Oleh: Davida
Ruston[1]
Istilah
ISIS (Islamic State of Iraq & Syiria)
sudah tak asing lagi diperdengarkan oleh banyak khalayak. Di Indonesia sendiri
nama ISIS menjadi bagian perbincangan yang cukup hangat sejak beredarnya sebuah
video streaming Jihadis asal
Indonesia yang mengajak sebagian umat muslim untuk turut berperang dan menegakkan
khilafah di bumi Syam.
Beragam
respon diperagakan banyak kalangan, ada yang menunjukkan dukungannya melalui
mural (vandalism), pembaiatan, dan ada pula yang menolak secara tegas paham ini
masuk ke Indonesia. Jika kita melihat sejarah, cikal bakal ISIS atau biasa juga
disebut sebagai ISIL (Islamic State Of
Iraq & Levant) sebetulnya lahir sejak dimulainya agresi Amerika ke Iraq
pada tahun 2003. Sejak itu, kaum mayoritas Syiah mengambil alih
kekuasaan dan pada gilirannya merepresi golongan Sunni. Tentu saja kalangan
Sunni tidak diam saja. Pemberontakan kalangan Sunni mulai muncul. Kelompok
teroris seperti Al Qaeda masuk ke Irak dan kelompok-kelompok pemberontak lokal
yang terdiri dari kalangan minoritas Sunni mulai bertempur melawan tentara AS.
Sejak itu, warga Irak terbelah berdasarkan agama, Sunni yang umumnya tinggal di
utara dan Syiah yang umumnya di selatan. ISI
yang kini menjadi ISIS adalah underbow
dari jaringan al-Qaeda, yang pada tahun 2010 (hingga sekarang) dipimpin oleh
Abu Bakar al-Baghdadi.
Sebelum
ISIS terbentuk perjuangan rakyat Iraq dipimpin oleh Abu Musa al-Zarqawi yang
merupakan figur perjuangan dari Jihad wa
tauhid, sampai pada akhirnya Zarqawi meninggal. Sepeninggal Zarqawi, para
pejuang Iraq tak lagi menemukan sosok sebagai patron perjuangan. Tak ingin
perjuangannya berhenti di tengah jalan, beberapa pejuang akhirnya
mendeklarasikan Daulah Islam Iraq (DAI) sebagai motor baru perjuangan mereka
pada akhir tahun 2006, sekaligus membaiat Abu Umar Al-Baghdadi sebagai pucuk
pimpinannya. Pada tahun 2010 Abu Umar wafat dalam sebuah pemberontakan dan pada
akhirnya peran sentral Abu Umar segera digantikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi.
ISI
di bawah kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi mulai merambah berbagai daerah di
sekitar Iraq. Mereka menjarah, memerkosa para wanita daerah kekuasaan yang
mereka anggap sebagai budak, mereka membantai berbagai macam etnis (terutama
etnis Yazidi) dan semua golongan yang bertentangan dengan paham dan perjuangan
mereka. Untuk itu rezim Bashr al_As’ad juga menjadi target operasi untuk
ditaklukkan dan pada akhirnya mereka pun mengganti nama ISIS.
Peran Imperialisme
Dari
semua gonjang ganjing ISIS yang telah menjadi pembahasan dunia international,
ada kejanggalan besar yang terus menggerutu untuk dituntaskan. Dunia seakan
diributkan oleh praktek genosida dan pembantaian sadis yang terus
dipertontonklan ISIS. Konspirasi geo politik
mereka sedikit pun tak pernah terungkap.
Melihat
pola konflik yang terus timbul kita tentunya kembali teringat dengan teori Clash of Civilization and
the Remaking of World Order yang ditulis oleh Guru Besar Ilmu Politik Universitas Harvard, Samuel P Huntington.
Karya
ini menjadi rujukan utama bagi paradigma kebijakan politik hampir di seluruh
dunia saat ini. Yang menurutnya pasca Perang Dingin, dunia akan lebih banyak di
dominasi oleh dinamika politik yang terjadi antara peradaban (kultural)
peralihan konflik antara National State seperti yang terjadi pada Perang
Dingin (negara perang melawan negara).
Samuel
dan para ekonom dan ahli kapitalisme, tentu saja akan menyamarkan pertentangan
sebenarnya dari “peradaban“ manusia. Alih–alih pertentangan ideologi dan agama
seperti yang digembar-gemborkan para industrialis, sebenarnya pertentangan yang
terjadi adalah pertentangan kelas antara para kapitalis dan para buruh yang
telah dirampok hidupnya. Yang berujung kontrak milyaran dollar terhadap perusahaan–perusahaan
konstruksi, minyak, senjata dan sebagainya. Bersambung…
[1]
Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya dan Alumni
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini didiskusikan pada
Jumat, 22 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...