Oleh: Marlaf
Sucipto
Saya tertarik
mengenali Hizbut Tahrir (HT) lebih dalam sejak Ary Naufal (Ketua Gerakan
Mahasiswa Pembebasan Jawa Timur) dihadirkan di forum diskusi Indonesia Belajar
Institut (IBI) bartajuk “Refleksi Orientasi Kampus; Antara Humanisasi dan
Dehumanisasi”. Di situ, pembicara lain, Muhammad Shofa (Kordinator Bibliopolis
Book Review Surabaya), terlontar kata “NKRI Harga Mati”, kata-kata ini kemudian
memanjang sampai saya dan Muhammad Shofa diundang dalam diskusi terbuka yang
diselenggarakan di Universitas Airlangga (Unair) oleh Gema Pembebasan HTI Jawa
Timur.
Saat itu, saya
hadir sendiri, Muhammad Shofa berhalangan hadir. Kata yang dikontroversikan
oleh HTI, yang mempertanggungjawabkannya justru saya seorang. Karena secara
prinsip, walaupun secara verbal bukan saya yang melontarkan “NKRI Harga Mati”,
saya sepakat dengan slogan ini.
Sampai di
Unair, hampir semua peserta diskusinya adalah HTI. Benar seloroh teman saya di
group WhatsAap, di Unair itu adalah “kandang”-nya HTI. Sedikit was-was ada,
tapi saya datang ke sana untuk berdiskusi, bukan yang lain.
Saat saya
sampai di sana, diskusinya di-setting lebih serius daripada IBI. Bendera
HTI ditemplek di gedung, menggunakan LCD proyektor, dan pengeras suara. Saat
saya tanya, apakah sudah mengkonfirmasi ke pemilik tempat? Jawabnya sudah,
menjadi menarik saat saya tanya soal pengeras suara, salah satu di antara
mereka ada yang nyeletuk, “tidak apa-apa, sekalian dakwah bagi pengunjung yang
lain.” Kebetulan acara ini diletakkan di salah satu warkop di dekat Unair.
Karena saya tamu, saya mengamini saja atas hal ini. Tapi, selang beberapa menit
kemudian saat acara dihelat, kegiatan diskusi ini diprotes oleh penjaga warkop,
katanya pemilik warkop tidak berkenan. Saya menduga, ini pasti telah terjadi
komunikasi sungsang. Protes itu berlanjut, pengaras suara tidak diperkenankan,
dan diskusi dibatasi sampai jam 22:15 Wib. Itu pun setelah melalui proses lobby
yang agak lama.
Di awal
diskusi, audien disuguhi serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh HTI
melalui layar proyektor. Dalam demonstrasi itu, HTI mengkritik habis tentang
sistem demokrasi, penjajahan gaya baru berkedok investasi tapi substansinya
memuat imprealisasi, dan 100 persen anti kapitalisme yang orang HTI selalu
mengkambinghitamkan Amerika sebagai negara adidaya. Problematika Indonesia
kemudian dikorek sedalam-dalamnya oleh salah satu pembicara dari HTI, dan
menjadi tambah lengkap saat Ary Naufal mempermantap menjelaskan problematika
yang kini tengah melilit kondisi negeri. Kemudian, lagi-lagi, solusi dari
problamatika itu adalah penegakan Khilafah ar-Rasyidah. Hal seperti ini
sebenarnya sudah biasa saya temui di bulletin al-Islam saat datang hari Jumat
di masjid-masjid.
Giliran saya
menjadi pembicara, saya memulai dari sebuah pertanyaan-pertanyaan, terkait
Negara khilafah versi HTI itu seperti apa? Point-point pertanyaan itu sama
dengan sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya: “Mempertanyakan Konsep
Khilafah ar-Rosyidah-nya Hizbut Tahrir”. Cuma dari sekian pertanyaan itu, tak
satu pun yang dijawab oleh teman-teman HTI, utamanya dari pembicaranya.
Pertanyaan konsep khilafah ini kemudian terkesan memaksa, saat diskusi pindah
ke beranda Masjid Kampus B Unair. Karena dibuat tidak boleh tidak untuk
menjawab, Ary Naufal kemudian menjawab, yang kurang lebih begini:
“Institusionalisasi hukum Islam dalam sebuah Negara dengan satu kepemimpinan di
dunia”. Kemudian saya tanyakan lagi, hukum Islam yang mana kira-kira nanti yang
mau dipakai jika Negara khilafah benar-benar tegak?”, improvisasi jawaban ini
yang menarik, “Kenapa Anda tidak juga bertanya kepada penganut kapitalisme
tentang bagaimana hukum kapitalisme itu berlaku di dunia?”, kemudian saya
jawab, “lho, saya ke sini kan mau berdiskusi tentang konsep khilafah, bagaimana
khilafah?, soal kapitalisme alangkah tepatnya jika saya tidak menanyakan kepada
Anda”. Kemudian Ary Naufal menjawab, “Jika Negara khilafah tegak, maka pemberlakuan
hukum Islam akan diambil dari semua madzhab”. “Jika demikian, bagaimana jika
dihadapkan pada satu persoalan yang imam madzhab tidak satu pendapat?”,
jawabnya “imam, kholifah nanti yang akan memutus, mengambil satu dari sekian
perbedaan itu sesuai dengan kemantapan imam”. “Jika begitu, masih kalah elegan
dong pada sistem musyawarah mufakat ala Pancasila”. Jawab saya.
Dari sini saya
mulai mengurai, bahwa demokrasi yang difahami HTI, sebagaimana telah dijelaskan
oleh pembicara HTI sebelumnya, adalah demokrasi liberal yang berkembang di
Amerika. Sedangkan demokrasi di Indonesia berbasis Pancasila, bukan demokrasi
liberal sebagaimana di Amerika. Walaupun dalam perjalananya, demokrasi
Pancasila mengalami pembelokan faham oleh mereka yang kesusupan pola demokrasi
liberal Amerika. Tidak hanya itu, dalam perjalanannya, republik yang sudah 70th
merdeka ini, tata aturan yang digali dari nilai-nilai dasar kenusantaraan,
telah kesusupan seperangkat aturan yang justru memihak imprealisme. Ini
sebenarnya yang menjadi tantangan kita bersama agar seperangkat aturan yang
digali dari nilai dasar kita dalam berbangsa tidak mengalami pembelokan yang
justru mendegradasi kita sebagai orang Indonesia yang merdeka. Kita bersama, sekuat
tenaga, dengan cara-cara cerdas, bahu membahu, supaya kita benar-benar dapat
berdaulat secara ekonomi, politik, dan kebudayaan sebagaimana dulu telah
diidealisasi oleh Founding Fathers bernama Soekarno.
Selain itu,
konsep Negara khilafah ala HTI, selain kabur, juga tidak kontekstual dengan
kondisi Indonesia yang jelas-jelas memiliki geneologi kultur, agama, adat
istiadat, ras, dan sosial kemasyarakatan yang tak sama dengan Palestina di mana
HTI itu dilahirkan.
Saya, kepada
semua kritik-kritik HTI yang anti imprealisme, kapitalisme, dan istilah lain
yang secara substansial memeras, menganiaya, berlaku tidak adil, amat sepakat
dan menyetujuinya. Karena semua agama-tidak hanya Islam, telah mengajarkan agar
manusia memanusiakan manusia, juga agar manusia bertindak tidak melampaui batas
dalam memperlakukan alam. Tapi, saya tidak sepakat dengan institusionalisasi
hukum Islam yang konsep ala HTI sendiri masih kabur, kalah rinci dengan
seperangkat aturan yang dinaungi oleh Pancasila.
Tulisan ini
telat, karena ditulis sambil menunggu tulisan Ahmad Fathoni Jauhar (Aktivis
GEMA), yang berjanji akan menanggapi tulisan saya sebelumnya, dan tulisan teman
saya Libasut Taqwa. Cuma, sampai tulisan ini di-publish, tulisan
tersebut tidak kunjung ada. Saya berharap, ia tetap memenuhi janjinya.
Villa
Slamet Indah
15:09
Wib
27
Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...