Oleh: M. Afif Zainurraziqien[1]
Ketika kita mempelajari konsep
ekonomi di suatu negara, terbesit pertanyaan di dalam fikiran kita. “Mengapa sebagian negara menjadi kaya,
sementara sebagian yang lainnya miskin?”. Jawaban secara spekulatif pasti
dapat kita jawab, namun perlu kiranya kita flasback
pada tahun 1776 ketika Adam Smith menerbitkan buku termasyurnya yang
berjudul An Inquiry into the Wealth of
Nations. Di dalam bukunya tersebut menjelaskan secara rinci bagaimana
negara dapat mencapai suatu kekayaan dalam ekonomi.
Sejak abad ke 18, para ahli
ekonomi telah menghasilkan berbagai penjelasan secara menyeluruh tentang
mengapa perekonomian tumbuh dan menjadi makmur. Spesialisasi, perkembangan tekhnologi
dan pembentukan modal (capital formation)
adalah beberapa faktor yang telah dianalisis oleh Smith. Selain itu Smith juga
menjelaskan bagaimana seharusnya negara miskin bisa mengatasi
’keterpurukan’-nya, salah satunya mengenai keadaan pasar yang harus berjalan
seimbang antara produksi, distribusi dan konsumsi, mengenai seharusnya
lembaga-lembaga bekerja efisien, serta mengenai jarak geografis suatu negara.
Selain mengatasi ‘keterpurukan’, Smith juga mengatakan negara tersebut bahkan
dapat menjadi pemimpin karena keunggulan produktivitasnya.
Ahli ilmu ekonomi dan ahli
sejarah ekonomi tidak melihat bagaimana negara-negara di dunia yang tetap kaya,
namun titik acuan mereka terletak pada bagaimana melihat masih banyaknya
negara-negara yang tetap miskin atau sedikit berkembang walaupun banyak
kesempatan baru untuk perluasan ekonomi. Selain Adam Smith, salah satu ahli
ekonomi dan ilmu sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal pernah mengkaji situasi
perekonomian di Asia Selatan dan Asia Tenggara pada tahun 1968. Menurut Myrdal,
kegagalan perekonomian di Asia Selatan dan Asia Tenggara diakibatkan karena
ketidakmampuan pemerintah untuk melaksanakan berbagai perencanaan pembangunan
modern, fenomena korupsi yang terus berkembang, pendidikan, kesehatan dan
pertanian yang masih belum dioptimalkan dengan baik. Bagaimana dengan Negara
Indonesia?
Kalau
kita lihat pada tahun 1960-an, negara ini mengalami sebuah periode instabilitas
politik dan kontradiksi ekonomi, yang menimbulkan beragam dampak serius pada
kehidupan sebagian besar penduduknya, sehingga Negara Indonesia mengalami
inflasi sebesar 600 %. Namun catatan buruk tersebut berubah secara dramatis
setelah pada tahun 1993, ketika Bank Dunia (Word Bank) mengatakan
bahwa Indonesia merupakan salah satu contoh dari negara yang berhasil
membalikkan keadaan ekonominya. Dari negara dengan kinerja buruk, Indonesia
telah berubah menjadi salah satu murid paling cemerlang di kelasnya. Kebanggaan
yang seharusnya terjaga secara kontiunitas itu harus dibayar mahal dengan
kegagalan menjaga pertumbuhan ekonominya ketika negeri ini dihantam krisis Asia
pada 1997/1998. Oleh karena itu, pertumbuhan Indonesia bisa dikategorikan ‘tak
menentu’ dengan tingkat diskontinuitas yang tinggi.
Di sisi lain kalau
kita lihat berlimpahnya sumber daya alam di negeri ini, tak layak untuk disebut
jika negeri kita adalah negara yang
miskin dibanding dengan ‘rata-rata’ negara berkembang. Mengapa
demikian?. Jika kita lihat literatur sejarah ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya
dapat menjawab pertanyaan ini. Termasuk kata Anne Booth yang berjudul The Indonesian Economic in the Nineteenth
and Twentieth Centuries; A History of Missed Opportunities, adalah contoh
terbaik dari kajian mutakhir yang mempertanyaan persoalan yang sama: “mengapa pada
akhir abad ke 20 dan abad ke 21 ini negeri ini masih relatif miskin dan
terbelakang secara ekonomi?” Kebijakan manakah yang keliru baik dari Pemerintah
kolonial maupun poskolonial yang telah menciptakan keadaan seperti ini? Apakah
kesalahan-kesalahan itu merupakan ‘kesengajaan’ (commission) ataukah ‘kelalaian’
(omission)?
Telepas dari
analisis dari pakar ekonomi di atas, sebenarnya negeri kita ini menerapkan sistem
ekonomi apa? sistem kapitalistik atau sistem sosialistik, dan bahkan sistem
ekonomi Islam yang lagi membumi di jagad alam semesta ini, khususnya di
Indonesia?. Apakah sistem ekonomi Islam menjadi solusi yang harus dilakukan dan
dijalankan secara konsekuen?.
“ Kadang-kadang
hidup itu perlu adanya sosok orang bodoh, agar orang yang pintar bisa merubah
kebodohannya”
[1] Mahasiswa Jurusan
Muamalah di Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini didiskusikan
di Indonesia Belajar-IB pada Jumat, 19 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...