Rabu, 13 Mei 2015

Bercerita Tentang Realita: Strategi 'Aduwwum Mubiin

Ketika membaca Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 208, saya menemukan kata-kata “‘aduwwum mubin“ dan saya tergelitik untuk membahasnya. Namun bukan berarti saya ingin menafsirkan kata tersebut, saya bukanlah mufassir yang mempunyai kapasitas untuk menafsirkan kalimat yang terdapat dalam Al-qur’an. Dan saya juga bukan ulama’ ahli hukum yang berhak menentukan kebenaran dari sebuah permasalahan. Jadi saya mohon maaf sebelumnya, dengan berbekal pikiran ngawur mencoba menulis ini dan membahas kalimat “‘aduwwum mubin“.
Secara tekstual arti dari “‘aduwwum mubin“ adalah musuh yang nyata. Dan dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa musuh yang nyata bagi manusia adalah syetan. Sedikit mengutip dari kalimat Cak Nun—MH Ainun Nadjib, bahwa jangan menganggap syetan adalah entitas di luar diri kita, karena syetan sebenarnya adalah sifat-sifat negatif yang ada dalam diri kita sendiri. Bahkan Nabi Muhammad SAW sepulang dari perang badar berkata “perang badar ini hanyalah perang kecil, dan kita akan menghadapi perang yang lebih besar, Yaitu perang melawan hawa nafsu “. Dan banyak literatur-literatur, pendapat-pendapat ulama’, dll. yang menyatakan bahwa syetan sebenarnya adalah hawa nafsu yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri. Namun, ada entitas negatif lain yang Allah jelaskan yaitu iblis. Jadi jika malaikat mempunyai konotasi positif dalam kehidupan manusia, maka syetan dan iblis menjadi negatif.

Namun terselip sedikit pertanyaan dalam benak, kenapa Allah menciptakan syetan sebagai “musuh yang nyata” bagi manusia? Bahkan disusul dengan pertanyaan lain, kenapa harus ada “musuh yang nyata“ dalam kehidupan manusia? Ataukah memang “‘aduwwum mubin“ ini memang harus ada untuk manusia yang masih hidup di dunia?

Dalam berbagai penjelasan dan literatur, kata syetan selalu berkaitan dengan hal yang sangat luar biasa. Kasat mata, tidak rasional, tak terdeteksi, tak terfikirkan, tak tergambarkan dan berbagai macam hal luar biasa lainnya. Sehingga banyak dalam sejarah manusia muncul berbagai gambaran tentang syetan, dalam rangka untuk mengidentifikasi dan mengenali syetan itu sendiri. Dan Allah menjadikan hal yang luar biasa ini sebagai “‘aduwwum mubin“ musuh yang nyata bagi manusia, kita harus menjadikan hal yang adidaya, hal yang luar biasa, dan hal yang abadi sebagai musuh. Akan tetapi Allah juga menegaskan bahwa manusia bisa mengalahkan syetan. Dengan syarat bahwa manusia tersebut terus berusaha menjadi lebih baik, memperbaharui keimanan ke tingkat yang lebih tinggi, memperluas ilmu dan segala macamnya. Sebagai individu Allah menjadikan syetan sebagai salah satu tujuan, parameter dan alat untuk membentuk manusia unggulan dan menjadikan manusia menjadi lebih baik. Dan juga sebagai individu, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa syetan sebenarnya bukanlah hal terpisah dari entitas manusia itu sendiri, jadi jika ingin menjadi manusia yang lebih baik maka seorang manusia harus berani dan mampu melawan dirinya sendiri. Sebagai individu hal tersebut bukanlah hal yang harus dipermasalahkan dan diperdebatkan, karena urusannya langsung antara manusia dan Tuhannya.

Namun bagaimana jika menempatkan manusia bukan sebagai individu? Tapi sebagai sebuah kelompok? Atau sebagai sebuah bangsa? Atau sebagai sebuah negara? Apakah masih membutuhkan “‘aduwwum mubin “? Ataukah memang “‘aduwwum mubin“ memang harus ada dalam setiap lini dan aspek kehidupan manusia? Entah dengan cara kita menciptakan musuh tersebut atau mungkin mereka yang membentuk dirinya menjadi musuh kita.

Sebagai individu Nabi Muhammad tak pernah melawan ataupun membalas kejahatan yang ditujukan kepada beliau. Namun setelah hijrah dan membentuk Negara Madinah, sebagai kepala negara, Nabi diharuskan menjaga kedaulatan dan keamanan negara Madinah dari serangan pihak luar yang ingin menghancurkan negara Madinah. Sehingga Allah menurunkan Surat At-Taubah Ayat 36 yang berisi tentang diperbolehkannya berperang melawan kaum musyrikin. Dan dalam beberapa ayat lain ketika terdapat kata “qaatala“ maka diteruskan dengan menyebut kata musyrikin. Seakan-akan secara gamblang Allah menegaskan bahwa yang harus dilawan dan menjadi “‘aduwwum mubin“ sebagai sebuah negara Madinah adalah kaum musyrikin. Dan hal tersebut tidak hanya sekedar menegaskan jati diri negara Madinah, namun juga semakin membuat negara Madinah menjadi negara yang berkembang dan besar.

Dimulai dari tahun 1096, kerajaan-kerajaan di Benua Eropa mulai bersatu. Sedangkan pada masa kegelapan, mereka saling menyerang dan menguasai antara satu kerajaan dan kerajaan lainnya. Persatuan mereka timbul atas kesadaran bahwa terdapat kekuatan yang lebih besar yang saat itu mencoba untuk menguasai Eropa. Pada saat bersamaan pasukan dari Bani Saljuk semakin merangsek ke Eropa melalui Asia Kecil, hal tersebut dibuktikan dengan dikuasainya Asia Kecil. Maka dicarilah cara guna menyadarkan kerajaan-kerajaan yang berada di Benua Eropa. Melalui Paus Urbanus II, agama Kristen dijadikan sebagai semangat untuk mempersatukan Eropa, dengan dalih bahwa umat Islam akan segera menguasai Eropa. Bahkan tidak hanya kerajaan-kerajaan di seantero Eropa yang bersatu, namun juga berbagai aliran Kristen menyatakan dirinya sebagai penjaga kedaulatan Eropa dan bersama-sama dengan kerajaan yang ada melawan pasukan Islam. Hal yang sama terjadi dengan pasukan Islam, setelah ditaklukannya Yerussalem oleh pasukan salib di bawah pimpinan Goldfrey pada abad ke 11, pasukan Islam sadar bahwa mereka bukanlah satu-satunya pasukan yang kuat. Kerajaan Kristen di Eropa bersatu dengan semangat untuk mengalahkan pasukan Islam, dan pasukan Islam menghentikan perang sesama umat Islam dan bersama-sama melawan pasukan Kristen. Dengan semangat tersebut perang salib terus berlangsung selama dua abad lamanya, dan bahkan pengaruhnya tetap terasa hingga saat ini.

Namun walaupun menjadi strategi dasar dalam pengembangan dan pemersatuan sebuah kedaulatan, ketika mendeklarasikan “‘aduwwum mubin“ pasti mempunyai resiko yang harus ditanggung. Seorang manusia sebagai individu untuk menjadi menang maka dia harus melewati penderitaan-penderitaan yang sangat luar biasa. Karena harus menahan hawa nafsunya. Sama halnya dengan Negara Iran yang hingga saat ini tetap mempunyai kedaulatan yang mutlak atas negerinya sendiri, ketika negara-negara Timur Tengah di sekitarnya sudah mulai kehilangan kedaulatan atas dirinya sendiri. Hal tersebut berawal ketika terjadi revolusi “Islam“ di Iran pada tahun 1979 yang dimotori oleh Ayatulloh Khomaini untuk menggulingkan Shah Iran yang menguasai pemerintahan Iran, yang pada waktu itu dipegang oleh shah Reza Pahlevi. Revolusi itu dimotori dengan pengambilalihan kembali kedaulatan Iran, yang selama ini pihak asing sudah banyak campur tangan terhadap urusan dalam negeri yang tergambar melalui keterlibatan Amerika Serikat (AS) pada penggulingan Moshaddeq pada tahun 1953. Sehingga simbol pertama kali yang dilakukan rakyat Iran dalam revolusi tersebut adalah dengan mengambil alih kedutaan AS yang berada di Iran. Dan dalam penggambaran “‘aduwwum mubin“ lebih dijelaskan secara gamblang ketika Mahmoud Ahmadinejad menjabat sebagai presiden Iran, melalui bukunya yang berjudul Singa persia VS Amerika serikat. Namun bukan berarti tanpa resiko, sejak tahun 1995 negara mendapatkan banyak tekanan terutama dari negara Uni Eropa dan AS. Mulai dari pengerdilan secara politik dan ekonomi dengan menghentikan kerja sama, bahkan sampai embargo oleh negara-negara tetangga yang notabene sesama negara Timur Tengah. Namun karena keteguhan hati dari rakyatnya yang siap tirakat menerima penderitaan sementara, sehingga iran mampu berdaulat penuh atas negerinya sendiri.

Di daerah sendiri, kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk mengangkat Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada sebagai kepala pemerintahan, merupakan awal mula proyek penyatuan Nusantara. Lewat Sumpah Palapa di Bale Manguntur saat pelantikan, Gajah mada menyatakan meninggalkan segala kesenangan duniawi sebelum tercapai cita-citanya yaitu menyatukan kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara di bawah naungan Majapahit. Jadi semangat yang dipakai gajah mada bukanlah semangat untuk menguasai atau memerangi, namun yang dipakai adalah semangat untuk mempersatukan kepulauan Nusantara yang selama ini masih tercerai berai. Salah satu alasan dari Mahapatih  Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara karena adanya ancaman dari kerajaan Tiongkok yang sudah mulai melakukan ekspedisi ke wilayah Nusantara, seperti yang terjadi pada Kerajaan Singosari. Dengan mengangkat kerajaan Tiongkok sebagai “‘aduwwum mubin“ Maha Patih Gajah Mada mampu menyatukan Nusantara dan menjadikan Majapahit sebagai kerajaan besar. Bahkan pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno menjadikan Malaysia sebagai “‘aduwwum mubin“ guna menyatukan semangat rakyat Indonesia dan menunjukkan eksistensi negara Indonesia pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan mampu melawan serangan negara asing.

Dan pada saat kini dengan keadaan Negara Indonesia seperti yang sudah kita ketahui bersama, apakah Negara Indonesia membutuhkan “‘aduwwum mubin “ atau tidak? Dan jika memang butuh dan bahkan harus ada. Selain kita harus siap dengan segala konsekuensi yang akan ditimbulkan. lalu siapa, apa, dimana atau sesuatu yang berhak mendapatkan penghargaan untuk menjadi “‘aduwwum mubin“ bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia?

Wallahu a’lam
Wonocolo, 10 Mei 2015


[1] Aktivis PMII Komisariat Sunan Ampel 2007, Mahasiswa di Universitas Sunan Giri Surabaya, Caleg DPR-D Kota Jember 2014 yang gagal menjadi anggota dewan. Tulisan ini didiskusikan di Indonesia Belajar Institut (IBI), Jumat, 15 Mei 2015 di Angkringan 57 Jl. Jemursari Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...