Oleh:
Marlaf Sucipto
Indonesia
Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 3 Juni 2015 berdiskusi bertajuk “Pram,
Sastra, dan Perjuangan”. Diskusi ini terselengara di Angkringan 57 Jemursari
Surabaya; tempat ngopi ber-wifi yang sekalian menjajakan
makan-minum khas Jogja sejenis “nasi kucing”. Muchlisin-Mahasiswa semester
akhir jurusan Komunikasi di UIN Sunan Ampel, yang bertindak sebagai pembicara
utama.
Sebagai ciri
khas IBI, diskusi dibuka dengan doa bersama, menghadiahkan al-Faatihah kepada
guru-baik yang formal maupun nonformal, dan orangtua sebagai bentuk terimakasih
kita kepada mereka. Juga terselip doa atas Pramoedya Ananta Toer -walaupun Pram
tergolong “orang kiri” yang tidak memiliki kebiasaan berdoa- semoga
perjuangannya dengan cara melawan menggunakan karya sastra atas segala bentuk
penjajahan dan segala model tindakan yang tidak memanusiakan manusia menjadi
bekal terbaiknya saat kembali kepada Tuhan. Dan, kita semua yang berdiskusi,
memohon kepada Allah agar percikan-percikan ilmu yang tertuai dari lisan maupun
tulisan peserta diskusi, menjadi ilmu yang bermanfaat, ilmu yang menyelamatkan
diri kita sendiri kemudian atas yang di luar diri kita. Baik manusia, hewan,
tumbuhan, dan seisi alam jagad raya lainya. Yang tak kalah penting, semoga
spirit Pram yang anti penjajahan dalam bentuk dan model seperti apa pun, dapat
terinternalisasi dalam diri kita masing-masing untuk kemudian dilanjutkan
perjuangannya dalam membebaskan Indonesia dari segala model dan bentuk
penjajahan. Yang mana, penjajahan di Indonesia kini, sudah berkedok dalam kata
“investasi”.
Pram-begitu
Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) disapa, sebagaimana ditegaskan oleh
Muchlisin, adalah aktifis pejuang kemanusiaan. Ia yang mengkritik pola hubungan
orang Jawa yang bersifat feodalistik distruk. Seperti budak yang harus berjalan
ngesot di depan tuannya, pola para bangsawan yang memperlakukan gundik
semena-mena, pola kecenderungan laki-laki bangsawan yang mengeksploitasi
wanita kemudian setelah “sepah” dicampakkan begitu saja, dan pola interelasi
lain yang substansinya menginjak-injak nilai dan kehormatan manusia. Kritik
Pram dalam hal ini, bila disederhanakan, terwakili dari interelasi antara
“priyai” dan “kaula”. Kritiknya lebih kepada bagaimana kita dapat memanusiakan
manusia dengan terhormat dan layak. Setidaknya memperlakukan manusia lain
sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri.
Karya sastra
Pram yang kesemuanya berbentuk novel, adalah karya fiksi yang bernilai sejarah.
Karya sastra menurut Pram, sebagaimana yang dituturkan Muchlisin, harus memuat
pesan-gerakan perbaikan sosial, berkonstribusi atas pencarian solusi dari
sekian problematika hidup yang terus mengalami update-ing setiap saat.
Meminjam istilahnya Bung Muhammad Shofa–Kordinator Bibliopolis Book Review
Surabaya yang juga turut hadir dalam diskusi kali ini, karya sastra sejatinya
harus terhindar dari hal-hal yang berbau “lendir”. Alias karya sastra tersebut
tidak dalam koridor seksualitas dan sensualitas lainnya sebagai substansi dari
lahirnya karya sastra tersebut. Karya sastra Pram yang berbau realis sosial ini
juga hadir untuk mengkritik orang-orang yang menjadikan seni untuk seni, bukan
seni untuk perbaikan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pram
digadang-gadang sebagai agen ide komunisme di Indonesia karena selain ia
memiliki darah Tionghoa, pemikiran dan tindakannya segaris –walaupun tidak
semuanya- dengan gagasan ideologi komunis. Atas hal ini, kita tidak perlu
mencurigai Pram secara berlebihan, sehingga pernyataan Fawaid-Mahasiswa Politik
Islam di UIN Sunan Ampel yang juga hadir sebagai peserta diskusi,
“Jangan-jangan, spirit perlawanan Pram hanya untuk mendapatkan jabatan tertentu
bila misal komunisme benar-benar berkuasa di Indonesia” menjadi berlebihan.
Berlebihannya di mana? Pram, yang hidupnya dari penjara ke penjara, andai ia
mau kepada tawaran-tawaran yang berbau kekuasaan dan uang, sudah dari dulu
penderitaannya akan terhenti dan tidak sampai terbawa menjelang mati di usianya
yang menua. Pram hidup di tiga zaman, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Selama hidup, ia tetap terus berprinsip pada jalan kebenaran dan keadilan walau
konsekuensinya harus melalui hidup dengan penderitaan yang sulit, pahit, dan
rumit.
Soal ideologi
komunisme. Sebenarnya, tantangan kita dalam berbangsa dan bernegara tidak
semata hanya soal ideologi komunisme. Ideologi lain, seperti kapitalisme,
formalisasi Islam-gerakan arabisasi Islam, juga menjadi tantangan yang tak
kalah pelik. Ideologi kita, Pancasila, telah mengalami degradasi yang cukup
dalam, sehingga nilai pancasilaisme dalam bentuk aturan dan perundang-undangan,
baik tentang politik, ekonomi, hukum, dan sosial kemasyarakatan berasa
kapitalis, komunis, bahkan arabis. Atas gerakan arabisasi ini, cukup dapat
diamati dari prodak hukum pemerintahan daerah tententu yang menformalisasi
hukum Islam prodak negeri arab, utamanya Saudi Arabia.
Bagaimana
Gerakan kesetaraan Pram? Gerakan kesetaraan Pram lebih kepada gerakan
memanusiakan manusia. Gerakan yang di dalamnya ada hormat, kasih dan sayang,
cinta, ketulusan, keterbukaan dan anti kepalsuan antar manusia. Sehingga pertanyaan
Ainul Yaqin-Mahasiswa asal Bangkalan Madura, yang salah satu temannya tidak
menghormati yang tua karena membaca karya Pram, menurut saya perlu membaca
karya-karya Pram yang lain. Supaya dalam memahami pemikiran Pram tentang
kesetaraan tidak terpotong dan separuh-separuh.
Allahu
A’lam
Villa
Slamet Indah, 4 Juli 2015. 06.20 Wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...