Jumat, 29 Agustus 2014

Dramaturgi Pengemis Jl. A Yani 117 Surabaya

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater pertunjukan fiksi di atas panggung di mana seorang aktor memainkan suatu plot karakter sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan aktor tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari pertunjukan drama yang disajikan. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh seorang filosof Yunani, Aristoteles, sekitar tahun 350 SM, dengan menerbitkan sebuah buku yang sampai sekarang menjadi acuan dalam dunia teater berjudul Poetics.

Bila Aristoteles di atas mengungkapkan istilah Dramaturgi dalam artian seni, maka Erving Goffman mendalami Dramaturgi dari segi Sosiologi. Berawal dari ketertarikan terhadap teori dramatisme Kenneth D. Burke, yang mengenalkan dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Dramatisme lebih memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model pengetahuan. Goffman mendalami kajian dramatisme dan menyempurnakannya dalam buku berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, sebuah buku yang mengkaji fenomena interaksi simbolik dan kajian mendalam mengenai konsep dramaturgi.


Dramaturgi berusaha menjelaskan bagaimana orang melakukan sesuatu, bukan apa yang orang lakukan atau yang ingin orang lakukan, dan bukan mengapa orang melakukannya. Bukan pada hasil yang dilakukan atau dorongan melakukannya, tetapi pada proses. Maka dari itu, pengemis dilihat dari interaksi saat ia mengemis, proses-proses pada saat ia meminta-minta, bagaimana ia melakukan profesi mengemis.

Menurut dramaturgi kehidupan hanyalah panggung sandiwara, di atas panggung terdapat banyak peran yang berbeda-beda tergantung pada posisi individu, setiap masyarakat berusaha memainkan perannya sebaik mungkin di atas panggung. Layaknya panggung teater, kehidupan juga terdapat panggung depan dan belakang panggung (baca: panggung belakang), atau dalam istilah dramaturgi disebut front stage dan back stage. Begitu pula dengan kehidupan pengemis, terdapat panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan pengemis adalah ketika ia meminta-minta di hadapan para calon pemberi sedekah, dalam penelitian ini panggung depan pengemis adalah frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya. Sedangkan panggung belakang pengemis adalah tempat saat ia tidak mengemis, ketika di rumah, di hadapan keluarga dan sosial masyarakat, atau saat ia mempersiapkan peran sebagai pengemis.

Dalam panggung depan terdapat front personal dan setting: front personal adalah alat-alat yang harus ada sebagai perlengkapan dalam pengemis. Terdapat beberapa perlengkapan yang dibawa oleh pengemis di frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya:

a.       Menggendong atau membawa anak kecil untuk mengemis bersama;
b.      Memakai pakaian tidak layak; seperti pakaian kotor, sobek, lusuh dan terlihat compang-camping;
c.       Berkerudung dan membawa tas;
d.      Kantong plastik lusuh sebagai ganti pengadah tangan.

Front personal juga mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh pengemis, pengemis frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya menggunakan bahasa yang sopan dan mengucapkan “terimakasih” tiap kali ada yang memberinya sedekah, dan menggunakan bahasa tubuh seperti pura-pura membungkuk, mimik wajah yang memelas, dengan menengadahkan tangan yang menandakan ia adalah pengemis dan sedang meminta-minta. Pengunjung juga melakukan bahasa verbal dan bahasa tubuh jika ingin menolak memberi sedekah kepada pengemis frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya, cukup dengan mengatakan “lewati” atau dengan memberi tanda ‘stop’ pakai tangan, atau dua-duanya. Dan setting pengemis ini adalah frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya, tempat mengemis di mana ada pengunjung (calon pemberi sedekah) sebagai lahan basah mengais rezeki bagi pengemis.

Prilaku berbeda diperankan oleh pengemis ketika ia berada di panggung belakang, di rumah pengemis ini menjalankan kehidupan seperti orang pada umumnya. Pengemis berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat sekitar apa adanya, memakai baju yang pantas (tidak sobek, kotor dan lusuh) dan jarang berkerudung, mimik wajah yang lebih santai, kadang berbicara kasar, ada pula pengemis perempuan yang ditemui sedang merokok. Tidak semuanya negatif, ada pengemis pada waktu siang masih bekerja ke pasar, ada pula yang mencari rezeki tambahan dengan menjadi pemulung. Panggung belakang pengemis frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya meliputi juga persiapan pengemis dalam hal mengemis.

Hal-hal tersebut adalah proses presentasi diri seorang pengemis sebagai upaya pengelolaan kesan (impression managament), proses tersebut dilakukan pengemis dengan menghadirkan dan memproyeksikan kepada pengunjung suatu image bahwa ia (baca: pengemis) miskin, lapar, butuh uang, tidak punya pakaian, dan tidak punya tempat tinggal, untuk mendapatkan imbalan  berupa santunan uang.

Untuk menyempurnakan pengelolaan kesan kepada pengunjung di frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya, pengemis membayangkan penilaian dan membandingkan antara pengunjung yang memberi sedekah dengan yang tidak atas penampilan mereka, sehingga menjadi tolak ukur bagi pengemis mana yang front personal ‘peran’ yang patut dipertahankan dan yang tidak patut dipertahankan.

Pengemis juga melakukan pemeliharaan jarak dengan pengunjung di frontage road jalan Ahmad Yani Kota Surabaya, terbukti dengan adanya pengemis yang menolak untuk diwawancarai, pengemis berusaha menjaga agar tidak terlalu akrab dengan pengunjung supaya ia tidak lupa dengan perannya dan tidak hilang dalam proses tersebut. Semua itu dilakukan pengemis untuk mendukung perannya dalam pertunjukan dengan baik.

[1] Kandidat Sarjana Sosiologi UIN Sunan Ampel 2014. Tulisan ini merupakan intisari dari skripsi penulis di Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel. Tulisan ini didiskusikan pada Jumat, 29 Agustus 2014 di Frontage Road Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...