Jumat, 14 November 2014

Politik Lipstik

Oleh : Fawaid[1]

Pertama saya akan meluruskan terlebih dahulu tentang tema yang saya angkat pada kesempatan kali ini “Politik Lipstik”, dalam tema ini saya ingin menyampaikan bahwa beberapa tahun terakhir ini Indonesia memiliki tidak sedikit (untuk tidak mengatakan banyak) para politisi yang hanya mengandalkan komunikasi modus saja, janji-janji yang disampaikan mulai saat kampanye, sampai sukses menempati tempat yang strategis dalam kepemerintahan negeri ini. Misalnya Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gubernur, Bupati sampai Kepala Desa. Mayoritas mereka janjinya selesai di mulut saja, miskin implementasi. Politik etik mereka sungguh sangat tidak nampak. Untuk paragraf selanjutnya, saya akan megupas tentang etika dalam berpolitik.

Kata lipstik, saya bermaksud memberikan pesan “tambahan”. Secara definitif, lipstik biasa dimanfaatkan untuk memberikan warna pada bibir dan supaya memberikan nuansa agar perempuan lebih kelihatan modif dan menarik perhatian. Bahasa lipstik yang saya gunakan, akan saya jelaskan bahwa politik lipstik ini mengacu kepada sikap politisi yang cenderung memanfaatkan vocal—berbicara untuk menarik perhatian publik atau lebih banyak modusnya daripada tulusnya, saya akui politisi kita sangat banyak sekali yang vocal dalam berbicara apalagi ketika berbicara atas nama rakyat, namun yang juga disayangkan karena terlalu vocal berbicara, hanya selesai dalam bicara juga, tapi tidak sampai pada kinerja!
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan. pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain. kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan. ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil.

Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif.

Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga negara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas.


[1] Mahasiswa Jurusan Politik Islam di Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...