Selasa, 29 September 2015

Indonesia Itu Khilafah Dalam Bahasa Lokal

Libasut Taqwa*

Paling awal, saya mohon maaf sebab setelah beberapa waktu tulisan Bung Jauhar dipublis ke Facebook, saya baru sempat memberikan sedikit tanggapan sekarang, bukan sebab saya menerima dan sebegitunya turut mengamini apa yang disampaikan, namun lebih karena beberapa hal, pertama; tugas kuliah saya yang “lumayan” membuat saya tersendat untuk sekedar menggores tulisan. Jadilah tulisan ini di tengah-tengah penyelesaian makalah perkuliahan saya tentang Islamic Worldview dalam konsep Fazlur Rahman dan Sayyid Qutb.

Kedua, saya harus jujur. Saya menunda berhari-hari menanggapi tulisan itu sebab saya menunggu terlebih dahulu tanggapan dari senior, dan kawan-kawan di Indonesia Belajar Institut (IBI), atau aktivis lainnya. Namun, setelah beberapa lama, ternyata mereka lengah, atau mungkin memilih sibuk menimbrungi hal yang lebih “penting”. kalau memang begitu, bagi saya tak masalah. Tapi biar sedikit saya beritahu; saya cukup menyayangkan kepada teman-teman IBI lainnya mengapa tulisan itu tidak ditanggapi dan hanya dibiarkan. Mohon maaf, anda sekalian mungkin lupa, bagaimana peran media sosial sekarang begitu menggurita sehingga dengan sangat mudah tulisan-tulisan seperti itu merongrong pola pikir kaula muda menjadi sangat bebal, dan tidak berkarakter. Anda lupa, bagaimana sekarang, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin lama semakin “menyombongkan” diri dengan konsep cloud chucko land-nya. Mereka pun tidak sadar, bagaimana sekarang, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), atau bahkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sudah tidak punya taring lagi di mata generasi karena selalu saja membiarkan kampanye-kampanye tulisan semacam itu beredar luas, dan dibaca tanpa counter yang arif dan berbobot. Santer kita dengar, orang bertanya, mana konsep tamaddun Islam HMI?, mana Konsep Pergerakan PMII?, atau Tauhid sosial ala Amien Rais bagi IMM?, pemuda HTI lebih punya konsep yang jelas (?), apakah hal-hal itu belum juga membangunkan kita?, Saya menghargai sepenuhnya kesibukan saudara sekalian, dan hak untuk tidak memberikan jawaban, baik lisan apalagi tulisan. Tapi sebagaimana Edward W. Said, “tugas seorang intelektual” adalah memberikan tanggapan dengan perspektif yang benar. Yang lurus, yang tidak melupakan akar kesejarahan di bumi mana ia tinggal. Orang-orang seperti ini sulit sadar, bahwa beberapa tahun ke depan (kalau kita biarkan kampanye tersebut), kita sulit menemukan seorang lulusan Tekhnik menjadi seperti Bung Karno—Soekarno (1901-1970), atau lulusan ekonomi seperti Bung Hatta—Mohammad Hatta (1902-1980). Atau bahkan seorang santri seperti Wahid Hasyim (1914-1953). Camkan itu!!.. pembiaran kampanye-kampanye yang merongrong kedaulatan negara Indonesia yang telah terwujud oleh konsepsi –tidak hanya by Islamist- ini mendapat tempat yang layak di kampus-kampus umum. Oleh sebabnya, kita memiliki tugas kesejarahan dan intelektualitas yang seharusnya guna menjelaskan (jangan membiarkan!) duduk masalah Indonesia dengan perspektif di Indonesia. Bukan Arab, bukan Afrika, apalagi Eropa!

Sekali lagi saya mohon maaf, saya memberi kritik pada saudara sekalian sebab saya menaruh hormat demi menegaskan kembali tugas masa depan kita.

Baik, untuk tidak berlama-lama, saya akan mulai menuangkan tanggapan saya. Semestinya tanggapan lebih baik saya cantumkan point by point saja. Namun karena akan menjadi pemadatan kalimat, jadi saya sampaikan dalam bentuk narasi.
---------------------

Bung Jauhar betul, tulisannya bukan untuk menanggapi atau memberikan bantahan terhadap dua tulisan saya dan Bung Marlaf. Sebab ia hanya menyampaikan perspektif lain –yang juga tidak jelas- mengenai duduk perkara tulisan-tulisan sebelumnya. Walaupun saya mengakui usahanya untuk menyinggung beberapa point dalam tulisan, namun porsinya jauh lebih sedikit dibanding kampanye “lagi-lagi” khilafah Islamiyah. Dan kita tahu, kampanye berkesudahan dengan pembelaan naif konsep tersebut.

Yang patut anda catat, saya murni tidak membenci HTI. Tidak ada alasan membenci sesama muslim yang rancak dalam perjuangan menegakkan Islam. Saya punya teman HTI, ia baik, yang bahkan pernah satu team dalam lomba tingkat nasional. jadi tidak ada secuil pun usaha saya untuk mengurusi hal-hal personal. Saya tidak ambil pusing apakah anda tinggal di desa, kota, atau di planet manapun. Kalaupun kita tidak bersepakat, maka itu sepenuhnya karena berlainan konsep dan pemikiran. Biarlah orang menilai, konsep mana yang masuk akal dan bisa diterapkan atas dasar akal sehat dan tidak apologetis. Dalam hal ini saya setuju dengan Yusril Ihza Mahendra, dalam pengantar buku Negara Sekuler; lawan berdebat, adalah Kawan berpikir.

Bung Jauhar, Saya setuju Islam tidak hanya mengajarkan Aqidah wa syariah, tetapi juga menggelontorkan tsaqafah wal Hadharah. Oleh sebab itu Islam sudah sempurna, tidak perlu di sempurna-sempurnakan lagi.

Saya setuju bahwa begitu banyak gerakan diberangus karena dianggap tidak masuk akal suatu saat akan diterima masyarakat luas. term ini tentu berlaku general, bukan Khilafah saja, tapi ide sekulerisasi Cak Nur—NurcholishMadjid (1939-2005), Ide-ide para sufi kontroversial, bahkan ide Islam Liberal, diterima dan diadopsi berjuta-juta manusia. Dalam tulisan itu, Bung Jauhar menulis:

“Pada awalnya ia (abad pencerahan, pen) ditandai dengan penyebaran ide-ide baru. Ide yang secara heroik menentang rezim gereja yang dispotik itu. Lalu ia menjadi arus baru yang ternyata mendapat dukungan massa dan mampu meruntuhkan dominasi gereja dan sistem feodalisme. Ide baru itu ialah sekulerisme yang dirintis oleh para filosof, ditulis dalam ribuan buku, didiskusikan dalam lingkaran-lingkaran ilmuwan dan rakyat jelata meski di bawah bayang-bayang kejamnya inkuisisi. Namun akhirnya ide ini menang dan Eropa menikmati tatanan masyarakat baru yang hingga kini mereka bangga-banggakan itu. Jadi saya punya cara berpikir yang berbeda, saya tidak memutuskan ketidaklayakan sebuah pemikiran dari realita bahwa pemikiran itu yang menganutnya masih sedikit, mendapat penentangan dan lain sebagainya. Jika pemikiran itu berseberangan dengan status quo, namanya penentangan itu merupakan hal yang alamiah”

Logika berpikir seperti ini jika dibenturkan dengan relitas ke-Indonesia-an, saya rasa tidak pantas. Mengapa, sebab pendapat demikian juga berlaku bagi Indonesia, saya mencita-citakan konsep Dar al-Ahdi semacam Indonesia juga akan berlaku sepenuhnya hingga –meminjam Syafi’i Ma’arif- sehari sebelum kiamat menjadi wajar-wajar saja. Yang jadi masalah, konsep yang diajukan Bung Jauhar tidak sama sekali melihat posisi umat selain Islam yang sama-sama membentuk Republik, dan hanya melihat Indonesia ini dari kacamata Islam yang –kebetulan- mayoritas di Indonesia. Negara Indonesia amat jauh berbeda lahirnya dengan situasi negara-kota ala Nabi yang memang perjuangan menempuh kemuliaan itu sepenuhnya andil Islam. Di Indonesia, Hindia Belanda, Cita-cita merdeka itu lahir sebab kulit kuning, kulit putih, menindas kulit coklat. Sehingga orang non-Islam juga sama-sama punya andil dalam proses memerdekakan negara. Dalam tataran ini, bagi saya, konsep Dzimmi tidak bisa berlaku di Indonesia. Jadi, kita tidak bisa serampangan begitu saja membentuk negara seluruhnya Islam dan melupakan andil mereka. Akan ditaruh mana “muka” kita sebagai seorang muslim?

Selanjutnya, saya sepaham bahwa umat Islam wajib mengangkat seorang pemimpin, namun saya berlainan jalan mengenai bagaimana semestinya pemimpin itu diangkat dan diturunkan. Tidak ada statement tegas dari Nabi, bagaimana seorang harus menjadi Khalifah (pengganti)-nya. Saya rasa anda juga tahu, bahwa masalah pemimpin dalam Islam menembus jalur Khilafiyah. Jadi, mewajibkan Khilafah sebagai satu-satunya konsep yang “diridhoi” Allah, bagi saya merupakan suatu pandangan yang keliru. Kita memang memerlukan Khalifah sebagai pengganti nabi, dan saya tidak bermasalah dengan -sebagaimana anda katakan “jika ada satu kelompok mengusung tema ini sebagai tujuan perjuangannya maka itu juga bukanlah hal yang aneh“. Tapi sebagaimana anda tahu, setelah nabi, sudah tidak ada otoritas tunggal, oleh karenanya juga berlaku bahwa kepemimpinan sudah tidak bisa ditunggalkan hanya kepada satu orang manusia yang tidak ma’shum. Ini berarti, umat Islam berhak memilih dan menentukan bentuk dan sistem negaranya sesuai nilai-nilai kontekstualitas Islam berdasarkan situasi dan kondisi wilayah yang didiaminya. Dengan kata lain, sistem kekhalifahan sebagai produk pasca nabi, posisinya secara teori tidak lebih dari masalah ijtihad. Sebab tidak terdapat nash pasti sebagaimana pastinya masalah, puasa, zakat, zina, dan lain-lain. Memang, dalam berabad-abad sejarah Kekhilafahan Muslim, begitu banyak karya para Juris yang mengakui posisi sentral Khalifah sebagai pemersatu umat sehingga dilekatkan predikat Syar’i sebagai ganjaran pentingnya posisi ini. Namun, harus kita akui, bahwa teori sosial dan politik senantiasa berubah sepanjang sejarah mengikuti konteks ruang dan waktu. Terlebih lagi, apabila kita jeli menganalisa bentuk perubahan pemikiran para Juris, maka akan kita temui khususnya bahwa terjadi perubahan teori kepemimpinan yang terjadi sebelum jatuhnya Abbasiyah dengan memusatkan teori mereka pada masalah Khilafah-Imamah menjadi masalah Kekhilafahan kepada posisi sentral syariah sebagai pemersatu umat pasca Baghdad hancur oleh Mongol.[1]

Saya sangat kesulitan –karena tidak ada paparan jelas- memahami seluruh dunia (umat muslim) menyerahkan urusan pemerintahannya dalam satu kepemimpinan tunggal tanpa melihat realitas geografis, etnografis, bahkan etnisitas suatu bangsa yang multi-varian dan beragam satu sama lain. Logika berpikir seperti ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Kita dapat meyakini Islam mampu bersatu dalam aqidah dan syariah, tapi selain itu, umat Islam bermetamorfosis sesuai konteks ruang hidup di mana ia tinggal. Ini berbeda tentu saja jika anda memahami Khilafah Islamiyah sebagai keyakinan mutlak tanpa tedeng aling-aling. Perasaan serba mutlak inilah yang saya kira, bagi kaum muslim, hanyalah mempertinggi tempat jatuh.
--------------------------------

Dalam pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia, suatu hal yang selalu anda sandingkan dengan konsep Kekhilafahan versi HTI, saya ingin menyampaikan klarifikasi. Sebagaimana juga pernah dinyatakan Said Aqiel Siradj, juga Masyumi dahulu, tidak ada kelompok Islam mayoritas yang menolak mutlak pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Mereka meyakini, proses pemberlakuannya mesti secara perlahan dan sesuai prosedur yang ada di Indonesia. Ini tidak lain, Semata untuk menghindari perang saudara sebagaimana pemaksaan banyak ide dan konsep di Timur Tengah dan Afrika. Hal ini juga diamini oleh Muslim Abdurrahman yang setuju pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia, asalkan model perjuangannya sebagaimana konsepsi Masyumi dan dalam tataran ide dirumuskan oleh Yusril Ihza Mahendra yang mengingatkan konteks Indonesia memang sangat berbeda. Jadi apabila ada statement anda yang meyakini Syariat Islam digaungkan oleh masyarakat secara umum dan luas dengan memberikan ilustrasi Pidato Soekarno di Amuntai, saya tidak akan membantah. Tetapi hanya sampai di situ, tidak lebih. Sebab tidak ada satu pun tokoh Indonesia masa awal yang mengutarakan ide-ide sebagaimana argumentasi Khilafah versi HTI sekarang.

Dalam hal ini, menarik melihat tanggapan Bung Jauhar mengenai ide Khilafah di masa sebelum Indonesia merdeka. Ia menulis:

Secara historis, di Nusantara ide Khilafah/Negara Islam sendiri bukanlah ide yang ahistoris. Ia menjadi perbincangan dan perhatian yang menyelimuti pikiran tokoh pergerakan kemerdekaan. Misalnya Konggres Al Islam tahun 1924 yang diprakarsai oleh Syarikat Islam dan Muhammadiyah sebagai respon terhadap dihapuskannya Khilafah Utsmani. Kongres yang diketuai oleh Haji Agus Salim itu dibuat untuk turut menyelesaikan persoalan Khilafah yang menyangkut kepentingan seluruh umat Islam.

Dalam Ajahku, Prof HAMKA—Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981), menceritakan bagaimana ketika Syaikh Abdul Karim, ayahnya, menghadiri Kongres Khilafah di Mesir mewakili utusan dari Sumatera. Akan tetapi setelah menghadiri Kongres tersebut, ia menunjukkan kekecewaannya sebab tidak lain Kongres itu hanyalah suatu ajang “pamer” keunggulan peradaban ulama Islam Timur Tengah[2] yang terlihat dari upaya perebutan posisi Khilafah antara Syarif Husein (penguasa Hijaz) dan Raja Fuad (penguasa Mesir) ditambah raja Abd al-Aziz Ibn Saud yang berhasrat menguasai Hijaz. Untuk itulah maka kedua kongres yang pada akhirnya dilaksanakan pada 1926 –setelah mengalami penundaan- di Mesir dan Saudi itu tidak lain merupakan akomodasi real dari political game perebutan simpati Raja Fuad dan Syarif Husein. Kedua kongres berakhir kurang sukses karena tidak berhasil mencapai kesepakatan. Seperti dijelaskan Hamka, kongres Kairo gagal karena tidak ada pemimpin politik yang menghadirinya. Satu-satunya politikus yang hadir di kongres itu adalah ‘Abd al-Aziz al-Shalabi, buangan politik dari Tunisia. Kongres Hijaz, di lain pihak, juga gagal karena penguasa barunya lebih tertarik pada status Hijaz daripada isu khilafah.[3] Jadi, sementara kongres Hijaz gagal karena kekurangan dukungan dari tuan rumah, kongres Kairo gagal karena kekurangan dukungan politik. Melihat realitas ini, tentu dapat kita nyatakan bahwa sebenarnya isu Khilafah tidaklah mendapat posisi sentral dalam perjuangan politik Umat Islam di Indonesia, terlebih lagi di wilayah Timur Tengah.

------------
Mengamini setengah hati, dibagian akhir tulisannya Bung Jauhar tegas menulis tentang NKRI,

“Saya setuju bahwa Negara Kesatuan adalah keharusan yang tidak bisa ditawar, NKRI harga mati dalam konteks kesatuan wilayah teritorial harus kita dukung karena syariah Islam mengharamkan disintegrasi. Saya setuju bahwa Negara Kesatuan adalah upaya final, karena negara federal bertentangan dengan Islam. Namun, jika yang dimaksud final itu adalah konsitusi atau sistem pemerintahan, kenyataannya hingga kini tidak pernah final, selalu berubah-ubah dan dinamis bergantung aspirasi rakyat.”

Bagi saya, Statement Bung Jauhar terlalu memaknai federal secara sederhana, bagaimana mungkin menyatakan negara federal tidak sesuai dengan Islam?[4] untuk anda ketahui, bahwa perjalanan paling akhir Kekhilafahan Utsmani adalah salah satu representasi federasi dalam sistem pemerintahan, Kekhalifahan memberikan keleluasaan kepada kerajaan-kerajaan kecil untuk menjalankan sistem pemerintahan sendiri. Dalam praktek itu kita melihat akhirnya Mesir, Yaman, Saudi, berakhir dengan merdeka dan mengamini federalisme sempit sehingga berpisah dari Turki Utsmani. Anda harus ingat, otonomi adalah salah satu minimalisasi konsep federasi yang sebenarnya dianggap paling baik untuk kembali diterapkan di masa-masa reformasi, tapi terjadi upaya penyelamatan wilayah yang berkonflik, sehingga kita hanya sampai pada gagasan otonomi daerah (baca statement Syaf’i Ma’arif dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan;)

Sebenarnya dari pernyataan itu anda terlihat setuju saja dengan NKRI sebagai upaya final konsolidasi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an dalam konteks kita. Tetapi ketika memainkan kontekstualisasi nilai-nilai tertulis, gagasan anda rapuh. para founding People dan penerusnya setelah itu, bahkan Soekarno telah mengakui bahwa “Piagam Jakarta” sebagai representasi nilai Islam yang menjiwai konstitusi dan Pancasila kita. Masalah banyak sekali regulasi sekarang yang menurut anda mengekor Kapitalisme dan neo kolonialisme, saya rasa itu masalah krisis moral kita di negeri ini. Bukan masalah konsep kenegaraan dan pemerintahan yang harus segera diubah secara prinsipil dan mendasar. Anda juga terlihat tidak konsisten. Mana yang ingin anda rubah, bentuk teritorial wilayah NKRI, atau kandungan undang-undang dan konstitusi? Tentu anda paham ini adalah dua hal yang berbeda. Dalam konteks HTI, setahu saya semuanya harus dirubah, model ketatanegaraannya dirubah menjadi sistem wilayah Internasional dan pemimpinnya satu orang dari seluruh bangsa-bangsa yang besar.[5] Juga tentu undang-undang dan konstitusinya. Saya pastikan gagasan anda akan terbantah bahkan oleh kawan anda sendiri.

Yang terakhir saya kira, mempelajari perjalanan sejarah Indonesia sebagai tempat bersemainya perjuangan tanah kelahiran menjadi suatu keniscayaan bagi siapapun yang ingin memahami dengan baik jatuh-bangunnya Bangsa ini ke depan. Indonesia, memang berbeda secara diametral dengan Timur Tengah atau wilayah lainnya dilihat dari berbagai macam hal. Dan itu semata bersifat alamiah tanpa dibuat-buat. Kedua, yang harus kita camkan di bagian lobus temporalis otak kita, bahwa ketika Turki Utsmani sebagai Kekhalifahan hancur oleh tangan-tangan “imperialis”, seluruh wilayah, kesultanan, dan kerajaan-kerajaan kecil yang berada dalam naungannya berpisah membentuk negara masing-masing dan merdeka satu sama lain khususnya di Timur Tengah. Ini tentu berbeda dengan Indonesia, karena setelah Utsmani Runtuh, dan Penjajah di-tendang bokongnya, semua wilayah kerajaan Islam bahkan non-Islam di negeri-negeri besar mulai Sumatera, sampai ke Timur Papua, menyatakan bersatu membentuk satu kesatuan wilayah besar dengan wilayah kepulauan terbesar di dunia.

Akhirnya, melalui konsensus pelik dan menguras keringat, para ulama’ dan umara’ sepakat memberinya nama Indonesia. Tentu kita mengerti, Indonesia merupakan wilayah terbesar ke-14 di dunia yang mengangkat satu pemimpin tunggal. Negara yang tidak memaksa semua wilayahnya memberikan bentuk formal penegakkan Syariat Islam, juga tidak melarang apabila ada yang ingin mematok formalitas Syariat seperti Aceh dan beberapa wilayah lain. Negara yang tidak melarang lebih dari enam agama beribadah menurut style-nya masing-masing. Wilayah yang apabila ada konflik, cukup ‘hanya’ Kyai kampung turun tangan, dan masalah itu pun selesailah. Bagi saya, inilah bentuk Kekhalifahan modern itu, yang anda sekalian tunggu-tunggu, yang CIA ramalkan, dan majalah-majalah terawang-kan. Jadi, tidak perlu anda sekalian gaung-gaungkan lagi. Mendakwahkan Khilafah di Indonesia bagi saya ibarat melukis di atas air, karena anda sekalian berada di medan yang keliru. Tugas HT sekarang adalah mendakwahkan Khilafah di luar Indonesia, kepada ‘alim Ulama’ Timur Tengah (saya yakin masih banyak kalangan Timur Tengah yang bahkan tidak tahu seperti apa Indonesia) termasuk Amerika dan benua-benua lainnya. tafadhol ya Akhi, singsingkan lengan bajumu, angkat kopermu, boyong keluarga-keluargamu, ajak rombongan Khilafahmu, lalu berjihad-lah di jalan Allah dengan mengabarkan ke seantero jagad -kecuali di Indonesia- bahwa di wilayah Asia Tenggara sana, ada Kekhilafahan yang berdiri kokoh dengan sangat luas, yang damai, yang bervariasi kebudayaan dan bahasanya, yang merupakan gabungan dari kerajaan-kerajaan Islam dan non-Islam, yang pernah diakui dengan gerakan non-blok-nya, yang walaupun tidak semuanya mampu berbahasa Arab, tapi memiliki pengakuan Ulama bahkan oleh wilayah mbah-nya Islam. Dan saya yakinkan anda, ahl al-Khilafah, oleh karenanya berdakwahlah kepada ‘alim ulama’ Wahhabi di Saudi, ke Mufti-mutfi Al-Azhar di Mesir, ke Council-council Islam di Barat. monggo ya Syaikh, mari bergabung dengan Indonesia dan menundukkan diri dengan penuh seluruh, Khilafah Islam dalam bahasa Lokal.!


[1] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; sebuah refleksi sejarah
[2] Untuk lebih jelas mengenai perkara ini, dalam bahasa Indonesia dapat dibaca buku “Ajahku” karya Prof. HAMKA. Di dalam buku itu, hal-128, HAMKA menulis keterangan Ayahnya mengenai penyelenggaraan Kongres di Mesir yang mengecewakan.
[3] Pada tahun kongres itu diselenggarakan, ‘Abd al-‘Aziz diproklamasikan sebagai Raja Najd dan Hijaz. Dia dengan sengaja memakai istilah malik (raja), bukan khalifah. Lihat Luthfi As-Syaukani, Ideologi Islam dan Utopia..
[4] Saya berharap dengan kukuhnya anda membela HT, anda tidak lupa membaca dan mempelajari federasi dalam sistem pemerintahan secara lebih dalam. Salah satu yang paling menarik saya kira adalah buku mengapa Indonesia harus menjadi negara Federasi, oleh Nazaruddin Syamsuddin.
[5] Saya tidak habis pikir, apakah teman-teman muslim kita di Afrika, di Papua, Indonesia Timur mau dipimpin misal oleh orang Arab, orang Persia, atau orang Somalia setelah kepemimpinannya tunggal. Tentu akan terjadi kekacauan akut yang melanda, perang dimana-mana sebab memperebutkan siapa pemimpin yang pantas; dari ras, mana, bangsa mana, dan wilayah mana? Mungkin dengan naif HTI akan menjawab: mereka disatukan Islam. Islam yang mana? Kembali kepada al-Qur’an Hadits. Mereka lupa bahwa pengamalan itu semua dilakukan manusia. Dan hampir semua sepakat, sosok manusia paripurna yang diidam-idamkan baik secara akidah, maupun dalam urusan kemasyarakatan belum juga kita temukan. Betapa banyak ‘alim di Timur Tengah, tapi begitu menggelora perang saudara tanpa henti? Di masa sekarang, kita harus jantan mengakui, legitimasi politik amat sulit disamakan dengan memperoleh legitimasi keagamaan. Dan itu berlaku hampir di seluruh wilayah dunia Islam.

1 komentar:

Terimaksih telah sudi berkomentar...