Jumat, 19 September 2014

Kompleksitas Identitas Orang China

Oleh: Junaidi Khab[1]
Keberadaan orang Cina yang hidup di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga masa perubahan, yaitu pada masa setelah Orde Baru dan Reformasi mengalami kompleksitas identitas hidup yang cukup getir. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, mereka mendapat prioritas atas penduduk pribumi karena semangat perekonomiannya sangat maju. Namun, dari sisi politik dan pemerintahan mereka didiskriminasi sedemikian rupa, sehingga sulit untuk mendapatkan ruang di lingkungan masyarakat dan pemerintahan pada masa itu.
 
Kehadiran buku karya Darwin Darmawan ini merupakan suatu usaha untuk menyingkap kompleksitas identitas orang Cina yang hidup di Indonesia. Usahanya ini ia lakukan dengan mencoba untuk menelisik dan mengiris lebih tajam dan dalam pada Gereja Kristen Indonesia (GKI), Perniagaan di Jakarta serta jemaat-jemaatnya yang menjadi pisau pembelahnya. Dari irisan-irisan tersebut, ditemukan bahwa memang benar, orang Cina di Indonesia mengalami diskriminasi sejak masa penjajahan Belanda.


Sebagian masyarakat Indonesia di zaman Soeharto menyukai bakso, bakmi, atau beberapa makanan khas Cina, tetapi mereka menolak tradisi Cina seperti Barongsai yang juga ikut hadir di tengah-tengah penduduk pribumi. Bahkan, jika mereka ingin sepenuhnya diterima sebagai warga negara yang setara, mereka perlu berbaur dengan budaya nasional. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Parekh dalam bukunya yang berjudul A New Politics of Identity: Political Principles for an Independent World: (2008). Caranya, mereka perlu meninggalkan identitas, nilai, dan budaya mereka yang lama lalu menjadi sama dengan identitas nasional (Darwin Darmawan, 2014:2).

Akan tetapi, tidak seutuhnya orang Cina yang hidup di Indonesia mendapat perlakuan yang layak oleh pemerintah pada masa Soeharto. Meski mereka sudah berbaur dengan budaya penduduk pribumi dan mengikuti peraturan pemerintahan Soeharto dengan kaharusan untuk melakukan asimilasi dengan sifat, budaya, dan tradisi penduduk pribumi, diskriminasi masih tampak terlihat di antara mereka. Hal itu terbukti saat mereka mengurus surat-surat, baik untuk urusan izin usaha, keterangan domisili, atau urusan administrasi kenegaraan lainnya sangat dipersulit.

Buku Tionghoa Indonesia dalam Krisis (1994) karya Coppel membantu untuk memahami pendapat Parekh. Coppel menjelaskan bahwa salah satu momen krisis yang dihapi oleh orang Cina di Indonesia terjadi pada periode 1965-1966. Saat itu, sekolah-sekolah Badan Permusawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan sekolah berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah karena dicurigai berorientasi kepada komunis. Dalam keadaan seperti itu, orang Cina banyak meninggalkan agama tradisionalnya dan beralih memeluk Katolik ataupun Kristen (Darwin Darmawan, 2014: 13).

Memilih Agama Kristen
Kompleksitas identitas orang Cina sunggah sangat tampak pada situasi di mana mereka akan mengaku sebagai orang Cina. Mereka tak mungkin mudah diterima oleh negara asalnya karena mereka merupakan peranakan Indonesia. Begitu pula, di Indonesia, mereka mendapat diskriminasi yang cukup mencuat yang dibuat oleh peraturan pemerintah yang menjadi racun masyarakat. Selain itu, salah satu penyebab diskriminasi dan kompleksitas orang Cina di Indonesia karena mereka lebih tertutup terhadap penduduk pribumi, toh meski sebagian ada yang terbuka namun yang tertutup lebih dominan jumlahnya.
Lebih lanjut Darwin Darmawan (2014:38) mengatakan bahwa sebagai salah satu alternatif di saat diskriminasi atas identitasnya yang tidak diakui di Indonesia, mereka lebih memilih masuk agama Kristen dengan tetap meyakini tradisi agama yang lama namun dalam teologi ke-kristen-an. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Itu dilakukan karena ada pemahaman di kalangan mereka yang melihat ke-Cina-an sebagai kategori yang berhubungan dengan agama orang Cina bahwa dengan menjadi Kristen, orang Cina kehilangan kepercayaannya dan menajadi seperti orang Belanda (pemerintah pada masa itu).

Sehingga identitas mereka berubah pilihan menjadi orang Cina Indonesia Kristen pada masa itu. Berbeda lagi ketika masa pemerintahan Soeharto berlangsung. Kehidupan mereka lebih sulit dan terpojokkan dengan banyaknya peraturan. Mulai saat itu, kepercayaan orang Cina terhadap pemerintah makin luntur. Baru pada masa BJ Habibie keberadaan identitas mereka sedikit membaik.

Lalu pada masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mereka mendapat perlindungan secara maksimal, hingga berlanjut pada masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Mulai saat itu, mereka sudah mulai mendapat ruang untuk berinteraksi dengan identitasnya, perayaan hari Imlek pun menjadi libur nasional bagi mereka yang merayakannya. Sehingga kerja sama dengan berbagai pihak banyak terjalin, termasuk dengan Nahdatul Ulama (NU).
Sangat logis sekali, jika GKI yang di dalamnya terdapat banyak orang (jemaat) yang beretnis Cina sebagai minoritas, pada masa berikutnya GKI mendekat kepada NU. Dengan memiliki kerja sama dengan NU, GKI bisa merasa dekat dengan kekuasaan sosial yang basis massanya cukup besar, sekaligus berharap, kelompok minoritas seperti dirinya mendapat perlindungan (Darwin Darmawan 2014:154). Hal tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan orang Cina terhadap pemerintah, utamanya yang ada di GKI sudah mulai luntur. Mereka lebih percaya terhadap lingkungan sosial daripada pemerintahan.

Darwin Darmawan menegaskan bahwa identitas meruapakan ‘routes’ bukan ‘root’. Darwin Darmawan melalui karya ini ingin mengajak melihat proses identifikasi diri menjadi sekaligus Cina Indonesia Kristen dalam pergulatan kompleksitas identitas yang dihadapi oleh orang Cina di Indonesia pada masa pemerintah kolonial Belanda hingga pada masa pos-kolononialisme.


[1] Tulisan ini adalah resensi dari sebuah buku "Identitas Hibrid Orang China" (2014) yang ditulis oleh Darwin Darmawan. Didiskusi di IBI pada Jumat, 19 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...