Oleh:
Junaidi Khab[1]
Keberadaan
orang Cina yang hidup di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga masa
perubahan, yaitu pada masa setelah Orde Baru dan Reformasi mengalami
kompleksitas identitas hidup yang cukup getir. Pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, mereka mendapat prioritas atas penduduk pribumi karena semangat
perekonomiannya sangat maju. Namun, dari sisi politik dan pemerintahan mereka
didiskriminasi sedemikian rupa, sehingga sulit untuk mendapatkan ruang di
lingkungan masyarakat dan pemerintahan pada masa itu.
Kehadiran buku
karya Darwin Darmawan ini merupakan suatu usaha untuk menyingkap
kompleksitas identitas orang Cina yang hidup di Indonesia. Usahanya ini ia
lakukan dengan mencoba untuk menelisik dan mengiris lebih tajam dan dalam pada
Gereja Kristen Indonesia (GKI), Perniagaan di Jakarta serta jemaat-jemaatnya
yang menjadi pisau pembelahnya. Dari irisan-irisan tersebut, ditemukan bahwa
memang benar, orang Cina di Indonesia mengalami diskriminasi sejak masa
penjajahan Belanda.
Sebagian
masyarakat Indonesia di zaman Soeharto menyukai bakso, bakmi, atau beberapa
makanan khas Cina, tetapi mereka menolak tradisi Cina seperti Barongsai yang
juga ikut hadir di tengah-tengah penduduk pribumi. Bahkan, jika mereka ingin
sepenuhnya diterima sebagai warga negara yang setara, mereka perlu berbaur
dengan budaya nasional. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Parekh
dalam bukunya yang berjudul A New Politics of Identity: Political Principles
for an Independent World: (2008). Caranya, mereka perlu meninggalkan
identitas, nilai, dan budaya mereka yang lama lalu menjadi sama dengan
identitas nasional (Darwin Darmawan, 2014:2).
Akan tetapi,
tidak seutuhnya orang Cina yang hidup di Indonesia mendapat perlakuan yang
layak oleh pemerintah pada masa Soeharto. Meski mereka sudah berbaur dengan
budaya penduduk pribumi dan mengikuti peraturan pemerintahan Soeharto dengan
kaharusan untuk melakukan asimilasi dengan sifat, budaya, dan tradisi penduduk
pribumi, diskriminasi masih tampak terlihat di antara mereka. Hal itu terbukti
saat mereka mengurus surat-surat, baik untuk urusan izin usaha, keterangan
domisili, atau urusan administrasi kenegaraan lainnya sangat dipersulit.
Buku Tionghoa
Indonesia dalam Krisis (1994) karya Coppel membantu untuk memahami
pendapat Parekh. Coppel menjelaskan bahwa salah satu momen krisis yang
dihapi oleh orang Cina di Indonesia terjadi pada periode 1965-1966. Saat itu,
sekolah-sekolah Badan Permusawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan
sekolah berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah karena dicurigai berorientasi
kepada komunis. Dalam keadaan seperti itu, orang Cina banyak meninggalkan agama
tradisionalnya dan beralih memeluk Katolik ataupun Kristen (Darwin Darmawan,
2014: 13).
Memilih
Agama Kristen
Kompleksitas
identitas orang Cina sunggah sangat tampak pada situasi di mana mereka akan
mengaku sebagai orang Cina. Mereka tak mungkin mudah diterima oleh negara
asalnya karena mereka merupakan peranakan Indonesia. Begitu pula, di Indonesia,
mereka mendapat diskriminasi yang cukup mencuat yang dibuat oleh peraturan
pemerintah yang menjadi racun masyarakat. Selain itu, salah satu penyebab
diskriminasi dan kompleksitas orang Cina di Indonesia karena mereka lebih
tertutup terhadap penduduk pribumi, toh meski sebagian ada yang terbuka namun
yang tertutup lebih dominan jumlahnya.
Lebih lanjut
Darwin Darmawan (2014:38) mengatakan bahwa sebagai salah satu alternatif di
saat diskriminasi atas identitasnya yang tidak diakui di Indonesia, mereka
lebih memilih masuk agama Kristen dengan tetap meyakini tradisi agama yang lama
namun dalam teologi ke-kristen-an. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Itu dilakukan karena ada pemahaman di kalangan mereka yang
melihat ke-Cina-an sebagai kategori yang berhubungan dengan agama orang Cina
bahwa dengan menjadi Kristen, orang Cina kehilangan kepercayaannya dan menajadi
seperti orang Belanda (pemerintah pada masa itu).
Sehingga
identitas mereka berubah pilihan menjadi orang Cina Indonesia Kristen pada masa
itu. Berbeda lagi ketika masa pemerintahan Soeharto berlangsung. Kehidupan
mereka lebih sulit dan terpojokkan dengan banyaknya peraturan. Mulai saat itu,
kepercayaan orang Cina terhadap pemerintah makin luntur. Baru pada masa BJ
Habibie keberadaan identitas mereka sedikit membaik.
Lalu pada masa
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mereka mendapat perlindungan secara maksimal,
hingga berlanjut pada masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Mulai saat
itu, mereka sudah mulai mendapat ruang untuk berinteraksi dengan identitasnya,
perayaan hari Imlek pun menjadi libur nasional bagi mereka yang merayakannya.
Sehingga kerja sama dengan berbagai pihak banyak terjalin, termasuk dengan
Nahdatul Ulama (NU).
Sangat logis
sekali, jika GKI yang di dalamnya terdapat banyak orang (jemaat) yang beretnis
Cina sebagai minoritas, pada masa berikutnya GKI mendekat kepada NU. Dengan
memiliki kerja sama dengan NU, GKI bisa merasa dekat dengan kekuasaan sosial
yang basis massanya cukup besar, sekaligus berharap, kelompok minoritas seperti
dirinya mendapat perlindungan (Darwin Darmawan 2014:154). Hal tersebut
menunjukkan bahwa kepercayaan orang Cina terhadap pemerintah, utamanya yang ada
di GKI sudah mulai luntur. Mereka lebih percaya terhadap lingkungan sosial
daripada pemerintahan.
Darwin Darmawan
menegaskan bahwa identitas meruapakan ‘routes’ bukan ‘root’.
Darwin Darmawan melalui karya ini ingin mengajak melihat proses identifikasi
diri menjadi sekaligus Cina Indonesia Kristen dalam pergulatan kompleksitas
identitas yang dihadapi oleh orang Cina di Indonesia pada masa pemerintah
kolonial Belanda hingga pada masa pos-kolononialisme.
[1] Tulisan
ini adalah resensi dari sebuah buku "Identitas Hibrid Orang China"
(2014) yang ditulis oleh Darwin Darmawan. Didiskusi di IBI pada Jumat, 19
September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...