Oleh: Irfan
Jauhari[2]
Mahasiswa yang selalu merepresentasikan diri
sebagai sosok idealis, pembebas atau pembela kaum tertindas, tiba-tiba
berubah seratus delapan puluh derajat ketika melaksanakan Ospek (Orientasi
Studi dan Pengenalan Kampus) bagi adik-adik angkatannya. Walau telah ada
perubahan mendasar di kampus-kampus tertentu, akan tetapi, di sebagian besar
kampus, Ospek masih diwarnai dengan unsur kekerasan, penindasan dan militerisme
sebagaimana tercermin dalam tindakan membentak-bentak, menggoblok-goblokkan,
dan penciptaan suasana yang anti dialog. Atau pada pemberian sanksi yang
cenderung bersifat fisik semata seperti push-up, lari jongkok, berdiri
dengan satu kaki, lari keliling lapangan, dan lain-lain. Hukuman semacam itu
dipilih tanpa ada kaitan sama sekali dengan pembentukan karakter dan idealisme
mahasiswa.
Ospek yang demikian itu justru menimbulkan
“situasi penindasan”. Mahasiswa lama (panitia Ospek) sebagai penindas dan
mahasiswa baru (peserta Ospek) sebagai kaum tertindas.
Sebenarnya, setiap tahun, masyarakat telah
menyampaikan banyak kritikan dan keberatan atas pelaksanaan ospek yang
ditengarai banyak diwarnai kekerasan, penindasan dan nuansa militer seperti itu
(hal-hal yang sesungguhnya sangat dibenci dan ingin dihapuskan oleh mahasiswa
dari permukaan bumi Indonesia). Akan tetapi, nyatanya, walau selalu menuai
kritik, pelaksanaan Ospek tidak banyak berubah. Tetap penuh dengan kekerasan,
penindasan dan militerisme, sekalipun setiap tahun selalu ada korban yang
berjatuhan, bahkan ada beberapa yang sampai mengalami kematian.
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah,
kenapa tiba-tiba para mahasiswa panitia Ospek, yang nota bene dari
kalangan aktivis juga, menjadi “bebal” dan seperti tidak mempan kritik.
Sama seperti umpatan mereka terhadap penguasa ketika para mahasiswa itu
berdemonstrasi. Kenapa pula mereka seperti menikmati dan puas menjadi pelaku
kekerasan, menjadi penindas dan bergaya militeristik.
Meminjam analisis Paulo Freire-seorang
pemikir dan praktisi pendidikan pembebasan dari Brasil, para panitia Ospek bisa
seperti itu karena dulunya pada waktu menjadi peserta Ospek mereka juga pernah
mengalami “situasi penindasan”. Dalam bukunya Pedagogi of The Oppressed
(diindonesiakan dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1985)
Freire mengingatkan bahwa dalam situasi penindasan, kaum tertindas melakukan
identifikasi secara kontradiktif. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai
mahluk yang terbenam, terhina, terlepas dan tercerabut dari kemanusiaannya.
Adapun di hadapan mereka adalah kaum penindas yang berkuasa dengan harkat
kemanusian yang sempurna.
Kaum tertindas sulit untuk menemukan citra
diri di luar kontradiksi penindas-tertindas. Karena itu, bagi mereka, upaya
pembebasan diri untuk mendapatkan harkat dan martabat kemanusiannya, adalah
dengan menjadi manusia yang memiliki citra diri seperti yang mereka temukan
dalam sosok para penindas. Teori ini bisa menjelaskan mengapa seorang
buruh yang diangkat menjadi mandor atas kawan-kawannya akan bertindak segalak
dan sekasar majikannya, bahkan lebih. Atau dalam masa penjajahan Belanda
dahulu, orang-orang pribumi yang diberi wewenang oleh penjajah Belanda,
yang di kenal sebagai londo ireng, seringkali malah bertindak lebih
kejam dibandingkan Belanda itu sendiri.
Teori ini pula yang bisa menjelaskan, mengapa
setelah berada dalam penindasan dan kekerasan pemerintahan Orde Baru selama 32
tahun, seakan-akan kini lahir manusia manusia khas Orde Baru (homo orbaicus),
yaitu manusia-manusia yang mengadopsi budaya kekerasan, budaya penindasan dan
budaya memaksakan kehendak, dari penguasanya itu (Orde Baru).
Hal yang sama juga terjadi pada panitia Ospek.
Yang paling dominan dalam kesadaran mahasiswa lama panitia Ospek tersebut
adalah, Ospek merupakan arena terbaik untuk menampilkan citra dirinya sebagai
penguasa. Citra diri itu mereka dapatkan, dahulu ketika mengikuti Ospek. Waktu
itu, mereka sebagai pihak yang tertindas melakukan identifikasi bahwa alangkah
enaknya, alangkah gagahnya, alangkah berkuasanya, alangkah bermartabatnya
menjadi panitia Ospek.
Kini ketika menjadi panitia, mereka mendesain
Ospek yang melahirkan “situasi penindasan”. Para peserta yang tertindas akan
menginternalisasi citra diri pelaksana Ospek yang menindas itu. Untuk kemudian,
pada suatu saat mereka akan mereproduksi citra diri itu ketika kesempatan
memungkinkan. Yaitu ketika mereka menjadi pelaksana Ospek.
Selain itu, penindasan adalah penjajahan
kesadaran lewat praktik “pe-mola-an”. Kaum tertindas dipaksa untuk memilih atau
melakukan apa yang di-”pola” oleh penindasnya. Kaum tertindas tentu
akan berfikir seribu kali untuk melakukan perlawanan, karena hal click here
itu akan memberatkannya sendiri. Lagi pula, belum tentu kawan-kawannya yang
lain akan membantu. Kebanyakan kaum tertindas akan memilih diam dan patuh.
Keadaan seperti ini membuat kaum tertindas akan larut dalam sikap masokhis.
Begitu pun yang terjadi pada peserta Ospek. Mereka melakukan banyak tindakan
dan hukuman seperti yang dipolakan oleh para panitia Ospek, tanpa banyak berani
menentang walaupun tindakan-tindakan itu sama sekali tidak logis, tidak
rasional dan tentunya tidak mereka inginkan.
Dari paparan di atas, apabila pelaksanaan
Ospek masih diwarnai dengan nuansa penindasan, setidaknya memunculkan dua hal. Pertama,
Ospek melahirkan “situasi penindasan”. “Situasi penindasan” akan melahirkan
sosok-sosok penindas baru (sadistis) yang suatu saat apabila mendapatkan
kesempatan akan mencoba untuk melahirkan situasi penindasan baru, begitu pula
nanti seterusnya, sehingga Ospek itu sendiri merupakan forum konservasi dan
reproduksi penindasan. Kedua, Ospek akan melahirkan generasi yang patuh,
acuh tak acuh, tidak kritis dan tidak berani menentang terhadap praktik-praktik
penindasan.
Lebih dari itu, Ospek juga bisa jadi akan
melahirkan generasi masokhis. Generasi seperti itu merupakan lahan subur bagi
tumbuhnya praktik-praktik penindasan. Dengan begitu, maka Ospek justru menjadi
sebuah rutinitas yang berperan sebagai konservasi atau pelestari penindasan.
Kalau diproyeksikan dalam kehidupan bangsa, Ospek yang seperti itu justru
memberikan kontribusi negatif terhadap proses demokratisasi yang saat ini mulai
bergulir, karena Ospek justru melahirkan generasi yang berpotensi menjadi
penindas, sadistis dan a-demokratis jika sedang berkuasa, sekaligus generasi
yang patuh, masokhis, tidak kritis dan acuh tak acuh terhadap berbagai praktik
penindasan, ketika sedang di bawah kekuasaan pihak lain.
Visi Ospek yang ideal adalah yang bersuasana
egaliter, dan selaras dengan proses demokratisasi. Dalam kerangka ini, Ospek
dilaksanakan sebagai upaya melahirkan mahasiswa yang sadar akan posisi dirinya
sebagai agen of change yang kritis, sadar akan persoalan sosialnya,
berani menentang segala bentuk penindasan dan mempunyai komitmen atas
keberlangsungan proses demokratisasi bangsa.
Visi yang seperti ini tentu saja tidak
menghendaki praktik penindasan dan praktik a-demokratis dalam pelaksanaanya.
Visi ini hanya bisa dicapai apabila Ospek, meminjam Freire, didesain
sebagai praktik dari “pendidikan pembebasan”. Pendekatan yang
dipakai adalah pendidikan orang dewasa (andragogy) dengan metode yang bisa
mendorong peserta untuk aktif dan memiliki kesadaran kritis. Pola seperti ini
mengharuskan adanya suasana yang egaliter, hubungan yang komunikatif, empatif
dan tidak ada unsur dominasi di dalamnya. Baik peserta Ospek maupun
fasilitator/ panitia Ospek terlibat dalam proses pencarian bersama. Yang
terjadi bukan peserta belajar “dari” fasilitator, tetapi peserta belajar
“bersama” fasilitator.
Ospek merupakan proses belajar bersama (tranpersonal
learning) dengan berbagai tahapan meliputi penyadaran (konsientasi),
pemberdayaan (empowering), pembebasan (liberasi) dan pemanusian (humanisasi).
Penyadaran merupakan proses yang mengajak
peserta untuk memahami dirinya dan realitas serta problema kehidupan diri
maupun sosialnya. Penyadaran akan membawa peserta dari kesadaran naif atau
bahkan magis, menuju manusia dengan kesadaran kritis. Penyadaran kemudian
diikuti dengan pemberdayaan, yaitu upaya menumbuhkan kemampuan analisis kritis
untuk memahami dan memberikan solusi atas berbagai problem kehidupan.
Apbila kedua proses telah terlewati,
selanjutnya adalah pembebasan. Dengan kesadaran dan keberdayaan yang
dimilikinya, peserta diajak untuk memberikan penilaian yang mandiri, menentukan
dirinya sendiri serta mempunyai sikap yang mandiri, bebas dari hegemoni masa
lalu tradisi dan negara.
Selain membebaskan peserta Ospek, Ospek
seperti itu sekaligus juga membebaskan mahasiswa lama (panitia ospek) dari
belenggu hegemoni citra diri penindasnya dulu, sehingga mereka tidak lagi
“terpenjara” oleh keinginan melakukan penindasan, kekerasan dan balas dendam.
Ospek yang dilakukan dengan visi dan metode
semacam itu, pada satu sisi sesuai dengan nilai-nilai idealisme yang selama ini
dengan bangga diakui sebagai kesejatian mahasiswa. Sementara di sisi lain
diharapkan mampu melahirkan generasi yang demokratis, egaliter, otonom,
dan mempunyai komitmen terhadap berbagai problem masyarakatnya. Rasanya
generasi seperti itulah yang di butuhkan perannya dalam proses
tranformasi bangsa mendatang.
[1] Tulisan ini disampaikan dalam diskusi
Indonesia Belajar Institut (IBI), “Refleksi
Orientasi Siswa-Mahasiswa; Antara Humanisasi dan Dehumanisasi”, pada Jumat, 14 Agustus 2015 di Angkringan
57 Surabaya.
[2]
Sekretaris Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...