Pramoedya
Ananta Toer, atau yang akrab disapa Pram
merupakan pengarang besar yang pernah dimiliki Indonesia pada masa pra-kemerdekaan
sampai tahun 2006 lalu. Didikan ayahnya yang juga merupakan pengarang yang
menerbitkan puisi, prosa, bahkan lagu telah menyalurkan darah pada diri Pram
akan minat dan bakatnya pada sastra.
Selain itu
ayahnya juga merupakan salah seorang yang aktif dalam organisasi Budi Oetomo (1908). Pada kesempatan media televisi Belanda yang
mewawancarai Pram, dari lisannya sendiri menyatakan bahwa dia sejak kecil telah
dididik dengan pendidikan nasionalis kiri sebab ayahnya merupakan guru utama
Pram pada masa kecilnya yang menganut nasionalisme kiri.
Kiri-yang identik dengan perlawanan kaum tertindas, telah
melekat pada diri Pram dalam pandangan hidupnya melalui karya-karya yang bisa
kita nikmati hingga saat ini. Perlu diketahui bahwa Pram lahir di Blora, Jawa
Tengah pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada 30 April 2006 dengan
umur yang berakhir pada usia 81 tahun. Panjang umur
Pram tersebut sedikit membuat kita kagum mengingat dia harus mengalami
penindasan dan penyiksaan baik oleh kaum penjajah, pemerintahan Orde Lama maupun
Orde Baru lewat kerja paksa dan jeruji besinya.
Sepanjang
hidupnya Pram sepertinya telah akrab dengan kesulitan hidup. Masa kecilnya
seperti yang dijelaskan dalam buku-buku tentang biografinya, bahwa pada usia 17
tahun dia telah bekerja begitu kerasnya untuk menghidupi dirinya dan
adik-adiknya yang telah ditinggal mati orang tuanya. Bakat kepengarangan Pram
juga telah muncul saat dirinya masih berada di sekolah dasar. Pram yang menurut
penuturan dirinya semasa kecil pendiam memilih mencurahkan setiap gejolak hati
dan perasaannnya melalui tulisan. Sejak kecil, tulisan telah menjadi sedikit
penawar terhadap masalah-masalah yang dihadapi dirinya dengan curahan-curahan
hati yang digoreskan tangannya.
Cerpenis,
novelis, kritikus dan esais ini menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya untuk
menciptakan karya-karya yang berguna bagi masyarakat. Pandangannya terkait
nasionalisme kiri dapat kita lihat pada beberapa karyanya. Salah satu karya
yang amat terkenal yaitu Tetralogi Buru, novel sejarah empat seri ini
menurut penuturan Pram adalah menceritakan tentang perjalanan hidup seorang
pejuang kemerdekaan yang melibatkan diri dalam organisasi Sarekat Priyayi pada
masa kolonialisme Belanda.
Dalam
karyanya, terlihat bahwa Pram sangat getol mengkritik perilaku manusia dan
penguasa yang tidak menjalankan keadilan sosial. Dalam Tetralogi Buru,
Pram mengutuk habis-habisan Belanda yang memperlakukan pribumi semaunya. Selain
itu, Pram juga mengkritik penduduk pribumi sendiri yang cenderung lemah dan
pasrah mengahadapi Belanda yang dengan angkuhnya telah menjadikan pribumi
sebagai budak di negeri sendiri.
Dalam novel Tetralogi
Buru terdapat beberapa bagian yang menjelaskan bahwa pribumi seharusnya
sudah mulai berusaha melepaskan diri dari perilaku semena-mena Belanda sebab
waktu puluhan tahun seharusnya menyadarkan Bangsa Nusantara tersebut. Nampak
bahwa Pram juga tak terlalu suka tradisi dan kebiasaan tertentu masyarakat
pribumi seperti penganjuran akan kesabaran dan kepasrahan yang tak dibarengi
dengan rasionalitas dan egaliter yang seharusnya terjalin antar sesama pribumi maupun
dengan Belanda waktu itu.
Ketidaksukaan
Pram pada budaya pribumi juga tercermin dalam budaya priayi-kawula yang
mengharuskan pengabdian seorang kawula pada priayi. Pram mengkritik bahwa dalam
praktek budaya ini rasionalitas dan kemanusiaan tak lagi ada harganya dibanding
pengabdian yang sangat mendeskreditkan
harga diri dan kesamaan sesama manusia. Mungkin sebab itu pulalah Pram melepas
kata ‘mas’ yang tercantum dalam nama lengkapnya yaitu Pramoedya Ananta
‘Mas’toer agar tak terlalu jawa-aristokrat.
Pram memang
tak pernah berdamai dengan keadaan sosial yang belum berkeadilan. Tidak hanya Belanda,
Orde Lama pun tak luput dari kritik seorang Pram. Buku kumpulan esainya yang
berjudul Korupsi telah membuat Pram menjadi sorotan tajam pemerintahan Orde
Lama. Orde Baru pun demikian, Pram yang pernah menulis tentang masyarakat
Tionghoa di negeri ini dengan judul Hoakiau di Indonesia serta
pandangannya terkait komunisme di Tiongkok telah membuat dirinya dipenjara pada
masa pemerintahan Orde Baru yang anti-komunis tersebut.
Di sisi
lain, pandangan nasionalis dan sastra kiri telah membuatnya diangkat menjadi
orang penting di Lekra. Pada masa itulah kontroversi terjadi pada diri Pram
ketika salah satu sumber ada yang mengatakan jika dirinya menganjurkan untuk
memusnahkan karya-karya sastra yang tak sejalan dengannya. Lekra pada masa Orde
Lama tersebut akrab dilawankan dengan Manikebu yang merupakan lembaga seni yang
berlawanan ideologi dengan Lekra. Lekra yang berpandangan bahwa sastra dan
kesenian itu harus berkaitan dengan kemanusiaan dan kesadaran sosial (realisme sosialisme)
berbeda pandangan dengan Manikebu yang merupakan lembaga seni yang berkarya
untuk kemajuan sastra dan seni murni (Humanisme universal).
Pandangan-pandangan
yang tersurat dalam karya novelnya nampak tak hanya omong belaka. Terbukti Pram
bergabung dengan militer pada masa akhir penjajahan untuk membantu melepaskan
bangsa Indonesia dari jajahan Belanda. Hal itu juga yang membuat Pram dipenjara
pada masa pendudukan Belanda. Pram tak hanya pengarang dan sastrawan besar yang
pernah dimiliki Indonesia yang namanya juga berkali-kali masuk kategori
penerima nobel sastra, tetapi dia juga pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan
bangsanya yang berani mempertaruhkan diri hanya demi menyuarakan kebenaran yang
muncul dari dalam hatinya.
Kamis, 02
Juli 2015, 16.25
[1] Mahasiswa tingkat akhir,
jurusan Komunikasi UIN Sunan Ampel. Tulisan ini didiskusikan di Indonesia
Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 3 Juli 2015 di Angkringan 57 Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...