Muhammad Shofa[2]
Beberapa hari lalu, penulis menghabiskan waktu untuk menonton film
“Spartacus”. Sebuah film yang mengisahkan pemberontakan para budak terhadap
majikannya, kaum bangsawan, dan berakhir pada pemberontakan mereka terhaadap
kerajaan Romawi. Bagi penulis, film tersebut benar-benar mengajarkan banyak
hal.
Dimulai dari begitu berharganya sebuah kata bernama ‘kemerdekaan’,
alotnya perjuangan, persahabatan sejati, intrik untuk memenuhi nafsu berkuasa
hingga cara melobi dan menawarkan sebuah konsepsi. Di luar itu, film tersebut
juga mengisahkan perlakuan para gladiator senior pada juniornya yang cenderung
meremehkan dan menganggap gladiator junior adalah anak ingusan. Anak kemarin
sore. Anak yang tak tahu apa-apa.
Film yang terdiri dari beberapa episode itu benar-benar dipenuhi
dengan aksi berdarah para gladiator saat berada dalam penampungan ataupun saat
mereka bertarung di gelanggang. Tak jarang, para gladiator junior harus
meregang nyawa dalam penampungan sebelum mereka bertarung dalam gelanggang yang
sesungguhnya. Bagi para gladiator, adalah sebuah kebanggaan bila menjemput maut
di atas arena gelanggang, dibandingkan bila ia mati di dalam penampungan. Lalu
pertanyaannya, apa hubungannya para gladiator itu dengan pembahasan diskusi
malam ini?
Menurut penulis, ada sebuah kesamaan antara gladiator dengan
mahasiswa baru yang masuk dalam kampus. Kesamaannya terletak pada adanya masa
orientasi bagi kedua golongan itu. Kalau gladiator, di dalam penampungan mereka
diajarkan bagaimana mempertahankan hidup lewat alat-alat yang digunakan saat
bertarung. Sedangkan mahasiswa baru, diajarkan bagaimana cara menapaki dunia
perkuliahan. Dimulai dari mengenal kampus, dosen, dan tata cara menempuh
perkuliahan yang ideal. Sayangnya, tak jarang masa orientasi yang seharusnya
berisi penanaman nilai tentang kehidupan cenderung melenceng dari tujuan
awalnya.
Masa orientasi yang seharusnya menjadi pintu gerbang bagi generasi
baru ketika hendak masuk dalam tingkat pendidikan di atasnya, kembali menjadi
sorotan. Hal ini terjadi dikarenakan setiap pelaksanaan orientasi, selalu saja
ada korban jiwa yang berjatuhan. Terhitung dari awal bulan Juli saja, sudah ada
dua korban tewas karena orientasi yang cenderung tidak mendidik.[3]
Tentunya dua kejadian itu menjadi keprihatinan bersama. Masa
orientasi yang seharusnya menjadi ajang perkenalan antara siswa/mahasiswa
dengan sekolah/kampus barunya, malah menjadi ajang penyiksaan senior pada
juniornya. Entah mengapa, setiap menjelang orientasi penerimaan siswa/mahasiswa
baru, selalu saja muncul berita kekerasan yang berujung kematian di beberapa
media cetak.
Masa orientasi adalah masa di mana anggota baru seharusnya
diperkenalkan pada nilai-nilai kehidupan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan, fasilitas kampus, tata cara menempuh kuliah yang ideal. Yang kelak
mereka akan tahu apa dan tugasnya pasca keluar dari kampus.
Kerap kali penulis menyaksikan, bahkan di kampus sendiri, masa
orientasi yang cenderung tidak mendidik. Mahasiswa baru itu diplonco[4], dipaksa untuk menggunakan
atribut yang sedemikian rupa, yang tak ada kaitannya dengan persoalan
perkembangan berpikir dan rasionalitas yang produktif. Tak jarang, mereka yang
menganggap diri sebagai senior, secara tidak langsung mengajarkan kekerasan
baik dalam bentuk kekerasan verbal ataupun non verbal.
Sudah selayaknya, sistem orientasi yang demikian dirombak total.
Orientasi tetap harus dilakukan. Namun selayaknya harus berisi penanaman
nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan dan keislaman, kecintaan pada almamater,
serta kerasnya perjuangan hidup yang harus dilalui kelak. Dengan demikian, masa
orientasi adalah masa pemberian bekal kehidupan sebelum mereka terjun dalam
dunia yang sesungguhnya.
Bila tidak demikian, maka jangan heran bila kelak, para mahasiswa
baru itu akan mengalami disorientasi dalam hidupnya. Tak tahu apa yang harus
dilakukan untuk merubah keadaan. Alih-alih menjadi pelopor perubahan dalam
kehidupan di tengah-tengah masyarakat, melainkan malah menjadi beban bagi masyarakat,
bangsa dan negara. Wassalam…
[1]
Tulisan ini disajikan dalam diskusi rutin Indonesia Belajar Institut (IBI),
Jum’at 14 Agustus 2015, di Angkringan 57 Surabaya.
[2]
Aktivis Bakornas LAPMI PB HMI sekaligus Koordinator Bibliopolis Book Review
Surabaya
[3]
Pertama, siswa SMP Flora Pondok Ungu Permai, Kota Bekasi, bernama Evan
Christopher Situmorang (Kompas, 3 Agustus 2015, halaman 11). Kedua, siswa SMPN
11 Bintan bernama M. Arif Husein (Kompas, 4 Agustus 2015, halaman 13).
[4]
Dalam dunia pesantren, perploncoaan juga kerap dilakukan.Biasanya disebut
dengan istilah surakan. Namun, perploncoan atau surakan di dunia
pesantren ini cuma berlangsung sebentar. Tak lebih dari 1 jam dan masih dalam
batas-batas yang tidak merusak badan atau benda, dan tak perlu mengeluarkan
biaya meskipun satu sen. (lihat Syaifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari
Pesantren, 77).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...