Oleh: Masnida al-Shiraj[1]
Di era globalisasi ini dunia
Islam mengalami banyak problem, di antaranya adalah mengikisnya nilai-nilai
ketuhanan yang ada pada diri manusia sehingga pada kenyataannya dengan
mengatasnamakan Tuhan semuanya bisa berbalik 180 derajat. Misalnya pembunuhan
yang dilakukan oleh sebagian orang yang menyebabkan pertumpahan darah di mana-mana
tidak bisa dihindari. Pengeroyokan yang dilakukan oleh sebagian golongan
dikarenakan ia tidak memiliki pandangan yang sama dengan dirinya juga sering
terjadi. Padahal esensi dari ajaran Tuhan yang ter-elaborasi dalam Islam tidak
mengajarkan kita seperti itu. Sunguh ironis sekali ketika kita saling menghujat
dan mencaci maki karena memiliki latar belakang yang berbeda. Hal semacam ini
tidak hanya terjadi di intern Islam itu
sendiri, akan tetapi kadang juga dilontarkan bagi mereka yang
jelas-jelas agamnya berbeda. Kita perlu melihat dakwah Rasul yang dilakukan
oleh beliau ketika berada di Makkah dan Madinah. Beliau menjunjung tinggi nilai perbedaan dengan
orang Yahudi selama ia tidak menganggu kaum Muslimin. Rasulullah senantiasa
men
jaga toleransi dengan semua kaum meskipun ia memiliki latar belakang yang
berbeda dengan dirinya. Itulah sebenarnya esensi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang
perlu kita hadirkan dalam diri kita, dengan tujuan menjadikan diri kita insan
yang bisa memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Persoalan ke-Tuhan-an memang
tidak akan pernah selesai dibahas, begitulah ungkapan yang dilontarkan salah
seorang ilmuan Heidegger. Namun perlu adanya titik temu atau benang merah yang
nantinya mengarah pada orang-orang yang meyakini keberadaannya. Dalam hal ini agama dijadikan sebagai
jembatan untuk menuju pada Tuhan itu sendiri. Akan tetapi dalam perjalannya
agama juga mengalami pergolakan dikarenakan penganutnya yang kurang memahami
esensi dari agama itu sendiri. Pergolakan agama bisa dilihat dari gejolak yang
terjadi dengan mengatasnamakan agama, mereka mati-matian membela Tuhan-nya
sampai ia rela terbunuh. Terkadang agama dalam pandangan orang dinilai tidak
bisa memberikan kedamaian dan kesejahteraan. Bukankan agama di dalamnya
mengajarkan tentang keluruhan? Akan tetapi, apa yang terjadi, agama yang
dipahami oleh manusia dan kelompok-kelompok ekstrim telah membawa agama sebagai
bahan yang akan menghilangkan sikap beradab atas seluruh manusia. Sehingga tak
salah jika ada kekerasan mengatasnamakan agama, sehingga pada akhirnya agama
hanya dipandang sebelah mata oleh banyak orang.
Agama kembali mendapat perhatian
dengan gerak laju zaman dan arus modernitas, karena agama dianggap mempersempit
gerak bebas manusia dan juga terjadinya perang yang mengatasnamakan agama.
Sehingga perspektif orang-orang modern terhadap agama tak lain adalah agama
mengandung banyak nilai negatif. Tidaklah kita lihat bendera berkibar dengan
bertuliskan “Allahu Akbar” atau “Demi Tuhan”, mereka rela
mempertaruhkan nyawanya. Di sisi lain yang perlu kita perhatikan adalah
munculnya garis keras dalam agama seperti fundamentalisme, radikalisme, serta
paham-paham garis keras lainnya. Sikap-sikap kelompok seperti inilah yang
menjadikan Islam itu sempit, tidak memiliki nilai universal. Ketika Islam sudah
tidak memiliki nilai universal, maka dengan mudahnya mereka saling menyalahkan,
saling menghujat, bahkan yang lebih ekstrim lagi ia saling membunuh. Sungguh
hal semacam ini tidak dikehendaki oleh ajaran Islam itu sendiri, apalagi kita
hidup di Negara Indonesia yang mengakui banyak agama dan sistem yang dianut berdasarkan
Negara hukum. Berbicara tentang pergolakan Islam di Nusantara ini sangat
menarik untuk dibahas. Relasi antara Islam Nusantara dan gerakan Islam Timur
Tengah yang fundamentalis memberikan dampak yang positif bagi perkembangan
Islam di Nusantara. Akan tetapi dewasa ini lebih disebarkan dengan cara
kekerasan dan paksaan, sehingga relasi itu menimbulkan sisi negatif. Dampak
negatif ini tidak hanya mengancam eksistensi Islam Nusantara sebagai Negara
yang memiliki beragam budaya, namun juga mengancam kehidupan keberagaman di
Nusantara sendiri yang penuh ragam atau kebebasan beragama.
Wajah Islam Nusantara bersifat
damai ketika Islam berhubungan dengan budaya lokal dan agama lokal maupun
impor. Selain berdealektika dengan budaya, Islam juga mengkritisi budaya lokal
yang tidak baik. Islam kosmopolitan yang dipahamkan oleh KH. Abdurrahman Wahid
(Gusdur) adalah Islam yang mampu berdealektika dengan lingkungan atau dengan
konteks sosial yang ada. Dalam hal ini interpretasi Gusdur mampu memberikan
corak atau warna yang berbeda, di mana kerangka interpretasi Islam yaitu dengan
“tafsirul kitab bil-kutub” artinya menafsiri kitab dengan buku yang
lain, hal ini dilakukan agar pemujaan terhadap teks tidak terjadi. Sehingga
arahan dalam interpretasinya mengarah kepada kedamaian, kesejukan, ketentraman,
dan Islam yang bisa berdialog dengan lingkungan. Pada akhirnya akan munculah
term “Islam Rohmatal lilalamin”.
[1]
Mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan
ini didiskusikan pada Jumat, 5 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...