Kamis, 04 September 2014

Tuhan Membusuk

Oleh: Libasut Taqwa[1]
Telepon genggam saya bergetar beberapa saat di tengah seriusnya saya menyerap pelajaran bahasa Inggris di kelas. Karena penasaran, saya pun mengeceknya sembari mendengar tutor melanjutkan penjelasan. Setelah saya cek, ternyata pesan singkat SMS (Short Message Servis) dari salah seorang teman lama yang cukup membuat saya terkejut. Pesan singkat itu terbaca “waduh, bagaimana maksudnya ospek “Tuhan Membusuk” ini?’’, saya tersenyum kecut, karena tak ingin terlibat debat elektronik yang pastinya membosankan, saya jawab saja seadanya, “Tuhan tidak bisa membusuk walaupun kita berkata Tuhan busuk.”

Seusai kelas saya bergegas menuju warnet yang tak jauh dari tempat saya belajar. Pikiran saya, saya harus menulis sesuatu tentang ini; bukan untuk membenarkan, menjustifikasi, apalagi untuk mengakui bahwa saya lah pelakunya. Tapi setidaknya sebagai tanggung jawab almamater UIN Sunan Ampel yang dirasa berat memenuhi pundak saya. Tak ada juga niat saya untuk menantang umat muslim yang-setelah “heboh” membaca tema OSCAAR ini, merasa terganggu, atau risih, atau geram, atau mungkin dengan berbagai ekspresi penyangkalan tak suka lainnya.


“Tuhan Membusuk”, seperti para pencinta elektronik “gaungkan” beberapa waktu kini, adalah Tema OSPEK -IAIN (kini UIN) biasa menyebutnya OSCAAR (Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater)- yang dihidangkan oleh teman-teman di Fakultas Ushuluddin kepada ‘adik-adik’ Mahasiswa barunya selama –kalau tidak salah- tanggal 28-30 Agustus beberapa hari lalu. Spontan, entah siapa yang iseng memulainya, secepat kilat beberapa foto yang secara khusus menyorot “Tuhan Membusuk”-nya saja menyebar di dunia maya dan dengan segera diikuti oleh (ada yang bilang ratusan) persentase komentator yang tak sedikit.

Saya ingin memaparkan ke sidang pembaca sekalian sedikit tentang tipologi mahasiswa Ushuluddin Sunan Ampel Surabaya (yang rajin saja) sebelum saya memberi tanggapan mengenai “Tuhan Membusuk” di atas. Tentunya sesuai dengan ragam kekurangan yang saya miliki. Dapat saya katakan, hampir semua Mahasiswa Ushuluddin akrab dengan mata kuliah kalam dan filsafat, bahkan ada beberapa kawan yang saya kenal takkan mau jauh dengan karya-karya para filosof besar yang bertanya tentang eksistensi diri, hakikat Ke-Tuhan-an, atau metafisika. Saya sendiri pernah terlibat diskusi menarik mengenai buku filsafat terkenalnya Sir Muhammad Iqbal yang berjudul ‘’The Reconstruction of Religious Thought in Islam’’ dengan salah seorang bibliofilia (pencinta buku) Ushuluddin. Dari sana saya tahu, mereka takkan membiarkan dirinya dalam kepuasan ilmu, mereka akan selalu haus, mereka seorang pencari! Jadi, kalau dikorelasi, “Tuhan Membusuk” bukanlah frase final, saya yakin punya lanjutan, (setidaknya itu menurut saya).

Fenomena kontroversi –kalau kita anggap kontroversi— Tema Ospek di lingkungan IAIN atau UIN sebenarnya telah lama saling berkelindan, dan biasanya secara khusus menyentuh hal-hal sensitif dalam hal teologis atau mempertanyakan kembali kebiasaan ajeg yang telah lama bersemayam di masyarakat.

Pada pertengahan 2004, Farid Yusuf, mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Gunung Djati Bandung dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Forum Ulama pimpinan KH. Athian Ali karena pernyataannya di depan mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat saat ospek mahasiswa baru, jum’at 27 Agustus. Setelah saya telusuri beberapa sumber, ternyata laporan itu berawal dari kata-kata Farid Yusuf dan kawan-kawan saat memperkenalkan himpunan jurusannya dengan kalimat sensitif “Mari berzikir anjing-hu akbar, anjing-hu akbar.” Entah sensasi, atau murni ekspresi keagamaan, tapi setelah itu Umat Islam pun geram, Farid Yusuf mati kutu.

Secara kalimat, kalau benar kalimat ini berbentuk ajakan, tentunya saya juga tak mau mengikutinya, di sini saya setuju dengan Kyai Athian “…seharusnya kalimat zikir dalam takbir adalah 'Allahu akbar, Allahu akbar.'’ Tapi Mohammad Najib—Pembantu Rektor IAIN Bandung saat itu– punya jawaban lain, "Ketika wacana dipresentasikan dalam konteks akademik, itu tidak jadi masalah," di sini saya juga setuju. Dalam dunia akademik, ilmu pengetahuan diletakkan pada posisi tak tetap, selalu berubah. Bahkan Rektor pun, tak bisa menggenggam kebenaran tunggal saat berbicara ilmu pengetahuan. Jadi, jika sekali waktu melihat dosen kalah debat dengan mahasiswa, atau pertanyaan mahasiswa tak bisa dijawab, itu menunjukan bahwa ilmu pengetahuan selalu berubah, dan meminta diberikan wadah baru yang lebih relevan. Yang saya sayangkan, dari kasus Bandung “ajakan” di suguhkan pada pribadi-ribadi transisi yang belum matang betul secara nalar dan tentu setelahnya akan ada dikotomi penafsiran beragam. Kalau sudah begitu, yang bertanggung jawab siapa?

Sekarang Sunan Ampel, masih fakultas yang sama “Ushuluddin”. Bagi yang tahu proses pembentukan Tema OSCAAR lingkungan IAIN, mereka sadar bahwa Tema tidak serta-merta dibentuk semau gue oleh teman-teman panitia, paling tidak (berdasar pengalaman saya) dua atau tiga bulan dialokasikan oleh beberapa panitia yang rajin, sebagai waktu pembahasan tema. Di sini Tema tentunya sudah mendapat koreksi terlebih dahulu, hingga akhirnya muncullah satu tema final yang lengkap “Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan.”
 
Saya murni tak akan setuju jika judulnya hanya sebatas “Tuhan Membusuk” saja, karena pasti akan menimbulkan banyak tanggapan negatif dari pembaca –yang memang sulit membaca utuh jika mereka benar-benar tidak tahu— termasuk teman lama saya tadi. Tapi jika judulnya lengkap, setidaknya saya secara personal mampu meraba kemana arah tema yang dimaksud teman-teman di atas.

Menurut Dr. Haidar Ibrahim, Istilah fundamentalisme acap kali terdengar dan dipakai, namun makna yang sesungguhnya masih belum jelas, terlalu umum dan rentan akan perubahan. Meski tersirat dalam hati fundamentalisme bisa dimaknai; keteguhan dan kekakuan. James Barr, yang merupakan rujukan utama dalam bidang fundamentalisme mengatakan, kata ini bermula dari judul essay yang berjudul "Fundamentals". Muncul di Amerika sekitar tahun 1910-1915. Istilah ini digunakan untuk mengkategorikan teologi ekslusif, yaitu kepercayaan mutlak terhadap wahyu, ketuhanan Al-Masih, mukjizat Maryam yang melahirkan ketika masih perawan, serta kepercayaan lain yang masih diyakini oleh golongan fundamentalis Kristen sampai sekarang. Walaupun dari aspek kesejarahan Fundamentalisme meninggalkan ragam pertanyaan, namun kini ia selalu akrab bahkan tak jarang dinisbatkan pada agama. Montgomery watt, dalam bukunya “Fundamentalisme Islam dan Modernitas” (terjemahan Taufik Adnan Amal)” menyatakan Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen di Amerika Serikat. ini pada dasarnya merupakan istilah Inggris kuno kalangan Protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. fundamentalisme agama, walaupun bukan fenomena baru, tapi ia menawarkan bentuk dan corak yang selalu relevan. Semakin beragam sumber yang kita baca, semakin beragam pula sikap kita dalam memahami fundamentalisme. Fundamentalisme –atau kita sambung istilah ini dengan Islam— akan selalu berakhir pada definisi positif atau negatif. Bagi yang menganggapnya negatif (termasuk mungkin panitia Ushuluddin di atas), Fundamentalisme Islam hanya akan menyebabkan kekakuan dalam beragama karena sulitnya memahami kontekstualitas teks, merekonstruksi atau membangunnya kembali pada definisi positif adalah sebuah keharusan, dan goals dari rekonstruksi tersebut harus berbentuk kosmopolitanisme, yaitu mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas yang menurut Kwame Anthony Appiah akan terwujud ketika orang-orang dari berbagai bidang (fisika, ekonomi, dll.) membina hubungan inklusif yang saling menghargai meski memiliki kepercayaan yang berbeda (agama, politik, dll.). Dan kita ingin alumni Ushuluddin seperti itu.

segalanya tetap berakhir pada pemahaman kita masing-masing.  untuk teman-teman Ushuluddin, saya angkat topi!!

Wallahu a’lam…

[1] Ditulis saat sedang menempuh kursus B. Inggris di Pare Kediri. Tulisan ini sebagai tanggapan atas tema Oscaar Ushuluddin UIN Sunan Ampel 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...