Oleh: Davida
Ruston Khusen[1]
Berawal
dari sebuah percakapan Live Chat
dengan seorang teman yang sedang menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Kairo,
Mesir. Dia menanyakan kepada saya secara maraton beberapa pertanyaan mengenai perseteruan
Israel-Hamas, bagaimana respon muslim di Indonesia terhadap agresi militer
Israel?, Yahudi dan penumpasan sipil di Gaza?, cara macam apa yang dapat
menghentikan mereka menurutmu?, ini kejahatan agama sudah harusnya dihentikan
ungkapnya di akhir pertanyaan.
Cukup lama
saya berfikir sembari membaca berulang-ulang pertanyaan demi pertanyaan
tersebut. Pernyataan di bagian akhir membuat saya semakin gamang untuk
menjawab, benarkah ini kejahatan agama?, bukankah Zionisme itu menganut paham
sekuler, bukankah peperangan ini perebutan teritorial, bukannya umat Yahudi
(selanjutnya di baca Judaisme dalam bahasa Ibrani) juga banyak yang menentang
terhadap praktek Zionis ini.
Dari
keraguan itu saya terus mencari tahu genealogi Zionisme dan beberapa latar
belakang bangsa Yahudi yang menghuni Israel. Sampai pada sebuah buku pencarian
itu terhentikan, ya The Question Of
Palestine (Pertanyaan Palestine) karangan Edward Said. Dari buku ini
saya sedikit mendapat jawaban tentang kisah kelahiran Zion atau Zionisme yang
sejatinya mendapatkan pertentangan yang luar biasa di kalangan Judaism.
Zionisme sendiri sejatinya merupakan salah satu anak kandung dari gerakan antisemit
di Eropa. Yang dimotori oleh Theodor Herzl (1860-1904),
wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, pada awalnya adalah pemeluk
teguh asimilasi, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa modern. Sampai
suatu ketika ia merasa Eropa sejatinya menampik cintanya (pertengahan
abad 19).
Herzl meyakini,
sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, bahwa satu-satunya jalan
menuju emansipasi buat Yahudi, pembebasan dari diskrimnasi dan
keterkungkungannya dalam kehidupan ghetto
(distrik-distrik Yahudi), adalah dengan mengadopsi semangat Pencerahan dan the
idea of progress yang dilantunkan oleh kalangan modernitas.
Dalam
sudut pandang Herzl, kaum Yahudi menjadi target serangan antisemit karena hidup
dengan gaya diaspora tanpa negara. Herzl lantas menawarkan ide negara Yahudi,
dengan model Negara Swiss yang sekuler. Menurut Herzl, Negara Yahudi dibangun
di tanah Zion (Israel-Palestina).
Bangsa
Yahudi yang terdiri dari kaum Reform dan Orthodoks sama-sama menolak Zionisme
ala Herzl ini. Kaum Reform menolak zionisme karena bagi mereka, kebangsaan
yahudi hanyalah konstruksi sejarah, yang tak permanen dan bisa ditafsir ulang.
Kaum Reform melihat ke-yahudi-an tak lagi sebagai bangsa, melainkan individu-individu yang hidup
dalam keperbedaan daerah namun memiliki primordialisme yang kuat. Mereka
memaknai Zion tak lagi sebagai tanah Israel di mana mereka tempatkan sebagai
tanah air kebangsaan. Namun lebih daripada itu, Kota Berlin mereka anggap sama
dengan Yerussalem baru bagi mereka. Sejalan dengan prinsip patriotisme,
loyalitas kaum Reform lebih kepada tanah airnya di Eropa. Selain itu, kaum
Reform memahami Messianisme Yahudi tak
lagi personal, tetapi lebih sebagai zeitgeist (spirit zaman) yg impersonal.
Sejalan
dengan gagasan kaum Reform, kaum Yahudi orthodox, yang terbagi menjadi neo-orthodox dan ultra-ortodox
sama-sama menolak Zionisme ala Herzl. Kaum
yahudi Orthodox sepakat dengan zionis dalam arti Bangsa Yahudi, akan tetapi bukan
sebagai Nasionalisme State. Kebangsaan Yahudi bagi kaum Orthodox adalah kebangsaan berbasis ketaatan terhadap
Taurat (disebut Torah dalam bahasa Ibrani) dan hukum agama.
Dalam keyakinan
orthodox, migrasi ke tanah Israel hanya absah bila dipimpin sang Messiah yang diutus
Tuhan. Dan kapan Messiah datang, hanya tuhan yang tahu dan bangsa Yahudi hanya
bisa menunggu di tanah eksil mereka. Yahudi ortodox menganggap langkah yang
ditempuh oleh Herzl ini jelas menyalahi takdir dan bagian dari bid’ah karena
telah melanggar janji yang tertuang dalam talmud
(catatan diskusi para rabi tentang hukum, etika, kebiasaan dan sejarah
Yahudi). Karena pada dasarnya terdapat tiga janji yang tertuang dalam talmud dan menjadi pegangan kalangan
orthodox, janji itu di antaranya berisi tentang larangan eksodus bangsa Yahudi
dari eksilnya menuju tanah zion, larangan terhadap pemberontakan di tanah
diaspora, dan jaminan Tuhan atas kaum non-yahudi yang tak akan menyakiti bangsa
Yahudi secara berlebihan.
Dalam prespektif lain,
di dalam buku yang berjudul “Anak-anak Ibrahim” karangan Meski Rabi March
Schneir saya juga menemukan jawaban yang sepadan, disebutkan bahwa meski
menolak Zionisme, kaum Yahudi Orthodox tetap melakukan migrasi ke Israel.
Tentu, langkah ini dilakukan oleh sebagian kecil dari mereka yang meyakini doa
“be shana haba'a le yerushalaim
(tahun depan ke Yerusalem) sebagai sebuah cita-cita religius. Mereka yang
menerima dan mau bermigrasi mengnggap Israel bukan sebagai Negara Yahudi yang kosher (halal) menurut halakhah.
Negara Israel tetap diterima, akan tetapi dianggap sebagai negara biasa sbagaimana dalam diaspora. Dan mereka pun tetap menjadi eksil di tanah Israel.
Dengan paparan di
atas, saya mencoba mencari kebenaran atas apa yang terjadi dalam pergulatan
sejarah geo-politik. Betapa pro dan kontra di kalangan Yahudi terhadap Zionisme
ternyata berlangsung dengan tajam dan tak jarang saling menafikan satu sama
lain. Bahkan di kalangan internal kubu Zionis, pertentangannya juga sangat
keras. Setidaknya itu terjadi sampai akhir 1940-an, ketika akhirnya negara
Israel berdiri pada 1948.
Setidaknya masih
banyak hal yang terlewatkan dalam tulisan ini mengenai pelbagai dialektika yang
terbangun untuk mengenal lebih mendalam tentang proses negara zionis terbentuk.
Dan ini juga yang menjadi jawaban saya atas pertanyaan simpel seorang teman
tersebut. Yang mengingatkan kita agar tak terlalu mudah terkooptasi dengan
sudut pandang kebutaan dan klaim kebenaran akan suatu penistaan tanpa
mengetahui genealogi sesuatu itu terjadi.Wallahu A’lam.
[1] Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syariah,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Periode 2013-2014. Tulisan ini didiskusikan pada
Jumat, 1 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...