Jumat, 05 September 2014

Membumikan Nilai-Nilai Ketuhanan dan Relasinya di Islam Nusantara

Oleh: Masnida al-Shiraj[1]
Di era globalisasi ini dunia Islam mengalami banyak problem, di antaranya adalah mengikisnya nilai-nilai ketuhanan yang ada pada diri manusia sehingga pada kenyataannya dengan mengatasnamakan Tuhan semuanya bisa berbalik 180 derajat. Misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh sebagian orang yang menyebabkan pertumpahan darah di mana-mana tidak bisa dihindari. Pengeroyokan yang dilakukan oleh sebagian golongan dikarenakan ia tidak memiliki pandangan yang sama dengan dirinya juga sering terjadi. Padahal esensi dari ajaran Tuhan yang ter-elaborasi dalam Islam tidak mengajarkan kita seperti itu. Sunguh ironis sekali ketika kita saling menghujat dan mencaci maki karena memiliki latar belakang yang berbeda. Hal semacam ini tidak hanya terjadi di intern Islam itu  sendiri, akan tetapi kadang juga dilontarkan bagi mereka yang jelas-jelas agamnya berbeda. Kita perlu melihat dakwah Rasul yang dilakukan oleh beliau ketika berada di Makkah dan Madinah. Beliau  menjunjung tinggi nilai perbedaan dengan orang Yahudi selama ia tidak menganggu kaum Muslimin. Rasulullah senantiasa men
jaga toleransi dengan semua kaum meskipun ia memiliki latar belakang yang berbeda dengan dirinya. Itulah sebenarnya esensi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang perlu kita hadirkan dalam diri kita, dengan tujuan menjadikan diri kita insan yang bisa memberikan rahmat bagi seluruh alam.

Persoalan ke-Tuhan-an memang tidak akan pernah selesai dibahas, begitulah ungkapan yang dilontarkan salah seorang ilmuan Heidegger. Namun perlu adanya titik temu atau benang merah yang nantinya mengarah pada orang-orang yang meyakini keberadaannya.  Dalam hal ini agama dijadikan sebagai jembatan untuk menuju pada Tuhan itu sendiri. Akan tetapi dalam perjalannya agama juga mengalami pergolakan dikarenakan penganutnya yang kurang memahami esensi dari agama itu sendiri. Pergolakan agama bisa dilihat dari gejolak yang terjadi dengan mengatasnamakan agama, mereka mati-matian membela Tuhan-nya sampai ia rela terbunuh. Terkadang agama dalam pandangan orang dinilai tidak bisa memberikan kedamaian dan kesejahteraan. Bukankan agama di dalamnya mengajarkan tentang keluruhan? Akan tetapi, apa yang terjadi, agama yang dipahami oleh manusia dan kelompok-kelompok ekstrim telah membawa agama sebagai bahan yang akan menghilangkan sikap beradab atas seluruh manusia. Sehingga tak salah jika ada kekerasan mengatasnamakan agama, sehingga pada akhirnya agama hanya dipandang sebelah mata oleh banyak orang.

Agama kembali mendapat perhatian dengan gerak laju zaman dan arus modernitas, karena agama dianggap mempersempit gerak bebas manusia dan juga terjadinya perang yang mengatasnamakan agama. Sehingga perspektif orang-orang modern terhadap agama tak lain adalah agama mengandung banyak nilai negatif. Tidaklah kita lihat bendera berkibar dengan bertuliskan “Allahu Akbar” atau “Demi Tuhan”, mereka rela mempertaruhkan nyawanya. Di sisi lain yang perlu kita perhatikan adalah munculnya garis keras dalam agama seperti fundamentalisme, radikalisme, serta paham-paham garis keras lainnya. Sikap-sikap kelompok seperti inilah yang menjadikan Islam itu sempit, tidak memiliki nilai universal. Ketika Islam sudah tidak memiliki nilai universal, maka dengan mudahnya mereka saling menyalahkan, saling menghujat, bahkan yang lebih ekstrim lagi ia saling membunuh. Sungguh hal semacam ini tidak dikehendaki oleh ajaran Islam itu sendiri, apalagi kita hidup di Negara Indonesia yang mengakui banyak agama dan sistem yang dianut berdasarkan Negara hukum. Berbicara tentang pergolakan Islam di Nusantara ini sangat menarik untuk dibahas. Relasi antara Islam Nusantara dan gerakan Islam Timur Tengah yang fundamentalis memberikan dampak yang positif bagi perkembangan Islam di Nusantara. Akan tetapi dewasa ini lebih disebarkan dengan cara kekerasan dan paksaan, sehingga relasi itu menimbulkan sisi negatif. Dampak negatif ini tidak hanya mengancam eksistensi Islam Nusantara sebagai Negara yang memiliki beragam budaya, namun juga mengancam kehidupan keberagaman di Nusantara sendiri yang penuh ragam atau kebebasan beragama.

Wajah Islam Nusantara bersifat damai ketika Islam berhubungan dengan budaya lokal dan agama lokal maupun impor. Selain berdealektika dengan budaya, Islam juga mengkritisi budaya lokal yang tidak baik. Islam kosmopolitan yang dipahamkan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) adalah Islam yang mampu berdealektika dengan lingkungan atau dengan konteks sosial yang ada. Dalam hal ini interpretasi Gusdur mampu memberikan corak atau warna yang berbeda, di mana kerangka interpretasi Islam yaitu dengan “tafsirul kitab bil-kutub” artinya menafsiri kitab dengan buku yang lain, hal ini dilakukan agar pemujaan terhadap teks tidak terjadi. Sehingga arahan dalam interpretasinya mengarah kepada kedamaian, kesejukan, ketentraman, dan Islam yang bisa berdialog dengan lingkungan. Pada akhirnya akan munculah term “Islam Rohmatal lilalamin”.


[1] Mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini didiskusikan pada Jumat, 5 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...