Oleh
: Fawaid[1]
Pertama saya
akan meluruskan terlebih dahulu tentang tema yang saya angkat pada kesempatan
kali ini “Politik Lipstik”, dalam tema ini saya ingin menyampaikan bahwa
beberapa tahun terakhir ini Indonesia memiliki tidak sedikit (untuk tidak
mengatakan banyak) para politisi yang hanya mengandalkan komunikasi modus saja,
janji-janji yang disampaikan mulai saat kampanye, sampai sukses menempati
tempat yang strategis dalam kepemerintahan negeri ini. Misalnya Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Gubernur, Bupati sampai Kepala Desa. Mayoritas mereka
janjinya selesai di mulut saja, miskin implementasi. Politik etik mereka
sungguh sangat tidak nampak. Untuk paragraf selanjutnya, saya akan megupas
tentang etika dalam berpolitik.
Kata lipstik,
saya bermaksud memberikan pesan “tambahan”. Secara definitif, lipstik biasa
dimanfaatkan untuk memberikan warna pada bibir dan supaya memberikan nuansa
agar perempuan lebih kelihatan modif dan menarik perhatian. Bahasa lipstik yang
saya gunakan, akan saya jelaskan bahwa politik lipstik ini mengacu kepada sikap
politisi yang cenderung memanfaatkan vocal—berbicara untuk menarik perhatian
publik atau lebih banyak modusnya daripada tulusnya, saya akui politisi kita
sangat banyak sekali yang vocal dalam berbicara apalagi ketika berbicara atas
nama rakyat, namun yang juga disayangkan karena terlalu vocal berbicara, hanya
selesai dalam bicara juga, tapi tidak sampai pada kinerja!
Kekhasan
etika politik
Tujuan etika
politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam
rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil
(Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi
antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada.
Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga
tuntutan. pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain. kedua,
upaya memperluas lingkup kebebasan. ketiga, membangun
institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup
baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila
menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil.
Hidup baik
tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian
keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan
dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis
terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Dalam definisi Ricoeur,
etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait
dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang
mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan
dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan
pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena
menyangkut tindakan kolektif.
Etika
politik vs Machiavellisme
Tuntutan
pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang
lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap
dan perilaku politikus atau warga negara. Politikus yang baik adalah jujur,
santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas,
memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan
golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan
yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik,
filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki
kejujuran dan integritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...