TEMA Orientasi
Cinta Akademik dan Almamater (Oscaar) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Sunan Ampel Surabaya diekspos banyak media massa dan diperbincangkan di
berbagai media sosial. Mulanya sederhana, pada acara Oscaar tersebut,
teman-teman Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel
Surabaya mengangkat tema Tuhan Membusuk: Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju
Islam Kosmopolitan. Kemudian, media ramai mengekspos berita tersebut.
Bahkan, para pengguna media sosial ramai berdiskusi –lebih tepatnya saling
hujat– antara yang pro dan kontra. Bagi civitas academika di Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, bahkan bagi akademisi di lingkungan perguruan tinggi
Islam dan filsafat, tema tersebut merupakan hal biasa. Tetapi, ketika dilempar
ke publik, apalagi dibesar-besarkan oleh media, itu menjadi hal yang luar
biasa. Sebab, tema tersebut merupakan konsumsi akademisi di dunia kampus Islam
dan filsafat, yang pada dasarnya hanya kritik keberagamaan agar umat beragama
tidak kehilangan spirit nilainya dalam kehidupan.
Di banyak
media yang saya baca, mayoritas wartawan mengutip tema tersebut hanya ’’Tuhan
Membusuk’’, kalimat selanjutnya, ’’Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam
Kosmopolitan’’ tidak dikutip. Akibatnya, emosi publik mudah tersulut karena Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat dianggap menghina atau bahkan tidak membenarkan adanya
Tuhan. Sudah jamak kita mafhum bahwa mayoritas keberagamaan masyarakat
Indonesia masih berkutat kepada tataran doktrin dan legal formal keberagamaan.
Sementara itu, ajaran substantif dalam agama, secara khusus agama Islam belum
bisa dicerna dengan baik. Akibatnya, banyak perbuatan distruktif yang dilakukan
umat Islam. Sebagai contoh sederhana, tindak pidana korupsi di Indonesia banyak
dilakukan oleh umat Islam, tak tanggung-tanggung Menteri Agama-nya menjadi
tersangka kasus korupsi dana haji. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama
ini keberagamaannya sangat fanatik, presidennya sudah mendekam dalam penjara
karena kasus korupsi impor daging sapi. Masih banyak kasus lain yang dilakukan
orang yang zahir-nya dianggap sangat taat beragama.
Kasus lain
yang barangkali mengguncang naluri kemanusiaan kita adalah kekerasan beragama
di Indonesia yang masih subur. Atas nama Tuhan, mereka saling membunuh, merasa
paling benar, dan berhak mendapatkan surga. Kadang pula mereka berkedok sok
pluralis. Tetapi, ketika dihadapkan kepada wacana perbedaan pandangan dan
ideologi, mereka mudah emosi dan tetap selalu merasa paling benar, serta berhak
atas surga.
Islam
Kosmopolitan
Sebenarnya pesan
yang hendak disampaikan teman-teman mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya, melalui tema Oscaar Tuhan Membusuk: Rekonstruksi
Fundamentaslime Menuju Islam Kosmopolitan adalah kritik keberagamaan atas
matinya nilai-nilai spriritualitas dalam kehidupan beragama umat Islam. Bagi
mereka, berbagai tindakan destruktif, misalnya korupsi, kekerasan keberagamaan,
dan segenap tindakan amoral yang lain, merupakan bentuk pembusukan terhadap
Tuhan sebagai Zat Yang Mahasuci. Sebab, mestinya Tuhan diagungkan -meminjam
bahasa Hassan Hanafi, pengagungan kepada Tuhan itu tidak hanya berarti
penyembahan kepada Tuhan dalam ritual keberagamaan. Tetapi, lebih dari itu,
pengagungan atau penyucian kepada Tuhan harus diwujudkan secara konkret berupa
penghargaan atas hak-hak hidup manusia. Salah satu di antaranya, dengan cara
tidak korupsi dan tidak membunuh sesama manusia atas nama apa pun. Tuhan
sejatinya tidak membutuhkan penyucian manusia. Sebab, tanpa disucikan, Tuhan
tetap Mahasuci dan Mahasempurna.
Sebab itulah,
berlebihan merisaukan –apalagi membesar-besarkan– persoalan tema Oscaar
tersebut. Maksud teman-teman mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat sangat baik. Apa
yang mereka lakukan merupakan bentuk kritik keberagamaan agar umat Islam tidak
membusukkan Tuhan dengan melakukan berbagai tindakan destruktif.
Barangkali
bahasa ’’Tuhan Membusuk’’ tidak perlu dirisaukan, hal yang lebih penting ialah
melakukan rekonstruksi fundamentalisme menuju Islam kosmopolitan. Bahasa Islam
kosmopolitan sempat dilontarkan dalam buku Gus Dur—Abdurrahman Wahid, yang
secara umum pandangannya berisi ajakan agar umat Islam memahami universalitas
ajaran Islam yang menempatkan moralitas sebagai inti ajarannya. Gus Dur
menyatakan bahwa inti ajaran Islam bertumpu kepada lima prinsip.
Lima prinsip
itu, pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar
ketentuan hukum (hifdzu an-nafs). Kedua, keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din).
Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat,
keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di
luar prosedur hukum (hifdzu al-mal). Kelima, keselamatan hak milik dan
profesi (hifdzu al-milk). Baca dalam buku Islam Kosmopolitan,
Nilai-Nilai Indonesia Transformasi dan Kebudayaan.
Kira-kira
secara sederhana, bagi teman-teman mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya, bila masyarakat tidak melakukan tindak konstruktif
dengan dasar spirit moral tersebut, itu berarti masyarakat telah membuat busuk
ajaran agama, atau dalam bahasa mereka ’’Tuhan Membusuk’’, lebih tepatnya
’’Membusukkan Tuhan’’ dengan mengingkari ajaran-Nya.
Jadi,
pemaknaan ’’Tuhan Membusuk’’ bukan Tuhan yang membusuk, melainkan ajaran Tuhan
yang telah dibuat membusuk oleh penganut ajaran-Nya sehingga tidak lagi hadir
dalam kehidupan masyarakat. Kira-kira hampir sama dengan pernyataan Friedrich
Nietzsche, Gott ist tot (Tuhan telah mati), pemaknaan terhadap teks
tersebut jangan dimaknai secara harfiah. Kematian Tuhan, menurut Nietzsche,
tidak berarti Tuhan secara fisik mati, tetapi manusia telah membunuh
nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan dalam agama. Nilai-nilai moral dan
teologis dalam agama tidak lagi menjadi acuan dasar dalam kehidupan sehari-hari
umat beragama.
[1]
Akademisi teologi dan filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya (masduri_as@yahoo.co
.id). Tulisan ini didiskusi di Forum Diskusi Indonesia Belajar (IB) Surabaya,
pada Jumat, 5 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...