Sabtu, 15 Agustus 2015

Refleksi Orientasi Siswa-Mahasiswa; Antara Humanisasi dan Dehumanisasi[1]

Oleh: Marlaf Sucipto[2]
Kata “refleksi” sengaja saya pakai supaya kita melakukan permenungan yang cukup atas kegiatan orientasi siswa dan mahasiswa yang kini banyak orang membincang bahwa kegiatan ini telah mengalami disorientasi.

Orientasi, yang fungsi sederhananya dalam rangka agar siswa dan mahasiswa mengenali kesejatian dirinya sebagai insan pembelajar yang terdidik, kini mengalami disorientasi. Kegiatan orientasi justru malah berisi tindakan yang tidak memanusiakan manusia, menginjak-injak harkat dan martabat sebagai manusia, dan serentetan tindakan pembodohan lain yang nalar pun sulit menjangkaunya. Rentetan kegiatan orientasi berbasis pembodohan ini semakin sempurna saat penyelenggara kegiatan tak mampu merasionil rentetan demi rentetan dan menutup diri untuk mendiskusikan secara professional terbuka.

Orientasi semakin kehilangan arah saat guru, dosen, rektor, menteri, bahkan sampai presiden tidak menyediakan seprangkat sistem yang mengatur supaya kegiatan orientasi tidak malah mengalami disorientasi. Dari pelacakan yang saya lakukan, dalam sekala nasional, hanya Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI No. 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Siswa (MOS) yang saya ketahui. Peraturan ini, mestinya memiliki turunan aturan yang jelas, setidaknya aturan yang dikeluarkan oleh kepala sekolah dalam menerjemahkan permen tersebut. Karena kepala sekolah adalah penanggung jawab utama dalam tata teknis pelaksanaan permen tersebut. Dalam konteks regional, hanya dari Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya, melalui kepala dinasnya, yang mengeluarkan pedoman tata teknis bagaimana menyelenggarakan MOS yang edukatif.

Dalam konteks orientasi mahasiswa, belum ada satu pun prodak hukum, baik itu undang-undang (UU), maupun aturan lain di bawahnya. Kementerian Reset, Tekhnologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristek), yang menaungi perguruan tinggi belum ditemui program dan acaranya yang fokus serius membahas tentang orientasi. Hal ini setidaknya setelah saya kroscek di website kemenristek.

Tiadanya seperangkan aturan yang dikeluarkan oleh penentu kebijakan seperti rektor, kepala sekolah, dinas pendidikan, sampai menteri di kemenristek, bisa difahami karena dua hal. Pertama, bisa jadi, mereka menganggap kegiatan orientasi yang telah mengalami disorientasi itu, sah-sah saja dilakukan. Alias, secara tersirat, mereka menyetujui, membenarkan atas sekian rentetan kejadian yang lebih banyak pembodohannya ketimbang pencerdasannya. Kedua, mereka dipersibuk oleh kegiatan administratif dan srimonial formal lain, sehingga kehilangan waktu untuk ”melirik”, apalagi sampai “melihat” atas sekian kegiatan orientasi yang sudah waktunya dievaluasi.

Problematika orientasi menjadi tambah akut, tatkala panitia penyelenggara, guru, dosen, rektor, bahkan sampai tingkat menteri, tidak bisa menjadi contoh yang baik. Baik dalam kata maupun tindakannya.

Contoh: panitia membuat jadwal untuk sholat, tapi panitianya sendiri tidak sedikit yang enggan untuk menegakkan sholat. Panitia membuat kegiatan agar peduli kepada lingkungan dengan tidak membuang sampah seenaknya, panitianya sendiri masih ada yang suka membuang sampah tidak pada tempatnya. Guru dan dosen, yang mestinya meneladankan apa yang disampaikan di kelas-kelas dengan segunung teori dan pemahaman pengetahuannya yang luar biasa banyaknya itu, malah miskin keteladanan positif dalam aktifitas kesehariannya. Kepala sekolah, rektor, sampai menteri, hampir semuanya tahu, bahwa uang Negara yang diamanahkan untuk dikelola saat mengurus sekolah, kampus, dan kementerian yang menaungi keduanya dijelaskan secara professional terbuka sebagaimana amanah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008, malah tidak semua di antara mereka yang sudi mem-publish-nya. Mereka enggan menjadi teladan dan cermin yang baik kepada yang lain.

Orientasi, Segerakan Dilakukan Evaluasi
Menyegerakan untuk melakukan evaluasi atas kegiatan orientasi adalah keharusan yang sudah tidak bisa ditolak. Mengingat, serangkaian demi serangkaian dalam kegiatan orientasi kini telah mengalami distorsi nilai yang cukup dalam. Untuk menanamkan ketegasan dan keberanian misalnya, panitia orientasi malah terjebak pada tindakan plonco yang mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sumpah serapah dan kata-kata kotor saat menegur salah seorang peserta yang indisipliner misalnya, kerap menghiasi lisan-lisan kakak senior yang mempanitiai kegiatan orientasi. Tidak hanya itu, sanksi bagi mereka yang indisipliner kadang aneh dan jauh dari kesan mendidik. Seperti disuruh menangkap dua semut kemudian diminta untuk menentukan di mana yang laki dan di mana yang perempuan, kemudian ditanyai, apakah keduanya terlihat berciuman apa tidak. Padahal, mereka yang disanksi demikian konsentrasi study-nya tidak dalam urusan semut. Atau setidaknya, yang berhubungan dengan hal demikian. Masih banyak contoh lain yang pembaca bisa kembangkan sendiri.

Kegiatan orientasi harus mendapatkan perhatian yang cukup, utamanya oleh mereka yang menaungi kegiatan ini. Segala hal yang direncakan terjadi dalam kegiatan orientasi, harus benar-benar matang hasil diskusi kemudian segala perencanaan tersebut sudah diuji kebaikannya oleh publik. Setidaknya oleh mereka para praktisi pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. Bila rencana tersebut tidak teruji kebaikannya, apalagi tidak berdasarkan hasil diskusi yang matang, diputus sepihak tanpa pertimbangan ilmu pengetahuan, moralitas, dan keindahan, maka kemungkinan terlaksananya kegiatan orientasi pada tindakan pembodohan lebih mungkin terjadi. Karena pelaksana kegiatan orientasi, akan memperlakukan pesertanya sebagaimana pengalamannya dulu diperlakukan oleh senior-seniornya. Dan perlakuan mereka di masa lalu, tidak sedikit yang memang jauh dari nilai-nilai moralitas, edukatif, dan humanis.

Cara mahasiswa untuk menanamkan nalar kritis, pemberani, tegas, dan selalu berada di garda terdapan dalam menyerukan melawan kedzaliman, kelaliman, ketidakbecusan, saat orientasi mahasiswa baru harus mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tapi cara mereka dalam menanamkan hal demikian, saatnya mendapatkan sorotan kritik yang menghujam nan membangun. Dalam menempa agar mahasiswa baru tertanami semangat melawan misalnya, cara meraka yang sambil berteriak-berteriak, meneriaki ketidakbecusan dan kelaliman itu dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor, merusak fasilitas publik di sekitarnya, menaiki bangku atau kursi yang jelas-jelas fungsinya tidak untuk dinaiki, sudah saatnya diganti dengan model-model penempaan perlawanan yang lebih santun, beradab, humanis. Misal, melawan dengan tulisan yang tidak mencela, tapi mengkritisinya berdasarkan ilmu pengetahuan yang mulya. Mengintensifikasi dialog dengan para pihak yang berkepentingan, utamanya dengan para penentu kebijakan, dalam proses pencarian solusi dari problematika yang tengah dihadapi. Tapi jangan kemudian berkompromi dengan ketidakbaikan dan ketidakbecusan yang tengah terjadi. Jangan hanya lihai dan tajam melakukan kritik di depan publik, tapi saat diajak berunding, mencarikan jalan keluar dari problematika yang tengah di hadapi, malah kemudian berkompromi dengan ketidakbaikan tersebut.

Model orasi ilmiah yang lantang, tegas,  cerdas, harus tetap terus digiangkan di telinga mahasiswa baru, supaya mereka terpancing spiritnya untuk menjadi orator ulung, yang kata-katanya mampu mengerakkan, mengobarkan semangat untuk bersatu padu melawan ketidakbaikan. Orator ulung amat dibutuhkan untuk mengorganisir orang dalam bersama-sama melawan kebathilan. Menjadi tambah mantap dan kuat, apabila, dari sekian yang disampaikan oleh sang orator tersebut, benar-benar mempribadi dalam dirinya. Segala yang diserukan, bukan spirit palsu. Misal: sang orator dengan berapi-api mengajak ayo melawan korupsi, tapi tindakan dan aktivitas kesehariannya malah korup.

Jadi, kegiatan orientasi, selain harus didukung oleh seperangkat aturan yang telah teruji kebaikannya, juga perlu ditopang dengan perangai yang baik. Setidaknya oleh mereka para stake holder, mulai tingkat panitia sampai menteri bila perlu.

Allahu A’lam


[1] Refleksi dari diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), “Refleksi Orientasi Siswa-Mahasiswa; Antara Humanisasi dan Dehumanisasi”, pada Jumat, 14 Agustus 2015 di Angkringan 57 Surabaya.
[2] Direktur Indonesia Belajar Institut (IBI), Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...