Sabtu, 04 Juli 2015

Sebuah Refleksi dari Diskusi "Pram, Sastra, dan Perjuangan"

Oleh: Marlaf Sucipto
Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 3 Juni 2015 berdiskusi bertajuk “Pram, Sastra, dan Perjuangan”. Diskusi ini terselengara di Angkringan 57 Jemursari Surabaya; tempat ngopi ber-wifi yang sekalian menjajakan makan-minum khas Jogja sejenis “nasi kucing”. Muchlisin-Mahasiswa semester akhir jurusan Komunikasi di UIN Sunan Ampel, yang bertindak sebagai pembicara utama.

Sebagai ciri khas IBI, diskusi dibuka dengan doa bersama, menghadiahkan al-Faatihah kepada guru-baik yang formal maupun nonformal, dan orangtua sebagai bentuk terimakasih kita kepada mereka. Juga terselip doa atas Pramoedya Ananta Toer -walaupun Pram tergolong “orang kiri” yang tidak memiliki kebiasaan berdoa- semoga perjuangannya dengan cara melawan menggunakan karya sastra atas segala bentuk penjajahan dan segala model tindakan yang tidak memanusiakan manusia menjadi bekal terbaiknya saat kembali kepada Tuhan. Dan, kita semua yang berdiskusi, memohon kepada Allah agar percikan-percikan ilmu yang tertuai dari lisan maupun tulisan peserta diskusi, menjadi ilmu yang bermanfaat, ilmu yang menyelamatkan diri kita sendiri kemudian atas yang di luar diri kita. Baik manusia, hewan, tumbuhan, dan seisi alam jagad raya lainya. Yang tak kalah penting, semoga spirit Pram yang anti penjajahan dalam bentuk dan model seperti apa pun, dapat terinternalisasi dalam diri kita masing-masing untuk kemudian dilanjutkan perjuangannya dalam membebaskan Indonesia dari segala model dan bentuk penjajahan. Yang mana, penjajahan di Indonesia kini, sudah berkedok dalam kata “investasi”.
Pram-begitu Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) disapa, sebagaimana ditegaskan oleh Muchlisin, adalah aktifis pejuang kemanusiaan. Ia yang mengkritik pola hubungan orang Jawa yang bersifat feodalistik distruk. Seperti budak yang harus berjalan ngesot di depan tuannya, pola para bangsawan yang memperlakukan gundik semena-mena, pola kecenderungan laki-laki bangsawan yang mengeksploitasi wanita kemudian setelah “sepah” dicampakkan begitu saja, dan pola interelasi lain yang substansinya menginjak-injak nilai dan kehormatan manusia. Kritik Pram dalam hal ini, bila disederhanakan, terwakili dari interelasi antara “priyai” dan “kaula”. Kritiknya lebih kepada bagaimana kita dapat memanusiakan manusia dengan terhormat dan layak. Setidaknya memperlakukan manusia lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri.

Karya sastra Pram yang kesemuanya berbentuk novel, adalah karya fiksi yang bernilai sejarah. Karya sastra menurut Pram, sebagaimana yang dituturkan Muchlisin, harus memuat pesan-gerakan perbaikan sosial, berkonstribusi atas pencarian solusi dari sekian problematika hidup yang terus mengalami update-ing setiap saat. Meminjam istilahnya Bung Muhammad Shofa–Kordinator Bibliopolis Book Review Surabaya yang juga turut hadir dalam diskusi kali ini, karya sastra sejatinya harus terhindar dari hal-hal yang berbau “lendir”. Alias karya sastra tersebut tidak dalam koridor seksualitas dan sensualitas lainnya sebagai substansi dari lahirnya karya sastra tersebut. Karya sastra Pram yang berbau realis sosial ini juga hadir untuk mengkritik orang-orang yang menjadikan seni untuk seni, bukan seni untuk perbaikan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pram digadang-gadang sebagai agen ide komunisme di Indonesia karena selain ia memiliki darah Tionghoa, pemikiran dan tindakannya segaris –walaupun tidak semuanya- dengan gagasan ideologi komunis. Atas hal ini, kita tidak perlu mencurigai Pram secara berlebihan, sehingga pernyataan Fawaid-Mahasiswa Politik Islam di UIN Sunan Ampel yang juga hadir sebagai peserta diskusi, “Jangan-jangan, spirit perlawanan Pram hanya untuk mendapatkan jabatan tertentu bila misal komunisme benar-benar berkuasa di Indonesia” menjadi berlebihan. Berlebihannya di mana? Pram, yang hidupnya dari penjara ke penjara, andai ia mau kepada tawaran-tawaran yang berbau kekuasaan dan uang, sudah dari dulu penderitaannya akan terhenti dan tidak sampai terbawa menjelang mati di usianya yang menua. Pram hidup di tiga zaman, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Selama hidup, ia tetap terus berprinsip pada jalan kebenaran dan keadilan walau konsekuensinya harus melalui hidup dengan penderitaan yang sulit, pahit, dan rumit.

Soal ideologi komunisme. Sebenarnya, tantangan kita dalam berbangsa dan bernegara tidak semata hanya soal ideologi komunisme. Ideologi lain, seperti kapitalisme, formalisasi Islam-gerakan arabisasi Islam, juga menjadi tantangan yang tak kalah pelik. Ideologi kita, Pancasila, telah mengalami degradasi yang cukup dalam, sehingga nilai pancasilaisme dalam bentuk aturan dan perundang-undangan, baik tentang politik, ekonomi, hukum, dan sosial kemasyarakatan berasa kapitalis, komunis, bahkan arabis. Atas gerakan arabisasi ini, cukup dapat diamati dari prodak hukum pemerintahan daerah tententu yang menformalisasi hukum Islam prodak negeri arab, utamanya Saudi Arabia.
Bagaimana Gerakan kesetaraan Pram? Gerakan kesetaraan Pram lebih kepada gerakan memanusiakan manusia. Gerakan yang di dalamnya ada hormat, kasih dan sayang, cinta, ketulusan, keterbukaan dan anti kepalsuan antar manusia. Sehingga pertanyaan Ainul Yaqin-Mahasiswa asal Bangkalan Madura, yang salah satu temannya tidak menghormati yang tua karena membaca karya Pram, menurut saya perlu membaca karya-karya Pram yang lain. Supaya dalam memahami pemikiran Pram tentang kesetaraan tidak terpotong dan separuh-separuh.

Allahu A’lam
Villa Slamet Indah, 4 Juli 2015. 06.20 Wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...