Jumat, 04 September 2015

Berbagi Pandangan Tentang Khilafah, NKRI dan Penjajahan

Oleh: Ahmad Jauhar Fathoni[1]
Pertama-tama, perlu diketahui ini bukan tulisan pembelaan, ini juga bukan tulisan bantahan, manakala ada kalimat yang bernada pembelaan dan bantahan semata-mata ingin mengajukan perspektif lain saja, yang mungkin dirasa kontradiktif dengan wacana yang ditulis oleh kawan saya Marlaf Sucipto dan Libasut Taqwa. Itu saja. Saya berusaha menyampaikan perspektif lain itu semampu saya.

Ada yang berfikir begini: bahwa di suatu negeri eksistensi sebuah gerakan diberangus dan para aktifisnya banyak yang mendekam di penjara-penjara rezim. Lantas dari fakta itu di buatlah penilaian terhadap ketidaklayakan ide yang diusung dari gerakan tersebut. Namun, saya punya cara berpikir berbeda. Saya tidak terburu-buru menilai kelayakan suatu pemikiran dari aspek penerimaan masyarakat. Kenapa? Karena banyak pemikiran dalam sejarah manusia yang awalnya ditentang dan berusaha diberangus namun pada akhirnya ia menjadi pemikiran yang diadopsi oleh jutaan manusia. Ide Indonesia merdeka misalnya, ide ini juga awalnya kontroversi dan mendapat penentangan bahkan pengusungnya disebut ekstrimis. Mereka diperangi dan diasingkan. Sebuah ide 14 abad yang lalu di tanah Arab juga diperangi dan diboikot. Para pemeluknya dijuluki orang gila dan penyihir. Tapi ide-ide itu kini dinikmati dan dipeluk oleh jutaan manusia. Babakan sejarah pemikiran orang Eropa, pernah melalui satu fase yang heroik, yang sampai hari ini terus dikenang sebagai awal kemenangan dan kebebesan alam berpikir. Ya, itulah abad pencerahan. Pada awalnya ia ditandai dengan penyebaran ide-ide baru. Ide yang secara heroik menentang rezim gereja yang despotik itu. Lalu ia menjadi arus baru yang ternyata mendapat dukungan massa dan mampu meruntuhkan dominasi gereja dan sistem feodalisme. Ide baru itu ialah sekulerisme yang dirintis oleh para filosof, ditulis dalam ribuan buku, didiskusikan dalam lingkaran-lingkaran ilmuwan dan rakyat jelata meski di bawah bayang-bayang kejamnya inkuisisi. Namun akhirnya ide ini menang dan Eropa menikmati tatanan masyarakat baru yang hingga kini mereka bangga-banggakan itu. Jadi saya punya cara berpikir yang berbeda, saya tidak memutuskan ketidaklayakan sebuah pemikiran dari realita bahwa pemikiran itu yang menganutnya masih sedikit, mendapat penentangan dan lain sebagainya. Jika pemikiran itu bersebrangan dengan status quo, namanya penentangan itu merupakan hal yang alamiah.

Cara saya menimbang sebuah pemikiran itu dengan akal dan hati. Ini bukan karena saya orangnya melankolis lo ya. Maksudnya begini, saya menimbangnya dari sisi apakah pemikiran itu dibangun dengan proses berpikir atau tidak. Apakah dalil-dalil yang membangun pemikiran itu konsisten tidak dengan akal kita. Lalu apakah ide itu menyalahi fitrah manusia atau tidak. Sehingga ide itu saya terima manakala mampu memenuhi kriteria itu sehingga ia menjadi ide yang memuaskan akal dan hati saya. Nah, demikianlah Islam yang saya pelajari sejak berkenalan dengan sebuah gerakan yang dalam slogannya mengusung kembalinya kehidupan Islam dengan tegaknya syariah dalam naungan Khilafah. Jika kawan-kawan berkenan, bisa mendiskusikan satu buku berjudul Nizhamul Islam untuk membuktikan bahwa Islam itu rasional, baik Aqidah-nya maupun Syariah-nya, itu satu kesatuan sebagai sistem hidup yang lengkap.[2]

Khusus Khilafah, karena ini menjadi topik diskusi yang menghangat akhir-akhir ini di media sosial, saya pun akhirnya turut menulis ini untuk berbagi kacamata pandangan, Khilafah itu adalah bagian dari ajaran Islam. Idiom kata Khilafah itu keluar dari lisan mulia Nabi. Ia dipraktikkan sebagai bagian dari cara hidup islami yang ditegakkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Sampai hari ini setiap bulan Ramadhan umat Islam di Nusantara sering mendengar kata khalifah dalam bacaan bilal shalat tarawih. Nah, khalifah itu sebutan untuk kepala negara dalam sistem Khilafah. Sebagaimana raja untuk menyebut pemimpin kerajaan. Presiden untuk demokrasi republik presidensial. Kaisar untuk kekaisaran. Begitulah. Jadi secara istilah, Khilafah bukan hal asing, ia ada dalam nash otoritatif umat Islam dan terus hidup, disebut-sebut dalam lisan-lisan umat ini sampai sekarang.

Lalu jika ada satu kelompok mengusung tema ini sebagai tujuan perjuangannya maka itu juga bukanlah hal yang aneh. Tapi dunia memang sedang anomali. Sebagaimana Nabi SAW pernah mengabarkan: Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Menyebut kata Khilafah dianggap aneh di saat dunia sedang dipimpin oleh Kapitalisme, sebagaimana dulu menyebut kalimat tauhid di-katain gila di saat dunia sedang memuja-muja berhala. Mengapa hari ini dalam diri kebanyakan-umat Islam merasa gak comfort dengan istilah khilafah, syariah, jihad, dan thaghut sedangkan mereka berasa lebih keren manakala pembicaraan mereka dibumbui istilah demokrasi, feminisme, pasar Bebas, pluralisme dan anak turunnya seperti multikulturalisme dll? Ini karena umat Islam hidup dalam peradaban di mana Kapitalisme menjadi ideologi pemenang. Ibnu Khaldun pernah mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk mengikuti tradisi pihak yang menang (al-maghluub muulaun abadan bil iqtida bil ghaliib). Kekalahan umat Islam hari ini adalah kekalahan peradaban. Semenjak Khilafah Utmani, the Sick Man of Europe yang akhirnya ditikam mati oleh Barat, lalu kekayaan dan kekuasaannya diperebutkan layaknya anak-anak yang serakah terhadap makanan. Datanglah masa ketika Khilafah menjadi asing dan idiom-idiom politik akhirnya disetir oleh konsep-konsep Barat yang mereka sebut sebagai konsep yang kebenarannya universal. Konsep-konsep itu dipaksakan untuk diterapkan di negeri-negeri Islam di bawah payung penindasan.

Benar pada akhirnya negeri-negeri Islam yang dulu terjajah kini merdeka. Para pejuang kemerdekaan di Libya, kita mengenal Omar Mukhtar, di Palestina ada Izzuddin Al Qassam, di Indonesia kita mengenal Diponegoro. Mereka adalah para ulama, berada di garis depan perang melawan penjajahan dengan motivasi jihad fi sabilillah telah berhasil mengusir para penjajah itu. Tapi apakah sistem penjajah benar-benar pergi? Secara faktual tidak. Rezim-rezim pribumi nyatanya tetap melanjutkan dan menjadi penjaga sistem penjajah itu.

Kita coba kaji satu tesis menarik dari Dr. Revrisond Baswir. Kita ambil kasus Indonesia supaya dekat dengan kehidupan kita. Menurut Revrisond Baswir, perekonomian Indonesia hanyalah transisi dari kolonialisme ke neokolonialisme. Ia menyebutnya sebagai struktur ekonomi terjajah. Apa pasalnya? Ada 10 Subversi Neokolonialisme yang menjerat rezim Indonesia Merdeka untuk tetap berada dalam pusaran sistem penjajah itu sehingga gagal untuk menciptakan negara yang mandiri.[3]

Paska era kolonial dan berakhirnya perang dingin, Barat dengan Kapitalisme-nya muncul sebagai pemenang. Barat berusaha menjadikan peradabannya sebagai peradaban tunggal. Barat mengekspor peradabannya kepada bangsa-bangsa yang lain lewat apa yang disebut neo imperialisme. Nasib dunia Islam di belahan yang lain juga tidak lebih beruntung dari Indonesia, sama-sama hidup dalam hegemoni sistem dan ideologi penjajah. Ada negeri Islam yang sampai hari ini hidup terjajah secara fisik, tak berdaya, dan terusir dari negerinya di depan mata dunia, HAM, Demokrasi dan hukum Internasional yang dijunjung Barat sebagai nilai-nilai keadilan universal itu.

Neo imprealisme bukanlah omong kosong. Ada satu buku yang ditulis oleh William Blum berjudul Americas Deadliest Export Democracy di sana penulisnya menyebut demokrasi sebagai alat dominasi Amerika atas seluruh dunia. Secara vulgar dia mengatakan demokrasi merupakan alat untuk menguasai dunia demi kepentingan ekonomi dan ideologi. Itulah mengapa Bush Jr. pernah berpidato: Jikalau sekiranya kita ingin melindungi Amerika dalam jangka panjang, maka sebarkanlah demokrasi dan kebebasan. Seraya di kesempatan lain dia katakan bahwa Peradaban Barat adalah nilai-nilai universal dari semangat kemanusiaan, kebebasan bukan tirani, demokrasi bukan diktator. Namun, Barat juga menginvasi Irak, menghancurkan kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan atas nama penyebaran demokrasi. Wajah neo imprealisme sebagaimana Dieter Nohlen katakan adalah berupa dominasi politik, ekonomi dan budaya. Di era kepemimpinan Kapitalisme ini kita hidup. Dan di bumi kita lahir ini, Indonesia, berada di pusaran itu.

Nah, neo imprealisme adalah ancaman nyata, relevan dalam semesta pembicaraan kita tentang upaya menyelamatkan negara ini. Pun demikian dengan kawan-kawan yang memegang slogan NKRI harga mati. Namun, ide Khilafah bukanlah ancaman. Apakah orang-orang yang memekikkan “NKRI Harga Mati” telah mematok harga yang tidak bisa ditawar lagi saat berdialog dengan gagasan Khilafah? Tapi membuka pintu negosiasi harga dengan pengibar bendera neo imprealisme, separatisme dan disintegrasi? Kekayaan negara ini telah di-’dol’ kepada korporasi berbendera penjajah yang dulu kakek kita berjuang mengusirnya dengan bersimbah darah. UU dilegislasi dari gedung dewan menjadi pintu masuk bagi robot-robot penghisap itu menyedot rakus minyak tambang kita secara sah dan pongah. Sialnya, dari gedung itu dewan terhormat sambil berkacak pinggang berkata bahwa mereka sedang menjalankan aspirasi rakyat. Kakek kita dulu menyebut penjajah itu Kompeni (Perusahaan) dan kini Company itu disambut hormat oleh rezim pribumi untuk melanjutkan penghisapan terhadap apa-apa yang masih tersisa di bumi pertiwi. Inilah neo imprealisme. Dan ini yang harus kita lawan!

Kawan, Khilafah Rasyidah merupakan institusi politik yang diwariskan oleh Nabi dan Khulafa’ur Rasyidin. Ia menjadi thariqah islamiyah untuk mengembalikan kembali kemuliaan umat Islam dan umat manusia. Khilafah itu negara Islam global bukan lokal seperti gagasan Kartosuwiryo. Memang kata “daulah” merupakan kata asing. Artinya kata ini tidak dikenal pada masa jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam. Ibn Manzhur mengatakan bahwa kata “daulah atau “dulah” sama maknanya dengan al-‘uqbah fil mal wal harb (perputaran kekayaan dan peperangan). Namun, di dalam Muqaddimah Ibn Khaldun terdapat kata “daulah” dengan pengertian negara dalam bab Fi Ma’na Al-Khilafah Wal Imamah. Meskipun kata “daulah” dengan makna negara tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan berarti realitas dari kata itu tidak ada di dalam Islam. Karena nash menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilafah, yang menunjukkan makna yang sama dengan daulah. Nah, Ibn Khaldun menggunakan kata Daulah Islamiyyah. Kata “daulah” disifati dengan kata islamiyah untuk menyebut al-Khilafah.[4]

Khilafah sebagai sebuah konsep negara tidak lahir karena konteks sosiologis masyarakat Arab jahiliyyah kala itu. Apalagi menganggapnya sebagai ide reaktif yang lahir dari kondisi dunia Arab yang hari ini sedang konflik. Khilafah adalah ide yang lahir dari nash-nash Islam. Sedang nash-nash Islam adalah wahyu dan ia tidak dibentuk oleh budaya manusia. Sangat aneh dengan mereka yang terpengaruh cara pandang hermeunetik Nasr Hamid Abu Zaid yang menyebut nash (Al-Qur’an dan As Sunnah) sebagai muntaj tsaqafi (produk budaya). Metodologi Islam itu mengkaji realitas sebagai obyek hukum (manathul hukmi) bukan sebagai sandaran hukum (mashdarul hukmi). Realitas ditimbang hukumnya dengan nash Islam yang abadi. Bukan menundukkan nash agar sesuai dengan realitas. Jadi, alasan bahwa Khilafah diambil sebagai bentuk negara itu karena Khilafah disyariatkan, yang dalil-dalil-nya bersumber dari nash semata. Ia wajib diterapkan sebagai bentuk pengamalan terhadap syariat dan ketaatan terhadap pembuat syariat yaitu Allah SWT.

Itu kajian secara normatif. Secara historis, di Nusantara ide Khilafah/Negara Islam sendiri bukanlah ide yang ahistoris. Ia menjadi perbincangan dan perhatian yang menyelimuti pikiran tokoh pergerakan kemerdekaan. Misalnya Konggres Al Islam tahun 1924 yang diprakarsai oleh Syarikat Islam dan Muhammadiyah sebagai respon terhadap dihapuskannya Khilafah Utsmani. Kongres yang diketuai oleh Haji Agus Salim itu dibuat untuk turut menyelesaikan persoalan Khilafah yang menyangkut kepentingan seluruh umat Islam.[5]

Benar jika kemudian perbincangan soal bentuk, dasar dan ideologi negara menjadi persoalan yang telah menyita masa di mana founding fathers berdebat tentang hal itu. Namun, ada satu hal yang penting diungkap bahwa sebenarnya aspirasi Negara Islam itu merupakan arus populer di dekade awal kemerdekaan, bukan hanya di kalangan tokoh islamis saja tapi juga di tengah-tengah rakyat Indonesia.

Apa buktinya? Pidato Soekarno di Amuntai 27 Januari 1953. Pada satu kesempatan ketika Soekarno berpidato di tengah-tengah masyarakat Amuntai. Kala itu ada tulisan spanduk yang dibentangkan oleh pemuda-pemuda dan rakyat Amuntai “Minta Pendjelasan Negara Nasional atau Negara Islam?”. Lalu Soekarno menanggapi dengan pernyataan bahwa, “Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri...”

Ternyata, pidato Soekarno itu berbuntut panjang dan menuai reaksi keras berbagai pihak dari kaum muslimin dan tokoh-tokohnya. Dalam nota protesnya kepada pemerintah, politisi Masyumi, Isa Anshary, berkomentar bahwa jawaban Soekarno itu: “Bukan suatu kebijakan yang dapat dihargakan, karena berisi penentangan terhadap suatu ideologi Islam yang dianut oleh sebagian besar dari warga Indonesia”. Protes resmi atas pidato itu juga dilayangkan oleh PBNU pada 4 Februari 1953, menyusul Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis.[6]

Nah, apa yang bisa kita ambil dari fakta sejarah ini? Dahulu, dekade pertama kemerdekaan, arus aspirasi pendirian Negara Islam ternyata merupakan hal yang kuat dan populer di masyarakat, bukan hal yang aneh dan asing, apalagi terlarang. Nah, jika hari ini  kata “Negara Islam” seolah haram untuk diperdengarkan, apalagi diperjuangkan. Menyebutnya saja sudah dianggap tabu dan mengerikan, seolah hendak menodai kesakralan dari sesuatu yang telah terlanjur disebut sebagai ideologi dan dasar negara. Menurut saya, semua itu tak lepas skenario pencitra-burukkan konsep negara Islam yang dilakukan secara sistematis selama akhir pemerintahan Soekarno dan disempurnakan pada masa Orde Baru (Orba) dan terus berlanjut hingga hari ini. Ada upaya untuk terus menakut-nakuti masyarakat dengan menggambarkan seakan Negara Islam, Daulah Islamiyah, Khilafah adalah monster yang patut diwaspadai. Pengusungnya patut dibungkam. Organisaasi yang memperjuangkannya diintimidasi dengan ancaman rekomendasi pembubaran. Bahkan ada spanduk yang dipasang oleh oknum di desa saya: “Jika Ingin Negara Khilafah silahkan keluar dari NKRI”.

Kawan, propaganda negatif itu ada karena memang ide Khilafah itu menyimpan bahaya; bahaya bagi kepentingan neo imprealisme, eksistensi sistem penjajah, dan rezim boneka berwajah pribumi. Saya beberapa kali mengulang sistem penjajah untuk menyebut sistem yang lahir dari ideologi Kapitalisme. Ideologi milik adikuasa Imperialis. Ada baiknya baca juga riset Zeyno Baran. Saya setuju bahwa Negara Kesatuan adalah keharusan yang tidak bisa ditawar, NKRI harga mati dalam konteks kesatuan wilayah teritorial harus kita dukung karena syariah Islam mengharamkan disintegrasi. Saya setuju bahwa Negara Kesatuan adalah upaya final, karena negara federal bertentangan dengan Islam. Namun, jika yang dimaksud final itu adalah konsitusi atau sistem pemerintahan, kenyataannya hingga kini tidak pernah final, selalu berubah-ubah dan dinamis bergantung aspirasi rakyat.

Dulu awalnya sistem presidensial, lalu berganti sistem parlementer dan kembali lagi ke sistem presidensial hingga sekarang. Dulu kita mengenal Demokrasi Terpimpin, Nasakom tafsiran sosialis ala Soekarno. Lalu demokrasi Pancasila dan Kapitalisme-Pembangunan ala Soeharto. Dan kini paska Reformasi hadir dengan wajah kian Neoliberal. Bicara Undang-Undang Dasar (UUD) juga selalu berubah-ubah dan telah mengalami amandemen berkali-kali.

Nah, tawaran Khilafah dengan Dustur Islamy itu untuk mengkoreksi basis ideologi yang salah yang telah membawa kapal besar Indonesia ini berlayar tak tentu arah. Syariah dan Khilafah itu solusi atas kritik terhadap kegagalan sistem sekuler dan ‘kapitalisme malu-malu’ yang dilakonkan oleh rezim boneka berwajah pribumi. Ia bukan ide separatis dan disintegrasi tapi ide penyatuan dan ikatan. Ikatan yang berbasis risalah langit. Risalah yang dulunya pernah menyinari langit peradaban manusia dengan cahaya dari Baghdad, Damaskus dan Andalusia, yang sebelumnya pekat oleh pemujaan berhala dan penindasan manusia atas manusia. Hari ini langit peradaban manusia itu kembali pekat oleh asap-asap mesin kerakusan Kapitalisme yang menyeret manusia dalam lembah kenistaan baru. Penghisapan kekayaan oleh segelintir orang. Kerusakan alam. Hancurnya moral. Lenyapnya spiritual.[7]

Bersambung .... []
kita sambung di diskusi jalanan saja ya.. :D
Note:
  1. Negara Khilafah merupakan gagasan yang sangat terperinci. Hizbut Tahrir misalnya memiliki puluhan kitab yang menjelaskannya secara mendetail dan sistemik. Saya akan inbokskan beberapa e-booknya sebagai hadiah. Insyaallah.

  1. Sebagian dari kalangan menakut-nakuti dengan konflik di Timur Tengah. Konflik dan malapetaka yang terjadi di dunia Islam, termasuk di Timur Tengah itu karena berbagai faktor. Ada dua yang sangat menonjol. Pertama, keberadaan rezim-rezim tiran seperti Bashar Assad di Suriah, Mubarak dan dilanjutkan oleh As Sisi di Mesir, Qadzafi di Libya. Mereka adalah rezim bengis penjaga kepentingan Barat dan sistem sekuler. Kedua, intervensi politik dan militer yang terus dilakukan oleh negara-negara adikuasa seperti yang tampak menonjol terjadi di Afghanistan dan Irak. Jika kita memahami dengan baik awal terjadinya apa yang media sebut sebagai Arab Spring, adalah bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap tirani rezim, awalnya di Tunisia lalu merembet ke Mesir, Libya dan Suriah. Bukankah negeri ini sekalipun pernah terjadi huru hara reformasi? Nah, hal yang sama juga terjadi Arab. Namun, warna benturan ideologi memang mencolok. Jika kita cermati intervensi politik negara-negara Barat, yang dilakukan melalui perundingan-perundingan yang mereka fasilitasi, adalah untuk meredam gejolak aspirasi ideologis elemen rakyat yang menuntut tidak hanya bergantinya rezim tapi juga bergantinya sistem. Kawan-kawan, bisa mendalami ini sebagai referensi: . Jadi tidak bisa serta merta dikatakan orang Arab itu berpaham radikal, pro-kekerasan dan tidak cintai damai atau bukan Islam yang ramah. Nah, bagaimana dengan orang Islam di Nusantara seperti Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro atau KH Hasyim Asyari, apakah kita katakan juga mereka sebagai kaum radikal dan pro kekerasan ketika KH Hasyim Asyari misalnya mengeluarkan resolusi jihad melawan penjajah yang telah membunuhi rakyat dan merampok kekayaan kita. Inilah pentingnya apa yang dikatakan oleh Pram, adil dalam berpikir.


[1] Aktivis Gerakan Mahasiswa Pembebasan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur. Kini aktif di Partai Pembebasan.
[2] Buku Nizhamul Islam bisa di download disini: hizbut-tahrir.or.id/2007/12/11/buku-buku-dalam-pdf/
[3] Tulisan Dr. Revrisond Baswir bisa dibaca di sini: http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm
[4] Lihat Muqaddimah Ibn Khaldun hlm. 180 dan 210-211
[5] Menurut Deliar Noer: Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini (maksudnya masalah Khilafah), malah merasa berkewajiban memperbicangkan dan mencari penyelesaian. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942). Dalam surat kabar Harian Neratja edisi 26, 27, 29, 31 Maret 1924, H. Agus Salim menulis sebuah artikel yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam. Artikel ini menggambarkan kekalutan dunia Islam atas keruntuhan Khilafah. Read more: Respon Umat Islam di Indonesia atas keruntuhan Khilafah Islamiyah: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/03/04/respon-umat-islam-di-indonesia-atas-keruntuhan-khilafah-islamiyah/
[6] Pidato Soekarno di Amuntai silahkan googling : pidato; soekarno; amuntai; 1953
[7] Dustur Islamy bisa dikaji di bab terakhir kitab Nizhamul Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...