Oleh:
Junaidi Khab[1]
Kita semua,
sebagai bangsa Indonesia, sudah tentu tahu tentang karakteristik presiden yang
unik, dan lebih spesifik lagi tentang bangsa kita, mulai masa reformasi hingga
modern saat ini. Budaya nasionalisme seorang presiden selalu ditunjukkan dengan
memakai songkok hitam sebagai jati diri bangsa Indonesia. Semenjak masa
pemerintahan presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, mereka semua
adalah pemimpin yang selalu memakai songkok hitam, kecuali presiden Megawati
Soekarno Putri, karena memang kodratnya sebagai seorang perempuan.
Ide
nasionalisme yang direpresentasikan sebagai karakteristik bangsa Indonesia dari
songkok hitam, itu merupakan gagasan Soekarno yang tumbuh sejak dirinya masih
kecil. Sebagai seorang pesolek dan intelek pada masanya, dia memandang bahwa
songkok hitam merupakan pakaian sehari-hari bangsa Indonesia. Hal ini yang
menjadi gagasan andalan untuk mengenalkan jati diri bangsa Indonesia dalam
kancah nasional dan internasional. Faktanya, songkok hitam hingga saat ini,
memiliki ciri tersendiri sebagai karakter bangsa Indonesia. Ini jangan sampai
dilupakan sebagai jati diri bangsa.
Sudah banyak
yang membahas bagaimana peran Soekarno sebagai trend setter mode pria
Indonesia. Salah satunya adalah pemakaian peci (songkok atau kopiah) yang
hingga kini menjadi identitas nasional, dan bahkan internasional. Pada tahun
1920-an, kaum terpelajar malu memakai peci. Pada masa itu, kata Bung Karno,
peci biasa dipakai oleh tukang becak dan rakyat jelata. Akibatnya kaum
intelektual, membiarkan kepalanya terbuka. Bagi kaum intelektual, membiarkan
kepala tidak memakai apa-apa adalah hal modern. Namun, bagi Bung Karno, ini
adalah cara kaum terpelajar mengejek kelas yang lebih rendah. Ini sinkron
dengan kalimat Soekarno dalam autobiografinya yang mengatakan bahwa memakai
tutup kepala merupakan pakaian yang sesungguhnya dari orang Indonesia
(Walentina Waluyanti de Jonge, 2013:186-187).
Begitu pula
setelah Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juni 1927.
Sebelum mengeluarkan imbauannya tentang menggunakan peci, Bung Karno mengatakan
bahwa kita tidak boleh melupakan jati diri, demi tujuan kita, bahwa para
pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada di atas rakyat. Sehingga peserta
yang menghadiri rapat PNI pada tahun 1929 menggunakan peci. Jauh sebelum itu,
sesungguhnya pada tahun 1920-an peci sudah menjadi identitas nasional bangsa
Indonesia. Tak heran bila orang yang bersongkok hitam identik dengan bangsa
Indonesia (Malayu).
Karakteristik
Internasional
Budaya memakai
songkok hitam oleh bangsa dan pemimpin besar Indonesia, sudah menggelegar
menjadi ciri khas bangsa Indonesia di tataran nasional. Bukan hanya sebagai
identitas bangsa Indonesia secara nasional, bahkan budaya memakai songkok hitam
menjadi karakteristik dalam pergaulan internasional bangsa Indonesia sejak
zaman dulu. Tak ada bangsa yang memakai songkok hitam kecuali dari kalangan
Melayu (Indonesia), sebelum Malaysia memisahkan diri.
Salim Said
(2014:157) seorang wartawan sekaligus pemerhati politik, dalam bukunya Dari
Gestapu ke Reformasi mengatakan bahwa pada bulan November 1969 dirinya
gugup berkepanjangan. Sebelum saat itu, dia belum pernah bepergian menggunakan
paspor, belum pernah naik pesawat jet, juga belum pernah bepergian lengkap
(setelan jas, dasi, dan kopiah). Sebagai wartawan, dia sudah sering terbang,
bahkan pernah dengan helikopter. Tapi, berpakaian lengkap dalam sebuah
perjalanan, baru hari itu dia alami. Berpakaian lengkap dengan kopiah adalah
semacam aturan tak tertulis pada masa itu bagi mereka yang dikirim ke luar
negeri. Maksudnya, agar kita dikenal sebagai bangsa Indonesia.
Begitulah
kiranya peran songkok hitam dalam kancah internasional seperti yang dirasakan
oleh Salim Said saat akan berangkat ke Amerika. Namun, seiring perubahan zaman,
rasa nasionalisme yang terpasang di atas kepala itu lambat laun sudah mulai
memudar. Hal tersebut bisa kita lihat dari kalangan pemuda yang sudah tren
dengan model rambut kebarat-baratan pada saat ini.
Pada masa
pemerintahan Orde Lama (Orla), budaya barat dilarang keras masuk ke Indonesia.
Itu terbukti pada tahun 1964 ada perintah presiden Soekarno kepada polisi untuk
merazia dan mencukur model celana atau rambut yang meniru gaya group band The
Beatles dari Barat.
Hakikatnya,
songkok hitam memiliki dua model terkenal yang sering digunakan oleh bangsa
Indonesia. Yaitu model songkok hitam mancung (banyak ditemui di Madura dan
dipakai oleh presiden RI) dan model songkok hitam pesek (Jawa), ada yang dengan
bordiran berhias lilitan benang indah di pinggirnya. Namun, secara umum
masyarakat dalam tataran nasional dan internasional, termasuk pemimpin besar Indonesia,
seperti presiden Soekarno, menggunakan model songkok hitam mancung yang banyak
ditemukan dalam masyarakat Madura.
Sehingga tak
heran bila muncul fenomena songkok merk Presiden di pasaran saat ini. Alasan
utama memberi merk Presiden, tak lain karena songkok tersebut tak jauh berbeda
dengan songkok hitam yang sering dipakai oleh pembesar negara dan presiden yang
memiliki model mancung dan bagus. Dengan demikian, cukup mudah untuk mengenal
bangsa Indonesia, cukup dengan songkok hitam saja.
Meskipun
songkok hitam memiliki dua model yang terkenal di tanah air Indonesia, kita
harus tetap percaya diri untuk menampakkan identitas kebangsaan melalui songkok
hitam di negeri ini, bahkan dalam kancah dunia (inter)-nasional. Karena songkok
hitam dari generasi ke generasi, menjadi ciri khas atau karakteristik bangsa
Indonesia yang sangat nyentrik. Kita harus memegang teguh apa yang diucapkan
oleh bapak revolusi kita, Soekarno, agar tetap menjaga jati diri dan tidak
mudah terpengaruh oleh bangsa dan budaya asing, supaya kita tidak mudah dijajah
oleh mereka. Songkok hitam sudah terbukti memiliki kekuatan eksotik sebagai
identitas dan jati diri bangsa Indonesia dimanapun kita berada yang patut kita
pertahankan dan abadikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...