Jumat, 03 Juli 2015

Pram, Sastra, dan Perjuangan



Pramoedya Ananta Toer, atau yang akrab disapa Pram merupakan pengarang besar yang pernah dimiliki Indonesia pada masa pra-kemerdekaan sampai tahun 2006 lalu. Didikan ayahnya yang juga merupakan pengarang yang menerbitkan puisi, prosa, bahkan lagu telah menyalurkan darah pada diri Pram akan minat dan bakatnya pada sastra.

Selain itu ayahnya juga merupakan salah seorang yang aktif dalam organisasi Budi Oetomo (1908). Pada kesempatan media televisi Belanda yang mewawancarai Pram, dari lisannya sendiri menyatakan bahwa dia sejak kecil telah dididik dengan pendidikan nasionalis kiri sebab ayahnya merupakan guru utama Pram pada masa kecilnya yang menganut nasionalisme kiri.

Kiri-yang identik dengan perlawanan kaum tertindas, telah melekat pada diri Pram dalam pandangan hidupnya melalui karya-karya yang bisa kita nikmati hingga saat ini. Perlu diketahui bahwa Pram lahir di Blora, Jawa Tengah pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada 30 April 2006 dengan umur yang berakhir pada usia 81 tahun. Panjang umur Pram tersebut sedikit membuat kita kagum mengingat dia harus mengalami penindasan dan penyiksaan baik oleh kaum penjajah, pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru lewat kerja paksa dan jeruji besinya.

Sepanjang hidupnya Pram sepertinya telah akrab dengan kesulitan hidup. Masa kecilnya seperti yang dijelaskan dalam buku-buku tentang biografinya, bahwa pada usia 17 tahun dia telah bekerja begitu kerasnya untuk menghidupi dirinya dan adik-adiknya yang telah ditinggal mati orang tuanya. Bakat kepengarangan Pram juga telah muncul saat dirinya masih berada di sekolah dasar. Pram yang menurut penuturan dirinya semasa kecil pendiam memilih mencurahkan setiap gejolak hati dan perasaannnya melalui tulisan. Sejak kecil, tulisan telah menjadi sedikit penawar terhadap masalah-masalah yang dihadapi dirinya dengan curahan-curahan hati yang digoreskan tangannya.

Cerpenis, novelis, kritikus dan esais ini menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya untuk menciptakan karya-karya yang berguna bagi masyarakat. Pandangannya terkait nasionalisme kiri dapat kita lihat pada beberapa karyanya. Salah satu karya yang amat terkenal yaitu Tetralogi Buru, novel sejarah empat seri ini menurut penuturan Pram adalah menceritakan tentang perjalanan hidup seorang pejuang kemerdekaan yang melibatkan diri dalam organisasi Sarekat Priyayi pada masa kolonialisme Belanda.

Dalam karyanya, terlihat bahwa Pram sangat getol mengkritik perilaku manusia dan penguasa yang tidak menjalankan keadilan sosial. Dalam Tetralogi Buru, Pram mengutuk habis-habisan Belanda yang memperlakukan pribumi semaunya. Selain itu, Pram juga mengkritik penduduk pribumi sendiri yang cenderung lemah dan pasrah mengahadapi Belanda yang dengan angkuhnya telah menjadikan pribumi sebagai budak di negeri sendiri.

Dalam novel Tetralogi Buru terdapat beberapa bagian yang menjelaskan bahwa pribumi seharusnya sudah mulai berusaha melepaskan diri dari perilaku semena-mena Belanda sebab waktu puluhan tahun seharusnya menyadarkan Bangsa Nusantara tersebut. Nampak bahwa Pram juga tak terlalu suka tradisi dan kebiasaan tertentu masyarakat pribumi seperti penganjuran akan kesabaran dan kepasrahan yang tak dibarengi dengan rasionalitas dan egaliter yang seharusnya terjalin antar sesama pribumi maupun dengan Belanda waktu itu.

Ketidaksukaan Pram pada budaya pribumi juga tercermin dalam budaya priayi-kawula yang mengharuskan pengabdian seorang kawula pada priayi. Pram mengkritik bahwa dalam praktek budaya ini rasionalitas dan kemanusiaan tak lagi ada harganya dibanding pengabdian yang sangat mendeskreditkan harga diri dan kesamaan sesama manusia. Mungkin sebab itu pulalah Pram melepas kata ‘mas’ yang tercantum dalam nama lengkapnya yaitu Pramoedya Ananta ‘Mas’toer agar tak terlalu jawa-aristokrat.

Pram memang tak pernah berdamai dengan keadaan sosial yang belum berkeadilan. Tidak hanya Belanda, Orde Lama pun tak luput dari kritik seorang Pram. Buku kumpulan esainya yang berjudul Korupsi telah membuat Pram menjadi sorotan tajam pemerintahan Orde Lama. Orde Baru pun demikian, Pram yang pernah menulis tentang masyarakat Tionghoa di negeri ini dengan judul Hoakiau di Indonesia serta pandangannya terkait komunisme di Tiongkok telah membuat dirinya dipenjara pada masa pemerintahan Orde Baru yang anti-komunis tersebut.

Di sisi lain, pandangan nasionalis dan sastra kiri telah membuatnya diangkat menjadi orang penting di Lekra. Pada masa itulah kontroversi terjadi pada diri Pram ketika salah satu sumber ada yang mengatakan jika dirinya menganjurkan untuk memusnahkan karya-karya sastra yang tak sejalan dengannya. Lekra pada masa Orde Lama tersebut akrab dilawankan dengan Manikebu yang merupakan lembaga seni yang berlawanan ideologi dengan Lekra. Lekra yang berpandangan bahwa sastra dan kesenian itu harus berkaitan dengan kemanusiaan dan kesadaran sosial (realisme sosialisme) berbeda pandangan dengan Manikebu yang merupakan lembaga seni yang berkarya untuk kemajuan sastra dan seni murni (Humanisme universal).

Pandangan-pandangan yang tersurat dalam karya novelnya nampak tak hanya omong belaka. Terbukti Pram bergabung dengan militer pada masa akhir penjajahan untuk membantu melepaskan bangsa Indonesia dari jajahan Belanda. Hal itu juga yang membuat Pram dipenjara pada masa pendudukan Belanda. Pram tak hanya pengarang dan sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia yang namanya juga berkali-kali masuk kategori penerima nobel sastra, tetapi dia juga pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan bangsanya yang berani mempertaruhkan diri hanya demi menyuarakan kebenaran yang muncul dari dalam hatinya.

Kamis, 02 Juli 2015, 16.25



[1] Mahasiswa tingkat akhir, jurusan Komunikasi UIN Sunan Ampel. Tulisan ini didiskusikan di Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 3 Juli 2015 di Angkringan 57 Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...