Kamis, 02 Juli 2015

Agama Zoroaster

(Sebuah tanggapan atas tulisan Bung Marlaf tentang “Agama Kapitayan”)

Oleh: Libasut Taqwa*
Salam Bung Marlaf, terimakasih telah mengirimkan saya bahan bacaan yang sama sekali baru, setidaknya bagi mereka yang awam akan studi perbandingan agama. Membaca tulisan ini, saya tergugah, sekaligus merasa tertarik untuk membalas –dalam batas-batas tertentu- dengan disiplin yang saya tekuni. Saya paham, bahwa Sejarah umat manusia memang tak bisa dinafikan dengan kebutuhan spiritual akan Tuhan, Mungkin itu juga yang direfleksikan Karen Amstrong dalam salah satu masterpiece-nya the History of God, atau dalam terjemahan, kurang lebih berarti sejarah Tuhan. Oleh karenanya, -dari tulisan agama kapitayan ini- saya memang yakin, bahwa Tuhan telah memberikan sinyal penyembahan diri-Nya jauh sebelum manusia mengenal makna ketuhanan itu sendiri.
 Namun, ada beberapa hal yang patut saya cermati, setidaknya berdasar tulisan singkat anda, yang pertama; anda kurang membedahnya sehingga hanya menyisakan pemaparan narasi datar tanpa pertanyaan-pertanyaan reflektif. Anda belum menjawab, mengapa ada agama Kapitayan, siapa pembawa Risalahnya, berapa lama mereka memeluk agama tersebut, juga, dalam taraf tertentu, mengapa mereka dengan mudah menerima agama Hindu, Budha, bahkan Islam yang kini merupakan agama mayoritas. Apabila bung membeberkan jawaban-jawaban tersebut, saya kira akan komprehensif-lah pemahaman kita mengenai agama Kapitayan ini. Agama yang juga sering saya dengar penyebutannya oleh Said Aqiel Siradj.  
Baik, saya akan mulai menurunkan tulisan mengenai agama yang persis dari model pemaparan Agama Kapitayan.
Dulu, jauh sebelum Islam hadir di Jazirah Arab, Bangsa itu terkenal dengan kemajuan peradaban agung yang dihormati dunia. Salah satu contoh visualnya mungkin bisa kita lihat dalam film 300 Spartan versi 1 & 2. Saya harap Bung sudah menontonnya. Dalam film garapan Zack Snyder ini, Leonidas (yang dibintangi Gerard Butler), sebagai pemimpin teguh dengan idealisme kelas berat, digambarkan dengan payah memimpin 300 Prajurit Yunani menghalau (mungkin) jutaan pasukan Persia. Sesuatu yang mustahil, tidak perlu saya selesaikan ceritanya. Tapi yang penting, dari film itu, kita tahu, bahwa Persia, ialah salah satu raksasa peradaban dunia.
 
Persia, yang kini hampir separuh wilayahnya diwarisi Iran modern, dalam tarikh-tarikh yang masyhur, kita paham, punya pegangan kuat dalam menjalankan roda peradabannya. Ini sungguh berbanding terbalik dengan Arab, yang pada saat itu hanya buih di Dunia Tengah. Dalam masa ini, mungkin keadaan Arab secara sarkas dapat kita lihat di salah satu Syair penyair misterius Persia; Orang Arab makan Jangkrik di Gurun, hidup di tubir Jurang, sementara di Mashad bahkan Anjing, mendapat minum air Es.
Tapi bukan keunggulan ini yang ingin saya paparkan, tapi sesuatu yang lain, sesuatu yang disebut agama Zoroaster.
Di masa sebelum Islam, Agama menyebar di Persia. Bukan ide Hindu tentang sejuta-Dewa, bukan pula sesuatu seperti dewa-dewa Mesir berupa makhluk ajaib setengah manusia-setengah hewan. Juga bukan seperti paganisme Yunani. Yang melihat setiap hal kecil di alam dewanya sendiri, dewa yang berbentuk laiknya manusia, dan memiliki kelemahan-kelemahan manusiawi. Tidak!, dalam semesta Persia, Zoroastrianisme memegang posisi paling tinggi. Tamim Ansary, salah sorang Sejarawan itu, menyebut; “Zarasthustra (yang membawa Zoroaster), tidak pernah mengklaim diri menjadi Nabi atau penyalur energi ilahi, apalagi Tuhan atau Dewa, ia menganggap diriya seorang Filsuf atau pencari. Tapi para pengikutnya menganggap ia orang suci.” Ia mungkin hidup seribu tahun sebelum Kristus, mungkin berasal dari Iran Utara, atau juga dari Utara Afghanistan, tak jelas betul. Yang kita tahu, ia mengajarkan bahwa alam semesta sejak penciptaan dibagi antara unsur-unsur yang berlawan, saling tentang, dan dengan demikian akan bertahan hingga zaman akhir.
Keadaan berlawanan ini diwarisi sepenuhnya oleh manusia. Menurut Zoroaster, manusialah yang memilih apakah ia akan menjadi baik atau sebaliknya memilih jahat untuk memberi kekuatan pada kegelapan dan kematian. Zoroaster berkembang begitu jauh, dan lestari hingga kini di Iran, walaupun menjadi minoritas. Dalam konsep ketuhanan, agama ini dianggap sebagai agama monoteisme pertama dalam sejarah dunia. Ia menyembah kepada Dua Dewa (menurut Tamim Ansary), yang satu disebut Ahura Mazda, sebagai representasi dewa baik, dan satu lain disebut Ahriman, representasi Dewa Buruk, prinsip yang jahat. Dalam perkembangannya, Para penyembahnya dengan begitu jauh menyebut Ahura Mazda sebagai “Tuhan Maha Bijaksana” dan menjadikannya seolah-olah penguasa seluruh alam semesta melebihi Ahriman. Hingga akhirnya, dualisme Zoroaster menjadi kabur, dengan hanya memberi ruang penyembahan kepada Tuhan yang baik. Dari sini, Zoroaster menjelma menjadi monoteistik. Penyebutan Monoteisme Zoroater ini juga saya dapat langsung dalam Bahasa Persia di kampus. Mereka menyebutnya Miskhuda-i, sebagaimana Nurcholis Madjid menafsirkannya sebagai ‘tiada Tuhan melainkan Tuhan itu sendiri’. 
Bagi mereka, api berperan sebagai representasi ikon Ahura Mazda, yang mendorong sebagian orang menggolongkan Zoroaster sebagai penyembah api. Tapi yang mereka sembah bukan lah api per se. Melainkan Ahura Mazda itu sendiri. Ketika seseorang masuk ke tempat ibadah (kuil) Zoroaster di Teheran (Bastian Zulyeno menyebutnya di Yazd) (kuil ini disebut Atashade), maka sekejap ia akan melihatnya sebagai tempat sederhana dan menyerupai bangunan arsitektur Islam. Mereka yang hendak masuk, harus melepas alas kakinya dan memakai tutup kepala putih sebelum menghadap kepada Api dan berdoa. Api, bagi Zoroaster ibarat Ka’bah bagi Islam. Api ini lah, saat Rasul Muhammad SAW lahir, seketika mati setelah ribuan tahun menyala. Kini, karena tidak lagi abadi, api dinyalakan dengan kayu bakar dua kali sehari dan dijaga oleh para petugas.
Agama ini menolak Patung, citra, dan ikon keagamaan. Sesuatu yang kemudian muncul kembali dengan lebih tegas dalam Islam. Berkata baik, Berkelakuan baik, Berpikir baik adalah inti ajaran-ajarannya yang terangkum dalam Kitab Suci yang disebut Avesta, atau Alafasta dalam versi lain. Dalam masalah ibadah, mereka sholat (saya belum tahu persis gerakannya) dalam lima kali sehari dan terbatas pada pembacaan doa. Yang pertama dilakukan sebelum matahari terbit, yang kedua setelah matahari terbit, yang ketiga saat Dzuhur, yang keempat setelah Dzuhur, dan terakhir pada malam hari. Mereka juga berpuasa, sebagai wujud dari nasihat akhlak yang ketaatannya diserahkan kepada penganut Zoroaster itu sendiri. Selain itu, mereka akan menahan diri mengkonsumsi daging selama 4 hari dalam setiap bulan.
Zoroaster juga merayakan hari besar yang disebut Nowrooz di setiap tahunnya. Perayaan ini diiringi ritual bersama yang disebut Chahrshanbe Shouri, melangkahi api. Diikuti juga oleh masyarakat muslim Iran, Nowrooz diadakan pada Maret, sebagai perayaan atas mekarnya alam.
Kapan bangsa Persia secara mayoritas bergegas memeluk Islam? Ada beberapa analisa yang saya dapat, tetapi hanya akan saya tulis sebagian, sebab akan menjadi sangat panjang dan melelahkan. Pertama, Magous (bentuk jamak dari Magi, orang majusi), menganggap agama mereka memiliki kemiripan dengan Islam, sehingga tidak sulit beradaptasi dengan agama baru ini, sebab selain menjanjikan dalam kemajuan, juga menjamin kelangsungan hidup penganutnya. Kedua, setelah Dinasti Sasania (dinasti terakhir Persia) diremukkan pasukan Sa’ad Ibn Abi Waqqas atas Komando Khalifah Umar Ibn al-Khatthab, masyarakat Persia tertegun melihat sebuah Imperium Baru Islam mampu meng-ambruk-kan peradaban Persia yang kokoh berabad-abad. Penaklukan ini secara tidak langsung mengakibatkan berbondong-bondong Penganut Zoroaster berpindah dan memeluk Islam. Dan konon, membuat sebagian kaum muslim Iran begitu sangat membenci Umar al-Khatthab.
Kini Zoroaster hanya segelintir terpusat di Iran, juga India akibat dari eksodus sebab penindasan Raja Kisra beberapa saat sebelum Islam.
Note: beberapa informasi dan penulisan istilah Persia saya terima dari perkuliahan di kampus, atas bimbingan Bastian Zulyeno, salah satu pembimbing saya dalam bahasa Persia. Buku karya Nucholish Madjid saya lupa judulnya sebab tertinggal di Surabaya. Sumber lain, silahkan baca, al-Aqalliyat Ad-Diniyyah Wa al-‘Urqiyyah Wa al-Madzhabiyyah Fi Iran, oleh Samih Said Abud, juga Destiny Disrupted: A History of The World Through Islamic Eyes, oleh Tamim Ansary. Keduanya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (dan sangat membantu sekali), termasuk History of God, oleh Karen Amstrong. Beberapa buku tentang Iran juga menarik dipelajari seperti Eternal Iran, oleh Patrick Clawson dan Michael Rubin. Iran, oleh Jennifer L. Skancke dan Lauri S. Friedman. Atau juga The Mirage of Iran, Oleh Ahmed al-Afghanee. Semoga buku-buku ini telah saya kirim melalui email berapa waktu lalu.
*Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Aktif menulis di Indonesia Belajar Institut (IBI) Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...