Kamis, 27 Agustus 2015

Masih Soal Hizbut Tahrir

Oleh: Marlaf Sucipto
Saya tertarik mengenali Hizbut Tahrir (HT) lebih dalam sejak Ary Naufal (Ketua Gerakan Mahasiswa Pembebasan Jawa Timur) dihadirkan di forum diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI) bartajuk “Refleksi Orientasi Kampus; Antara Humanisasi dan Dehumanisasi”. Di situ, pembicara lain, Muhammad Shofa (Kordinator Bibliopolis Book Review Surabaya), terlontar kata “NKRI Harga Mati”, kata-kata ini kemudian memanjang sampai saya dan Muhammad Shofa diundang dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan di Universitas Airlangga (Unair) oleh Gema Pembebasan HTI Jawa Timur.

Saat itu, saya hadir sendiri, Muhammad Shofa berhalangan hadir. Kata yang dikontroversikan oleh HTI, yang mempertanggungjawabkannya justru saya seorang. Karena secara prinsip, walaupun secara verbal bukan saya yang melontarkan “NKRI Harga Mati”, saya sepakat dengan slogan ini.

Sampai di Unair, hampir semua peserta diskusinya adalah HTI. Benar seloroh teman saya di group WhatsAap, di Unair itu adalah “kandang”-nya HTI. Sedikit was-was ada, tapi saya datang ke sana untuk berdiskusi, bukan yang lain.

Saat saya sampai di sana, diskusinya di-setting lebih serius daripada IBI. Bendera HTI ditemplek di gedung, menggunakan LCD proyektor, dan pengeras suara. Saat saya tanya, apakah sudah mengkonfirmasi ke pemilik tempat? Jawabnya sudah, menjadi menarik saat saya tanya soal pengeras suara, salah satu di antara mereka ada yang nyeletuk, “tidak apa-apa, sekalian dakwah bagi pengunjung yang lain.” Kebetulan acara ini diletakkan di salah satu warkop di dekat Unair. Karena saya tamu, saya mengamini saja atas hal ini. Tapi, selang beberapa menit kemudian saat acara dihelat, kegiatan diskusi ini diprotes oleh penjaga warkop, katanya pemilik warkop tidak berkenan. Saya menduga, ini pasti telah terjadi komunikasi sungsang. Protes itu berlanjut, pengaras suara tidak diperkenankan, dan diskusi dibatasi sampai jam 22:15 Wib. Itu pun setelah melalui proses lobby yang agak lama.

Di awal diskusi, audien disuguhi serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh HTI melalui layar proyektor. Dalam demonstrasi itu, HTI mengkritik habis tentang sistem demokrasi, penjajahan gaya baru berkedok investasi tapi substansinya memuat imprealisasi, dan 100 persen anti kapitalisme yang orang HTI selalu mengkambinghitamkan Amerika sebagai negara adidaya. Problematika Indonesia kemudian dikorek sedalam-dalamnya oleh salah satu pembicara dari HTI, dan menjadi tambah lengkap saat Ary Naufal mempermantap menjelaskan problematika yang kini tengah melilit kondisi negeri. Kemudian, lagi-lagi, solusi dari problamatika itu adalah penegakan Khilafah ar-Rasyidah. Hal seperti ini sebenarnya sudah biasa saya temui di bulletin al-Islam saat datang hari Jumat di masjid-masjid.

Giliran saya menjadi pembicara, saya memulai dari sebuah pertanyaan-pertanyaan, terkait Negara khilafah versi HTI itu seperti apa? Point-point pertanyaan itu sama dengan sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya: “Mempertanyakan Konsep Khilafah ar-Rosyidah-nya Hizbut Tahrir”. Cuma dari sekian pertanyaan itu, tak satu pun yang dijawab oleh teman-teman HTI, utamanya dari pembicaranya. Pertanyaan konsep khilafah ini kemudian terkesan memaksa, saat diskusi pindah ke beranda Masjid Kampus B Unair. Karena dibuat tidak boleh tidak untuk menjawab, Ary Naufal kemudian menjawab, yang kurang lebih begini: “Institusionalisasi hukum Islam dalam sebuah Negara dengan satu kepemimpinan di dunia”. Kemudian saya tanyakan lagi, hukum Islam yang mana kira-kira nanti yang mau dipakai jika Negara khilafah benar-benar tegak?”, improvisasi jawaban ini yang menarik, “Kenapa Anda tidak juga bertanya kepada penganut kapitalisme tentang bagaimana hukum kapitalisme itu berlaku di dunia?”, kemudian saya jawab, “lho, saya ke sini kan mau berdiskusi tentang konsep khilafah, bagaimana khilafah?, soal kapitalisme alangkah tepatnya jika saya tidak menanyakan kepada Anda”. Kemudian Ary Naufal menjawab, “Jika Negara khilafah tegak, maka pemberlakuan hukum Islam akan diambil dari semua madzhab”. “Jika demikian, bagaimana jika dihadapkan pada satu persoalan yang imam madzhab tidak satu pendapat?”, jawabnya “imam, kholifah nanti yang akan memutus, mengambil satu dari sekian perbedaan itu sesuai dengan kemantapan imam”. “Jika begitu, masih kalah elegan dong pada sistem musyawarah mufakat ala Pancasila”. Jawab saya.

Dari sini saya mulai mengurai, bahwa demokrasi yang difahami HTI, sebagaimana telah dijelaskan oleh pembicara HTI sebelumnya, adalah demokrasi liberal yang berkembang di Amerika. Sedangkan demokrasi di Indonesia berbasis Pancasila, bukan demokrasi liberal sebagaimana di Amerika. Walaupun dalam perjalananya, demokrasi Pancasila mengalami pembelokan faham oleh mereka yang kesusupan pola demokrasi liberal Amerika. Tidak hanya itu, dalam perjalanannya, republik yang sudah 70th merdeka ini, tata aturan yang digali dari nilai-nilai dasar kenusantaraan, telah kesusupan seperangkat aturan yang justru memihak imprealisme. Ini sebenarnya yang menjadi tantangan kita bersama agar seperangkat aturan yang digali dari nilai dasar kita dalam berbangsa tidak mengalami pembelokan yang justru mendegradasi kita sebagai orang Indonesia yang merdeka. Kita bersama, sekuat tenaga, dengan cara-cara cerdas, bahu membahu, supaya kita benar-benar dapat berdaulat secara ekonomi, politik, dan kebudayaan sebagaimana dulu telah diidealisasi oleh Founding Fathers bernama Soekarno.

Selain itu, konsep Negara khilafah ala HTI, selain kabur, juga tidak kontekstual dengan kondisi Indonesia yang jelas-jelas memiliki geneologi kultur, agama, adat istiadat, ras, dan sosial kemasyarakatan yang tak sama dengan Palestina di mana HTI itu dilahirkan.

Saya, kepada semua kritik-kritik HTI yang anti imprealisme, kapitalisme, dan istilah lain yang secara substansial memeras, menganiaya, berlaku tidak adil, amat sepakat dan menyetujuinya. Karena semua agama-tidak hanya Islam, telah mengajarkan agar manusia memanusiakan manusia, juga agar manusia bertindak tidak melampaui batas dalam memperlakukan alam. Tapi, saya tidak sepakat dengan institusionalisasi hukum Islam yang konsep ala HTI sendiri masih kabur, kalah rinci dengan seperangkat aturan yang dinaungi oleh Pancasila.

Tulisan ini telat, karena ditulis sambil menunggu tulisan Ahmad Fathoni Jauhar (Aktivis GEMA), yang berjanji akan menanggapi tulisan saya sebelumnya, dan tulisan teman saya Libasut Taqwa. Cuma, sampai tulisan ini di-publish, tulisan tersebut tidak kunjung ada. Saya berharap, ia tetap memenuhi janjinya.

Villa Slamet Indah
15:09 Wib
27 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...