Oleh: Bahauddin Amyasi[1]
Tulisan
singkat ini, dengan sangat hormat, mohon untuk tidak dikategorikan pada kajian
politik dan hukum, sebab penulisnya tidak memiliki kualifikasi untuk bidang
itu. Juga tidak dimaksudkan untuk berpretensi melakukan klaim kebenaran atas
apa yang akan dipaparkan. Tulisan ini, dengan penuh kerendahan hati, hanyalah
sebatas refleksi diri dan penggalian manfaat pribadi, yang mungkin juga
berdimensi sosial, atas apa yang bergumul dalam praktik politik-demokrasi
segala rentang, efek, dan segala bentuk aktualisasinya.
Berangkat
dari logika dasar itu, tulisan itu sengaja tidak berbelit-belit dengan narasi
yang “elit” dan “heboh”, melainkan sengaja menggunakan bahasa sederhana dengan
harapan mudah dicerna, untuk kemudian didiskusikan, disintesiskan,
didialektikakan, bersama dengan pemaknaan-pemaknaan dan wawasan sidang pembaca
sekalian. Untuk itu, sekali lagi, dan mohon maaf, tulisan singkat ini diformat
dalam bentuk poin-poin “utama” yang insyaAllah cukup untuk bahan racikan
diskusi.
Beberapa
poin tersebut adalah sebagaimana berikut:
a.
Hiruk-pikuk
perpolitikan tanah air akhir-akhir ini, terutama dalam fase peralihan kekuasan
kepemimpinan menunjukkan, baik secara implisit maupun eksplisit, degradasi yang
signifikan akan nihilnya etika sebagai basis dari seluruh praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara. Money politic, pembusukan informasi, penipuan
massal, tampaknya
terus digalakkan secara massif dan ekstravagan dalam segala bentuk dan
dimensinya. Politik nihil etika ini merupakan ekses negatif dari pengkerdilan
dan pelecehan makna demokrasi ke sudut yang paling mengenaskan.
b.
Persoalan
etika yang merosot ke titiknya yang paling kronis dan membahayakan,
sesungguhnya mengalami perluasan segmentasinya ke ranah yang lain, mulai dari
sosial, ekonomi dan bahkan pendidikan. Untuk itu, kajian serius dan mendalam
mutlak harus terus digalakkan oleh setiap lapisan masyarakat, untuk kemudian dicarikan solusi
dan alternatifnya.
c.
Di level
generasi mudanya—dalam pemaknaanya yang spesifik untuk mahasiswa, telah terjadi
apa yang disebut politik identitas, yang justru mengkerdilkan nilai-nilai
akademis yang dianutnya. Para aktivis gerakan mahasiswa telah secara sadar atau
tidak, menghambakan konsistensinya untuk “terlena” dengan senior-senior mereka
yang sudah “duduk ayem” di parlemen. Implikasi logisnya, yang menjamur adalah
surplus politisi, tapi minus negarawan. Praktik “politik dagang sapi” mutlak
tak terelakkan.
d.
Kompleksitas
“penyakit” kronis yang menerpa bangsa ini pada gulirannya menciptakan apa yang
oleh Mahfud MD disebut sebagai situasi-situasi yang mengerikan, yakni (a) Dis-orientasi.
Orang sudah tidak tahu lagi akan dibawa ke mana bangsa dan negara ini; (b) Distrust.
Disorientasi yang terus menerus terjadi akan menyebabkan masyarakat kehilangan
kepercayaan pada negara. (c) Disobedience. Hilangnya kepercayaan pada
negara akan menyebabkan masyarakat melawan dan membangkang dari segala
peraturan yang ada; dan (d) Disintegrasi. Jika disobedience tidak
juga teratasi, maka hal yang paling mengancam keutuhan bangsa akan terjadi.
Demikian
beberapa poin yang sangat singkat dan sedikit, yang tentu saja tidak akan
pernah bisa mewakili persoalan-persoalan akut yang mencengkram bangsa ini.
Tapi, sekali lagi, sebagai bahan awal diskusi, insyaAllah sudah lumayan
memadai.
Jemur Wonosari, 12 September 2014: 19:12
[1] Praktisi Pendidikan,
Dosen Muda di Fakultas Tarbiah UIN Sunan Ampel. Tulisan ini didiskusikan pada
Jumat, 12 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...