Oleh:
Junaidi Khab[1]
Jangan pernah
mengeliminasi suatu budaya yang tumbuh di lingkungan kita. Karena budaya itu
kita akan mampu hidup dan bersaing dengan masyarakat luas serta bisa dikenal
oleh publik. Suatu budaya akan menjadi identitas tersendiri yang mampu
mengangkat martabat, pangkat, dan jati diri suatu bangsa baik secara lokal
mapun nasional.
Ada suatu
budaya atau tradisi yang dianggap tak begitu penting, namun kenyataannya secara
tidak langsung membangun kehidupan pelakunya. Begitu pula ada budaya yang
memang diperhatikan dan dianggap penting karena dampak dan pengaruhnya
dirasakan secara langsung oleh penduduk setempat sehingga pemerliharaannya
dijaga secara simultan.
Di Indonesia
dikenal tradisi Hari Raya Ketupat yang tak semua penduduk pribumi mengerti dan
merayakannya. Apalagi masyarakat luar Indonesia. Hari Raya Ketupat sangat
fenomenal di Jawa-Madura dan sekitarnya. Namun sayang, di Indonesia tradisi
Kupatan (Hari Raya Ketupat) tidak menyeluruh. Budaya Ketupatan yang ada di
Indonesia ini kiranya patut kita jaga dan kita budayakan dengan nilai-nilai
humanisme untuk membentuk tali persatuan yang erat dan kesalehan dalam
berbudaya serta kesalehan hidup bersosial.
Ketupat vs
Lontong
Secara
sederhana Ketupat dapat diartikan sebuah benda yang dibuat dari pucuk daun
siwalan atau kelapa yang diisi dengan beras yang dilembabkan lalu direbus.
Tentu seluruh masyarakat Indonesia mengenal Ketupat. Selain sebagai salah satu
hari raya besar Islam versi Indonesia, Ketupat juga merupakan seni serta bentuk
kreatifitas masyarakat lokal. Begitu pula dengan Lontong. Dua benda tersebut
secara eksplesit dan sederhana sama. Namun secara substansi keduanya memiliki
nilai dan bentuk yang sangat berbeda.
Ketupat
bahannya merupakan pucuk daun siwalan (di Madura mayoritas) dan pucuk kelapa
(Jawa). Meskipun Ketupat bahan utamanya terdiri dari pucuk daun siwalan atau
kelapa, ada juga sebagian masyarakat yang membuat ketupat dari bahan selain
pucuk siwalan atau kelapa. Yaitu dari plastik berukuran seperempat kilo yang
diisi dengan beras lalu dimasak, dan hasilnya sudah menjadi Ketupat. Cara
demikian mayoritas terjadi di daerah Madura. Subjek utama yang membuat Ketupat
berbahan plastik adalah ibu-ibu yang menjual soto, rujak, atau kaldu karena
Ketupat lebih simpel dan praktis. Perlu diingat bahwa soto Lamongan (Jawa)
dengan soto Madura sangatlah berbeda. Itu ditentukan oleh bahan yang digunakan.
Jika soto Jawa menggunakan nasi sebagai bahan utamanya, maka soto Madura bahan
utamanya adalah Ketupat.
Lontong banyak
beredar di daerah Jawa. Lontong secara sederhana dapat diartikan benda yang
terbuat dari daun pisang yang digulung dan diisi beras lalu direbus. Kemudian,
jadilah Lontong. Selain dalam rumah dan keluarga, Lontong bisa dinikmati di
warung-warung kecil yang ada di daerah Jawa, biasanya ada di warung yang
berjualan bakso, rujak cingur, dan lain sebagainya.
Di sinilah
titik perbedaan Lontong dengan Ketupat. Kita bisa melihat bahan dan
instrumennya untuk bisa membedakan mana Ketupat dan Lontong. Ada hal yang perlu
diketahui bahwa di antara tiga jenis bahan pembuatan Ketupat, pucuk siwalan,
kelapa, dan plastik. Ketupat akan terasa lebih sempurna jika terbuat dari pucuk
daun siwalan. Bukan karena alasan siwalan berada di Madura sebagai mayoritas.
Namun aroma pucuk siwalan jika dianyam menjadi Ketupat akan memberikan ciri
khas dan aroma ketupat yang lebih wangi, harum, dan lebih sempurna.
Mitos
Ketupat
Keistimewaan
Ketupat juga bisa kita lihat dari cara pembuatannya. Jika bukan orang yang
memiliki keuletan dan ketelatenan, maka tidak akan mau membuat kerangka
Ketupat. Karena pembuatan kerangka Ketupat mbulet tak karuan ketika dilihat
secara sepintas. Berbeda dengan Lontong yang hanya memilin daun pisanga lalu
diisi beras sudah setengah jadi Lontong.
Bagi mayoritas
masyarakat pedalaman Madura, mampu membuat kerangka Ketupat menjadi sebuah
kewajiban tersendiri. Ketika masih anak-anak sudah mulai diajari membuat
kerangka Ketupat dengan model Ketupat yang paling mudah dan fenomenal seperti
yang sering kita lihat dan temui di iklan-iklan dan media. Antusiasme membuat
kerangka Ketupat mendarah daging bagi pemuda dan pemudi masyarakat pedalaman
Madura.
Itu semua tak
lain karena ada suatu ancaman yang secara keyakinan patut dipercaya dan secara
nalar sangat lucu bahkan sangat vulgar serta tidak mungkin. Dari cerita mitos
turun-temurun masyarakat pedalaman Madura memercayai bahwa jika seseorang tidak
bisa membuat kerangka Ketupat kelak akan disuruh memikul penis Kimah. Menurut
cerita, Kimah tak lain merupakan raksasa dengan ukuran penis sangat besar dan
orang-orang tak ada yang mampu untuk memikulnya, baik laki-laki maupun
perempuan. Sehingga mayoritas pemuda dan pemudi pedalaman Madura memiliki
kemampuan dan talenta untuk membuat kerangka Ketupat, bahkan dengan berbagai
macam modeldan versi. Namun, ada pula yang tak mau menghiraukan mitos tersebut
dan membiarkan dirinya tetap tak mampu membuat kerangka Ketupat yang menjadi
tradisi dan budaa turun-temurun itu.
Maka dari itu,
keunikan Ketupat sebagai tradisi tahunan yang dikenal dengan Hari Raya Ketupat
perlu kita jadikan sebagai identitas untuk memperkuat persatuan bangsa
Indonesia. Setidaknya kita mampu membuat kerangka Ketupat. Bukan hanya
mengandalkan perayaannya, namun juga falsafah dari ketupat itu mengajak kita
untuk tekun dan jeli dalam mengarungi kehidupan ini. Itu tampak dari cara
membuat kerangka ketupat yang cukup begitu rumit dan sulit pada awalanya, namun
mudah ketika sudah paham dan terbiasa. Begitu pula dengan kehidupan yang kita
jalani ibarat membuat kerangka Ketupat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...