Oleh: Roziqi Lopez, S. Sos[1]
Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh
drama atau teater pertunjukan fiksi di atas panggung di mana seorang aktor
memainkan suatu plot karakter sehingga penonton dapat memperoleh gambaran
kehidupan aktor tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari pertunjukan drama
yang disajikan. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh seorang
filosof Yunani, Aristoteles, sekitar tahun 350 SM, dengan menerbitkan sebuah
buku yang sampai sekarang menjadi acuan dalam dunia teater berjudul Poetics.
Bila Aristoteles di atas mengungkapkan
istilah Dramaturgi dalam artian seni, maka Erving Goffman mendalami
Dramaturgi dari segi Sosiologi. Berawal dari ketertarikan terhadap teori
dramatisme Kenneth D. Burke, yang mengenalkan dramatisme sebagai metode
untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata
dan kehidupan sosial. Dramatisme lebih memperlihatkan bahasa sebagai model
tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan. Goffman mendalami kajian
dramatisme dan menyempurnakannya dalam buku berjudul The Presentation of
Self in Everyday Life, sebuah buku yang mengkaji fenomena interaksi
simbolik dan kajian mendalam mengenai konsep dramaturgi.
Dramaturgi berusaha menjelaskan bagaimana
orang melakukan sesuatu, bukan apa yang orang lakukan atau yang ingin orang
lakukan, dan bukan mengapa orang melakukannya. Bukan pada hasil yang dilakukan
atau dorongan melakukannya, tetapi pada proses. Maka dari itu, pengemis dilihat
dari interaksi saat ia mengemis, proses-proses pada saat ia meminta-minta,
bagaimana ia melakukan profesi mengemis.
Menurut dramaturgi kehidupan hanyalah
panggung sandiwara, di atas panggung terdapat banyak peran yang berbeda-beda
tergantung pada posisi individu, setiap masyarakat berusaha memainkan perannya
sebaik mungkin di atas panggung. Layaknya panggung teater, kehidupan juga
terdapat panggung depan dan belakang panggung (baca: panggung belakang), atau
dalam istilah dramaturgi disebut front
stage dan back stage. Begitu pula
dengan kehidupan pengemis, terdapat panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan pengemis adalah ketika ia meminta-minta di hadapan para calon
pemberi sedekah, dalam penelitian ini panggung depan pengemis adalah frontage
road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya. Sedangkan panggung belakang pengemis
adalah tempat saat ia tidak mengemis, ketika di rumah, di hadapan keluarga dan
sosial masyarakat, atau saat ia mempersiapkan peran sebagai pengemis.
Dalam panggung depan terdapat front personal dan setting:
front personal adalah alat-alat yang harus ada sebagai perlengkapan dalam
pengemis. Terdapat beberapa perlengkapan yang dibawa oleh pengemis di frontage
road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya:
a.
Menggendong atau membawa anak kecil untuk mengemis bersama;
b.
Memakai pakaian tidak layak; seperti pakaian kotor, sobek, lusuh dan
terlihat compang-camping;
c.
Berkerudung dan membawa tas;
d.
Kantong plastik lusuh sebagai ganti pengadah tangan.
Front personal juga mencakup bahasa verbal
dan bahasa tubuh pengemis, pengemis frontage road jalan Ahmad
Yani Kota Surabaya menggunakan bahasa yang sopan dan mengucapkan “terimakasih” tiap kali ada yang
memberinya sedekah, dan menggunakan bahasa tubuh seperti pura-pura membungkuk,
mimik wajah yang memelas, dengan menengadahkan tangan yang menandakan ia adalah
pengemis dan sedang meminta-minta. Pengunjung juga melakukan bahasa verbal dan
bahasa tubuh jika ingin menolak memberi sedekah kepada pengemis frontage
road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya, cukup dengan mengatakan “lewati” atau dengan memberi tanda ‘stop’
pakai tangan, atau dua-duanya. Dan setting
pengemis ini adalah frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya,
tempat mengemis di mana ada pengunjung (calon pemberi sedekah) sebagai lahan
basah mengais rezeki bagi pengemis.
Prilaku berbeda diperankan oleh pengemis
ketika ia berada di panggung belakang, di rumah pengemis ini menjalankan
kehidupan seperti orang pada umumnya. Pengemis berinteraksi dengan keluarga dan
masyarakat sekitar apa adanya, memakai baju yang pantas (tidak sobek, kotor dan
lusuh) dan jarang berkerudung, mimik wajah yang lebih santai, kadang berbicara
kasar, ada pula pengemis perempuan yang ditemui sedang merokok. Tidak semuanya
negatif, ada pengemis pada waktu siang masih bekerja ke pasar, ada pula yang
mencari rezeki tambahan dengan menjadi pemulung. Panggung belakang pengemis frontage
road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya meliputi juga persiapan pengemis
dalam hal mengemis.
Hal-hal tersebut adalah proses presentasi
diri seorang pengemis sebagai upaya pengelolaan kesan (impression managament),
proses tersebut dilakukan pengemis dengan menghadirkan dan memproyeksikan
kepada pengunjung suatu image bahwa ia (baca: pengemis) miskin, lapar,
butuh uang, tidak punya pakaian, dan tidak punya tempat tinggal, untuk
mendapatkan imbalan berupa santunan
uang.
Untuk menyempurnakan pengelolaan kesan
kepada pengunjung di frontage road jalan Ahmad Yani Kota
Surabaya, pengemis membayangkan penilaian dan membandingkan antara pengunjung
yang memberi sedekah dengan yang tidak atas penampilan mereka, sehingga menjadi
tolak ukur bagi pengemis mana yang front
personal ‘peran’ yang patut
dipertahankan dan yang tidak patut dipertahankan.
Pengemis juga melakukan pemeliharaan jarak
dengan pengunjung di frontage road jalan Ahmad Yani Kota
Surabaya, terbukti dengan adanya pengemis yang menolak untuk diwawancarai,
pengemis berusaha menjaga agar tidak terlalu akrab dengan pengunjung supaya ia
tidak lupa dengan perannya dan tidak hilang dalam proses tersebut. Semua itu
dilakukan pengemis untuk mendukung perannya dalam pertunjukan dengan baik.
[1]
Kandidat Sarjana Sosiologi UIN Sunan Ampel 2014. Tulisan ini merupakan intisari
dari skripsi penulis di Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel. Tulisan ini
didiskusikan pada Jumat, 29 Agustus 2014 di Frontage Road Jl. Jend. A. Yani 117
Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...