Jumat, 26 September 2014

Etika Politik Dalam Bingkai Demokrasi

Oleh: Marlaf Sucipto
Tema ini dibahas dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Belajar (IB) pada Jumat, 12 September 2014. Diskusi yang berlangsung sejak jam 20:40 sampai 23:50 ini berjalan khidmat dengan fokus pembahasan atas ‘etika politik’ dan ‘Demokrasi’. Dalam konteks etika politik, hampir semua peserta diskusi bersepakat, bahwa politik kita dalam bernegara dan berbangsa masih belum mengedapankan tata nilai etik. Malah, mindset umum masyarakat kita kini, ketika dimunculkan kosa kata politik, yang tergambar adalah, politik itu picik, licik, penuh tipu muslihat, dan sederet pelebelan lain yang tidak mengandung nilai positif. Hal ini terjadi barangkali, salah satunya karena prilaku elit politik kita kebanyakan mempertontonkan akrobat politik yang tidak etis. Bukan berarti mereka tidak faham atas etika politik, tapi lebih kepada, mereka-mereka itu enggan berpolitik etik karena sebab tekanan mindset berfikir mayoritas yang sudah kadung menuhankan materialistik. Politisi sebagai pejuang kesejahteraan beralih fungsi menjadi profesi untuk gaya-gayaan dan menumpuk uang, untuk kemaslahatan diri dan golongan. Politisi kebanyakan hanya pandai berorasi tapi miskin implementasi. Dari sekian produk legislasi yang dihasilkan banyak yang dipatahkan di meja hakim Mahkamah Konstitusi karena sebab bertentangan dengan maksud cita-cita republik ini dibentuk. Tidak sedikit dari prodak legislasi itu yang melegalkan ‘perselingkuhan’ politisi dan pengusaha untuk menguras habis aset negeri. Kepentingannya tidak untuk semua, tapi bagi dirinya dan orang-orang terdekatnya. Dan banyak lagi akrobat politisi yang tidak mencerminkan politik etik. Yang lainnya, silakan terka-terka sendiri.


Kemudian, demokrasi. Dalam hal ini, kita cukup menggunakan terminologi yang dilontarkan oleh Soekarno, bahwa demokrasi adalah sistem Negara bermakna dari, oleh, dan untuk rakyat. Hal ini termanifestasi dengan lahirnya Pancasila, UUD 1945, UU, dan seperangkat aturan lain yang telah dibuat. Peraturan itu dibuat se-ideal mungkin. UU yang menyalai Pancasila dan UUD 1945, oleh lembaga peradilan hasil reformasi yang bernama Mahkamah Konstitusi, telah digagalkan melalui mekanisme uji materi (yudicial review). Yang turut menjadi masalah saat ini adalah, seperangkat aturan itu, tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh pemangku kebijakan. Menjadi tambah parah, ketika lembaga peradilan ‘bermain mata’ dengan para pihak yang menciderai cita-cita republik di negeri ini.

Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai lembaga (yang salah satunya) berfungsi menguji Undang-Undang (UU) atas Undang-Undang Dasar (UUD), perlu kita apresiasi. Mengingat, bila ada UU atau seperangkat aturan lain yang dibuat secara serampangan oleh DPR dan Pemerintah, maka kita selaku rakyat, memiliki hak untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang juga sebagai lembaga yang lahir dari rahim reformasi, perlu kita dukung. Mengingat, atas lahirnya KPK, tidak sedikit maling berkerah putih yang bercokol di lembaga Negara, diadili karena ulahnya yang menyengsarakan bangsa. Atas hal itu, tidak sedikit pula aset negeri yang terselamatkan dari tindak pencurian rapi oleh para pihak yang sebenarnya adalah abdi Negara.
Rekrutmen hakim, jaksa, polisi harus tidak melalui jalur politik. Mengingat, anggota partai politik kini, masih banyak di isi oleh orang-orang yang tidak professional dan berkualitas. Mengingat, rekrutmennya tidak berdasarkan keahlian dan kemampuan, tapi masih berdasarkan kedekatan emosional dengan ‘pemiliki’ partai. UU Partai Politik, baik yang termanivestasi dalam UU 02/2008, maupun UU 02/2011 tentang Partai Politik perlu didasak untuk diperbaiki. Karena UU itu, dalam hal rekrutmen anggota partai, akuntabilitas keuangan partai, masih kabur dan tidak jelas. Perlu ada aturan yang jelas dan bila terjadi pelanggaran nanti, tekan penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan kini juga ada KPK, untuk menindak tegas para pelanggar tersebut.

MK, sebagai lembaga tinggi Negara, rekrutmen hakimnya, sebagian masih melalui jalur politik. Di tengah partai politik yang kini masih belum ideal, maka pola rekrutmen tesebut, saya rasa masih belum patut. Mengingat, integritas, kualitas, dan professionalitas politisi kita masih acak-adut. Rekrutmen hakim, dalam semua jenjang, sungguh tepat bila dilalui melalui lembaga independen, yang tidak memiliki ketersambungan struktural dan kultural dengan partai politik. Kecuali, sekali lagi, aturan partai politik, dalam hal rekrutmen anggota dan akuntabilitas keuangan sudah dibenahi sebaik mungkin.

Di tengah politisi yang tidak mengedapankan politik etik, mari dorong agar hukum benar-benar ditegakkan. Para pelanggar hukum yang sudah mendapatkan putusan yang mengikat, semoga mampu mengelitik alam bawah sadar kita dalam berbangsa dan bernegara untuk tidak ‘doyan’ melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran yang sering terdengar atas kita, yaitu dalam soal korupsi berbau gratifikasi. KPK sebagai lembaga ad hoc (dibentuk dalam kondisi negeri darurat korupsi), perlu kita dukung dalam menjerat mereka-mereka yang terduga terlibat kasus korupsi. Kejahatan kerah putih yang bernama korupsi ini, meminjam istilah yang dipopulerkan Calon Presiden Prabowo Subianto, telah terjadi secara terstruktur, massif, dan sistemik. Berkat UU KPK, —UU 31/1999 dan UU 30/2002— yang memperkenankan lembaga yang sedang dikomandani oleh Abraham Samad tersebut melakukan penyadapan komunikasi atas terduga korupsi, banyak pejabat kelas elit yang kini harus mendekam di balik jeruji besi. Selain itu, aset Negara yang telah dicuri para terduga korupsi, banyak yang terselamatkan. Contoh para terduga kelas wahid yang kini terbukti melakukan korupsi, silakan pembaca cari dan terka sendiri. Mengapa penyadapan perlu kita dukung? Karena di tengah canggihnya tekhnologi, para terduga korupsi semakin canggih juga dalam melakukan korupsi. Penyadapan lahir dalam rangka untuk mengimbangi praktik korupsi dengan uang glondongan. Karena praktik korupsi dengan perputaran uang melalui bank, kini sudah di bawah pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Koruptor dalam perkembangan mutakhir, dalam mengondisikan uang sudah dengan cara konvensional. Alias tidak hanya berdasarkan nilai, tapi sudah dalam wujud nyata uang. Untuk ‘mempertipis’ uang, rata-rata mereka meng-convert-nya ke dalam bentuk dolar, dan untuk mengelabui penegak hukum, komunikasinya sudah menggunakan bahasa simbol, bukan bahasa verbal.

BPK, yang kini memiliki peran yang yang luar biasa untuk menyelamatkan aset Negara, perlu kita dorong agar benar-benar di isi oleh orang yang ‘bersih’. Orang yang tidak memiliki ‘dosa’ masa lalu apalagi masa kini. Orang-orang yang lahir dari rekrutmen yang professional, kredible, dan berdasarkan keahlian yang dimiliki. Bukan lahir dari pendekatan emosional seperti kolusi dan nepotisme. Barangkali, negeri ini masih amburadul setelah 16 tahun direformasi karena mereka yang kini sebagai abdi Negara, baik yang di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif dilahirkan melalui proses seleksi yang mengedapankan kolusi. Bukan prestasi. Walaupun demikian, kita generasi muda harus tetap optimis, karena mereka yang saat ini sebagai abdi Negara, sudah ibarat matahari senja yang hampir tenggelam. 15 atau 20 tahun akan datang, generasi kita lah yang akan turut mewarnai dinamika dan kondisi negeri. Kita adalah harapan untuk esok hari sebagaimana matahari terbit. Mari bekali diri dengan pengetahuan dan keahlian yang cukup untuk generasi emas Indonesia yang harus lebih baik.

Allahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...