Sabtu, 15 Agustus 2015

OSCAAR, ANTARA ORIENTASI DAN DIS-ORIENTASI[1]

Muhammad Shofa[2]
Beberapa hari lalu, penulis menghabiskan waktu untuk menonton film “Spartacus”. Sebuah film yang mengisahkan pemberontakan para budak terhadap majikannya, kaum bangsawan, dan berakhir pada pemberontakan mereka terhaadap kerajaan Romawi. Bagi penulis, film tersebut benar-benar mengajarkan banyak hal.

Dimulai dari begitu berharganya sebuah kata bernama ‘kemerdekaan’, alotnya perjuangan, persahabatan sejati, intrik untuk memenuhi nafsu berkuasa hingga cara melobi dan menawarkan sebuah konsepsi. Di luar itu, film tersebut juga mengisahkan perlakuan para gladiator senior pada juniornya yang cenderung meremehkan dan menganggap gladiator junior adalah anak ingusan. Anak kemarin sore. Anak yang tak tahu apa-apa.

Film yang terdiri dari beberapa episode itu benar-benar dipenuhi dengan aksi berdarah para gladiator saat berada dalam penampungan ataupun saat mereka bertarung di gelanggang. Tak jarang, para gladiator junior harus meregang nyawa dalam penampungan sebelum mereka bertarung dalam gelanggang yang sesungguhnya. Bagi para gladiator, adalah sebuah kebanggaan bila menjemput maut di atas arena gelanggang, dibandingkan bila ia mati di dalam penampungan. Lalu pertanyaannya, apa hubungannya para gladiator itu dengan pembahasan diskusi malam ini?

Menurut penulis, ada sebuah kesamaan antara gladiator dengan mahasiswa baru yang masuk dalam kampus. Kesamaannya terletak pada adanya masa orientasi bagi kedua golongan itu. Kalau gladiator, di dalam penampungan mereka diajarkan bagaimana mempertahankan hidup lewat alat-alat yang digunakan saat bertarung. Sedangkan mahasiswa baru, diajarkan bagaimana cara menapaki dunia perkuliahan. Dimulai dari mengenal kampus, dosen, dan tata cara menempuh perkuliahan yang ideal. Sayangnya, tak jarang masa orientasi yang seharusnya berisi penanaman nilai tentang kehidupan cenderung melenceng dari tujuan awalnya.

Masa orientasi yang seharusnya menjadi pintu gerbang bagi generasi baru ketika hendak masuk dalam tingkat pendidikan di atasnya, kembali menjadi sorotan. Hal ini terjadi dikarenakan setiap pelaksanaan orientasi, selalu saja ada korban jiwa yang berjatuhan. Terhitung dari awal bulan Juli saja, sudah ada dua korban tewas karena orientasi yang cenderung tidak mendidik.[3]

Tentunya dua kejadian itu menjadi keprihatinan bersama. Masa orientasi yang seharusnya menjadi ajang perkenalan antara siswa/mahasiswa dengan sekolah/kampus barunya, malah menjadi ajang penyiksaan senior pada juniornya. Entah mengapa, setiap menjelang orientasi penerimaan siswa/mahasiswa baru, selalu saja muncul berita kekerasan yang berujung kematian di beberapa media cetak.

Masa orientasi adalah masa di mana anggota baru seharusnya diperkenalkan pada nilai-nilai kehidupan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, fasilitas kampus, tata cara menempuh kuliah yang ideal. Yang kelak mereka akan tahu apa dan tugasnya pasca keluar dari kampus.

Kerap kali penulis menyaksikan, bahkan di kampus sendiri, masa orientasi yang cenderung tidak mendidik. Mahasiswa baru itu diplonco[4], dipaksa untuk menggunakan atribut yang sedemikian rupa, yang tak ada kaitannya dengan persoalan perkembangan berpikir dan rasionalitas yang produktif. Tak jarang, mereka yang menganggap diri sebagai senior, secara tidak langsung mengajarkan kekerasan baik dalam bentuk kekerasan verbal ataupun non verbal.

Sudah selayaknya, sistem orientasi yang demikian dirombak total. Orientasi tetap harus dilakukan. Namun selayaknya harus berisi penanaman nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan dan keislaman, kecintaan pada almamater, serta kerasnya perjuangan hidup yang harus dilalui kelak. Dengan demikian, masa orientasi adalah masa pemberian bekal kehidupan sebelum mereka terjun dalam dunia yang sesungguhnya.

Bila tidak demikian, maka jangan heran bila kelak, para mahasiswa baru itu akan mengalami disorientasi dalam hidupnya. Tak tahu apa yang harus dilakukan untuk merubah keadaan. Alih-alih menjadi pelopor perubahan dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, melainkan malah menjadi beban bagi masyarakat, bangsa dan negara. Wassalam…


[1] Tulisan ini disajikan dalam diskusi rutin Indonesia Belajar Institut (IBI), Jum’at 14 Agustus 2015, di Angkringan 57 Surabaya.
[2] Aktivis Bakornas LAPMI PB HMI sekaligus Koordinator Bibliopolis Book Review Surabaya
[3] Pertama, siswa SMP Flora Pondok Ungu Permai, Kota Bekasi, bernama Evan Christopher Situmorang (Kompas, 3 Agustus 2015, halaman 11). Kedua, siswa SMPN 11 Bintan bernama M. Arif Husein (Kompas, 4 Agustus 2015, halaman 13).
[4] Dalam dunia pesantren, perploncoaan juga kerap dilakukan.Biasanya disebut dengan istilah surakan. Namun, perploncoan atau surakan di dunia pesantren ini cuma berlangsung sebentar. Tak lebih dari 1 jam dan masih dalam batas-batas yang tidak merusak badan atau benda, dan tak perlu mengeluarkan biaya meskipun satu sen. (lihat Syaifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, 77).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...