Oleh: Marlaf Sucipto
Di awal
diskusi, saya menjelaskan, Indonesia masyarakat muslimnya terbesar pertama di
dunia, karena masyarakat Muslim Indonesia mampu mambangun harmoni dengan segala
perbedaan yang ada. Utamanya perbedaan dalam hal yang sudah saya kemukakan di
atas. Selain itu, sejarah masuknya Islam di Indonesia, polanya menggunakan
pendekatan akulturasi budaya, bukan invasi, apalagi ekspansi. Islam di
Indonesia, lebih bertitik tekan pada tindakan-gerakan penyelamatan. Jadi, dalam
sejarah perjalanan Islam di Indonesia, tidak pernah terjadi pemaksaan apalagi
yang sampai muncul tindakan kekerasan.
Bahkan,
sebagaimana disampaikan Muhammad Shofa-peserta diskusi IBI yang juga sebagai
kordinator Bipliopolis Book Review Surabaya, di Bali, di daerah di mana
Muhammad Shofa lahir dan tumbuh kembang, secara kultur masyarakat muslimnya
mengalami peleburan dengan kebudayaan Hindu. Banyak sekali muslim Bali yang
cara berpakaiannya seperti orang Hindu saat menunaikan sholat dan saat datang
hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, kegiatan Maulidan, dst.
Di Lamongan,
Jawa Timur, sebagaimana disampaikan salah seorang peserta diskusi, juga ada
tempat ibadah yang dibangun secara berdekatan. Gereja, masjid, dan vihara.
Hal tersebut
sebagai simbol sederhana, bahwa perbedaan dalam beragama, tidak menghalangi
orang Indonesia untuk bermesra ria, saling menghormati, menghargai, dan tidak
saling merusak di antaranya.
Kemesraan
hidup bersama dalam perbedaan, sebenarnya lebih dipengaruhi oleh kebudayaan
umum orang Indonesia saat negeri ini masih bernama Nusantara. Kemesraan ini
terus mengalir dari generasi ke generasi.
Islam di
Amerika, menurut salah satu di antara mereka, juga dapat berdialog secara baik
dengan agama-agama lain. Walau kadang sempat tegang karena ulah segelintir
orang yang melakukan tindakan pengrusakan atas nama Islam. Tapi orang Islam
yang suka melakukan pengrusakan, secara geneologis tidak memiliki
ketersambungan dengan Indonesia, tapi banyak di antara mereka yang menganut
faham tertentu di Timur Tengah.
Orang Amerika
yang hadir semalam, semuanya penganut Agama Kristen yang taat. Mereka
berkhidmad penuh pada ajaran dan ketauladanan Yesus Kristus. Yesus yang
pengasih, penyayang, suka membantu, sederhana dalam hidup, tidak meterialistis,
tidak ambisius dalam kekuasaan, peduli kepada orang banyak, tindakan
penyelamatanya atas siapa pun tanpa memandang perbedaan-perbedaan, menjadi
pegangan mereka dalam melangkah. Walau memang menurut mereka, banyak masyarakat
beragama di Amerika, yang hanya terjebak kepada ritus seperti rutin datang ke
Greja, tapi prilakunya tidak sebagaimana yang diteladankan Yesus. Dalam hal
ini, saya rasa tidak jauh beda dengan kondisi Indonesia. Masyarakat muslimnya
walaupun terbesar di dunia, tapi perangai di antara mereka tidak benar-benar
sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad. Kita Muslim Indonesia, juga tidak
sedikit yang terjebak kepada ritus-ritus seperti rutin datang ke masjid, puasa
Ramadhan, haji berkali-kali, tapi tak mampu mengugah kesadaran diri untuk
menahan dan mengendalikan diri dari prilaku distruk yang merugikan diri dan
yang lain.
Jadi, bagi
yang Muslim, atau yang non Muslim sekalipun, ayo jangan cemari ajaran baik
agama-agama dengan prilaku buruk kita kemudian mengatasnamakan agama. Jangan
menghujat, menindas, apalagi sampai merampas hak hidup mahluk lain atas nama
agama. Karena tak satu pun agama samawi, yang memiliki ketersambungan dengan
Nabi Ibrohim, seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, menghandaki pengrusakan di
muka bumi. Ajaran dari agama-agama ini, lebih bagaimana supaya manusia mampu
membangun hubungan, baik sesama manusianya, maupun dengan yang lainnya,
terjalin harmonis, saling melengkapi satu sama lain. Terwujudnya kehidupan yang
damai, tentram, dan sejahtera, adalah puncak dari tujuan lahirnya agama-agama
tersebut.
Dari diskusi
soal agama-agama antara Indonesia dan Amerika, kemudian berlanjut pada diskusi
mengenai sosial kemasyarakatan antara orang Indonesia dan Amerika. Orang
Amerika mengakui, mengagumi, atas bagaimana orang Indonesia bermasyarakat.
Orang Indonesia, menurut mereka, orangnya ramah, sopan, tidak curigaan, suka
menolong bagi mereka yang butuh pertolongan, rasa kegotongroyongannya tinggi,
dan segalanya itu tanpa berharap pamrih. Walaupun, menurut saya, hal ini tidak
bisa digenaralisasi. Kebanyakan orang Eropa, Amerika secara khusus, kebalikan
dari yang sebagaimana saya kemukakan di atas. Ada daerah yang relasi sosialnya
hampir memiliki kesamaan dengan orang Indonesia, yaitu daerah Alabama. Negara
bagian di Amerika Serikat.
Mengenai
politik dan para politikusnya, tidak jauh beda dengan kondisi di Indonesia.
Lembaga politik, hanya ada dua yang besar, yaitu Partai Demokrat dan Partai
Republik. Demokrat lebih reformis dan modern sedangkan Republik lebih
tradisionil filosofis. Prilaku politikusnya, juga banyak yang hanya pandai
mengumbar janji palsu untuk mengikat dukungan dan suara saat pemilihan. Banyak
di antara mereka yang juga korup, suka bermain mata, dan segala tindakan buruk
lainnya. Mereka juga termasuk orang yang beragama, umumnya Kristen. Tapi banyak
di antara mereka yang jauh dari ajaran-ajaran agama Kristen walaupun tetap
rajin datang ke Greja. Saya rasa, hal seperti juga terjadi di Indonesia.
Mayoritas yang menjadi pejabat publik di Indonesia, agamanya adalah Islam, tapi
perangainya jauh dari nilai-nilai Islam, perangainya jauh dari yang
diteladankan Muhammad sebagai pembawa agama Islam.
Orang
Amerika, kurang begitu menghargai atas orang yang sudah tua renta, orang yang
sudah tidak produktif. Mereka-mereka yang telah renta, tidak produktif, lebih
memilih ditempatkan di Panti Jompo. Ini yang berbeda dengan orang Indonesia
pada umumnya. Dalam hal merawat orangtua, di Indonesia, anak dari orangtua
dimaksud, malah berebut untuk merawatnya, sebagai wujud tanda terimakasih sang
anak atas orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Orang Indonesia
yang mempantijompokan orangtuanya karena alasan sibuk yang pada umumnya
mengejar materi, lebih karena mereka terpengaruh oleh pola orang Eropa yang
individualis materialistis itu.
Kemudian,
berlanjut pada soal film, saya Tanya: ”Amerika, yang ditampilkan di film-film
Hollywood itu, selalu ditampilkan superior, tangguh, loncat dari lantai delapan
tidak hancur, mengendarai motor-mobil jago-jago, glomour dengan simbol
joget-joget tari telanjang, miras, narkoba, dst”, meraka meresponnya dengan
tertawa lepas terbahak-bahak. Mereka bilang, itu bohong!, kemudian mereka
menjelaskan, orang Amerika sama sebagaimana orang Indonesia. Film itu hanya
sekedar hiburan dan tak pernah nyata dalam kehidupan orang Amerika. Bahkan banyak
orang Amerika yang susah, tak mampu hidup surfive di Negara Amerika yang keras.
Maka tak heran banyak orang Amerika yang lebih memilih hidup di Indonesia
karena selain sosial masyarakatnya bagus, juga hidup di Indonesia tidak sesusah
hidup di Amerika.
Begitu kita
sebagai orang Indonesia tidak bangga lahir dan hidup di Indonesia?! Heeemmmm…..
Ayo, bangga
jadi Indonesia….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...