Kamis, 27 Agustus 2015

Orang Amerika, Belajar Islam Indonesia

 Oleh: Marlaf Sucipto

Sudah kali ke sekian Indonesia Belajar Institut (IBI) kadatangan tamu orang asing. Nimbrung dalam kegiatan diskusi. Semalam (21/8), di Angkringan 57 Wonocolo Surabaya, 7 orang warga Negara Amerika Serikat belajar Islam di Indonesia. Empat di antaranya masih sebagai mahasiswa, selebihnya professional di bidangnya masing-masing. Datang ke Indonesia dalam rangka belajar. Selain mengagumi alam Indonesia, juga mengagumi relasi sosial masyarakatnya  yang dari sisi etnik, budaya, ras, suku, dan agama berlainan.

Di awal diskusi, saya menjelaskan, Indonesia masyarakat muslimnya terbesar pertama di dunia, karena masyarakat Muslim Indonesia mampu mambangun harmoni dengan segala perbedaan yang ada. Utamanya perbedaan dalam hal yang sudah saya kemukakan di atas. Selain itu, sejarah masuknya Islam di Indonesia, polanya menggunakan pendekatan akulturasi budaya, bukan invasi, apalagi ekspansi. Islam di Indonesia, lebih bertitik tekan pada tindakan-gerakan penyelamatan. Jadi, dalam sejarah perjalanan Islam di Indonesia, tidak pernah terjadi pemaksaan apalagi yang sampai muncul tindakan kekerasan.

Bahkan, sebagaimana disampaikan Muhammad Shofa-peserta diskusi IBI yang juga sebagai kordinator Bipliopolis Book Review Surabaya, di Bali, di daerah di mana Muhammad Shofa lahir dan tumbuh kembang, secara kultur masyarakat muslimnya mengalami peleburan dengan kebudayaan Hindu. Banyak sekali muslim Bali yang cara berpakaiannya seperti orang Hindu saat menunaikan sholat dan saat datang hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, kegiatan Maulidan, dst.

Di Lamongan, Jawa Timur, sebagaimana disampaikan salah seorang peserta diskusi, juga ada tempat ibadah yang dibangun secara berdekatan. Gereja, masjid, dan vihara.

Hal tersebut sebagai simbol sederhana, bahwa perbedaan dalam beragama, tidak menghalangi orang Indonesia untuk bermesra ria, saling menghormati, menghargai, dan tidak saling merusak di antaranya.

Kemesraan hidup bersama dalam perbedaan, sebenarnya lebih dipengaruhi oleh kebudayaan umum orang Indonesia saat negeri ini masih bernama Nusantara. Kemesraan ini terus mengalir dari generasi ke generasi.

Islam di Amerika, menurut salah satu di antara mereka, juga dapat berdialog secara baik dengan agama-agama lain. Walau kadang sempat tegang karena ulah segelintir orang yang melakukan tindakan pengrusakan atas nama Islam. Tapi orang Islam yang suka melakukan pengrusakan, secara geneologis tidak memiliki ketersambungan dengan Indonesia, tapi banyak di antara mereka yang menganut faham tertentu di Timur Tengah.

Orang Amerika yang hadir semalam, semuanya penganut Agama Kristen yang taat. Mereka berkhidmad penuh pada ajaran dan ketauladanan Yesus Kristus. Yesus yang pengasih, penyayang, suka membantu, sederhana dalam hidup, tidak meterialistis, tidak ambisius dalam kekuasaan, peduli kepada orang banyak, tindakan penyelamatanya atas siapa pun tanpa memandang perbedaan-perbedaan, menjadi pegangan mereka dalam melangkah. Walau memang menurut mereka, banyak masyarakat beragama di Amerika, yang hanya terjebak kepada ritus seperti rutin datang ke Greja, tapi prilakunya tidak sebagaimana yang diteladankan Yesus. Dalam hal ini, saya rasa tidak jauh beda dengan kondisi Indonesia. Masyarakat muslimnya walaupun terbesar di dunia, tapi perangai di antara mereka tidak benar-benar sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad. Kita Muslim Indonesia, juga tidak sedikit yang terjebak kepada ritus-ritus seperti rutin datang ke masjid, puasa Ramadhan, haji berkali-kali, tapi tak mampu mengugah kesadaran diri untuk menahan dan mengendalikan diri dari prilaku distruk yang merugikan diri dan yang lain.

Jadi, bagi yang Muslim, atau yang non Muslim sekalipun, ayo jangan cemari ajaran baik agama-agama dengan prilaku buruk kita kemudian mengatasnamakan agama. Jangan menghujat, menindas, apalagi sampai merampas hak hidup mahluk lain atas nama agama. Karena tak satu pun agama samawi, yang memiliki ketersambungan dengan Nabi Ibrohim, seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, menghandaki pengrusakan di muka bumi. Ajaran dari agama-agama ini, lebih bagaimana supaya manusia mampu membangun hubungan, baik sesama manusianya, maupun dengan yang lainnya, terjalin harmonis, saling melengkapi satu sama lain. Terwujudnya kehidupan yang damai, tentram, dan sejahtera, adalah puncak dari tujuan lahirnya agama-agama tersebut.

Dari diskusi soal agama-agama antara Indonesia dan Amerika, kemudian berlanjut pada diskusi mengenai sosial kemasyarakatan antara orang Indonesia dan Amerika. Orang Amerika mengakui, mengagumi, atas bagaimana orang Indonesia bermasyarakat. Orang Indonesia, menurut mereka, orangnya ramah, sopan, tidak curigaan, suka menolong bagi mereka yang butuh pertolongan, rasa kegotongroyongannya tinggi, dan segalanya itu tanpa berharap pamrih. Walaupun, menurut saya, hal ini tidak bisa digenaralisasi. Kebanyakan orang Eropa, Amerika secara khusus, kebalikan dari yang sebagaimana saya kemukakan di atas. Ada daerah yang relasi sosialnya hampir memiliki kesamaan dengan orang Indonesia, yaitu daerah Alabama. Negara bagian di Amerika Serikat.

Mengenai politik dan para politikusnya, tidak jauh beda dengan kondisi di Indonesia. Lembaga politik, hanya ada dua yang besar, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Demokrat lebih reformis dan modern sedangkan Republik lebih tradisionil filosofis. Prilaku politikusnya, juga banyak yang hanya pandai mengumbar janji palsu untuk mengikat dukungan dan suara saat pemilihan. Banyak di antara mereka yang juga korup, suka bermain mata, dan segala tindakan buruk lainnya. Mereka juga termasuk orang yang beragama, umumnya Kristen. Tapi banyak di antara mereka yang jauh dari ajaran-ajaran agama Kristen walaupun tetap rajin datang ke Greja. Saya rasa, hal seperti juga terjadi di Indonesia. Mayoritas yang menjadi pejabat publik di Indonesia, agamanya adalah Islam, tapi perangainya jauh dari nilai-nilai Islam, perangainya jauh dari yang diteladankan Muhammad sebagai pembawa agama Islam.

Orang Amerika, kurang begitu menghargai atas orang yang sudah tua renta, orang yang sudah tidak produktif. Mereka-mereka yang telah renta, tidak produktif, lebih memilih ditempatkan di Panti Jompo. Ini yang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Dalam hal merawat orangtua, di Indonesia, anak dari orangtua dimaksud, malah berebut untuk merawatnya, sebagai wujud tanda terimakasih sang anak atas orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Orang Indonesia yang mempantijompokan orangtuanya karena alasan sibuk yang pada umumnya mengejar materi, lebih karena mereka terpengaruh oleh pola orang Eropa yang individualis materialistis itu.

Kemudian, berlanjut pada soal film, saya Tanya: ”Amerika, yang ditampilkan di film-film Hollywood itu, selalu ditampilkan superior, tangguh, loncat dari lantai delapan tidak hancur, mengendarai motor-mobil jago-jago, glomour dengan simbol joget-joget tari telanjang, miras, narkoba, dst”, meraka meresponnya dengan tertawa lepas terbahak-bahak. Mereka bilang, itu bohong!, kemudian mereka menjelaskan, orang Amerika sama sebagaimana orang Indonesia. Film itu hanya sekedar hiburan dan tak pernah nyata dalam kehidupan orang Amerika. Bahkan banyak orang Amerika yang susah, tak mampu hidup surfive di Negara Amerika yang keras. Maka tak heran banyak orang Amerika yang lebih memilih hidup di Indonesia karena selain sosial masyarakatnya bagus, juga hidup di Indonesia tidak sesusah hidup di Amerika.

Begitu kita sebagai orang Indonesia tidak bangga lahir dan hidup di Indonesia?! Heeemmmm…..

Ayo, bangga jadi Indonesia….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...