Oleh: Marlaf Sucipto[2]
Kata “refleksi” sengaja saya pakai supaya kita melakukan permenungan
yang cukup atas kegiatan orientasi siswa dan mahasiswa yang kini banyak orang
membincang bahwa kegiatan ini telah mengalami disorientasi.
Orientasi, yang fungsi sederhananya dalam rangka agar siswa dan
mahasiswa mengenali kesejatian dirinya sebagai insan pembelajar yang terdidik,
kini mengalami disorientasi. Kegiatan orientasi justru malah berisi tindakan
yang tidak memanusiakan manusia, menginjak-injak harkat dan martabat sebagai
manusia, dan serentetan tindakan pembodohan lain yang nalar pun sulit
menjangkaunya. Rentetan kegiatan orientasi berbasis pembodohan ini semakin
sempurna saat penyelenggara kegiatan tak mampu merasionil rentetan demi
rentetan dan menutup diri untuk mendiskusikan secara professional terbuka.
Orientasi semakin kehilangan arah saat guru, dosen, rektor,
menteri, bahkan sampai presiden tidak menyediakan seprangkat sistem yang
mengatur supaya kegiatan orientasi tidak malah mengalami disorientasi. Dari
pelacakan yang saya lakukan, dalam sekala nasional, hanya Peraturan Menteri (Permen)
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI No. 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi
Siswa (MOS) yang saya ketahui. Peraturan ini, mestinya memiliki turunan aturan
yang jelas, setidaknya aturan yang dikeluarkan oleh kepala sekolah dalam
menerjemahkan permen tersebut. Karena kepala sekolah adalah penanggung jawab
utama dalam tata teknis pelaksanaan permen tersebut. Dalam konteks regional,
hanya dari Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya, melalui kepala dinasnya, yang
mengeluarkan pedoman tata teknis bagaimana menyelenggarakan MOS yang edukatif.
Dalam konteks orientasi mahasiswa, belum ada satu pun prodak hukum,
baik itu undang-undang (UU), maupun aturan lain di bawahnya. Kementerian Reset,
Tekhnologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristek), yang menaungi perguruan tinggi
belum ditemui program dan acaranya yang fokus serius membahas tentang
orientasi. Hal ini setidaknya setelah saya kroscek di website kemenristek.
Tiadanya seperangkan aturan yang dikeluarkan oleh penentu kebijakan
seperti rektor, kepala sekolah, dinas pendidikan, sampai menteri di
kemenristek, bisa difahami karena dua hal. Pertama, bisa jadi, mereka
menganggap kegiatan orientasi yang telah mengalami disorientasi itu, sah-sah
saja dilakukan. Alias, secara tersirat, mereka menyetujui, membenarkan atas sekian
rentetan kejadian yang lebih banyak pembodohannya ketimbang pencerdasannya. Kedua,
mereka dipersibuk oleh kegiatan administratif dan srimonial formal lain,
sehingga kehilangan waktu untuk ”melirik”, apalagi sampai “melihat” atas sekian
kegiatan orientasi yang sudah waktunya dievaluasi.
Problematika orientasi menjadi tambah akut, tatkala panitia
penyelenggara, guru, dosen, rektor, bahkan sampai tingkat menteri, tidak bisa
menjadi contoh yang baik. Baik dalam kata maupun tindakannya.
Contoh: panitia membuat jadwal untuk sholat, tapi panitianya
sendiri tidak sedikit yang enggan untuk menegakkan sholat. Panitia membuat
kegiatan agar peduli kepada lingkungan dengan tidak membuang sampah seenaknya,
panitianya sendiri masih ada yang suka membuang sampah tidak pada tempatnya.
Guru dan dosen, yang mestinya meneladankan apa yang disampaikan di kelas-kelas
dengan segunung teori dan pemahaman pengetahuannya yang luar biasa banyaknya
itu, malah miskin keteladanan positif dalam aktifitas kesehariannya. Kepala
sekolah, rektor, sampai menteri, hampir semuanya tahu, bahwa uang Negara yang
diamanahkan untuk dikelola saat mengurus sekolah, kampus, dan kementerian yang
menaungi keduanya dijelaskan secara professional terbuka sebagaimana amanah
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008, malah tidak semua
di antara mereka yang sudi mem-publish-nya. Mereka enggan menjadi
teladan dan cermin yang baik kepada yang lain.
Orientasi, Segerakan Dilakukan Evaluasi
Menyegerakan untuk melakukan evaluasi atas kegiatan orientasi
adalah keharusan yang sudah tidak bisa ditolak. Mengingat, serangkaian demi
serangkaian dalam kegiatan orientasi kini telah mengalami distorsi nilai yang
cukup dalam. Untuk menanamkan ketegasan dan keberanian misalnya, panitia
orientasi malah terjebak pada tindakan plonco yang mendegradasi
nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sumpah serapah dan kata-kata kotor saat
menegur salah seorang peserta yang indisipliner misalnya, kerap menghiasi
lisan-lisan kakak senior yang mempanitiai kegiatan orientasi. Tidak hanya itu,
sanksi bagi mereka yang indisipliner kadang aneh dan jauh dari kesan mendidik.
Seperti disuruh menangkap dua semut kemudian diminta untuk menentukan di mana
yang laki dan di mana yang perempuan, kemudian ditanyai, apakah keduanya terlihat
berciuman apa tidak. Padahal, mereka yang disanksi demikian konsentrasi
study-nya tidak dalam urusan semut. Atau setidaknya, yang berhubungan dengan
hal demikian. Masih banyak contoh lain yang pembaca bisa kembangkan sendiri.
Kegiatan orientasi harus mendapatkan perhatian yang cukup, utamanya
oleh mereka yang menaungi kegiatan ini. Segala hal yang direncakan terjadi
dalam kegiatan orientasi, harus benar-benar matang hasil diskusi kemudian
segala perencanaan tersebut sudah diuji kebaikannya oleh publik. Setidaknya
oleh mereka para praktisi pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia di
Indonesia. Bila rencana tersebut tidak teruji kebaikannya, apalagi tidak
berdasarkan hasil diskusi yang matang, diputus sepihak tanpa pertimbangan ilmu
pengetahuan, moralitas, dan keindahan, maka kemungkinan terlaksananya kegiatan
orientasi pada tindakan pembodohan lebih mungkin terjadi. Karena pelaksana
kegiatan orientasi, akan memperlakukan pesertanya sebagaimana pengalamannya
dulu diperlakukan oleh senior-seniornya. Dan perlakuan mereka di masa lalu,
tidak sedikit yang memang jauh dari nilai-nilai moralitas, edukatif, dan
humanis.
Cara mahasiswa untuk menanamkan nalar kritis, pemberani, tegas, dan
selalu berada di garda terdapan dalam menyerukan melawan kedzaliman, kelaliman,
ketidakbecusan, saat orientasi mahasiswa baru harus mendapatkan apresiasi yang
tinggi. Tapi cara mereka dalam menanamkan hal demikian, saatnya mendapatkan
sorotan kritik yang menghujam nan membangun. Dalam menempa agar mahasiswa baru
tertanami semangat melawan misalnya, cara meraka yang sambil
berteriak-berteriak, meneriaki ketidakbecusan dan kelaliman itu dengan sumpah
serapah dan kata-kata kotor, merusak fasilitas publik di sekitarnya, menaiki
bangku atau kursi yang jelas-jelas fungsinya tidak untuk dinaiki, sudah saatnya
diganti dengan model-model penempaan perlawanan yang lebih santun, beradab,
humanis. Misal, melawan dengan tulisan yang tidak mencela, tapi mengkritisinya
berdasarkan ilmu pengetahuan yang mulya. Mengintensifikasi dialog dengan para
pihak yang berkepentingan, utamanya dengan para penentu kebijakan, dalam proses
pencarian solusi dari problematika yang tengah dihadapi. Tapi jangan kemudian
berkompromi dengan ketidakbaikan dan ketidakbecusan yang tengah terjadi. Jangan
hanya lihai dan tajam melakukan kritik di depan publik, tapi saat diajak
berunding, mencarikan jalan keluar dari problematika yang tengah di hadapi,
malah kemudian berkompromi dengan ketidakbaikan tersebut.
Model orasi ilmiah yang lantang, tegas, cerdas, harus tetap terus digiangkan di
telinga mahasiswa baru, supaya mereka terpancing spiritnya untuk menjadi orator
ulung, yang kata-katanya mampu mengerakkan, mengobarkan semangat untuk bersatu
padu melawan ketidakbaikan. Orator ulung amat dibutuhkan untuk mengorganisir
orang dalam bersama-sama melawan kebathilan. Menjadi tambah mantap dan kuat,
apabila, dari sekian yang disampaikan oleh sang orator tersebut, benar-benar
mempribadi dalam dirinya. Segala yang diserukan, bukan spirit palsu. Misal:
sang orator dengan berapi-api mengajak ayo melawan korupsi, tapi tindakan dan
aktivitas kesehariannya malah korup.
Jadi, kegiatan orientasi, selain harus didukung oleh seperangkat
aturan yang telah teruji kebaikannya, juga perlu ditopang dengan perangai yang
baik. Setidaknya oleh mereka para stake holder, mulai tingkat panitia
sampai menteri bila perlu.
Allahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...