Rabu, 19 Agustus 2015

TENTANG NKRI

Libasut Taqwa[1]
Kira-kira dua bulan lalu, saat tema Muktamar NU “Islam Nusantara” gebyar di mana-mana, dua orang NU diundang ke salah satu stasiun televisi swasta di Ibu Kota guna menjelaskan konsep ‘Kenusantara-an” kepada dua orang “lawan” debatnya –yang ternyata mantan NU- yang mendiskreditkan tema dengan beberapa statement kurang simpatik, dan justru mengarah kepada penghakiman tak seharusnya. Oleh karenanya, Alih-alih dialog pencerahan, tukar pikiran berakhir deadlock, diiringi dentuman caci maki sepihak merasa paling benar. Dialog selesai tanpa kejelasan. Tapi bagi saya, ini biasa terjadi. Di Indonesia, sebagian orang terlampau sulit berpikir jernih dan rasional jika bicara menyangkut Islam. Saya tak tahu sebabnya; tapi mungkin juga diakibatkan keangkuhan mental mayoritas terbungkus pola pikir tak mau kalah, atau sebab lain seperti; mendiskusikan muslim selalu saja dianggap mempertanyakan Islam itu sendiri. Padahal, siapapun yang belajar tahu, tidak semua muslim mewakili cita-cita integral Islam. Bagi penonton seperti saya, dialog tersebut memang berakhir demikian, dan sudah dapat diprediksi, dialog pencerahan sama sekali jauh panggang dari api.

Walaupun Dialog berakhir kurang menarik, salah satu segmen penting bagi saya adalah statement “NKRI harga mati” yang dibantah, khususnya oleh penolak ide Islam Nusantara. “kita ini negara dengan perwakilan permusyawaratan, ditentukan oleh suara terbanyak, jadi jika suatu saat pendukung perubahan bentuk negara yang banyak suaranya, dapatlah dikatakan berubah juga bentuk negara itu”.[2] sehingga pernyataan NKRI harga mati/final tidaklah sepenuhnya relevan”. Dari sini sekilas, kita tidak punya argumen untuk membalas.

Perkara Negara Kesatuan Republik Indonesia juga belum selesai diperbincangkan hingga masuk ke alam reformasi. Di masa sekarang, banyak sekali masyarakat, khususnya kaum muda yang tidak merasakan betul pahit getirnya perjuangan, bahkan dengan busung dada berniat mengganti hasil upaya final para founding people. Terakhir, beberapa waktu belakangan Indonesia Belajar Institut (IBI) juga merasa terpancing, ketika disoal apakah “NKRI harga mati” atau sekedar basa-basi. Tentu sayang, jika persoalan bentuk negara dibahas serampangan apalagi oleh muda-mudi cetek yang tak tahu sejarah.

Perbincangan bentuk negara[3] sebenarnya cukup memakan tempat dalam perjalanan bangsa[4] kita sejak masa-masa awal merdeka, mulai dari bentuk Negara Kesatuan, federasi (yang hingga amandemen UUD kerap diwacanakan) hingga rumusan Mosi Integral Natsir, menguras banyak tenaga para gentlemen generasi awal. Namun, karena perjuangan tersebut berkembang dan sesuai dengan alur hidup keinginan mayoritas –untuk tidak dikatakan semua- rakyat Indonesia, maka Sampai sekarang kita tahu, bahwa kini bentuk negara kesatuan yang menjadi pilihan Indonesia. Jadi agar lebih fokus, akan sepenuhnya saya –dengan segala keterbatasan- mencoba mengurai dan menitik-beratkan pembahasan tentang bentuk negara saja, lain tidak.

Indonesia, sebagai salah satu negara yang merdeka pasca Perang dunia II, juga tidak luput dari perdebatan panjang perihal membentuk suatu komunitas besar yang se-ciri-sekehendak. Yang bertempat hidup di wilayah yang sama dari struktur geografis, keadaan mental, juga ciri-ciri fisik yang tidak bisa dimungkiri dapat menjadi alat penyambung kehendak bersama satu sama lain. Termasuk, membentuk suatu struktur organisasi tersendiri, atas kehendak sendiri, tanpa campur tangan wilayah dan manusia lain yang berbeda secara budaya, ciri fisik, bahasa, dan lainnya. Wujud dari kehendak itulah muncul organisasi tertinggi resmi yang disebut negara, guna mengatur tata kelola hidup individu antar individu, masyarakat antar masyarakat, mengatur dan menentukan proses pembentukan peraturan (Indonesia melalui musyawarah mufakat/voting) juga termasuk masyarakat dengan institusi yang mengatur hajat hidup manusia di dalamnya. Bagi saya, segala hal ini adalah alamiah semata yang muncul dari kehendak dan hajat hidup umat manusia bahkan yang paling primitif sekalipun. Kehendak untuk hidup bersama, berkelompok secara bebas tanpa intervensi pihak lain diluar diri komunitas tersebut adalah hal wajar semata yang tidak perlu dipeributkan akar masalahnya di mana. Perasaan ini hidup secara alami dari manusia yang merasakan hal yang sama, yaitu penindasan dan penjajahan oleh bangsa lain yang tidak sama ciri, bentuk, dan budayanya, serta berlaku memerintah dengan sewenang-wenang. Indonesia, yang dahulu terpisah dan masing-masing independen dengan kerajaan di setiap wilayah, ketika mengalami ketertindasan dan keterjajahan merasa perlu untuk bersatu sebab memiliki suatu kehendak perasaan yang sama untuk merdeka, terbebas dari penjajahan.

Seiring waktu, jadilah kehendak untuk merdeka terwujud melalui perjuangan panjang dan menguras keringat. Agustus 1945, Indonesia secara resmi diproklamirkan sebagai suatu negara sendiri yang merdeka, berdaulat, dan berhak mengatur kehidupannya sendiri, dengan pemerintahan dipegang dan dikuasai oleh orang-orang yang berkehendak merdeka tersebut, baik dari golongan Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau lainnya. Dari sejarah kita tahu, bahwa sosok yang terpilih adalah Soekarno sebagai pemimpin dengan sebutan Presiden, dan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden.

Lalu, mengapa memilih istilah negara? apakah betul negara adalah hasil murni dari penerjemahan istilah state? mengutip Natsir, negara “memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri.... di mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat.”[5]

Natsir, sebagaimana telah saya kutip, secara relevan mengakui pandangan bahwa negara adalah produk rasional manusia yang harus dicapai juga dengan cara-cara yang rasional guna menjadi organisasi konstitusional resmi yang mengatur urusan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Selama abad ke-20, Indonesia –menurut Luthfi Assyaukanie- punya konsep unik tentang negara yang sama sekali berbeda dengan misal Timur Tengah. Saya kutipkan lengkapnya;
Di Timur tengah Arab, sama sekali tidak ada konsep tentang negara, Istilah Dawlah yang menjadi asal konsep Islam tentang Negara (Dawlah Islamiyyah), hanya dikenal lebih luas baru-baru ini. Pada masa klasik, Dawlah tidak berarti Negara. Artinya adalah suksesi dari satu ke lain Dinasti....di Indonesia, konsep negara telah dipakai paling tidak sejak paruh pertama abad ke-5 ketika kerajaan Jawa-Melayu mulai muncul...di Jawa Barat misalnya, ada kerajaan bernama Tarumanegara...Singosari diperintah raja bernama Kertanegara,..Dalam semua pemakaian ini, “negara” memang berarti negara..[6]
Dari paparan Luthfi di atas kiranya dapat kita nyatakan bahwa negara telah menjadi ciri khas Indonesia jauh sebelum era merdeka sehingga memiliki akar historis yang kuat dibanding misal di Timur Tengah. Jadi, konsep negara di Indonesia bukanlah ide yang serta-merta ada dengan sendirinya dan dibuat tanpa pertimbangan matang serta perbenturan ide para pejuang awal.
  
NKRI dan “Harga Mati
Di awal kemerdekaan, sebab secara geografis Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau terpisah dengan berbagai macam suku, muncul perdebatan mengenai bentuk negara yang akan digunakan Indonesia apakah negara kesatuan ataukan negara federal. Dari sana terjadi perdebatan para tokoh yang tergabung dalam PPKI. Bagi Moh. Yamin, bentuk negara kesatuan diperlukan untuk memperkuat Indonesia yang dimerdekakan dengan jalan revolusi, federalisme hanya akan memperlemah Indonesia. Ide Negara Kesatuan juga secara historis telah ada sejak perwakilan pemuda-pemuda wilayah jajahan Hindia Belanda pada saat itu menyatakan tekad bulat dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928.

Melalui perdebatan panjang rasional dan intelektuil, akhirnya disepakati bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan hingga kemudian ditetapkan dalam UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Dipilihnya negara kesatuan didasarkan pada model perjuangan yang dilakukan bersama tidak hanya oleh satu golongan saja, namun juga golongan lain, luasnya wilayah dan keanekaragaman yang ada di Indonesia. Keragaman suku, bahasa, agama, budaya dan lainnya juga menjadi pertimbangan mengapa negara kesatuan dipilih sebagai bentuk negara Republik Indonesia.

Dalam masa perjuangan itu, dengan negara masih berusia sangat muda, keinginan Belanda untuk kembali menjajah membuncah dengan merongrong terbentuknya negara federasi yang sepenuhnya bertujuan memecah belah kehidupan negara kesatuan yang sebelumnya terbentuk. Pada akhirnya, dijadikanlah negara federal melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Akan tetapi setelah mencermati situasi politik nasional, dengan dilatarbelakangi oleh situasi sosial dan politik yang terjadi kala itu, maka gagalnya sistem pemerintahan federasi, Ditambah dengan situasi dan realitas sosial yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang heterogen dan memiliki keragaman yang sangat kompleks, membawa Natsir, melalui Mosi Integralnya di Parlemen yang didukung oleh banyak fraksi, mengantarkan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan sejak 17 Agustus 1950.

Menurut Mahfud MD, naskah Mosi Integral Natsir tersebut sebenarnya sama sekali tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan. Bahkan, dalam pidatonya, Natsir berkali-kali menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal. Natsir menegaskan bahwa pihaknya “menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme.”[7] Namun, dengan Mosi Integral itulah dijadikan sandaran atas terbentuknya kembali kesatuan kebangsaan yang terseok oleh federalisme sebagai hasil Meja Bundar. Ajakan Natsir pada pidatonya bukanlah sekadar ajakan kepada negara bagian untuk kembali ke negara kesatuan. Natsir menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi negara kesatuan dan negara federal dengan menyatakan “menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme. Perjuangan Natsir bukan sekadar “negara kesatuan”, tetapi “persatuan bangsa” sehingga dia menyebut sebagai integral dalam pidatonya. Sehingga jelas, Isi Mosi Integral adalah undangan untuk pemerintah agar berinisiatif mencari penyelesaian terhadap gejolak perpecahan yang ada.

Mosi dari Natsir disambut dengan baik oleh parlemen dan pemerintah. Mohammad Hatta, perdana menteri sekaligus wakil presiden pada saat itu pun menyambutnya dengan tangan terbuka. Hatta mengatakan, “Mosi Integral Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi.” Pada akhirnya, 19 Mei 1950 diadakan perundingan pemerintah Republik Indonesia Serikat yang mewakili Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan Republik Indonesia. Perundingan itu menghasilkan piagam yang ditandatangai Perdana Menteri republik Indonesia Serikat Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Republik Indonesia Dr. Halim. Piagam tersebut berisi kesepakatan NKRI dan RIS membentuk sebuah negara kesatuan. Presiden Soekarno membacakan Piagam pembentukan NKRI dalam sidang bersama parlemen dan senat RIS. Tepat pada hari proklamasi Indonesia, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia lahir kembali dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini.

Lalu, apakah NKRI yang diperoleh dengan hasil keringat bermasa-masa adalah sebuah “Harga mati” yang tidak patut ditawar-tawar lagi? Saya tertarik menjawab istilah ini dengan beberapa hal. istilah “Harga mati” bagi saya memang terlalu membusung, terkhusus bagi mereka yang benar-benar tak tahu makna “darah” dalam perang kata, tulis, maupun senjata. Bagi sebagian orang, istilah “harga mati” merupakan sebuah wujud dari kesungguhan bahwa bentuk ini sah semata sebagai sebuah pilihan paling rasional dalam berbangsa sehingga apapun upaya di masa sekarang untuk meragukannya adalah sebuah upaya yang tunamakna, buta peta-buta sejarah. Tapi bagi sebagian lain, dengan situasi bangsa dan negara yang kian meragukan –dan dengan sendirinya memandang pesimis terhadap masa depan bangsa-, Maka konsep “Harga mati” semestinyalah ditinjau ulang demi meraih sebuah ikhtiar baru semata menuju Indonesia yang lebih baik.

Bagi saya, dengan tingkat kompleksitas yang sangat tinggi, baik dari sisi heterogenitas bangsa maupun kepentingan yang ada di dalamnya, “menemukan” Indonesia yang 70 tahun seperti sekarang ini merupakan salah satu anugerah terbaik Tuhan bagi kita. Karena dengan NKRI lah, 70 tahun, kita tidak hancur layaknya sebagian besar Timur Tengah, sebab dengan NKRI, kita tidak terlibat perang saudara melelahkan seperti Afrika Selatan, pun dengan NKRI, -walaupun oleh mereka yang tidak bertanggung jawab ingin ditarik ke “bawah dagu” Amerika-, saya masih berani untuk meyakinkan semua orang yang membaca tulisan ini, bahwa ini –okelah kita tidak pakai istilah “harga mati”- merupakan “Upaya Final”[8] seluruh bangsa. Karena setelah melihat berbagai upaya untuk menggantinya hanya akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa dan merugikan posisi kalangan-kalangan tertentu. Sebab, kita ingin suatu negara yang tidak senang-senang amat, negara yang tidak buruk-buruk amat,[9] tapi negara yang ditengah-tengah, negara dari semua untuk semua, dan NKRI, -sekali lagi- sebagai “Upaya Final,” telah mampu melakukan itu.


[1] Penerima Tugas Belajar Islam dan Pemikiran Politik di Megawati Istitute Jakarta.
[2] Saya tulis berdasarkan ingatan tanpa mengurangi esensi
[3] Bagi yang akrab dengan kajian Hukum Tata negara, istilah bentuk, asas, dasar, corak, semboyan negara, merupakan istilah yang berlainan pengertian dan makna, jadi sebaiknya tidak dipukul rata, merubah bentuk, bukan berarti merubah dasar, asas, atau lainnya. Begitu sebaliknya.
[4] Bangsa tidak sama dengan negara, beberapa kajian akan sangat mendalam mengenai hal ini, tapi agar lebih sederhana, kita ambil hasil rumusan Hilmar Farid: negara diartikan sekumpulan institusi yang menguasai dan memerintah sebuah wilayah dengan batas tertentu. Sedangkan bangsa, kumpulan orang yang mengklaim adanya suatu ikatan-ikatan tertentu seperti bahasa, budaya, dan kesamaan sejarah. Walaupun klaim ini tak lebih sebagai klaim politik, namun kiranya dapat kita pahami dengan ringkas. Bangsa, lanjut Hilmar, adalah sesuatu yang tidak memiliki landasan etik yang dapat diterima sehingga hanya menyisakan pengelompokan elitis. Namun baginya, dalam konteks Indonesia, masalah bangsa sebagai definisi telah selesai sejak Soekarno, mengutip Ernest Renant, memberikan definisi penengah; Adanya kehendak untuk bersatu. (Diskusi Megawati Institute, 18 Agustus 2015). Lihat juga Prof. Djokosutono, Ilmu Negara. 1982
[5] Moh. Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, 11
[6] Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia; Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia. 86-87
[7] Persatuan berbeda dengan Kesatuan. Menurut Mahfud, persatuan (integration) menyangkut sikap kejiwaan setiap warga negara untuk merasa terikat dalam suatu ikatan sebagai suatu bangsa, sedangkan negara kesatuan (unitarisme) adalah konsep struktur ketatanegaraan yang biasanya dibedakan dengan negara serikat. Silahkan lihat di http://mahfudmd.com
[8] Mungkin sekali dalam penulisan risalah singkat dan terburu-buru ini saya terinspirasi oleh Nahdlatul Ulama dalam Maklumat Konbes NU di Surabaya tahun 2006, yang antara lain dengan pertimbangan cukup arif. Kata upaya final saya rasa adalah paling ideal untuk memposisikan NKRI. Dalam hal ini, saya setuju. Lihat rumusan lengkap dalam Abdul Mun’im DZ, Piagam perjuangan Kebangsaan. 136. 2011
[9] Dalam salah satu pidatonya, Soekarno pernah mengidamkan negara seperti ini, yang “setelah hancur lebur, lalu bangkit lagi”. Sangat mungkin dipengaruhi oleh masa-masa revolusi fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...