Oleh : Mochamad Irfansyah[1]
“Jangan cari AIR, carilah dahaga ~Jalaludin Rumi”
Dengan dahaga kau akan lebih mencintai AIR
Ketiadaan
aturan yang melarang laki-laki dan perempuan dalam pergaulan bebas pasti akan
menyebabkan bertambahnya gelora seksual. Jika gelora seksual ini tidak ditahan
dan selalu terfasilitasi maka akan pula menyebabkan hasrat jiwa dengan
kebutuhan seksual yang tidak mungkin terpuaskan. Jika demikian, artinya
kehausan akan naluri seksual pada dasarnya merupakan insting yang kuat dan
berakar. Semakin para pemuda-mudi menuruti kemauannya semakin bertambah pula
tuntutannya, seperti api yang bertambah kobarannya manakala dijejali kayu
bakar. Maka supaya api itu tidak bertambah besar kita perlu menahan diri untuk
tidak menjejalinya dengan kayu bakar atau memilih untuk memadamkannya.
Manusia
memang cepat terpicu gairahnya, dan tidak benar jika dikatakan bahwa manusia
dalam menerima rangsangannya mempunyai batas-batas tertentu yang membuat gairah
seksualnya hilang atau reda. Cinta yang terjadi -baik atas laki-laki maupun
perempuan- terhadap harta dan pangkat juga tidak ada batasnya dan tak akan
pernah merasa puas terhadap keduanya sedikit pun. Hal ini sejalan dengan
insting seksualnya. Jadi, tidak ada seorang laki-laki yang pernah puas melihat
wajah yang cantik dan tidak ada pula seorang wanita yang puas mencari simpati
hati laki-laki. Dan pula tidak ada hati yang puas terhadap hawa nafsu dan
kegemarannya.
Dalam
buku Our Oriental Heritage, Will Durant berkomentar atas ini. “Meski
semua tahu bahwa tuntutan akan kebutuhan seksual tak terbatas, namun dari sisi
lain, tuntutan akan ini tak akan mungkin bisa ter(di)wujudkan-baik kita
kehendaki ataupun tidak”. Semakin kita mengikuti tuntutan ini malah akan
membawa kita pada ketidakmujuran atau kegoncangan-kegoncangan jiwa. Dan dalam
jangka panjang akan menyebabkan penyakit-penyakit psikologis.[2]
Kelaziman
tentang kabiasaan yang menuruti hasrat seksual ini menurut para filsuf muslim disebut sebagai penyakit jiwa. Sebab meningkatnya penyakit jiwa ini adalah
kebebasan seksual dan faktor-faktor pemicu nafsu syahwat yang banyak ditemui
-khususnya para lelaki- pada berbagai surat kabar, media sosial, pesta-pesta
ataupun media yang lainnya. Hal ini terjadi karena terjadinya kebutuhan dalam
menterjemahkan “perempuan” yang hanya dilihat dari satu aspek saja.[3]
Menurut
para filsuf muslim, manusia harusnya melihat perempuan tidak hanya dari segi
fisik saja. Perempuan pada dasarnya suatu objek yang keindahannya melintas dari
jiwa menuju fisik. Dan untuk menterjemahkan perempuan secara fisik, seorang
manusia harus memahami dahulu perempuan dalam definisi jiwa atau aspek diluar
fisiknya (non material). Dengan demikian, maka para
filsuf muslim meyakini bahwa pengertian perempuan tidak hanya memenuhi
perempuan secara fisik saja, melainkan laki-laki juga (pasti) memiliki potensi
jiwa keperempuanan.
Hakikat Perempuan
Dalam
definisi yang hakiki, pengertian tentang perempuan harus kita kupas dari segala
aspek fisik yang melekat daripadanya. Apabila kita hendak mengartikan perempuan
sebatas aspek fisik maka itu bukanlah yang haikiki dari perempuan, karena
segala sesuatu yang fisik tidaklah yang permanen dari perempuan. Aspek fisik
hanyalah atribut saja, yang bisa digantikan dengan atribut yang lain. Apabila
hendak memaksa juga menterjemahkan perempuan dalam pengertian fisik, maka kita
harus menyadari karakter dari fisik itu berubah seiring dengan pergerakan
waktu, lambat laun akan mengkisut dan sirna ditelan zaman. Pengertian yang semacam
ini tidaklah hakikat atau memenuhi keabdaian.
Yang
juga merupakan konsekuensi dari pendefinisian perempuan secara fisik, yakni
kita juga akan meyakini bahwa cinta itu juga ditentukan dari aspek fisik.
Secara tidak langsung kita juga meyakini bahwa cinta juga tidaklah hakiki.
Para
filsuf muslim dengan kacamata kosmologis (filsafat islam) ketika berbicara
perempuan, mereka tidak pernah mengartikan perempuan dalam artian fisik. Mereka
mengemukakan teori imaji tentang
perempuan. Teori ini menjelaskan bahwa yang tidak bisa dipisahkan dari
perempuan adalah feminitas atau jiwa keperempuanannya. Feminitas tidak hanya
dimiliki oleh perempuan dalam artian fisik, feminitas juga biasa terjebak dalam
tubuh maskulin.
Dengan
teori imaji ini, para filsuf muslim hendak mengantarkan kita tentang hakikat
perempuan yang sakral dan arketip. Hal ini memenuhi pengertian bahwa kedepannya
kita juga akan memahami cinta tidak lagi dikarenakan pandangan fisik, melainkan
sesuatu yang suci dan sakral, bolehlah dikatakan cinta akan menemukan
keabadiannya.
Jikalau
J P Sartre dengan teori eksistensialismenya dan Sigmun Freud
dengan psikoanalisanya hendak mengupas masalah-masalah perempuan dan cinta
dengan angka-angka, maka sesungguhnya mereka sedang terjebak dalam absurditas
berfikir. Karena sifat dari fisik (materi) itu selalu berubah-ubah. Lagi pula,
Cinta yang demikian bagi saya -mungkin bagi umum juga- tidaklah menarik untuk
diperbincangkan.
Apabila
kita memahami perempuan berdasarkan jiwa, maka nalar kita akan diantarkan pada
ruang yang yang sangat besar dan tak terbatas. Karena jikalau kita berbicara
jiwa maka kita berbicara imajinasi/persepsi, sudah pasti alam ini merupakan
alam yang lebih besar daripada realitas fisik.
Yang
hakikat dari perempuan –perempuan=manusia dalam pengertian kosmologis- pada
dasarnya adalah jiwa yang “ingin menerima”.
Hal yang mustahil apabila ada yang mengatakan bahwa sifat dasar jiwa itu memberi. Dalam setiap hubungan
laki-laki dan perempuan pada masalah percintaan pada dasarnya keduanya
sama-sama ingin menerima kasih sayang. Keinginan untuk menerima inilah yang
mencirikan adanya jiwa feminitas dari manusia, tidaklah mungkin bagi manusia
dalam setiap pemberian tidak didahului dengan menerima–kita tak mungkin memberi
kalau tidak menerima.
Cinta
Apabila
kita sudah mengartikan bahwa jiwa dari perempuan juga bisa memenuhi tubuh
maskulin. Artinya dalam diri manusia selalu dipenuhi rasa keberterimaan. Dalam
rasa keberterimaan, manusia selalu dipenuhi hasrat untuk terus-terusan meminta
bukan memberi. Bahkan dalam cinta yang ekstrim, ia merelakan dirinya dalam
derai air mata, terus-terusan meminta agar mendapat kasih sayang yang
dianggapnya sempurna. Yang identik dari rasa keberterimaan ini adalah jiwa yang
selalu diliputi dengan kepasrahan, ketulusan, keikhlasan, dan keterharuan,
semuanya hanya untuk mendapatkan cinta yang hakiki, yang abadi tak terbatas
oleh ruang dan waktu.
Cinta
yang seperti ini akan terwujud apabila kita melakukan pembebasan diri dalam
mengartikan perempuan. Pembebasan memiliki pengertian yang meniscayakan
perempuan tidak hanya terbelenggu dalam pengertian fisik saja, tetapi
meniscayakan keunggulan jiwa perempuan yang lebih dari fisik.
Dalam
hal cinta, selalu terjadi relasi antara objek dan subjek. Sebagai manusia yang
memiliki jiwa feminitas yang selalu mengharapkan cinta. Objek selalu bercirikan
materi dan subjek bercirikan non materi. Dalam relasi materi dan non materi
harus ada pembebasan yang membuat materi memahami sisi kenonmateriannya.
Pembebasan dalam hal ini bisa kita artikan sebagai tindakan yang melawan
belenggu atau batasan. Dalam hal pembebasan kita memerlukan adanya suatu
paradigma yang membebaskan, maka pola pikir yang dilandaskan pada jiwa adalah
paradigma yang sangat penting untuk membebaskan tawanan cinta.
Dengan
paradigma “melawan batasan”, maka kita
terhindar dari cinta yang membelenggu. Kita akan menjadi pendidik cinta
terhadap diri kita sendiri. Kita semua dalam lubuk hati pasti menyadari
pendidikan yang sifatnya membelenggu atau menghagemoni pasti menimbulkan
kecemasan. Maka sebagai manusia yang berifikir, segala macam pendidikan yang
membelenggu haruslah kita lawan.
Kalaupun
dalam percintaan terdapat batasan, harusnya batasan itu tidaklah untuk
menghagemoni. Karena segala sesuatu yang menghagemoni itu bukan cinta.
Anggur-Anggur Cinta Yang Sangat Perempuan
Do’a
bukanlah cara untuk memenuhi kebutuhan semata, ia melainkan juga luapan cinta
atau cara mewujudkan pertalian cinta. Segala sesuatu yang tidak terjangkau
logika dan ilmu pengetahuan hanya diperoleh dengan cinta; yakni cinta seseorang
yang asyik bercengkerama dengan Sang Kekasih.
A
Carrel
menandaskan “manakala kalbu berisi cinta murni, cinta itu pastilah tulus,
suci dan sejati. Kehidupan dan wujud merupakan suatu simbol bagi dari berbagai
mukjizat Allah. Orang yang mengenal Allah pastilah ia mengenal Cinta”.[4]
Ketulusan,
kesucian, dan kesejatian cinta tidaklah diukur berdasarkan kenikmatan dan
kelezatan yang diperolehnya, melainkan berdasarkan kelaparan dan kebutuhannya
akan hal-hal yang mengitarinya. Derajat kesempurnaan manusia sebanding dan
berhubungan secara simetris dengan jenis kebutuhan dan hajatnya. Kadar dan
martabat manusia bergantung pada apa yang dimintanya. Ketika minat dan hajatnya
itu adalah sesuatu yang sempurna, luhur, dan suci, dia pun
demikian. Semakin rendah seseorang, semakin rendah pula kebutuhannya; begitu
pula sebaliknya. Benarlah kata Arya W Wirayuda (dosen saya), “Orang paling kaya adalah orang yang
paling besar kebutuhannya”.
Jadi
keutamaan seseorang tidaklah diukur dari kecintaannya terhadap dunia atau
kekayaan melainkan dari kebutuhan yang semakin sempurna dan luhur.
Cinta
adalah keterpesonaan akan hadirnya kekasih. Ia merupakan perasaan yang terpisah
dari kesempurnaan dan keagungan roh yang abadi. Abadi pada dasarnya adalah
segala sumber dari bumi ibu pertiwi yang bersatu padu dengan dirinya sendiri.
Cinta adalah keterpesonaan dan keterpanggilan jiwa untuk mencari tempat asal,
tempat berlabuh. Cinta itu mirip dengan seruling yang mengering dan menyendiri,
kemudian berhasrat kembali ke hutan belantara bambu[5].
[1] Aktivis Himpunan
Mahasiswa Indonesia (HMI) Surabaya, Mahasiswa di Universitas Airlangga
Surabaya. Tulisan ini didiskusikan di Indonesia Belajar Institut (IBI) pada
Jumat, 22 Mei 2015 di Angkringan 57 Surabaya.
[2] Murtadha
Muthahari, Etika Seksual antara Islam dan Barat, (Jogjakarta: Rausyan
Fikr), hlm. 14-17.
[4] Pepatah Arab
mengatakan “Barang siapa
mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya”, ini juga bisa kita tarik dalam
peribahasa demikian; “Barang siapa
mengenal dirinya maka ia mengenal cintanya yang hakikat”.
[5] Permisalan
ini merujuk pada permisalan yang diberikan Jalaludin Rumi: “Dengarkan
bagaimana seruling mengisahkan hikayatnya. Ia merintih akibat ‘penyakit
perpisahan’. Ia menuturkan, ‘sejak aku dipisahkan dari tetumbuhan hutan di
belantara manusia laki-laki dan perempuan menangis mendengar ceritaku. Aku
mengerang akibat ‘perpisahan’, sampai akhirnya aku membuat panduan ‘ilmu
rindu’. Maka, semua yang berdiri terpisah dari tempat asalnya, akan terus
mencari jalan pertemuan kembali dengannya. Lihat, Matsnawi Jalaludin Rumi, dan
Doa’ Tangis dan Perlawanan karya Ali Syariati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...