(Sebuah Pengantar)
Oleh: Marlaf
Sucipto[2]
Saya ingin
memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan. Mengingat, Hizbut Tahrir (HT), suatu
hal yang baru saya ketahui, masih belum saya fahami. Selebaran bulletin
al-Islam pun, yang disebar saat datang hari Jumat di masjid-masjid sewaktu
melaksanakan ibadah Sholat Jumat, hanya seputar berisi kritik atas republik,
baik dalam hal ekonomi, politik, dan kedaulatan. Solusi dari problematika itu,
ialah tegaknya Khilafah Rasyidah. Saya, selaku pembaca umum, bingung,
apa itu Khilafah Rasyidah, karena setiap bulletin al-Islam yang saya
baca, belum pernah menjumpai ulasan secara mendalam tentang Khilafah
Rasyidah.
Kemudian,
saya mengunjungi website http://hizbut-tahrir.or.id.
Saya baca betul secara seksama, mencari jawaban, apa itu Khilafah Rasyidah. Di
situ, Khilafah Rasyidah, hanya dijelaskan secara umum, yaitu berdirinya
sebuah negera berdasarkan hukum Islam. Dan, kepemimpinannya tunggal di seluruh
dunia. Sekilas, terkesan elegan, menarik. Kemudian dalam benak, saya bertanya.
Hukum Islam yang mana, ya, yang kira-kira mau dipakai?, mengingat, dalam
sejarah perjalanan manusia, orang Islam telah banyak yang “memproduksi” hukum-aturan
berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam sebagaimana telah digariskan
al-Quran dan al-Hadits. Imam Syafie’e (767-820) misalnya. Keputusan hukum ala
Imam Syafie’e pun, disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Dalam hal
ini, terbukti saat Imam Syafie’e memiliki “Qoul Qadim”-pendapat lama dan
“Qoul Jadid”-pendapat baru.
Kemudian,
berkaitan dengan gerakan melembagakan hukum Islam dalam sebuah Negara, jauh
sebelum HT lahir, di Mesir, Hasan al-Banna (1928), dengan Ihwanul Muslimin-nya,
juga memimpikan daulah islamiah dalam sebuah Negara. Di Pakistan, Abu
al-A’la Maududi (1941), juga memimpikan hal yang sama. Baru kemudian di
Palestina, Taqi al-Din al-Nabhani (1953), mendirikan HT. di Irak pada 1957 juga
lahir Hizb al-Da’wah al-Islamiyyah oleh Muhammad Baqir al-Sadr.
Hizbullah di Lebanon pada 1960 dengan tokohnya bernama Muhammad Husayn
Fadlullah[3].
Jadi, spirit untuk membentuk Negara Islam dengan “ritme” yang tak sama,
sebenarnya sudah banyak dan rata-rata bersumber dari riak konflik berdarah di
Timur Tengah. Di Indonesia pun, di awal-awal kemerdekaan, juga muncul riak
untuk melembagakan hukum Islam, walaupun “ritme”-nya tidak sama dengan HT.
diinisiasi oleh Kartosowiryo dengan Darul Islam-nya. Tapi semua itu
luluh, saat Muhammadiyah (1912), dan Nahdlatul Ulama’ (1926), bersepakat bahwa
negeri ini tetap berlindung di bawah naungan Pancasila; rumusan cerdas untuk
memayungi kepentingan segenap bangsa Indonesia.
HT berikut
gerakannya, diinisiasi oleh seorang tokoh yang memiliki latar sosial, politik,
hukum dan budaya yang tak sama dengan Indonesia. Bahkan HT, ditempat di mana ia
dilahirkan, tergilas habis dan kalah tunduk pada gerakan yang lain. Atas
gerakan Hamas dan Fatah misalnya. HT tak berani tatak di negeri di mana ia
dilahirkan. Akhirnya, ia mencari “penghidupan” di daerah lain. Termasuk salah
satunya di Indonesia. Karena Indonesia adalah negeri damai dan anti peperangan.
Kembali ke
pertanyaan-pertanyaan, dan ini akan dikontekskan dengan tema diskusi yang
sedang diangkat: “NKRI Harga Mati; Menyoroti Kedaulatan dan Kemerdekaan
Indonesia”. Terkait NKRI, silakan baca tulisan teman saya, Libasut Taqwa: “Tentang
NKRI” di http://indo-institut.blogspot.com
Merdeka,
versi HT[4],
bila kita benar-benar menghamba kepada Tuhan manusia (Rabb an-nas) dalam
seluruh aspek kehidupan. HT datang, untuk menegakkan syariah dan khilafah dalam
rangka untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia.
Menyoroti
kemerdekaan, HT mengatakan bahwa kita bangsa Indonesia tidak benar-benar
merdeka. Mengingat, negeri ini pada prinsipnya masih dalam cengkraman para
penjajah berkedok investasi. Penjajah terkini terkenal dengan sebutan
imprealisme berideologi kapitalisme. Dalam hal ini, saya sepakat, jika
imprealisme berideolog kapitalisme membelengu republik yang umur kemerdekaannya
sudah 70th ini. Tapi bicara kemerdekaan, secara tersurat, saya
mengamini, walau secara tersirat kita belum benar-benar merdeka. Setidaknya
merdeka sebagaimana yang dulu diinisiasi oleh Soekarno: berdaulat secara
politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan.
Kedaulatan kita
sebagai bangsa yang merdeka tercabik-cabik sebab secara politik, ekonomi, hukum
dan kebudayaan, tidak benar-benar berdaulat secara mandiri di atas “kaki”
sendiri. Kita sebagai bangsa yang merdeka, sampai kini masih di-kacung-i
terus oleh imprealis modern yang orang HT selalu mengkambinghitamkan Amerika,
walaupun di balik imprelisme modern itu tidak hanya Amerika pemainnya.
Kadaulatan kita sebagai bangsa merdeka semakin tersungkur saat provinsi yang
ke-27- Timor Timur-kini Negara Timor Leste, dari 26 provinsi yang kini ada,
lepas menjadi Negara merdeka. Menjadi tambah parah saat pulau, seperti Sipadan
dan Lingitan, jatuh kepangkuan Malaysia sebagai bangsa yang pernah dijajah
Inggris. Dari titik ini HT “mengempur” slogan NKRI Harga mati. Jika NKRI
benar-benar harga mati, Timor-timur, Sipadan dan Lingitan, mengapa harus
lepas?!
Kembali
kepada eksistensi kemerdekaan. Soekarno mendeklarasikan Indonesia sebagai
Negara merdeka, ditopang oleh maklumat politik mulai Pancasila, UUD ’45,
Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan langkah
konyol tanpa pertimbangan dan perhitungan berdasarkan kesejarahan sosiologis. Langkah
Soekarno dan para founding fathers sudah teruji sesuai dengan situasi
dan kondisi bangsa Indonesia dari dulu sampai kini. Cuma masalahnya, dalam
perjalananya, cita-cita yang digagas oleh founding fathers ini oleh
generasi selanjutnya, banyak yang dikompromikan untuk kepentingan imprealis.
Generasi bangsa selanjutnya banyak yang memilih “berselingkuh” dengan pemodal
kapitalis dalam merongrong kedaulatan ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan
republik. “Perselingkuhan-perselingkuhan” yang menjelma dalam sistem, baik
malalui Undang-Undang (UU) dan turunannya, sejak reformasi 1998, kita sebagai
bangsa memiliki keleluasaan untuk memperbaikinya, menguji peraturan tersebut ke
Mahkamah Konstitusi dengan yudicial review. Dalam hal ini sudah
dicontohkan oleh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Muhammadiyah yang melakukan
jihad bil-konstitusi dengan me-yudicial review UU 22/2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU 17/2013 tentang Ormas, dan UU 7/2004
tentang Sumber Daya Air.
Jika makna
merdeka versi HT, ialah menghamba kepada Tuhan Manusia, orang Indonesia, yang
mayoritas Islam, telah menghamba kepada Tuhan seluruh jagad raya alam. Tidak
hanya menghamba kepada Tuhan manusia. Haha. Hal ini telah dipertegas dalam
sholat-nya orang Islam, pada bacaan al-fatihah yang dibaca berulang sampai 17x
dalam sholatnya selama 1x24 jam. Jadi, bicara kemerdekaan yang hakiki, kita
orang Indonesia, talah memiliki kemerdekaan yang substansial tanpa harus
menformalisasi ajaran Islam dalam bentuk Negara. Itu mengapa, Indonesia kini
penduduk muslimnya terbesar di dunia, mengalahi populasi masyarakat Arab Saudi
di mana Islam dilahirkan. Sedangkan HT, sekali lagi, di Palestina saja babak
belur dan tidak teruji ketangguhannya, kemudian mengapa harus dibenturkan
dengan NKRI yang sudah teruji tangguh menjadikan warga Negara-nya tidak
sekanibal orang Timur Tengah yang terus memproduksi darah di bawah bendera
berkalimat tauhid?!
Allahu
A’lam
[1] Disampaikan
dalam diskusi: “NKRI Harga Mati; Menyoroti
Kedaulatan dan Kemerdekaan Indonesia” di Warkop Giras Ijo, Jl. Mojo
Gank 3, Karangmanjangan, Kampus A&B Universitas Airlangga Surabaya. Pada Kamis,
20 Agustus 2015 Jam 20:00 Wib.
[2]
Direktur Indonesia Belajar Institut (IBI) Surabaya
[3] Al-Amin
Ainur Rofiq, Proyek Khilafah Perspektif Kritis, 2015, PT. LKIS Printing
Cemerlang, Yogyakarta. hal: 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...