Sabtu, 15 Agustus 2015

Refleksi Orientasi Siswa-Mahasiswa Baru: Antara Humanisasi dan Dehumanisasi[1]

Oleh: Fuad Fahmi Hasan[2]
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan keterangan) itu? Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?” (at-Tiin: 1-8)

Orientasi merupakan masa di mana peserta didik meninjau atau mengenal kondisi lingkungan yang baru, guna memberikan pandangan kepada peserta didik baru untuk menggali potensi diri dan memberikan gambaran tentang proses pendidikan yang akan di jalaninya selama beberapa tahun kedepan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Oleh karena itu, Masa orientasi merupakan awal yang menentukan tentang bagaimana membentuk karakter peserta didik agar menjadi pribadi yang baik dan memahami betul peranannya sebagai subyek dan obyek pendidikan.

Proses orientasi menjadi penentu dalam membentuk karakter peserta didik karena merupakan awal dari transformasi nilai yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan kepada peserta didik. Bagaimana nanti senior memberlakukan juniornya yang masih baru dan berusaha untuk mengenal dengan baik lingkungan barunya? Juga metode apa yang digunakan untuk membentuk karakter pada tiap peserta didik baru? Walaupun pada prakteknya Orientasi diserahkan kepada panitia pelaksana yang merupakan “kakak senior”, tentu pihak sekolah (guru) atau universitas (dosen) harus memantau dan ikut mengarahkan proses orientasi agar berjalan sebagaimana mestinya.

Orientasi yang semestinya menjadi lahan untuk mengenalkan, memberikan pandangan, dan menggali potensi dari peserta didik baru, yang di dalamnya terdapat transformasi nilai, tentu proses dari berlangsungnya orientasi tersebut harus menjadi perhatian yang utama. Proses orientasi yang di selenggarakan mewajibkan kita untuk melakukan evaluasi bersama, apakah budaya yang selama ini diterapkan menciptakan output yang baik? Atau malah sebaliknya? Semua itu bergantung bagaimana melihat peserta didik baru sebagai manusia yang memiliki potensi dan hakikat kesempurnaan yang penting untuk dikembangkan, sebagaimana Allah menggambarkan kesempurnaan manusia sebagai ciptaannya.

Manusia dalam memandang kehidupan realitas sosial merupakan cerminan dari kerangka pikir yang dibangun berdasarkan dialektika diri dengan lingkungannya. Dialektika tersebut, melahirkan kebudayaan yang beragam dalam menyikapi alam atau realitas. Kebudayaan dalam kerangka pendidikan, secara sederhana menjadikan manusia sebagai subyek dan sekaligus obyek dari lingkungan pendidikan. Manusia sebagai obyek dari lingkungan pendidikan adalah sikap manusia sebagai peserta didik yang menerima apapun yang diajarkan dan diterima sebagai kebenaran yang harus dilestarikan sehingga menjadi sebuah budaya. Dalam kasus orientasi siswa/mahasiswa, maka hal yang menjadi penting ketika menjadikan peserta didik baru sebagai obyek adalah bagaimana peserta didik mendapatkan pengalaman dengan berbagai elemen lingkungan barunya di sekolah/universitas dengan hal-hal baik sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia.

“Tiap-tiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya bapak ibulah yang menjadikan Yahudi, Nasrani dan Majusi”.(H.R. Muslim).
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(An-Nahl ; 78)

Manusia sebagai subyek dari lingkungan pendidikan merupakan suatu sikap manusia sebagai peserta didik yang menggunakan akal dan ilmu pengetahuannya sebagai sarana untuk menangkap dan berdialektika diri dengan lingkungan pendidikannya. Sehingga menjadikan peserta didik menemukan potensi diri dan mampu menentukan masa depannya sesuai dengan kemampuannya. Menjadikan peserta didik sebagai subyek dalam orientasi, akan membentuk karakter peserta didik baru yang mampu menjadi manusia yang sempurna sebagaimana kesempurnaan telah diberikan tuhan dari makhluk-makhluk lainnya.


[1] Tulisan ini disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), “Refleksi Orientasi Siswa-Mahasiswa; Antara Humanisasi dan Dehumanisasi”, pada Jumat, 14 Agustus 2015 di Angkringan 57 Surabaya.
[2] Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...