Sabtu, 15 Agustus 2015

Menyikapi Dehumanisasi Dalam Kegiatan Mos-Ospek[1]

Oleh: Ary Naufal[2]
Pendidikan merupakan kunci membangun dan mengembangkan sumber daya manusia. Melalui proses pendidikan, banyak  pihak mengharapkan terjadinya peningkatan kualitas manusia peserta didik mengarah kepada perbaikan. Dan dalam meniti menuju proses dimaksud, ada tahap pengenalan pra proses pendidikan yang lazim dilalui peserta didik, yang dikenal dengan MOS (Masa Orientasi Siswa) bagi siswa dan OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) bagi mahasiswa.

MOS-OSPEK sebagai sarana pengenalan sekolah/kampus berikut lingkungannya, senior, dan juga pengajar sudah menjadi semacam tradisi di Indonesia setiap masuk tahun ajaran baru, tepatnya di saat penerimaan peserta didik baru oleh sekolah/kampus. Makanya, MOS-OSPEK merupakan tahapan awal yang biasa dilalui peserta didik sebelum masuk lebih dalam ke proses pendidikan.

Namun kontras dengan harapan mulia di atas, justru melalui tradisi MOS-OSPEK terjadi pemerosotan kualitas manusia secara memprihatinkan di tahapan awal. Di dalam bentuk-bentuk kegiatan MOS-OSPEK, terjadi dehumanisasi dalam bentuk serangkaian kegiatan pembodohan atas nama pengenalan pendidikan. Sejumlah dalih pun dikemukakan oleh panitia untuk membenarkan perhelatan MOS-OSPEK, yang sejatinya merupakan upaya untuk melanggenggkan perpeloncoan dan balas dendam dari senior kepada junior secara turun temurun.

Di antara dalih yang sering diketengahkan untuk membenarkan MOS-OSPEK, antara lain bahwa kegiatan ini merupakan sarana menempa mental sehingga peserta didik nantinya akan mempunyai mental laksana baja. Padahal kenyataannya, setelah mengalami intimidasi psikis dan fisik serta perlakuan mempermalukan dari senior, kesan traumatik negatiflah yang ditangkap oleh peserta didik.

Jika sedikit saja mencoba kritis mencermati, akan terlihat jelas dalih tadi tidak relevan dengan kegiatan yang diselenggarakan. Bahkan kegiatan tampak sekedar tipu-tipu untuk menutupi kedok perpeloncoan dan balas dendam atas nama MOS-OSPEK.

Kegiatan-kegiatan MOS-OSPEK juga bukan tidak mungkin ke depan dapat berpotensi bahaya. Bentuk-bentuk kegiatan seperti itu boleh jadi akan menjadi inspirasi tindak krimininal dan penindasan di masa-masa yang akan datang selepas MOS-OSPEK usai. Jadilah mental yang terbangun sebagai mental yang kriminil dan zalim.

Menempa Mental Ala Islam
Ternyata menempa mental menjadi tangguh tidak berarti harus melalui kegiatan perpeloncoan. Islam menunjukkan ternyata penempaan mental dapat ditempuh dengan mekanisme yang lain, tanpa intimidasi psikis dan fisik, juga tanpa meninggalkan trauma menyakitkan. Ini dikarenakan yang ditempuh Islam dalam menempa mental, yaitu dengan proses edukasi meningkatkan motivasi spiritual (quwwah ruhiyyah). Dorongan yang dihasilkan dari motivasi spiritual tersebut akan menghasilkan keberanian dan kekuatan luar biasa kepada seseorang jauh melampaui kondisinya yang sebenarnya. Sehingga walaupun dia terlihat lemah secara fisik atau materi, tetapi dengan motivasi spiritual yang kuat seseorang tadi mampu mengatasi tantangan dari lawan yang mempunyai kekuatan fisik atau materi yang jauh lebih besar.

Sebagai contoh, meskipun jumlah kaum muslim hanya 313 orang, tapi dapat mengalahkan pasukan quraisy yang berjumlah 1.000 orang sewaktu perang Badar. Contoh lainnya ialah adidaya Romawi (Byzantium) yang mengerahkan 240.000 pasukan berpengalaman dengan peralatan perang yang lengkap dan logistik lebih dari cukup, akhirnya takluk di hadapan kaum muslim yang hanya berjumlah 45.000 orang dalam perang Yarmuk.

Keberanian luar biasa yang menepis rasa gentar menghadapi musuh dalam dua contoh tadi, muncul setelah Islam menguatkan motivasi spiritual kaum muslim melalui upaya edukasi membentuk kesadaran atau perasaan akan hubungan dengan Allah SWT. Yang pada akhirnya, berbuah manis kemenangan sekalipun dalam keterbatasan kekuatan fisik atau materi.

Selamatkan Pendidikan Dari Dehumanisasi
Maka seharusnya harapan agar pendidikan semakin mengangkat kualitas manusia menjadi lebih baik mesti diwujudkan melalui penyelamatan pendidikan sejak di awal dari kegiatan-kegiatan pembodohan ala MOS-OSPEK yang mengarah kepada dehumanisasi.

Penempaan mental harus dilakukan secara benar dan tepat menurut sistem edukasi Islam. Di mana proses pendidikan harus diisi dengan pengajaran-pengajaran yang mengembalikan manusia menurut kodratnya sebagai manusia, yaitu sebagai hamba yang senantiasa menyadari pentingnya menjalin hubungan dirinya dengan Allah SWT.

Untuk itu, dehumanisasi berkedok MOS-OSPEK harus dihapus dan sistem edukasi Islam harus diwujudkan.


[1] Tulisan ini disampaikan dalam diskusi Indonesia Belajar Institut (IBI), “Refleksi Orientasi Siswa-Mahasiswa; Antara Humanisasi dan Dehumanisasi”, pada Jumat, 14 Agustus 2015 di Angkringan 57 Surabaya.
[2] Pengurus Wilayah Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...