Kamis, 20 Agustus 2015

Mempertanyakan Khilafah Arrasyidah-nya Hizbut Tahrir[1]

(Sebuah Pengantar)
Oleh: Marlaf Sucipto[2]
Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan. Mengingat, Hizbut Tahrir (HT), suatu hal yang baru saya ketahui, masih belum saya fahami. Selebaran bulletin al-Islam pun, yang disebar saat datang hari Jumat di masjid-masjid sewaktu melaksanakan ibadah Sholat Jumat, hanya seputar berisi kritik atas republik, baik dalam hal ekonomi, politik, dan kedaulatan. Solusi dari problematika itu, ialah tegaknya Khilafah Rasyidah. Saya, selaku pembaca umum, bingung, apa itu Khilafah Rasyidah, karena setiap bulletin al-Islam yang saya baca, belum pernah menjumpai ulasan secara mendalam tentang Khilafah Rasyidah.

Kemudian, saya mengunjungi website http://hizbut-tahrir.or.id. Saya baca betul secara seksama, mencari jawaban, apa itu Khilafah Rasyidah. Di situ, Khilafah Rasyidah, hanya dijelaskan secara umum, yaitu berdirinya sebuah negera berdasarkan hukum Islam. Dan, kepemimpinannya tunggal di seluruh dunia. Sekilas, terkesan elegan, menarik. Kemudian dalam benak, saya bertanya. Hukum Islam yang mana, ya, yang kira-kira mau dipakai?, mengingat, dalam sejarah perjalanan manusia, orang Islam telah banyak yang “memproduksi” hukum-aturan berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam sebagaimana telah digariskan al-Quran dan al-Hadits. Imam Syafie’e (767-820) misalnya. Keputusan hukum ala Imam Syafie’e pun, disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Dalam hal ini, terbukti saat Imam Syafie’e memiliki “Qoul Qadim”-pendapat lama dan “Qoul Jadid”-pendapat baru.

Kemudian, berkaitan dengan gerakan melembagakan hukum Islam dalam sebuah Negara, jauh sebelum HT lahir, di Mesir, Hasan al-Banna (1928), dengan Ihwanul Muslimin-nya, juga memimpikan daulah islamiah dalam sebuah Negara. Di Pakistan, Abu al-A’la Maududi (1941), juga memimpikan hal yang sama. Baru kemudian di Palestina, Taqi al-Din al-Nabhani (1953), mendirikan HT. di Irak pada 1957 juga lahir Hizb al-Da’wah al-Islamiyyah oleh Muhammad Baqir al-Sadr. Hizbullah di Lebanon pada 1960 dengan tokohnya bernama Muhammad Husayn Fadlullah[3]. Jadi, spirit untuk membentuk Negara Islam dengan “ritme” yang tak sama, sebenarnya sudah banyak dan rata-rata bersumber dari riak konflik berdarah di Timur Tengah. Di Indonesia pun, di awal-awal kemerdekaan, juga muncul riak untuk melembagakan hukum Islam, walaupun “ritme”-nya tidak sama dengan HT. diinisiasi oleh Kartosowiryo dengan Darul Islam-nya. Tapi semua itu luluh, saat Muhammadiyah (1912), dan Nahdlatul Ulama’ (1926), bersepakat bahwa negeri ini tetap berlindung di bawah naungan Pancasila; rumusan cerdas untuk memayungi kepentingan segenap bangsa Indonesia.

HT berikut gerakannya, diinisiasi oleh seorang tokoh yang memiliki latar sosial, politik, hukum dan budaya yang tak sama dengan Indonesia. Bahkan HT, ditempat di mana ia dilahirkan, tergilas habis dan kalah tunduk pada gerakan yang lain. Atas gerakan Hamas dan Fatah misalnya. HT tak berani tatak di negeri di mana ia dilahirkan. Akhirnya, ia mencari “penghidupan” di daerah lain. Termasuk salah satunya di Indonesia. Karena Indonesia adalah negeri damai dan anti peperangan.

Kembali ke pertanyaan-pertanyaan, dan ini akan dikontekskan dengan tema diskusi yang sedang diangkat: “NKRI Harga Mati; Menyoroti Kedaulatan dan Kemerdekaan Indonesia”. Terkait NKRI, silakan baca tulisan teman saya, Libasut Taqwa: “Tentang NKRI” di http://indo-institut.blogspot.com

Merdeka, versi HT[4], bila kita benar-benar menghamba kepada Tuhan manusia (Rabb an-nas) dalam seluruh aspek kehidupan. HT datang, untuk menegakkan syariah dan khilafah dalam rangka untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia.

Menyoroti kemerdekaan, HT mengatakan bahwa kita bangsa Indonesia tidak benar-benar merdeka. Mengingat, negeri ini pada prinsipnya masih dalam cengkraman para penjajah berkedok investasi. Penjajah terkini terkenal dengan sebutan imprealisme berideologi kapitalisme. Dalam hal ini, saya sepakat, jika imprealisme berideolog kapitalisme membelengu republik yang umur kemerdekaannya sudah 70th ini. Tapi bicara kemerdekaan, secara tersurat, saya mengamini, walau secara tersirat kita belum benar-benar merdeka. Setidaknya merdeka sebagaimana yang dulu diinisiasi oleh Soekarno: berdaulat secara politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan.

Kedaulatan kita sebagai bangsa yang merdeka tercabik-cabik sebab secara politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan, tidak benar-benar berdaulat secara mandiri di atas “kaki” sendiri. Kita sebagai bangsa yang merdeka, sampai kini masih di-kacung-i terus oleh imprealis modern yang orang HT selalu mengkambinghitamkan Amerika, walaupun di balik imprelisme modern itu tidak hanya Amerika pemainnya. Kadaulatan kita sebagai bangsa merdeka semakin tersungkur saat provinsi yang ke-27- Timor Timur-kini Negara Timor Leste, dari 26 provinsi yang kini ada, lepas menjadi Negara merdeka. Menjadi tambah parah saat pulau, seperti Sipadan dan Lingitan, jatuh kepangkuan Malaysia sebagai bangsa yang pernah dijajah Inggris. Dari titik ini HT “mengempur” slogan NKRI Harga mati. Jika NKRI benar-benar harga mati, Timor-timur, Sipadan dan Lingitan, mengapa harus lepas?!

Kembali kepada eksistensi kemerdekaan. Soekarno mendeklarasikan Indonesia sebagai Negara merdeka, ditopang oleh maklumat politik mulai Pancasila, UUD ’45, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan langkah konyol tanpa pertimbangan dan perhitungan berdasarkan kesejarahan sosiologis. Langkah Soekarno dan para founding fathers sudah teruji sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia dari dulu sampai kini. Cuma masalahnya, dalam perjalananya, cita-cita yang digagas oleh founding fathers ini oleh generasi selanjutnya, banyak yang dikompromikan untuk kepentingan imprealis. Generasi bangsa selanjutnya banyak yang memilih “berselingkuh” dengan pemodal kapitalis dalam merongrong kedaulatan ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan republik. “Perselingkuhan-perselingkuhan” yang menjelma dalam sistem, baik malalui Undang-Undang (UU) dan turunannya, sejak reformasi 1998, kita sebagai bangsa memiliki keleluasaan untuk memperbaikinya, menguji peraturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi dengan yudicial review. Dalam hal ini sudah dicontohkan oleh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Muhammadiyah yang melakukan jihad bil-konstitusi dengan me-yudicial review UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU 17/2013 tentang Ormas, dan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Jika makna merdeka versi HT, ialah menghamba kepada Tuhan Manusia, orang Indonesia, yang mayoritas Islam, telah menghamba kepada Tuhan seluruh jagad raya alam. Tidak hanya menghamba kepada Tuhan manusia. Haha. Hal ini telah dipertegas dalam sholat-nya orang Islam, pada bacaan al-fatihah yang dibaca berulang sampai 17x dalam sholatnya selama 1x24 jam. Jadi, bicara kemerdekaan yang hakiki, kita orang Indonesia, talah memiliki kemerdekaan yang substansial tanpa harus menformalisasi ajaran Islam dalam bentuk Negara. Itu mengapa, Indonesia kini penduduk muslimnya terbesar di dunia, mengalahi populasi masyarakat Arab Saudi di mana Islam dilahirkan. Sedangkan HT, sekali lagi, di Palestina saja babak belur dan tidak teruji ketangguhannya, kemudian mengapa harus dibenturkan dengan NKRI yang sudah teruji tangguh menjadikan warga Negara-nya tidak sekanibal orang Timur Tengah yang terus memproduksi darah di bawah bendera berkalimat tauhid?!

Allahu A’lam


[1] Disampaikan dalam diskusi: “NKRI Harga Mati; Menyoroti  Kedaulatan dan Kemerdekaan Indonesia” di Warkop Giras Ijo, Jl. Mojo Gank 3, Karangmanjangan, Kampus A&B Universitas Airlangga Surabaya. Pada Kamis, 20 Agustus 2015 Jam 20:00 Wib.
[2] Direktur Indonesia Belajar Institut (IBI) Surabaya
[3] Al-Amin Ainur Rofiq, Proyek Khilafah Perspektif Kritis, 2015, PT. LKIS Printing Cemerlang, Yogyakarta. hal: 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...