Jumat, 12 September 2014

Etika Politik Dalam Bingkai Demokrasi

 Tulisan singkat ini, dengan sangat hormat, mohon untuk tidak dikategorikan pada kajian politik dan hukum, sebab penulisnya tidak memiliki kualifikasi untuk bidang itu. Juga tidak dimaksudkan untuk berpretensi melakukan klaim kebenaran atas apa yang akan dipaparkan. Tulisan ini, dengan penuh kerendahan hati, hanyalah sebatas refleksi diri dan penggalian manfaat pribadi, yang mungkin juga berdimensi sosial, atas apa yang bergumul dalam praktik politik-demokrasi segala rentang, efek, dan segala bentuk aktualisasinya.

Berangkat dari logika dasar itu, tulisan itu sengaja tidak berbelit-belit dengan narasi yang “elit” dan “heboh”, melainkan sengaja menggunakan bahasa sederhana dengan harapan mudah dicerna, untuk kemudian didiskusikan, disintesiskan, didialektikakan, bersama dengan pemaknaan-pemaknaan dan wawasan sidang pembaca sekalian. Untuk itu, sekali lagi, dan mohon maaf, tulisan singkat ini diformat dalam bentuk poin-poin “utama” yang insyaAllah cukup untuk bahan racikan diskusi.


Beberapa poin tersebut adalah sebagaimana berikut:
a.       Hiruk-pikuk perpolitikan tanah air akhir-akhir ini, terutama dalam fase peralihan kekuasan kepemimpinan menunjukkan, baik secara implisit maupun eksplisit, degradasi yang signifikan akan nihilnya etika sebagai basis dari seluruh praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Money politic, pembusukan informasi, penipuan massal, tampaknya terus digalakkan secara massif dan ekstravagan dalam segala bentuk dan dimensinya. Politik nihil etika ini merupakan ekses negatif dari pengkerdilan dan pelecehan makna demokrasi ke sudut yang paling mengenaskan.
b.      Persoalan etika yang merosot ke titiknya yang paling kronis dan membahayakan, sesungguhnya mengalami perluasan segmentasinya ke ranah yang lain, mulai dari sosial, ekonomi dan bahkan pendidikan. Untuk itu, kajian serius dan mendalam mutlak harus terus digalakkan oleh setiap lapisan masyarakat, untuk kemudian dicarikan solusi dan alternatifnya.
c.       Di level generasi mudanya—dalam pemaknaanya yang spesifik untuk mahasiswa, telah terjadi apa yang disebut politik identitas, yang justru mengkerdilkan nilai-nilai akademis yang dianutnya. Para aktivis gerakan mahasiswa telah secara sadar atau tidak, menghambakan konsistensinya untuk “terlena” dengan senior-senior mereka yang sudah “duduk ayem” di parlemen. Implikasi logisnya, yang menjamur adalah surplus politisi, tapi minus negarawan. Praktik “politik dagang sapi” mutlak tak terelakkan.
d.      Kompleksitas “penyakit” kronis yang menerpa bangsa ini pada gulirannya menciptakan apa yang oleh Mahfud MD disebut sebagai situasi-situasi yang mengerikan, yakni (a) Dis-orientasi. Orang sudah tidak tahu lagi akan dibawa ke mana bangsa dan negara ini; (b) Distrust. Disorientasi yang terus menerus terjadi akan menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan pada negara. (c) Disobedience. Hilangnya kepercayaan pada negara akan menyebabkan masyarakat melawan dan membangkang dari segala peraturan yang ada; dan (d) Disintegrasi. Jika disobedience tidak juga teratasi, maka hal yang paling mengancam keutuhan bangsa akan terjadi.

Demikian beberapa poin yang sangat singkat dan sedikit, yang tentu saja tidak akan pernah bisa mewakili persoalan-persoalan akut yang mencengkram bangsa ini. Tapi, sekali lagi, sebagai bahan awal diskusi, insyaAllah sudah lumayan memadai.
Jemur Wonosari, 12 September 2014: 19:12


[1] Praktisi Pendidikan, Dosen Muda di Fakultas Tarbiah UIN Sunan Ampel. Tulisan ini didiskusikan pada Jumat, 12 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...