Oleh: Ary
Naufal[2]
Pendidikan merupakan kunci membangun dan mengembangkan sumber daya
manusia. Melalui proses pendidikan, banyak
pihak mengharapkan terjadinya peningkatan kualitas manusia peserta didik
mengarah kepada perbaikan. Dan dalam meniti menuju proses dimaksud, ada tahap
pengenalan pra proses pendidikan yang lazim dilalui peserta didik, yang dikenal
dengan MOS (Masa Orientasi Siswa) bagi siswa dan OSPEK (Orientasi Studi dan
Pengenalan Kampus) bagi mahasiswa.
MOS-OSPEK sebagai sarana pengenalan sekolah/kampus berikut
lingkungannya, senior, dan juga pengajar sudah menjadi semacam tradisi di
Indonesia setiap masuk tahun ajaran baru, tepatnya di saat penerimaan peserta
didik baru oleh sekolah/kampus. Makanya, MOS-OSPEK merupakan tahapan awal yang
biasa dilalui peserta didik sebelum masuk lebih dalam ke proses pendidikan.
Namun kontras dengan harapan mulia di atas, justru melalui tradisi
MOS-OSPEK terjadi pemerosotan kualitas manusia secara memprihatinkan di tahapan
awal. Di dalam bentuk-bentuk kegiatan MOS-OSPEK, terjadi dehumanisasi dalam
bentuk serangkaian kegiatan pembodohan atas nama pengenalan pendidikan.
Sejumlah dalih pun dikemukakan oleh panitia untuk membenarkan perhelatan
MOS-OSPEK, yang sejatinya merupakan upaya untuk melanggenggkan perpeloncoan dan
balas dendam dari senior kepada junior secara turun temurun.
Di antara dalih yang sering diketengahkan untuk membenarkan
MOS-OSPEK, antara lain bahwa kegiatan ini merupakan sarana menempa mental
sehingga peserta didik nantinya akan mempunyai mental laksana baja. Padahal
kenyataannya, setelah mengalami intimidasi psikis dan fisik serta perlakuan
mempermalukan dari senior, kesan traumatik negatiflah yang ditangkap oleh
peserta didik.
Jika sedikit saja mencoba kritis mencermati, akan terlihat jelas
dalih tadi tidak relevan dengan kegiatan yang diselenggarakan. Bahkan kegiatan
tampak sekedar tipu-tipu untuk menutupi kedok perpeloncoan dan balas dendam
atas nama MOS-OSPEK.
Kegiatan-kegiatan MOS-OSPEK juga bukan tidak mungkin ke depan dapat
berpotensi bahaya. Bentuk-bentuk kegiatan seperti itu boleh jadi akan menjadi
inspirasi tindak krimininal dan penindasan di masa-masa yang akan datang
selepas MOS-OSPEK usai. Jadilah mental yang terbangun sebagai mental yang kriminil
dan zalim.
Menempa
Mental Ala Islam
Ternyata menempa mental menjadi tangguh tidak berarti harus melalui
kegiatan perpeloncoan. Islam menunjukkan ternyata penempaan mental dapat
ditempuh dengan mekanisme yang lain, tanpa intimidasi psikis dan fisik, juga
tanpa meninggalkan trauma menyakitkan. Ini dikarenakan yang ditempuh Islam
dalam menempa mental, yaitu dengan proses edukasi meningkatkan motivasi
spiritual (quwwah ruhiyyah). Dorongan
yang dihasilkan dari motivasi spiritual tersebut akan menghasilkan keberanian
dan kekuatan luar biasa kepada seseorang jauh melampaui kondisinya yang
sebenarnya. Sehingga walaupun dia terlihat lemah secara fisik atau materi,
tetapi dengan motivasi spiritual yang kuat seseorang tadi mampu mengatasi
tantangan dari lawan yang mempunyai kekuatan fisik atau materi yang jauh lebih
besar.
Sebagai contoh, meskipun jumlah kaum muslim hanya 313 orang, tapi
dapat mengalahkan pasukan quraisy yang berjumlah 1.000 orang sewaktu perang
Badar. Contoh lainnya ialah adidaya Romawi (Byzantium) yang mengerahkan 240.000
pasukan berpengalaman dengan peralatan perang yang lengkap dan logistik lebih
dari cukup, akhirnya takluk di hadapan kaum muslim yang hanya berjumlah 45.000
orang dalam perang Yarmuk.
Keberanian luar biasa yang menepis rasa gentar menghadapi musuh
dalam dua contoh tadi, muncul setelah Islam menguatkan motivasi spiritual kaum
muslim melalui upaya edukasi membentuk kesadaran atau perasaan akan hubungan
dengan Allah SWT. Yang pada akhirnya, berbuah manis kemenangan sekalipun dalam
keterbatasan kekuatan fisik atau materi.
Selamatkan
Pendidikan Dari Dehumanisasi
Maka seharusnya harapan agar pendidikan semakin mengangkat kualitas
manusia menjadi lebih baik mesti diwujudkan melalui penyelamatan pendidikan
sejak di awal dari kegiatan-kegiatan pembodohan ala MOS-OSPEK yang mengarah
kepada dehumanisasi.
Penempaan mental harus dilakukan secara benar dan tepat menurut
sistem edukasi Islam. Di mana proses pendidikan harus diisi dengan
pengajaran-pengajaran yang mengembalikan manusia menurut kodratnya sebagai
manusia, yaitu sebagai hamba yang senantiasa menyadari pentingnya menjalin
hubungan dirinya dengan Allah SWT.
Untuk itu, dehumanisasi berkedok MOS-OSPEK harus dihapus dan sistem
edukasi Islam harus diwujudkan.
[1]
Tulisan ini
disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), “Refleksi
Orientasi Siswa-Mahasiswa; Antara Humanisasi dan Dehumanisasi”, pada Jumat, 14 Agustus
2015 di Angkringan 57 Surabaya.
[2]
Pengurus Wilayah Gerakan
Mahasiswa (GEMA) Pembebasan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...