Oleh : Muhammad Biqi Hazairin[1]
Ketika
membaca Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 208, saya menemukan kata-kata “‘aduwwum mubin“ dan saya tergelitik
untuk membahasnya. Namun bukan berarti saya ingin menafsirkan kata tersebut,
saya bukanlah mufassir yang mempunyai kapasitas untuk menafsirkan kalimat yang
terdapat dalam Al-qur’an. Dan saya juga bukan ulama’ ahli hukum yang berhak
menentukan kebenaran dari sebuah permasalahan. Jadi saya mohon maaf sebelumnya,
dengan berbekal pikiran ngawur
mencoba menulis ini dan membahas kalimat “‘aduwwum
mubin“.
Secara
tekstual arti dari “‘aduwwum mubin“
adalah musuh yang nyata. Dan dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa musuh
yang nyata bagi manusia adalah syetan. Sedikit mengutip dari kalimat Cak Nun—MH
Ainun Nadjib, bahwa jangan menganggap syetan adalah entitas di luar diri kita,
karena syetan sebenarnya adalah sifat-sifat negatif yang ada dalam diri kita
sendiri. Bahkan Nabi Muhammad SAW sepulang dari perang badar berkata “perang badar ini hanyalah perang kecil,
dan kita akan menghadapi perang yang
lebih besar, Yaitu perang melawan hawa nafsu “. Dan banyak
literatur-literatur, pendapat-pendapat ulama’, dll. yang menyatakan bahwa
syetan sebenarnya adalah hawa nafsu yang tidak terpisahkan dari manusia itu
sendiri. Namun, ada entitas negatif lain yang Allah jelaskan yaitu iblis. Jadi
jika malaikat mempunyai konotasi positif dalam kehidupan manusia, maka syetan
dan iblis menjadi negatif.
Namun
terselip sedikit pertanyaan dalam benak, kenapa Allah menciptakan syetan
sebagai “musuh yang nyata” bagi manusia? Bahkan disusul dengan pertanyaan lain,
kenapa harus ada “musuh yang nyata“ dalam kehidupan manusia? Ataukah memang “‘aduwwum mubin“ ini memang harus
ada untuk manusia yang masih hidup di dunia?
Dalam
berbagai penjelasan dan literatur, kata syetan selalu berkaitan dengan hal yang
sangat luar biasa. Kasat mata, tidak rasional, tak terdeteksi, tak terfikirkan,
tak tergambarkan dan berbagai macam hal luar biasa lainnya. Sehingga banyak
dalam sejarah manusia muncul berbagai gambaran tentang syetan, dalam rangka
untuk mengidentifikasi dan mengenali syetan itu sendiri. Dan Allah menjadikan
hal yang luar biasa ini sebagai “‘aduwwum
mubin“ musuh yang nyata bagi manusia, kita harus menjadikan hal yang
adidaya, hal yang luar biasa, dan hal yang abadi sebagai musuh. Akan tetapi
Allah juga menegaskan bahwa manusia bisa mengalahkan syetan. Dengan syarat
bahwa manusia tersebut terus berusaha menjadi lebih baik, memperbaharui
keimanan ke tingkat yang lebih tinggi, memperluas ilmu dan segala macamnya.
Sebagai individu Allah menjadikan syetan sebagai salah satu tujuan, parameter
dan alat untuk membentuk manusia unggulan dan menjadikan manusia menjadi lebih
baik. Dan juga sebagai individu, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa
syetan sebenarnya bukanlah hal terpisah dari entitas manusia itu sendiri, jadi
jika ingin menjadi manusia yang lebih baik maka seorang manusia harus berani
dan mampu melawan dirinya sendiri. Sebagai individu hal tersebut bukanlah hal
yang harus dipermasalahkan dan diperdebatkan, karena urusannya langsung antara
manusia dan Tuhannya.
Namun
bagaimana jika menempatkan manusia bukan sebagai individu? Tapi sebagai sebuah
kelompok? Atau sebagai sebuah bangsa? Atau sebagai sebuah negara? Apakah masih
membutuhkan “‘aduwwum mubin “?
Ataukah memang “‘aduwwum mubin“
memang harus ada dalam setiap lini dan aspek kehidupan manusia? Entah dengan
cara kita menciptakan musuh tersebut atau mungkin mereka yang membentuk dirinya
menjadi musuh kita.
Sebagai
individu Nabi Muhammad tak pernah melawan ataupun membalas kejahatan yang
ditujukan kepada beliau. Namun setelah hijrah dan membentuk Negara Madinah,
sebagai kepala negara, Nabi diharuskan menjaga kedaulatan dan keamanan negara Madinah
dari serangan pihak luar yang ingin menghancurkan negara Madinah. Sehingga Allah
menurunkan Surat At-Taubah Ayat 36 yang berisi tentang diperbolehkannya
berperang melawan kaum musyrikin. Dan dalam beberapa ayat lain ketika terdapat
kata “qaatala“ maka diteruskan dengan
menyebut kata musyrikin. Seakan-akan
secara gamblang Allah menegaskan bahwa yang harus dilawan dan menjadi “‘aduwwum mubin“ sebagai sebuah negara Madinah
adalah kaum musyrikin. Dan hal tersebut tidak hanya sekedar menegaskan jati
diri negara Madinah, namun juga semakin membuat negara Madinah menjadi negara
yang berkembang dan besar.
Dimulai
dari tahun 1096, kerajaan-kerajaan di Benua Eropa mulai bersatu. Sedangkan pada
masa kegelapan, mereka saling menyerang dan menguasai antara satu kerajaan dan kerajaan
lainnya. Persatuan mereka timbul atas kesadaran bahwa terdapat kekuatan yang
lebih besar yang saat itu mencoba untuk menguasai Eropa. Pada saat bersamaan pasukan
dari Bani Saljuk semakin merangsek ke Eropa melalui Asia Kecil, hal tersebut
dibuktikan dengan dikuasainya Asia Kecil. Maka dicarilah cara guna menyadarkan
kerajaan-kerajaan yang berada di Benua Eropa. Melalui Paus Urbanus II, agama Kristen
dijadikan sebagai semangat untuk mempersatukan Eropa, dengan dalih bahwa umat Islam
akan segera menguasai Eropa. Bahkan tidak hanya kerajaan-kerajaan di seantero Eropa
yang bersatu, namun juga berbagai aliran Kristen menyatakan dirinya sebagai
penjaga kedaulatan Eropa dan bersama-sama dengan kerajaan yang ada melawan
pasukan Islam. Hal yang sama terjadi dengan pasukan Islam, setelah
ditaklukannya Yerussalem oleh pasukan salib di bawah pimpinan Goldfrey pada
abad ke 11, pasukan Islam sadar bahwa mereka bukanlah satu-satunya pasukan yang
kuat. Kerajaan Kristen di Eropa bersatu dengan semangat untuk mengalahkan
pasukan Islam, dan pasukan Islam menghentikan perang sesama umat Islam dan
bersama-sama melawan pasukan Kristen. Dengan semangat tersebut perang salib
terus berlangsung selama dua abad lamanya, dan bahkan pengaruhnya tetap terasa
hingga saat ini.
Namun
walaupun menjadi strategi dasar dalam pengembangan dan pemersatuan sebuah kedaulatan,
ketika mendeklarasikan “‘aduwwum mubin“
pasti mempunyai resiko yang harus ditanggung. Seorang manusia sebagai individu
untuk menjadi menang maka dia harus melewati penderitaan-penderitaan yang
sangat luar biasa. Karena harus menahan hawa nafsunya. Sama halnya dengan
Negara Iran yang hingga saat ini tetap mempunyai kedaulatan yang mutlak atas
negerinya sendiri, ketika negara-negara Timur Tengah di sekitarnya sudah mulai
kehilangan kedaulatan atas dirinya sendiri. Hal tersebut berawal ketika terjadi
revolusi “Islam“ di Iran pada tahun 1979 yang dimotori oleh Ayatulloh Khomaini
untuk menggulingkan Shah Iran yang menguasai pemerintahan Iran, yang pada waktu
itu dipegang oleh shah Reza Pahlevi. Revolusi itu dimotori dengan
pengambilalihan kembali kedaulatan Iran, yang selama ini pihak asing sudah
banyak campur tangan terhadap urusan dalam negeri yang tergambar melalui
keterlibatan Amerika Serikat (AS) pada penggulingan Moshaddeq pada tahun 1953.
Sehingga simbol pertama kali yang dilakukan rakyat Iran dalam revolusi tersebut
adalah dengan mengambil alih kedutaan AS yang berada di Iran. Dan dalam
penggambaran “‘aduwwum mubin“ lebih
dijelaskan secara gamblang ketika Mahmoud Ahmadinejad menjabat sebagai presiden
Iran, melalui bukunya yang berjudul Singa
persia VS Amerika serikat. Namun bukan berarti tanpa resiko, sejak tahun
1995 negara mendapatkan banyak tekanan terutama dari negara Uni Eropa dan AS.
Mulai dari pengerdilan secara politik dan ekonomi dengan menghentikan kerja
sama, bahkan sampai embargo oleh negara-negara tetangga yang notabene sesama negara Timur Tengah.
Namun karena keteguhan hati dari rakyatnya yang siap tirakat menerima penderitaan sementara, sehingga iran mampu berdaulat
penuh atas negerinya sendiri.
Di
daerah sendiri, kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk mengangkat
Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada sebagai kepala pemerintahan, merupakan awal
mula proyek penyatuan Nusantara. Lewat Sumpah Palapa di Bale Manguntur saat
pelantikan, Gajah mada menyatakan meninggalkan segala kesenangan duniawi
sebelum tercapai cita-citanya yaitu menyatukan kerajaan-kerajaan di kepulauan
Nusantara di bawah naungan Majapahit. Jadi semangat yang dipakai gajah mada
bukanlah semangat untuk menguasai atau memerangi, namun yang dipakai adalah
semangat untuk mempersatukan kepulauan Nusantara yang selama ini masih tercerai
berai. Salah satu alasan dari Mahapatih Gajah
Mada untuk menyatukan Nusantara karena adanya ancaman dari kerajaan Tiongkok
yang sudah mulai melakukan ekspedisi ke wilayah Nusantara, seperti yang terjadi
pada Kerajaan Singosari. Dengan mengangkat kerajaan Tiongkok sebagai “‘aduwwum mubin“ Maha Patih Gajah Mada
mampu menyatukan Nusantara dan menjadikan Majapahit sebagai kerajaan besar. Bahkan
pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno menjadikan
Malaysia sebagai “‘aduwwum mubin“
guna menyatukan semangat rakyat Indonesia dan menunjukkan eksistensi negara
Indonesia pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan mampu
melawan serangan negara asing.
Dan
pada saat kini dengan keadaan Negara Indonesia seperti yang sudah kita ketahui
bersama, apakah Negara Indonesia membutuhkan “‘aduwwum mubin “ atau tidak? Dan jika memang butuh dan bahkan
harus ada. Selain kita harus siap dengan segala konsekuensi yang akan
ditimbulkan. lalu siapa, apa, dimana atau sesuatu yang berhak mendapatkan
penghargaan untuk menjadi “‘aduwwum mubin“
bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia?
Wallahu a’lam
Wonocolo, 10 Mei 2015
[1] Aktivis PMII
Komisariat Sunan Ampel 2007, Mahasiswa di Universitas Sunan Giri Surabaya,
Caleg DPR-D Kota Jember 2014 yang gagal menjadi anggota dewan. Tulisan ini didiskusikan
di Indonesia Belajar Institut (IBI), Jumat, 15 Mei 2015 di Angkringan 57 Jl.
Jemursari Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...