Jumat, 22 Mei 2015

Yang Indah Abadi dari Perempuan dan Cinta

Oleh : Mochamad Irfansyah[1]

“Jangan cari AIR, carilah dahaga ~Jalaludin Rumi”
Dengan dahaga kau akan lebih mencintai AIR

Ketiadaan aturan yang melarang laki-laki dan perempuan dalam pergaulan bebas pasti akan menyebabkan bertambahnya gelora seksual. Jika gelora seksual ini tidak ditahan dan selalu terfasilitasi maka akan pula menyebabkan hasrat jiwa dengan kebutuhan seksual yang tidak mungkin terpuaskan. Jika demikian, artinya kehausan akan naluri seksual pada dasarnya merupakan insting yang kuat dan berakar. Semakin para pemuda-mudi menuruti kemauannya semakin bertambah pula tuntutannya, seperti api yang bertambah kobarannya manakala dijejali kayu bakar. Maka supaya api itu tidak bertambah besar kita perlu menahan diri untuk tidak menjejalinya dengan kayu bakar atau memilih untuk memadamkannya.
Manusia memang cepat terpicu gairahnya, dan tidak benar jika dikatakan bahwa manusia dalam menerima rangsangannya mempunyai batas-batas tertentu yang membuat gairah seksualnya hilang atau reda. Cinta yang terjadi -baik atas laki-laki maupun perempuan- terhadap harta dan pangkat juga tidak ada batasnya dan tak akan pernah merasa puas terhadap keduanya sedikit pun. Hal ini sejalan dengan insting seksualnya. Jadi, tidak ada seorang laki-laki yang pernah puas melihat wajah yang cantik dan tidak ada pula seorang wanita yang puas mencari simpati hati laki-laki. Dan pula tidak ada hati yang puas terhadap hawa nafsu dan kegemarannya.

Dalam buku Our Oriental Heritage, Will Durant berkomentar atas ini. “Meski semua tahu bahwa tuntutan akan kebutuhan seksual tak terbatas, namun dari sisi lain, tuntutan akan ini tak akan mungkin bisa ter(di)wujudkan-baik kita kehendaki ataupun tidak”. Semakin kita mengikuti tuntutan ini malah akan membawa kita pada ketidakmujuran atau kegoncangan-kegoncangan jiwa. Dan dalam jangka panjang akan menyebabkan penyakit-penyakit psikologis.[2]
Kelaziman tentang kabiasaan yang menuruti hasrat seksual ini menurut para filsuf  muslim disebut sebagai penyakit jiwa. Sebab meningkatnya penyakit jiwa ini adalah kebebasan seksual dan faktor-faktor pemicu nafsu syahwat yang banyak ditemui -khususnya para lelaki- pada berbagai surat kabar, media sosial, pesta-pesta ataupun media yang lainnya. Hal ini terjadi karena terjadinya kebutuhan dalam menterjemahkan “perempuan” yang hanya dilihat dari satu aspek saja.[3]
Menurut para filsuf muslim, manusia harusnya melihat perempuan tidak hanya dari segi fisik saja. Perempuan pada dasarnya suatu objek yang keindahannya melintas dari jiwa menuju fisik. Dan untuk menterjemahkan perempuan secara fisik, seorang manusia harus memahami dahulu perempuan dalam definisi jiwa atau aspek diluar fisiknya (non material). Dengan demikian, maka para filsuf muslim meyakini bahwa pengertian perempuan tidak hanya memenuhi perempuan secara fisik saja, melainkan laki-laki juga (pasti) memiliki potensi jiwa keperempuanan.
Hakikat Perempuan
Dalam definisi yang hakiki, pengertian tentang perempuan harus kita kupas dari segala aspek fisik yang melekat daripadanya. Apabila kita hendak mengartikan perempuan sebatas aspek fisik maka itu bukanlah yang haikiki dari perempuan, karena segala sesuatu yang fisik tidaklah yang permanen dari perempuan. Aspek fisik hanyalah atribut saja, yang bisa digantikan dengan atribut yang lain. Apabila hendak memaksa juga menterjemahkan perempuan dalam pengertian fisik, maka kita harus menyadari karakter dari fisik itu berubah seiring dengan pergerakan waktu, lambat laun akan mengkisut dan sirna ditelan zaman. Pengertian yang semacam ini tidaklah hakikat atau memenuhi keabdaian.
Yang juga merupakan konsekuensi dari pendefinisian perempuan secara fisik, yakni kita juga akan meyakini bahwa cinta itu juga ditentukan dari aspek fisik. Secara tidak langsung kita juga meyakini bahwa cinta juga tidaklah hakiki.
Para filsuf muslim dengan kacamata kosmologis (filsafat islam) ketika berbicara perempuan, mereka tidak pernah mengartikan perempuan dalam artian fisik. Mereka mengemukakan teori imaji tentang perempuan. Teori ini menjelaskan bahwa yang tidak bisa dipisahkan dari perempuan adalah feminitas atau jiwa keperempuanannya. Feminitas tidak hanya dimiliki oleh perempuan dalam artian fisik, feminitas juga biasa terjebak dalam tubuh maskulin.
Dengan teori imaji ini, para filsuf muslim hendak mengantarkan kita tentang hakikat perempuan yang sakral dan arketip. Hal ini memenuhi pengertian bahwa kedepannya kita juga akan memahami cinta tidak lagi dikarenakan pandangan fisik, melainkan sesuatu yang suci dan sakral, bolehlah dikatakan cinta akan menemukan keabadiannya.
Jikalau J P Sartre dengan teori eksistensialismenya dan Sigmun Freud dengan psikoanalisanya hendak mengupas masalah-masalah perempuan dan cinta dengan angka-angka, maka sesungguhnya mereka sedang terjebak dalam absurditas berfikir. Karena sifat dari fisik (materi) itu selalu berubah-ubah. Lagi pula, Cinta yang demikian bagi saya -mungkin bagi umum juga- tidaklah menarik untuk diperbincangkan.
Apabila kita memahami perempuan berdasarkan jiwa, maka nalar kita akan diantarkan pada ruang yang yang sangat besar dan tak terbatas. Karena jikalau kita berbicara jiwa maka kita berbicara imajinasi/persepsi, sudah pasti alam ini merupakan alam yang lebih besar daripada realitas fisik.
Yang hakikat dari perempuan –perempuan=manusia dalam pengertian kosmologis- pada dasarnya adalah jiwa yang “ingin menerima”. Hal yang mustahil apabila ada yang mengatakan bahwa sifat dasar  jiwa itu memberi. Dalam setiap hubungan laki-laki dan perempuan pada masalah percintaan pada dasarnya keduanya sama-sama ingin menerima kasih sayang. Keinginan untuk menerima inilah yang mencirikan adanya jiwa feminitas dari manusia, tidaklah mungkin bagi manusia dalam setiap pemberian tidak didahului dengan menerima–kita tak mungkin memberi kalau tidak menerima.
Cinta
Apabila kita sudah mengartikan bahwa jiwa dari perempuan juga bisa memenuhi tubuh maskulin. Artinya dalam diri manusia selalu dipenuhi rasa keberterimaan. Dalam rasa keberterimaan, manusia selalu dipenuhi hasrat untuk terus-terusan meminta bukan memberi. Bahkan dalam cinta yang ekstrim, ia merelakan dirinya dalam derai air mata, terus-terusan meminta agar mendapat kasih sayang yang dianggapnya sempurna. Yang identik dari rasa keberterimaan ini adalah jiwa yang selalu diliputi dengan kepasrahan, ketulusan, keikhlasan, dan keterharuan, semuanya hanya untuk mendapatkan cinta yang hakiki, yang abadi tak terbatas oleh ruang dan waktu.
Cinta yang seperti ini akan terwujud apabila kita melakukan pembebasan diri dalam mengartikan perempuan. Pembebasan memiliki pengertian yang meniscayakan perempuan tidak hanya terbelenggu dalam pengertian fisik saja, tetapi meniscayakan keunggulan jiwa perempuan yang lebih dari fisik.
Dalam hal cinta, selalu terjadi relasi antara objek dan subjek. Sebagai manusia yang memiliki jiwa feminitas yang selalu mengharapkan cinta. Objek selalu bercirikan materi dan subjek bercirikan non materi. Dalam relasi materi dan non materi harus ada pembebasan yang membuat materi memahami sisi kenonmateriannya. Pembebasan dalam hal ini bisa kita artikan sebagai tindakan yang melawan belenggu atau batasan. Dalam hal pembebasan kita memerlukan adanya suatu paradigma yang membebaskan, maka pola pikir yang dilandaskan pada jiwa adalah paradigma yang sangat penting untuk membebaskan tawanan cinta.
Dengan paradigma “melawan batasan”,  maka kita terhindar dari cinta yang membelenggu. Kita akan menjadi pendidik cinta terhadap diri kita sendiri. Kita semua dalam lubuk hati pasti menyadari pendidikan yang sifatnya membelenggu atau menghagemoni pasti menimbulkan kecemasan. Maka sebagai manusia yang berifikir, segala macam pendidikan yang membelenggu haruslah kita lawan.
Kalaupun dalam percintaan terdapat batasan, harusnya batasan itu tidaklah untuk menghagemoni. Karena segala sesuatu yang menghagemoni itu bukan cinta.
Anggur-Anggur Cinta Yang Sangat Perempuan
Do’a bukanlah cara untuk memenuhi kebutuhan semata, ia melainkan juga luapan cinta atau cara mewujudkan pertalian cinta. Segala sesuatu yang tidak terjangkau logika dan ilmu pengetahuan hanya diperoleh dengan cinta; yakni cinta seseorang yang asyik bercengkerama dengan Sang Kekasih.
A Carrel menandaskan “manakala kalbu berisi cinta murni, cinta itu pastilah tulus, suci dan sejati. Kehidupan dan wujud merupakan suatu simbol bagi dari berbagai mukjizat Allah. Orang yang mengenal Allah pastilah ia mengenal Cinta”.[4]
Ketulusan, kesucian, dan kesejatian cinta tidaklah diukur berdasarkan kenikmatan dan kelezatan yang diperolehnya, melainkan berdasarkan kelaparan dan kebutuhannya akan hal-hal yang mengitarinya. Derajat kesempurnaan manusia sebanding dan berhubungan secara simetris dengan jenis kebutuhan dan hajatnya. Kadar dan martabat manusia bergantung pada apa yang dimintanya. Ketika minat dan hajatnya itu adalah sesuatu yang sempurna, luhur, dan suci, dia pun demikian. Semakin rendah seseorang, semakin rendah pula kebutuhannya; begitu pula sebaliknya. Benarlah kata Arya W Wirayuda (dosen saya), “Orang paling kaya adalah orang yang paling besar kebutuhannya”.
Jadi keutamaan seseorang tidaklah diukur dari kecintaannya terhadap dunia atau kekayaan melainkan dari kebutuhan yang semakin sempurna dan luhur.
Cinta adalah keterpesonaan akan hadirnya kekasih. Ia merupakan perasaan yang terpisah dari kesempurnaan dan keagungan roh yang abadi. Abadi pada dasarnya adalah segala sumber dari bumi ibu pertiwi yang bersatu padu dengan dirinya sendiri. Cinta adalah keterpesonaan dan keterpanggilan jiwa untuk mencari tempat asal, tempat berlabuh. Cinta itu mirip dengan seruling yang mengering dan menyendiri, kemudian berhasrat kembali ke hutan belantara bambu[5].



[1] Aktivis Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Surabaya, Mahasiswa di Universitas Airlangga Surabaya. Tulisan ini didiskusikan di Indonesia Belajar Institut (IBI) pada Jumat, 22 Mei 2015 di Angkringan 57 Surabaya.
[2] Murtadha Muthahari, Etika Seksual antara Islam dan Barat, (Jogjakarta: Rausyan Fikr), hlm. 14-17.
[3] Murtadha Muthahari, Wanita dan Hijab, (Jakarta: Penerbit Lentera), hlm. 74-77
[4] Pepatah Arab mengatakan Barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya”, ini juga bisa kita tarik dalam peribahasa demikian; Barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal cintanya yang hakikat”.
[5] Permisalan ini merujuk pada permisalan yang diberikan Jalaludin Rumi: “Dengarkan bagaimana seruling mengisahkan hikayatnya. Ia merintih akibat ‘penyakit perpisahan’. Ia menuturkan, ‘sejak aku dipisahkan dari tetumbuhan hutan di belantara manusia laki-laki dan perempuan menangis mendengar ceritaku. Aku mengerang akibat ‘perpisahan’, sampai akhirnya aku membuat panduan ‘ilmu rindu’. Maka, semua yang berdiri terpisah dari tempat asalnya, akan terus mencari jalan pertemuan kembali dengannya. Lihat, Matsnawi Jalaludin Rumi, dan Doa’ Tangis dan Perlawanan karya Ali Syariati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...