Jumat, 08 Agustus 2014

Melestarikan Budaya Hari Raya Ketupat

Oleh: Junaidi Khab[1]
Jangan pernah mengeliminasi suatu budaya yang tumbuh di lingkungan kita. Karena budaya itu kita akan mampu hidup dan bersaing dengan masyarakat luas serta bisa dikenal oleh publik. Suatu budaya akan menjadi identitas tersendiri yang mampu mengangkat martabat, pangkat, dan jati diri suatu bangsa baik secara lokal mapun nasional.

Ada suatu budaya atau tradisi yang dianggap tak begitu penting, namun kenyataannya secara tidak langsung membangun kehidupan pelakunya. Begitu pula ada budaya yang memang diperhatikan dan dianggap penting karena dampak dan pengaruhnya dirasakan secara langsung oleh penduduk setempat sehingga pemerliharaannya dijaga secara simultan.


Di Indonesia dikenal tradisi Hari Raya Ketupat yang tak semua penduduk pribumi mengerti dan merayakannya. Apalagi masyarakat luar Indonesia. Hari Raya Ketupat sangat fenomenal di Jawa-Madura dan sekitarnya. Namun sayang, di Indonesia tradisi Kupatan (Hari Raya Ketupat) tidak menyeluruh. Budaya Ketupatan yang ada di Indonesia ini kiranya patut kita jaga dan kita budayakan dengan nilai-nilai humanisme untuk membentuk tali persatuan yang erat dan kesalehan dalam berbudaya serta kesalehan hidup bersosial.

Ketupat vs Lontong
Secara sederhana Ketupat dapat diartikan sebuah benda yang dibuat dari pucuk daun siwalan atau kelapa yang diisi dengan beras yang dilembabkan lalu direbus. Tentu seluruh masyarakat Indonesia mengenal Ketupat. Selain sebagai salah satu hari raya besar Islam versi Indonesia, Ketupat juga merupakan seni serta bentuk kreatifitas masyarakat lokal. Begitu pula dengan Lontong. Dua benda tersebut secara eksplesit dan sederhana sama. Namun secara substansi keduanya memiliki nilai dan bentuk yang sangat berbeda.

Ketupat bahannya merupakan pucuk daun siwalan (di Madura mayoritas) dan pucuk kelapa (Jawa). Meskipun Ketupat bahan utamanya terdiri dari pucuk daun siwalan atau kelapa, ada juga sebagian masyarakat yang membuat ketupat dari bahan selain pucuk siwalan atau kelapa. Yaitu dari plastik berukuran seperempat kilo yang diisi dengan beras lalu dimasak, dan hasilnya sudah menjadi Ketupat. Cara demikian mayoritas terjadi di daerah Madura. Subjek utama yang membuat Ketupat berbahan plastik adalah ibu-ibu yang menjual soto, rujak, atau kaldu karena Ketupat lebih simpel dan praktis. Perlu diingat bahwa soto Lamongan (Jawa) dengan soto Madura sangatlah berbeda. Itu ditentukan oleh bahan yang digunakan. Jika soto Jawa menggunakan nasi sebagai bahan utamanya, maka soto Madura bahan utamanya adalah Ketupat.

Lontong banyak beredar di daerah Jawa. Lontong secara sederhana dapat diartikan benda yang terbuat dari daun pisang yang digulung dan diisi beras lalu direbus. Kemudian, jadilah Lontong. Selain dalam rumah dan keluarga, Lontong bisa dinikmati di warung-warung kecil yang ada di daerah Jawa, biasanya ada di warung yang berjualan bakso, rujak cingur, dan lain sebagainya.

Di sinilah titik perbedaan Lontong dengan Ketupat. Kita bisa melihat bahan dan instrumennya untuk bisa membedakan mana Ketupat dan Lontong. Ada hal yang perlu diketahui bahwa di antara tiga jenis bahan pembuatan Ketupat, pucuk siwalan, kelapa, dan plastik. Ketupat akan terasa lebih sempurna jika terbuat dari pucuk daun siwalan. Bukan karena alasan siwalan berada di Madura sebagai mayoritas. Namun aroma pucuk siwalan jika dianyam menjadi Ketupat akan memberikan ciri khas dan aroma ketupat yang lebih wangi, harum, dan lebih sempurna.

Mitos Ketupat
Keistimewaan Ketupat juga bisa kita lihat dari cara pembuatannya. Jika bukan orang yang memiliki keuletan dan ketelatenan, maka tidak akan mau membuat kerangka Ketupat. Karena pembuatan kerangka Ketupat mbulet tak karuan ketika dilihat secara sepintas. Berbeda dengan Lontong yang hanya memilin daun pisanga lalu diisi beras sudah setengah jadi Lontong.

Bagi mayoritas masyarakat pedalaman Madura, mampu membuat kerangka Ketupat menjadi sebuah kewajiban tersendiri. Ketika masih anak-anak sudah mulai diajari membuat kerangka Ketupat dengan model Ketupat yang paling mudah dan fenomenal seperti yang sering kita lihat dan temui di iklan-iklan dan media. Antusiasme membuat kerangka Ketupat mendarah daging bagi pemuda dan pemudi masyarakat pedalaman Madura.

Itu semua tak lain karena ada suatu ancaman yang secara keyakinan patut dipercaya dan secara nalar sangat lucu bahkan sangat vulgar serta tidak mungkin. Dari cerita mitos turun-temurun masyarakat pedalaman Madura memercayai bahwa jika seseorang tidak bisa membuat kerangka Ketupat kelak akan disuruh memikul penis Kimah. Menurut cerita, Kimah tak lain merupakan raksasa dengan ukuran penis sangat besar dan orang-orang tak ada yang mampu untuk memikulnya, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga mayoritas pemuda dan pemudi pedalaman Madura memiliki kemampuan dan talenta untuk membuat kerangka Ketupat, bahkan dengan berbagai macam modeldan versi. Namun, ada pula yang tak mau menghiraukan mitos tersebut dan membiarkan dirinya tetap tak mampu membuat kerangka Ketupat yang menjadi tradisi dan budaa turun-temurun itu.

Maka dari itu, keunikan Ketupat sebagai tradisi tahunan yang dikenal dengan Hari Raya Ketupat perlu kita jadikan sebagai identitas untuk memperkuat persatuan bangsa Indonesia. Setidaknya kita mampu membuat kerangka Ketupat. Bukan hanya mengandalkan perayaannya, namun juga falsafah dari ketupat itu mengajak kita untuk tekun dan jeli dalam mengarungi kehidupan ini. Itu tampak dari cara membuat kerangka ketupat yang cukup begitu rumit dan sulit pada awalanya, namun mudah ketika sudah paham dan terbiasa. Begitu pula dengan kehidupan yang kita jalani ibarat membuat kerangka Ketupat.


[1] Tulisan ini didiskusikan di Indonesia Belajar edisi Jumat, 8 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...