Rabu, 05 November 2014

Bupati Inspiratif Itu Berbagi Inspirasi Dengan Kita

Oleh: Marlaf Sucipto
Atas nama Indonesia Belajar (IB), pada Jumat, 3 Oktober 2014, kami berkesempatan untuk menememui Bupati Bojonegoro, Drs. H. Suyoto, M. Si. di kantornya. Jl. Mas Tumapel No. 1 Bojonegoro. Pertemuan itu berawal dari surat yang kami kirimkan pada 23 Agustus 2014 lalu ke Kang Yoto—panggilan atas Drs. H. Suyoto, M. Si. Surat kami baru terkonfirmasi balik melalui handphone pada Senin 22 September 2014 melalui stafnya yang bernama Dian. Oleh staf tersebut kami dikabari bahwa Bupati berkehendak kami dapat ngilmu ke Bojonegoro pada Jumat, 19 September 2014. Berhubung sejak sejak 15 September 2014 saya dihubungi katanya tidak nyambung-nyambung, maka akhirnya jadwal pertemuan kami dengan Bupati inspritif itu di-re schedule ulang.  Pada Rabu, 1 Oktober 2014 saya dikonfirmasi lagi bahwa Bupati berkenan pada Jumat, 3 Oktober 2014.

Pose Bersama Kang Yoto di Halaman Kantor Bupati Bojonegoro
Kamis, 2 Oktober 2014, kira-kira jam 22:00 Wib kami berangkat ke Bojonegoro dengan mobil rental. Berangkat tengah malam supaya esok paginya, tepat pada jam 07:30 Wib kami sudah di kantor Bupati tersebut. Karena sebagaimana telah dikonfirmasi oleh Staf Bupati, supaya kami dapat mengikuti acara Bupati sejak pagi sampai sore hari. Jam 02:00 dini hari, kami telah memasuki tapal batas Bojonegoro. kemudian saya minta kepada driver untuk berhenti di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) terdekat yang lengkap dengan peristirahatannya. Sampai di SPBU yang dituju, kami pun beristirahat. Sebagian di mobil, sebagian lainnya di Moshalla SPBU. 30 menit menjelang subuh, saya terbangun akibat pengeras suara masjid terdekat yang melantunkan qiroah. Saya ke masjid dengan sebagian teman dan sebagian lainnya masih terus menikmati tidur lelapnya. Setelah dari masjid, kemudian di antara kami yang terbangun membangunkan yang lain. Setelah Sholat Subuh, saat terangnya pagi mulai menggusur gelapnya malam, kami pun melanjutkan perjalanan ke Kantor Bupati Bojonegoro. memasuki Kota Bojonegoro, di antara kami clinga’-clingu’, menepi kemudian bertanya kepada petugas kebersihan Kota kelahiran Angling Dharma tersebut akan letak Kantor Bupati dimaksud. Setelah dapat petunjuk, kami pun berterima kasih dan tancap gas menuju kantor tujuan. Sebelum benar-benar menuju kantor bupati, saya putuskan untuk menepi di pinggir jalan dalam rangka menganjal perut supaya dalam acara yang berlangsung sehari ini di antara kami tidak ada yang kelaperan. Akhirnya saya putuskan untuk menikmati nasi peccel pincuk khas Ponorogo yang dijual di plataran toko. Sehabis menikmati nasi peccel tersebut, kami berunding, menyatukan pendapat, terkait pertemuan nanti dengan sosok Bupati inspiratif yang kini tengah dibincangkan di tingkat regional, nasional, bahkan dunia Internasional karena prestasi yang dicapainya. Dalam perundingan tersebut, disepakati dua rencana; pertama, jika di kantor Bupati nanti Bupati dan para pungguwanya mengampresiasi secara positif, kita harus bersikap biasa, wajar, dan memperkenalkan di antara kita tanpa melebih-lebihkan segala hal potensi yang dimiliki. Kedua, jika yang terjadi sebaliknya, kita tak perlu ngerundel, apalagi bertindak lebih yang tidak elok. Cukup dengarkan dan perhatikan atas sekian tindak-tinduk yang bakal terjadi. Karena, sekali lagi, kita datang ke Bojonegoro dalam rangka ngilmu, bukan yang lain. Plan ke dua ini dipandang, karena hampir di semua pemerintahan, layanannya memang masih perlu ditingkatkan. 
Sampai di kantor pemerintahan, tepat pada jam 05:30, setelah memarkir mobil di area kantor, kami bersepekat untuk jalan-jalan ke Alun-alun Koto Bojonegoro, yang letaknya tepat di depan kantor Bupati. Waktu itu, sebagian abdi rakyat yang bertugas di kantor tersebut sedang melaksanakan olahraga kebugaran di depan Pondopo Agung yang diberi nama “Malowopati”. Sampai di alun-alun, karena waktu masih panjang, di antara kami ada yang memutuskan untuk ke masjid Jamik Bojonegoro yang masih tengah direnovasi untuk “memperganteng” diri. Setelah di antara kami bersih dan harum, tepat pada jam 07:00 Wib, kami pun menuju Kantor Bupati. Sampai di Kantor Bupati, kami dipersilakan untuk duduk di ruang tamu. Nah, di ruang tamu ini saudara, kami dipertemukan dengan berbagai macam penghargaan, mulai dari tingkat kampus, pemerintahan, baik skala lokal, nasional, dan internasional. Selain itu, pemberitaan akan kreatifitas asli Bojonegoro seperti Batik, dipampang di dinding ruang tamu tersebut. Termasuk juga, di ruang yang berukuran kira-kira 3x6 meter tersebut, dipampang visi-misi Kabupaten Bojonegoro.
Selang beberapa menit kemudian, ada petugas datang, kemudian menanyakan puasa atau tidak, karena kebetulan waktu itu masuk hari Arofah, yang mana umat muslim ada yang melaksanakan puasa sunnah. Setelah saya jawab, kalau di antara kami tidak ada yang berpuasa, kemudian kami dijamu dengan kopi. Kantuk yang sedikit menyerang karena tidak maksimal istirahat, akhirnya terusir dengan sendirinya. Tepat pada jam 08:00 Wib, kami dipersilakan masuk ke sebuah ruangan yang biasa dijadikan tempat musyawarah oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Di ruangan itu, tersedia kursi sesuai dengan jumlah orang di antara kami. Berikut kopi dan jajanan tradisional—khas Bojonegoro seperti nagasari, dst. Sekilas kami kaget, karena hanya di depan kami yang tersedia kopi plus camilannya, sedangkan di meja kursi yang lain tidak ada. Setelah dijalaskan di akhir rapat oleh petugas, katanya yang lain tengah berpuasa, ikut Kang Yoto yang waktu itu tengah berpuasa. Atas hal ini, saya jadi ingat pernyataan seorang dosen, bahwa kebusukan di republik ini tidak berawal dari bawah, tapi dari atas. Alias pemimpinnya. Begitu juga sebaliknya. Dosen tersebut menjelaskan tentang falsafah ikan. Ikan membusuk tidak berawal dari buntut, tapi dari kepala.
Tepat pada jam 08:15, Bupati datang, kemudian evaluasi mingguan dimulai. Evaluasi seperti ini terjadi setiap minggu sekali pada hari Jumat. Evaluasi ini diadakan untuk memastikan setiap program agenda pemerintahan, baik yang berjangka pendek, panjang, dan berkelanjutan apa telah berjalan lancar atau terjadi kendala. Di forum itu Bupati juga mem-publice akan beberapa pesan Short Massage Servis (SMS), surat elektronik—email, dan beberapa hal yang disampaikan melalui media sosial seperti Twitter oleh warga Bojonegoro. di forum itu, sebagaimana di pertegas Bupati, pemerintah Bojonegoro harus memberikan pelayanan yang prima atas rakyat Bojonogoro. Kordinasi antar dinas dan para pihak yang lain harus terbuka dan tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Karena ketidakterbukaan itulah yang menjadi cikal-bakal terjadinya korupsi. Selain itu, setiap laporan dari masyarakat, langsung ada tindak lanjut yang cepat, tepat, dan bermanfaat atas masyarakat. Kang Yoto berkali-kali mengajak dan meminta, khususnya abdi rakyat Bojonegoro untuk terus meningkatkan produktifitas—etos kerja yang positif. Beliau menekankan para pihak untuk terus menjalin komunikasi terkait hal agenda yang akan dan sedang berlangsung. Karena keterputusan komunikasi akan memperlambat, malah akan mengacaukan layanan yang cepat, tepat, dan bermanfaat atas rakyat. Kang Yoto waktu itu, berujar sampai tiga kali “Tidak ada kabupaten miskin, yang ada karena salah perencanaan dan salah urus.” Beliau berharap masing-masing satuan kerja (satker)—istilah dalam pemerintahan—tidak menjadi wasit atas yang lain, tapi juga harus menjadi pelatih atas yang lain. Maksudnya, tak cukup melakukan kontrol atas lembaga lain, tapi harus turut urun-rembuk dalam menemukan solusi dari setiap masalah yang ada.
Foto Bersama di Ruang Tunggu Kantor Bupati Bojonegoro
Dalam pertemuan itu, Kang Yoto menyampaikan mimpi-mimpinya untuk mewujudkan Bojonegoro sejahterara berkelanjutan. Atas hal itu, menurutnya, hal utama yang perlu ditempuh adalah; gerakan desa sehat dan cerdas. Untuk mewujudkannya, dalam hal desa cerdas, yang perlu dilakukan adalah, dimulai dari tersedianya pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh semua rakyat Bojonegoro. Mereka yang tidak mampu membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), didampingi oleh Pemerintah Bojonogero untuk melakukan pembayaran ke sokolah terkait. Setelah ditanya, “Kenapa tidak diberikan langsung kepada orangtua atau sekolah”, jawaban Kang Yoto sungguh klis, “jika diberikan ke orangtua siswa, cenderung dibuat belanja yang bersifat konsumtif seperti  dibelanjakan kipas anging, televisi atau yang lainnya. Sedangkan bila diberikan kepada sekolah, sekolah memiliki kecenderungan untuk menyepelekan siswa”. Gedung-gedung sekolah milik pemerintah di Bojonegoro yang tidak layak, oleh Pemkab Bojonegoro direnovasi. Dalam rangka mempermantap tenaga pendidik yang baik, pemerintah Bojonegoro terus melakukan pelatihan-pelatihan terukur dan sistematis atas semua tenaga pendidik yang ada. Selain itu, Kang Yoto pun kadang berkeliling ke kampung-kampung, berbaur dengan masyarakat, mendengarkan langsung keluh kesah masyarakat, dan sesekali mengajar—berbagi inspirasi di kelas-kelas seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tak terkecuali juga, di sekolah-sekolah swasta seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), dan Madrasah Aliyah (MA). Untuk mewujudkan Bojonegoro sehat, masyarakat untuk berobat ke Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) dibuat mudah. Akses jalan menuju PUSKESMAS mulus ber-paving. Gedung-gedung PUSKESMAS yang tidak layak, direnovasi, layanan kesehatan diperbaiki menjadi layanan prima yang humanis. Segala obat-obatan disediakan secara baik. Selain itu, rumah sakit daerah juga tak luput dari sentuhan agar dapat melayani masyarakat umum sepenuh hati. Utamanya rakyat yang hidup dan lahir di Bojonegoro.
Untuk menuju masyarakat Bojonegoro yang sejahtera, menurut Kang Yoto, masyarakat Bojonegoro harus memiliki income—pemasukan/pendapatan yang jelas dan kompetitif. Nah, agar masyarakat Bojonegoro memiliki income yang jelas, harus disediakan lapangan pekerjaan yang jelas. Caranya, permudah para pengusaha untuk berwirausaha di Bojonegoro dan membuka lapangan pekerjaan di Bojonegoro. Selain itu, pengusaha kecil dan menengah, terus diapresiasi dan didukung supaya terus produktif dan kreatif dengan mempermudah segala kebutuhannya yang terkait dengan usaha yang dibangun. Pemerintah terus terbuka untuk menfasilitasi dan menyediakan “panggung” dalam skala lokal, regional, nasional, dan internasional untuk memasarkan produk dan kreatifitas masyarakat Bojonegoro. selain tersedianya lapangan pekerjaan, yang tak kalah penting adalah menyiapkan kualitas masyarakat Bojonegoro yang terampil dan memiliki etos kerja yang tinggi. Disiapkan dengan cara apa? pendidikan atas genarasi muda Bojonegoro yang masih berada di bangku sekolah dan pelatihan-pelatihan sekala kecil dan besar atas mereka yang sudah tidak sekolah.
Dalam mewujudkan Bojonegoro sejahtera, selain masyarakat yang diedukasi dan dilayani secara terhormat, maka juga diupayakan agar lingkungan, infrastruktur, dan pemerintahan di Bojonegoro juga sehat dan cerdas. Hal ini ditempuh, karena menurut Kang Yoto, angka manusia tidak sekolah dan miskin, Bojonegoro berada di tingkat tertinggi.
Kang Yoto juga memiliki mimpi untuk menjadikan Bojonegoro sebagai daerah yang mandiri. Kualitas manusia terus ditingkatkan, para pengusaha dan pekerja giat terus dicetak dan Ia juga memimpikan Bojonegoro sebagai lumbung pangan nasional, malah bila perlu internasional. Untuk mewujudkan itu, dengan kerja cerdas, kerja keras, dan kerja tuntas tidaklah mustahil. Dari data yang kami himpun, Bojonegoro kini tengah berhasil membangun hampir seribu embung; tempat menyimpan air. Embung dibangun, dalam rangka untuk menampung banjir kiriman akibat meluapnya sungai Begawan solo. Bojonegoro adalah daerah yang dilalui sungai yang hulunya berada di Kota Bogor dan hilirnya di Kota Gersik tersebut. Hujan tidak turun hujan, Bojonegoro tetap ketiban banjir. Embung-embung itu berfungsi menampung banjir tatkala hujan/banjir dan mengairi sawah-sawah tatkala masuk musim kemarau. Sebelum embung dicipta, Bojonegoro tak dapat mengambil berkah dari banjir musiman yang tiap tahun pasti datang. Masyarakat Bojonegoro, tatkala masuk musim penghujan sering kebanjiran dan bila kemarau datang sering terjadi kekeringan dan kekurangan air bersih. Berkah hadirnya embung, sawah-sawah di musim kemarau tetap bisa dibuat basah. Selain dapat ditanami padi, pemerintah Bojonegoro juga mendorong rakyat agar juga menanaminya dengan buah-buahan yang bernilai jual seperti jambu, blimbing, dst. Untuk penyediaan bibit unggul dan berkualitas, Pemkab Bojonegoro membangun kerjasama dengan perguruan tinggi yang kredibelitas dan professionalitasnya telah teruji. Seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Kenapa dengan perguruan tinggi di luar Bojonegoro, karena kini, menurut Kang Yoto, Bojonegoro masih belum memiliki perguruan tinggi sekelas UGM dan IPB.
Selain itu, Kang Yoto juga bermimpi menjadikan Bojonegoro sebagai lumbung atlet. Untuk mewujudkan itu, sarana dan prasarana keolahragaan dibangun, para atlet diapresiasi dan disediakan pelatih yang professional di bidangnya masing-masing. Untuk mewujudkan semua itu, kata Kang Yoto, sejarahnya perlu dibuat. Bangun kebanggaan prestatif yang telah ditorehkan oleh orang-orang sukses terdahulu di Bojonegoro. Maka tak pelak, jika ada ruang khusus yang menampung segala pemberitaan, piagam, dan hal lain yang bernilai prestatif oleh orang-orang Bojonegoro.
Karena sudah memasuki waktu sholat Jumat, rapat pun sudah mulai mau ditutup. Kang Yoto, untuk menyemangati abdi rakyat, kemudian meneriakkan yel-yel pemerintah Bojonegoro. Tatkala Kang Yoto bilang “Aparatuurrr?” jawabnya secara serentak ”pro aktif”. Kemudian dilanjutkan “Karja aparatuur?” jawabnya “Cepat, tepat, dan bermanfaat untuk rakyat”. Kemudian kami pun bersama Kang Yoto beranjak ke masjid untuk melaksanakan Sholat Jumat dengan sebelumnya menikmati hidangan nikmat, jajanan tradisional yang disajikan oleh Pemkab Bojonegoro. Dalam perjalanan ke Masjid, oleh Kang Yoto sehabis Jumat nanti kami diperkenankan untuk mendampinginya menemui professor asal Australia dan Belanda. Sebelum memasuki masjid, di antara kami semuanya berwudu’. Tapi Kang Yoto tidak, akhirnya kami berkesimpulan, bahwa Kang Yoto sejak pagi sampai siang, selain berpuasa juga dapat menahan hadats kecil, minimal kentut.
Sehabis sholat jumat, kami dijamu di rumah makan oleh staf Bupati. Awalnya, sebagaimana telah dikonfirmasi sebelumnya, kami terjadwal untuk turut makan siang bersama dengan Kang Yoto. Berhubung beliau waktu itu berpuasa, yang lain pun turut berpuasa dan kami pun harus dijamu di luar kantor Bupati. Setelah makan siang, setelah menunggu beberapa menit, kami pun turut duduk di samping Kang Yoto sewaktu menemui para professor tersebut. Dalam perbincangan itu, komunikasi yang digunakan menggunakan bahasa Inggris. Kang Yoto ternyata juga lincah ngomong menggunakan bahasa Inggris. Dalam obrolan itu, yang kami tangkap ternyata dalam sedang menegoisasikan migas sebagai salah satu sumber kekayaan Bojonegoro. dan ternyata, migas nasional kita 20 persen didapat dari bumi Bojonegoro. setelah pertemuan itu dihelat, kami pun diajak ke Pondopo Agung Malwopati. Acara “urun-rembuk” bersama rakyat yang rutin terselenggara setiap minggu sekali, tepatnya hari Jumat ba’da Sholat Jumat. Dalam acara itu, rakyat bebas mengutarakan apa pun menyangkut masalahnya. Kemudian nanti, Kang Yoto akan menindaklanjuti dan memerintah dinas terkait untuk melaksanakan hal yang harus dilaksanakan. Acara itu mengudara—on air melalui radio milik Pemkab Bojonegoro. Acara dibuat on air supaya juga dapat didengar oleh masyarakat Bojonegoro secara umum. Dengan hal itu juga, sebagai bagian dari keterbukaan layanan pemerintah Bojonegoro. Karena rakyat, sering di antaranya yang mengutarakan permasalahannya dengan emosi, meletus-letus, dan kadang—maaf— memuat kata-kata yang tidak terhormat. Tapi, yang diutarakannya asli dan miskin muatan politis. Atas hal itu, Kang Yoto tetap bangga dan mengapresiasiasinya.
Sehabis acara itu, baru kemudian kami dapat melakukan sharing terbuka dengan beliau. Dalam sharing tersebut kami mengajukan banyak tanya untuk mengobati rasa penasaran dan haus pengatahuan akan sosok inspiratif tersebut. Di antara kami kemudian diminta untuk mengutarakan segala tanya yang belum terjawab. Tiga dari sekian tanya itu, diantaranya adalah:
Pertama, kami bertanya akan kenapa beliau berkesempatan berpidato dalam acara “Global Forum” di New York, Amerika Serikat. Jawaban beliau, kesimpulannya begini, Kang Yoto didaulat berbicara dihadapan pimpinan dan perwakilan dari 28 negara setelah dinilai patut dijadikan model kepemimpinan, terlebih dalam memimpin rakyat di bawah Negara yang menganut demokrasi. Kemudian Kang Yoto menceritakan perjalanan hidupnya. Pada tahun 1984, Kang Yoto ke Malang, melanjutkan study di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), setelah study, beliau didaulat sebagai dosen, sampai beliau kemudian didapuk sebagai Rektor di Universitas Muhammadiyah Gersik. Menurut  Kang Yoto, menjadi pimpinan universitas swasta itu perlu perjuangan yang luar biasa. Mengapa? Karena dalam mendanai universitas tidak semudah perguruan tinggi negeri. Persis seperti pengusaha, ke sana ke mari mencari uang untuk menghidupi universitas agar tetap eksis. 1997 Kang Yoto berhenti sebagai rektor, kemudian terlibat di partai politik sampai ia menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur. Sewaktu sebagai DPRD, Kang Yoto jenuh dengan pola kerja dan wakil rakyat yang katanya, bisanya cuma marah-marah dan tindakannya miskin solusi atas masalah yang tengah terjadi. Di tengah sebagai anggota DPRD, Kang Yoto sambil kuliah S3 di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Di tengah sebagai anggota DPRD itu, Kang Yoto memiliki rencana untuk pulang ke kampung kelahirannya dan mau mendedikasikan dirinya sebagai Bupati. Rencana itu didukung oleh Kang Yoto dengan turun langsung ke masyarakat mendengarkan segala keluh-kesahnya. Kang Yoto datang tidak dengan janji, ia hanya datang untuk mendengarkan dan sesekali berbagi motivasi hidup. Dorongan ia bermimpi untuk menjadi bupati setelah paper risetnya tentang Bojonegoro selama menempuh study S3 di Unair. Usaha Kang Yoto membuahkan hasil, pada tahun 2008 akhirnya ia dipilih langsung oleh rakyat sebagai Bupati Bojonegoro.
Dari datang langsung dan riset yang telah dilakukannya, waktu itu Bojonegoro oleh Kang Yoto problemnya dibagi menjadi lima. Pertama, infrastruktur jalan rusak hampir 80 persen, kedua, infrastruktur pertanian sangat tidak layak sehingga menjadikan Bojonegoro sebagai kantong kemiskinan tertinggi ke dua di Jawa Timur, ketiga, infrastruktur kesehatan, pendidikan, pelayanan public, dan administrasi sangat terbengkalai dan tidak humanis. Yang mempermantap problem, tatkala masyarakat menganggap pemerintah Bojonegoro korup. Hal inilah yang dijadikan program prioritas dan butuh penanganan serius sejak Kang Yoto diangkat sebagai Bupati.
Infrastruktur jalan, berdasarkan riset, tanah Bojonegoro bergerak dan bila menggunakan aspal untuk memperbaiki jalan, maka diperlukan biaya lebih ketimbang daerah lain yang tanahnya tidak bergerak. Akhirnya, melalui tangan dingin Kang Yoto, Pemerintah Bojonegoro menyelenggarakan program pavingisasi jalan sampai ke jalan di plosok-plosok. Kemudian, Infrastruktur pertanian dibenahi, termasuk juga pembuatan embung sebagaimana telah diulas. Para petani di-edukasi tentang bagaimana bertani yang baik. Pelatihan-pelatihan dihelat dengan mentor yang professional di bidangnya. Kang Yoto berani membayar mahal mentor-mentor ahli tersebut untuk membagi ilmunya dengan petani Bojonegoro. akhirnya, Bojonogoro yang dulu tatkala kemarau sering kekeringan dan kekurangan air bersih, kini sudah tidak terjadi lagi. Malah berkat embung, di musim kemarau, petani tetap bisa bercocok tanam karena memanfaatkan banjir penghujan yang tertampung. Di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan publik semua sudah diprimakan menuju layanan yang humanis.
Kang Yoto menjelaskan, akan kebangkitan Bojonegoro, peran dan upayanya masih berada di tahap awal. Bahasa beliau, membangun krangka dasar—basic. Pembangunan itu diupayakan berkelanjutan dengan telah menempa generasi muda Bojonegoro untuk melanjutkan program agenda pemberdayaan dengan pendidikan dan pelatihan-pelatihan. Mimpi Kang Yoto, tenaga ahli yang dipersiapkan sampai di tingkat kualitas internasional standart. Maksudnya, para generasi yang dipersiapkan sumber daya manusia-nya berkualitas internasional. Kualitasnya teruji dan terbukti. Bidang pelatihan secara khusus di lingkungan pemerintah Bojonegoro dibentuk secara terukur dan professional.
Makan Siang Dengan Staft Bupati Bojonegoro
Kedua, kami bertanya tentang migas. Karena sebagaimana telah disinggung, Bojonogoro berkontribusi 20 persen atas migas nasional. Migas di Bojonegoro, direktur dan tenaga ahlinya adalah orang asing. Genarasi muda Bojonegoro, hasil tempaan Pemerintah Bojonegoro, masih sedikit yang terlibat dalam bisnis ekplorasi migas tersebut. Dalam waktu ke depan, migas di Bojonegoro diharap dapat sepenuhnya dikelola oleh generasi negeri, utamanya rakyat Bojonegoro. sambil lalu menempa anak muda Bojonegoro dengan pelatihan-pelatihan terukur, pemerintah Bojonogoro telah menyekolahkan orang-orang pilihan yang lahir di Bojonegoro untuk belajar secara khusus mengelola sumber daya alam Bojonegoro yang melimpah, kemudian nanti setelah lulus memiliki keterikatan kontrak agar mengabdi atas Bojonegoro. Hal itu dilakukan, supaya aset negeri dapat dikelola sendiri oleh generasi bangsa yang mandiri. tidak selamanya mempekerjakan orang asing.
Terkait migas, pemerintah Bojonegoro belajar atas Negara Timor Leste—dulu Provinsi Timor-Timur, provinsi ke 27 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Migas di Timor Leste, juga dikelola oleh asing. Tapi uang dari hasil ekplorasi migas tersebut, hanya 20 persen yang boleh digunakan sebagai belanja pemerintah, sedangkan yang 80 persen ditabung untuk masa depan Timor Leste. Yang 20 persen pun, harus melalui seprangkat persetujuan yang rumit untuk membelanjakannya. Ada banyak orang yang harus tanda tangan setuju atas penggunaan uang tersebut, satu saja ada yang tidak setuju, anggaran 20 persen uang tersebut tidak dapat dicairkan. Model ini diterapkan pemerintah Bojonogoro. Uang yang didapat dari migas, hanya 20 persen yang digunakan sebagai belanja kepentingan pembangunan. 80 persen ditabung. Setelah sampai pada target nominal tertentu, uang Bojonegoro disimpan di salah satu bank internasional, kemudian uang tersebut tidak boleh diambil kecuali bunganya. Nah, dari bunga itu, setalah dikalkulasi oleh Kang Yoto, akan diambil untuk kemudian akan dibelikan surat berharga—saham perusahaan dan bank-bank ternama. Bila ini berjalan dengan baik, pemerintah Bojonegoro dapat memiliki aset yang tak tertandingi di republik. Aset inilah salah satunya yang bisa dijadikan bekal untuk memajukan, meningkatkan, dan mensejahterakan masyarakat Bojonegoro. strategi ala kang Yoto ini, bila berhasil, cukup menjadikan kebupaten berasa Negara. Bukankah Negara Singapura jauh lebih kecil dari luas kota Surabaya? tapi Singapura dalam pendapatan dan kualitas sumber daya manusia mampu mengungguli Indonesia.
Diskusi Dengan Kang Yoto di Aula Malwopati
Ketiga, kami bertanya terkait pemilu kepala daerah, yang oleh UU Kepala Daerah yang baru disahkan, mengamanahkan kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan oleh Rakyat. Kang Yoto walaupun secara kelembagaan berada di Partai Politik pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) yang secara politik jelas-jelas memenangi percaturan dengan mengesahkannya RUU Kepala Daerah, beliau tetap bergeming dan sepakat bila kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat. Bukan DPRD. Mengapa? Karena menurutnya, persoalan kita kini terletak pada kualitas manusia. Mau dirubah berapa kali undang-undangnya, tapi bila tetap seperti itu kualitas manusianya, sampai kapan pun masalah takkan pernah terselesaikan.
Untuk memperlengkap tulisan ini, saya sertakan link sebagian rekaman sewaktu kami melakukan sharing inspiratif dengan Kang Yoto: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...