Libasut Taqwa[1]
Kira-kira dua bulan lalu, saat tema Muktamar NU “Islam
Nusantara” gebyar di mana-mana, dua orang NU diundang ke salah satu stasiun
televisi swasta di Ibu Kota guna menjelaskan konsep ‘Kenusantara-an” kepada dua
orang “lawan” debatnya –yang ternyata mantan NU- yang mendiskreditkan tema
dengan beberapa statement kurang simpatik, dan justru mengarah kepada
penghakiman tak seharusnya. Oleh karenanya, Alih-alih dialog pencerahan, tukar
pikiran berakhir deadlock, diiringi
dentuman caci maki sepihak merasa paling benar. Dialog selesai tanpa kejelasan.
Tapi bagi saya, ini biasa terjadi. Di Indonesia, sebagian orang terlampau sulit
berpikir jernih dan rasional jika bicara menyangkut Islam. Saya tak tahu
sebabnya; tapi mungkin juga diakibatkan keangkuhan mental mayoritas terbungkus
pola pikir tak mau kalah, atau sebab lain seperti; mendiskusikan muslim selalu
saja dianggap mempertanyakan Islam itu sendiri. Padahal, siapapun yang belajar
tahu, tidak semua muslim mewakili cita-cita integral Islam. Bagi penonton
seperti saya, dialog tersebut memang berakhir demikian, dan sudah dapat
diprediksi, dialog pencerahan sama sekali jauh panggang dari api.
Walaupun Dialog berakhir kurang menarik, salah satu segmen
penting bagi saya adalah statement “NKRI
harga mati” yang dibantah, khususnya oleh penolak ide Islam Nusantara. “kita
ini negara dengan perwakilan permusyawaratan, ditentukan oleh suara terbanyak,
jadi jika suatu saat pendukung perubahan bentuk negara yang banyak suaranya,
dapatlah dikatakan berubah juga bentuk negara itu”.[2]
sehingga pernyataan NKRI harga mati/final tidaklah sepenuhnya relevan”. Dari sini
sekilas, kita tidak punya argumen untuk membalas.
Perkara Negara Kesatuan Republik Indonesia juga belum
selesai diperbincangkan hingga masuk ke alam reformasi. Di masa sekarang,
banyak sekali masyarakat, khususnya kaum muda yang tidak merasakan betul pahit getirnya perjuangan, bahkan
dengan busung dada berniat mengganti hasil upaya final para founding people. Terakhir, beberapa
waktu belakangan Indonesia Belajar Institut (IBI) juga merasa
terpancing, ketika disoal apakah “NKRI harga mati” atau sekedar basa-basi.
Tentu sayang, jika persoalan bentuk negara dibahas serampangan apalagi oleh
muda-mudi cetek yang tak tahu sejarah.
Perbincangan bentuk negara[3]
sebenarnya cukup memakan tempat dalam perjalanan bangsa[4]
kita sejak masa-masa awal merdeka, mulai dari bentuk Negara Kesatuan, federasi
(yang hingga amandemen UUD kerap diwacanakan) hingga rumusan Mosi Integral
Natsir, menguras banyak tenaga para gentlemen
generasi awal. Namun, karena perjuangan tersebut berkembang dan sesuai dengan
alur hidup keinginan mayoritas –untuk tidak dikatakan semua- rakyat Indonesia,
maka Sampai sekarang kita tahu, bahwa kini bentuk negara kesatuan yang menjadi
pilihan Indonesia. Jadi agar lebih fokus, akan sepenuhnya saya –dengan segala
keterbatasan- mencoba mengurai dan menitik-beratkan pembahasan tentang bentuk
negara saja, lain tidak.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang merdeka pasca Perang
dunia II, juga tidak luput dari perdebatan panjang perihal membentuk suatu
komunitas besar yang se-ciri-sekehendak. Yang bertempat hidup di wilayah yang
sama dari struktur geografis, keadaan mental, juga ciri-ciri fisik yang tidak
bisa dimungkiri dapat menjadi alat penyambung kehendak bersama satu sama lain.
Termasuk, membentuk suatu struktur organisasi tersendiri, atas kehendak
sendiri, tanpa campur tangan wilayah dan manusia lain yang berbeda secara
budaya, ciri fisik, bahasa, dan lainnya. Wujud dari kehendak itulah muncul organisasi
tertinggi resmi yang disebut negara, guna mengatur tata kelola hidup individu
antar individu, masyarakat antar masyarakat, mengatur dan menentukan proses
pembentukan peraturan (Indonesia melalui musyawarah mufakat/voting) juga
termasuk masyarakat dengan institusi yang mengatur hajat hidup manusia di
dalamnya. Bagi saya, segala hal ini adalah alamiah semata yang muncul dari
kehendak dan hajat hidup umat manusia bahkan yang paling primitif sekalipun.
Kehendak untuk hidup bersama, berkelompok secara bebas tanpa intervensi pihak
lain diluar diri komunitas tersebut adalah hal wajar semata yang tidak perlu
dipeributkan akar masalahnya di mana. Perasaan ini hidup secara alami dari manusia
yang merasakan hal yang sama, yaitu penindasan dan penjajahan oleh bangsa lain
yang tidak sama ciri, bentuk, dan budayanya, serta berlaku memerintah dengan sewenang-wenang. Indonesia, yang
dahulu terpisah dan masing-masing independen dengan kerajaan di setiap wilayah,
ketika mengalami ketertindasan dan keterjajahan merasa perlu untuk bersatu
sebab memiliki suatu kehendak perasaan yang sama untuk merdeka, terbebas dari
penjajahan.
Seiring waktu, jadilah kehendak untuk merdeka terwujud
melalui perjuangan panjang dan menguras keringat. Agustus 1945, Indonesia
secara resmi diproklamirkan sebagai suatu negara sendiri yang merdeka,
berdaulat, dan berhak mengatur kehidupannya sendiri, dengan pemerintahan dipegang
dan dikuasai oleh orang-orang yang berkehendak merdeka tersebut, baik dari
golongan Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau lainnya. Dari sejarah kita tahu,
bahwa sosok yang terpilih adalah Soekarno sebagai pemimpin dengan sebutan
Presiden, dan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden.
Lalu, mengapa memilih istilah negara? apakah betul negara adalah hasil murni dari
penerjemahan istilah state? mengutip
Natsir, negara “memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri.... di mana saja ada
segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat.”[5]
Natsir, sebagaimana telah saya kutip, secara relevan mengakui
pandangan bahwa negara adalah produk rasional manusia yang harus dicapai juga
dengan cara-cara yang rasional guna menjadi organisasi konstitusional resmi
yang mengatur urusan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Selama abad ke-20,
Indonesia –menurut Luthfi Assyaukanie- punya konsep unik tentang negara yang
sama sekali berbeda dengan misal Timur Tengah. Saya kutipkan lengkapnya;
Di Timur tengah Arab,
sama sekali tidak ada konsep tentang negara, Istilah Dawlah yang menjadi asal
konsep Islam tentang Negara (Dawlah Islamiyyah), hanya dikenal lebih luas
baru-baru ini. Pada masa klasik, Dawlah tidak berarti Negara. Artinya adalah
suksesi dari satu ke lain Dinasti....di Indonesia, konsep negara telah dipakai
paling tidak sejak paruh pertama abad ke-5 ketika kerajaan Jawa-Melayu mulai
muncul...di Jawa Barat misalnya, ada kerajaan bernama Tarumanegara...Singosari
diperintah raja bernama Kertanegara,..Dalam semua pemakaian ini, “negara”
memang berarti negara..[6]
Dari paparan Luthfi di atas kiranya dapat kita nyatakan
bahwa negara telah menjadi ciri khas Indonesia jauh sebelum era merdeka
sehingga memiliki akar historis yang kuat dibanding misal di Timur Tengah. Jadi,
konsep negara di Indonesia bukanlah ide yang serta-merta ada dengan sendirinya dan dibuat tanpa pertimbangan matang
serta perbenturan ide para pejuang awal.
NKRI dan “Harga Mati”
Di awal kemerdekaan, sebab secara geografis Indonesia yang
terbagi atas pulau-pulau terpisah dengan berbagai macam suku, muncul perdebatan
mengenai bentuk negara yang akan digunakan Indonesia apakah negara kesatuan
ataukan negara federal. Dari sana terjadi perdebatan para tokoh yang tergabung
dalam PPKI. Bagi Moh. Yamin, bentuk negara kesatuan diperlukan untuk memperkuat
Indonesia yang dimerdekakan dengan jalan revolusi, federalisme hanya akan
memperlemah Indonesia. Ide Negara Kesatuan juga secara historis telah ada sejak
perwakilan pemuda-pemuda wilayah jajahan Hindia Belanda pada saat itu
menyatakan tekad bulat dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928.
Melalui perdebatan panjang rasional dan intelektuil, akhirnya
disepakati bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan hingga kemudian ditetapkan
dalam UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Dipilihnya negara kesatuan
didasarkan pada model perjuangan yang dilakukan bersama tidak hanya oleh satu
golongan saja, namun juga golongan lain, luasnya wilayah dan keanekaragaman
yang ada di Indonesia. Keragaman suku, bahasa, agama, budaya dan lainnya juga
menjadi pertimbangan mengapa negara kesatuan dipilih sebagai bentuk negara
Republik Indonesia.
Dalam masa perjuangan itu, dengan negara masih berusia
sangat muda, keinginan Belanda untuk kembali menjajah membuncah dengan
merongrong terbentuknya negara federasi yang sepenuhnya bertujuan memecah belah
kehidupan negara kesatuan yang sebelumnya terbentuk. Pada akhirnya, dijadikanlah
negara federal melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 dengan nama RIS
(Republik Indonesia Serikat). Akan tetapi setelah mencermati situasi politik
nasional, dengan dilatarbelakangi oleh situasi sosial dan politik yang terjadi
kala itu, maka gagalnya sistem pemerintahan federasi, Ditambah dengan situasi
dan realitas sosial yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang
heterogen dan memiliki keragaman yang sangat kompleks, membawa Natsir, melalui
Mosi Integralnya di Parlemen yang didukung oleh banyak fraksi, mengantarkan
Indonesia kembali menjadi negara kesatuan sejak 17 Agustus 1950.
Menurut Mahfud MD, naskah Mosi Integral Natsir tersebut
sebenarnya sama sekali tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan.
Bahkan, dalam pidatonya, Natsir berkali-kali menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan
kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal. Natsir menegaskan bahwa
pihaknya “menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme.”[7]
Namun, dengan Mosi Integral itulah dijadikan sandaran atas terbentuknya kembali
kesatuan kebangsaan yang terseok oleh federalisme sebagai hasil Meja Bundar.
Ajakan Natsir pada pidatonya bukanlah sekadar ajakan kepada negara bagian untuk
kembali ke negara kesatuan. Natsir menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan
dengan kontroversi negara kesatuan dan negara federal dengan menyatakan
“menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme. Perjuangan
Natsir bukan sekadar “negara kesatuan”, tetapi “persatuan bangsa” sehingga dia
menyebut sebagai integral dalam pidatonya. Sehingga jelas, Isi Mosi Integral
adalah undangan untuk pemerintah agar berinisiatif mencari penyelesaian
terhadap gejolak perpecahan yang ada.
Mosi dari Natsir disambut dengan baik oleh parlemen dan
pemerintah. Mohammad Hatta, perdana menteri sekaligus wakil presiden pada saat
itu pun menyambutnya dengan tangan terbuka. Hatta mengatakan, “Mosi Integral
Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang
dihadapi.” Pada akhirnya, 19 Mei 1950 diadakan perundingan pemerintah Republik
Indonesia Serikat yang mewakili Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan
Republik Indonesia. Perundingan itu menghasilkan piagam yang ditandatangai
Perdana Menteri republik Indonesia Serikat Mohammad Hatta dan Perdana Menteri
Republik Indonesia Dr. Halim. Piagam tersebut berisi kesepakatan NKRI dan RIS
membentuk sebuah negara kesatuan. Presiden Soekarno membacakan Piagam
pembentukan NKRI dalam sidang bersama parlemen dan senat RIS. Tepat pada hari
proklamasi Indonesia, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya negara Kesatuan
Republik Indonesia. Indonesia lahir kembali dengan nama Negara Kesatuan
Republik Indonesia hingga kini.
Lalu, apakah NKRI yang diperoleh dengan hasil keringat
bermasa-masa adalah sebuah “Harga mati” yang tidak patut ditawar-tawar lagi?
Saya tertarik menjawab istilah ini dengan beberapa hal. istilah “Harga mati”
bagi saya memang terlalu membusung, terkhusus bagi mereka yang benar-benar tak
tahu makna “darah” dalam perang kata, tulis, maupun senjata. Bagi sebagian
orang, istilah “harga mati” merupakan sebuah wujud dari kesungguhan bahwa
bentuk ini sah semata sebagai sebuah pilihan paling rasional dalam berbangsa sehingga
apapun upaya di masa sekarang untuk meragukannya adalah sebuah upaya yang
tunamakna, buta peta-buta sejarah. Tapi bagi sebagian lain, dengan situasi
bangsa dan negara yang kian meragukan –dan dengan sendirinya memandang pesimis
terhadap masa depan bangsa-,
Maka konsep “Harga mati” semestinyalah ditinjau ulang demi meraih
sebuah ikhtiar baru semata menuju Indonesia yang lebih baik.
Bagi saya, dengan tingkat kompleksitas yang sangat tinggi,
baik dari sisi heterogenitas bangsa maupun kepentingan yang ada di dalamnya, “menemukan”
Indonesia yang 70 tahun seperti sekarang ini merupakan salah satu anugerah
terbaik Tuhan bagi kita. Karena dengan NKRI lah, 70 tahun, kita tidak hancur
layaknya sebagian besar Timur Tengah, sebab dengan NKRI, kita tidak terlibat
perang saudara melelahkan seperti Afrika Selatan, pun dengan NKRI, -walaupun oleh
mereka yang tidak bertanggung jawab ingin ditarik ke “bawah dagu” Amerika-,
saya masih berani untuk meyakinkan semua orang yang membaca tulisan ini, bahwa
ini –okelah kita tidak pakai istilah “harga mati”- merupakan “Upaya Final”[8]
seluruh bangsa. Karena setelah melihat berbagai upaya untuk menggantinya hanya
akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa dan merugikan posisi
kalangan-kalangan tertentu. Sebab, kita ingin suatu negara yang tidak
senang-senang amat, negara yang tidak buruk-buruk amat,[9]
tapi negara yang ditengah-tengah, negara dari semua untuk semua, dan NKRI,
-sekali lagi- sebagai “Upaya Final,” telah mampu melakukan itu.
[2] Saya tulis berdasarkan ingatan tanpa mengurangi esensi
[3] Bagi yang akrab dengan kajian Hukum Tata negara, istilah bentuk, asas,
dasar, corak, semboyan negara, merupakan istilah yang berlainan pengertian dan
makna, jadi sebaiknya tidak dipukul rata, merubah bentuk, bukan berarti merubah
dasar, asas, atau lainnya. Begitu sebaliknya.
[4] Bangsa tidak sama dengan negara, beberapa kajian akan sangat mendalam
mengenai hal ini, tapi agar lebih sederhana, kita ambil hasil rumusan Hilmar
Farid: negara diartikan sekumpulan institusi yang menguasai dan memerintah
sebuah wilayah dengan batas tertentu.
Sedangkan bangsa, kumpulan orang yang mengklaim adanya suatu ikatan-ikatan
tertentu seperti bahasa, budaya, dan kesamaan sejarah. Walaupun klaim ini tak
lebih sebagai klaim politik, namun kiranya dapat kita pahami dengan ringkas.
Bangsa, lanjut Hilmar, adalah sesuatu yang tidak memiliki landasan etik yang
dapat diterima sehingga hanya menyisakan pengelompokan elitis. Namun baginya,
dalam konteks Indonesia, masalah bangsa sebagai definisi telah selesai sejak
Soekarno, mengutip Ernest Renant, memberikan definisi penengah; Adanya kehendak
untuk bersatu. (Diskusi Megawati Institute, 18 Agustus 2015). Lihat juga Prof.
Djokosutono, Ilmu Negara. 1982
[5] Moh. Natsir, Islam Sebagai Dasar
Negara, 11
[6] Luthfi Assyaukanie, Ideologi
Islam dan Utopia; Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia. 86-87
[7] Persatuan berbeda dengan Kesatuan. Menurut Mahfud, persatuan
(integration) menyangkut sikap kejiwaan setiap warga negara untuk merasa
terikat dalam suatu ikatan sebagai suatu bangsa, sedangkan negara kesatuan
(unitarisme) adalah konsep struktur ketatanegaraan yang biasanya dibedakan
dengan negara serikat. Silahkan lihat di http://mahfudmd.com
[8] Mungkin sekali dalam penulisan risalah singkat dan terburu-buru ini
saya terinspirasi oleh Nahdlatul Ulama dalam Maklumat Konbes NU di Surabaya
tahun 2006, yang antara lain dengan pertimbangan cukup arif. Kata upaya final
saya rasa adalah paling ideal untuk memposisikan NKRI. Dalam hal ini, saya
setuju. Lihat rumusan lengkap dalam Abdul Mun’im DZ, Piagam perjuangan Kebangsaan. 136. 2011
[9] Dalam salah satu pidatonya, Soekarno pernah mengidamkan negara seperti
ini, yang “setelah hancur lebur, lalu bangkit lagi”. Sangat mungkin dipengaruhi
oleh masa-masa revolusi fisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...