuasa seperti yang tampak menonjol terjadi di Afghanistan dan Irak. Jika kita memahami dengan baik awal terjadinya apa yang media sebut sebagai Arab Spring, adalah bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap tirani rezim, awalnya di Tunisia lalu merembet ke Mesir, Libya dan Suriah. Bukankah negeri ini sekalipun pernah terjadi huru hara reformasi? Nah, hal yang sama juga terjadi Arab. Namun, warna benturan ideologi memang mencolok. Jika kita cermati intervensi politik negara-negara Barat, yang dilakukan melalui perundingan-perundingan yang mereka fasilitasi, adalah untuk meredam gejolak aspirasi ideologis elemen rakyat yang menuntut tidak hanya bergantinya rezim tapi juga bergantinya sistem. Kawan-kawan, bisa mendalami ini sebagai referensi: . Jadi tidak bisa serta merta dikatakan orang Arab itu berpaham radikal, pro-kekerasan dan tidak cintai damai atau bukan Islam yang ramah. Nah, bagaimana dengan orang Islam di Nusantara seperti Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro atau KH Hasyim Asyari, apakah kita katakan juga mereka sebagai kaum radikal dan pro kekerasan ketika KH Hasyim Asyari misalnya mengeluarkan resolusi jihad melawan penjajah yang telah membunuhi rakyat dan merampok kekayaan kita. Inilah pentingnya apa yang dikatakan oleh Pram, adil dalam berpikir.
[1] Aktivis Gerakan Mahasiswa Pembebasan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Jawa Timur. Kini aktif di Partai Pembebasan.
[2] Buku Nizhamul Islam bisa di
download disini: hizbut-tahrir.or.id/2007/12/11/buku-buku-dalam-pdf/
[3] Tulisan Dr. Revrisond Baswir
bisa dibaca di sini: http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm
[5] Menurut Deliar Noer:
Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini (maksudnya
masalah Khilafah), malah merasa berkewajiban memperbicangkan dan mencari
penyelesaian. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942). Dalam
surat kabar Harian Neratja edisi 26, 27, 29, 31 Maret 1924, H. Agus Salim menulis
sebuah artikel yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam.
Artikel ini menggambarkan kekalutan dunia Islam atas keruntuhan Khilafah. Read
more: Respon Umat Islam di Indonesia atas keruntuhan Khilafah Islamiyah:
http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/04/respon-umat-islam-di-indonesia-atas-keruntuhan-khilafah-islamiyah/
[6] Pidato Soekarno di Amuntai
silahkan googling : pidato; soekarno; amuntai; 1953
[7] Dustur Islamy bisa dikaji di bab terakhir kitab Nizhamul Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...