Jumat, 25 Juli 2014

Mengabadikan Songkok Hitam Untuk Indonesia

Oleh: Junaidi Khab[1]
Kita semua, sebagai bangsa Indonesia, sudah tentu tahu tentang karakteristik presiden yang unik, dan lebih spesifik lagi tentang bangsa kita, mulai masa reformasi hingga modern saat ini. Budaya nasionalisme seorang presiden selalu ditunjukkan dengan memakai songkok hitam sebagai jati diri bangsa Indonesia. Semenjak masa pemerintahan presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, mereka semua adalah pemimpin yang selalu memakai songkok hitam, kecuali presiden Megawati Soekarno Putri, karena memang kodratnya sebagai seorang perempuan.


Ide nasionalisme yang direpresentasikan sebagai karakteristik bangsa Indonesia dari songkok hitam, itu merupakan gagasan Soekarno yang tumbuh sejak dirinya masih kecil. Sebagai seorang pesolek dan intelek pada masanya, dia memandang bahwa songkok hitam merupakan pakaian sehari-hari bangsa Indonesia. Hal ini yang menjadi gagasan andalan untuk mengenalkan jati diri bangsa Indonesia dalam kancah nasional dan internasional. Faktanya, songkok hitam hingga saat ini, memiliki ciri tersendiri sebagai karakter bangsa Indonesia. Ini jangan sampai dilupakan sebagai jati diri bangsa.

Sudah banyak yang membahas bagaimana peran Soekarno sebagai trend setter mode pria Indonesia. Salah satunya adalah pemakaian peci (songkok atau kopiah) yang hingga kini menjadi identitas nasional, dan bahkan internasional. Pada tahun 1920-an, kaum terpelajar malu memakai peci. Pada masa itu, kata Bung Karno, peci biasa dipakai oleh tukang becak dan rakyat jelata. Akibatnya kaum intelektual, membiarkan kepalanya terbuka. Bagi kaum intelektual, membiarkan kepala tidak memakai apa-apa adalah hal modern. Namun, bagi Bung Karno, ini adalah cara kaum terpelajar mengejek kelas yang lebih rendah. Ini sinkron dengan kalimat Soekarno dalam autobiografinya yang mengatakan bahwa memakai tutup kepala merupakan pakaian yang sesungguhnya dari orang Indonesia (Walentina Waluyanti de Jonge, 2013:186-187).

Begitu pula setelah Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juni 1927. Sebelum mengeluarkan imbauannya tentang menggunakan peci, Bung Karno mengatakan bahwa kita tidak boleh melupakan jati diri, demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada di atas rakyat. Sehingga peserta yang menghadiri rapat PNI pada tahun 1929 menggunakan peci. Jauh sebelum itu, sesungguhnya pada tahun 1920-an peci sudah menjadi identitas nasional bangsa Indonesia. Tak heran bila orang yang bersongkok hitam identik dengan bangsa Indonesia (Malayu).

Karakteristik Internasional
Budaya memakai songkok hitam oleh bangsa dan pemimpin besar Indonesia, sudah menggelegar menjadi ciri khas bangsa Indonesia di tataran nasional. Bukan hanya sebagai identitas bangsa Indonesia secara nasional, bahkan budaya memakai songkok hitam menjadi karakteristik dalam pergaulan internasional bangsa Indonesia sejak zaman dulu. Tak ada bangsa yang memakai songkok hitam kecuali dari kalangan Melayu (Indonesia), sebelum Malaysia memisahkan diri.

Salim Said (2014:157) seorang wartawan sekaligus pemerhati politik, dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi mengatakan bahwa pada bulan November 1969 dirinya gugup berkepanjangan. Sebelum saat itu, dia belum pernah bepergian menggunakan paspor, belum pernah naik pesawat jet, juga belum pernah bepergian lengkap (setelan jas, dasi, dan kopiah). Sebagai wartawan, dia sudah sering terbang, bahkan pernah dengan helikopter. Tapi, berpakaian lengkap dalam sebuah perjalanan, baru hari itu dia alami. Berpakaian lengkap dengan kopiah adalah semacam aturan tak tertulis pada masa itu bagi mereka yang dikirim ke luar negeri. Maksudnya, agar kita dikenal sebagai bangsa Indonesia.

Begitulah kiranya peran songkok hitam dalam kancah internasional seperti yang dirasakan oleh Salim Said saat akan berangkat ke Amerika. Namun, seiring perubahan zaman, rasa nasionalisme yang terpasang di atas kepala itu lambat laun sudah mulai memudar. Hal tersebut bisa kita lihat dari kalangan pemuda yang sudah tren dengan model rambut kebarat-baratan pada saat ini.

Pada masa pemerintahan Orde Lama (Orla), budaya barat dilarang keras masuk ke Indonesia. Itu terbukti pada tahun 1964 ada perintah presiden Soekarno kepada polisi untuk merazia dan mencukur model celana atau rambut yang meniru gaya group band The Beatles dari Barat.

Hakikatnya, songkok hitam memiliki dua model terkenal yang sering digunakan oleh bangsa Indonesia. Yaitu model songkok hitam mancung (banyak ditemui di Madura dan dipakai oleh presiden RI) dan model songkok hitam pesek (Jawa), ada yang dengan bordiran berhias lilitan benang indah di pinggirnya. Namun, secara umum masyarakat dalam tataran nasional dan internasional, termasuk pemimpin besar Indonesia, seperti presiden Soekarno, menggunakan model songkok hitam mancung yang banyak ditemukan dalam masyarakat Madura.

Sehingga tak heran bila muncul fenomena songkok merk Presiden di pasaran saat ini. Alasan utama memberi merk Presiden, tak lain karena songkok tersebut tak jauh berbeda dengan songkok hitam yang sering dipakai oleh pembesar negara dan presiden yang memiliki model mancung dan bagus. Dengan demikian, cukup mudah untuk mengenal bangsa Indonesia, cukup dengan songkok hitam saja.

Meskipun songkok hitam memiliki dua model yang terkenal di tanah air Indonesia, kita harus tetap percaya diri untuk menampakkan identitas kebangsaan melalui songkok hitam di negeri ini, bahkan dalam kancah dunia (inter)-nasional. Karena songkok hitam dari generasi ke generasi, menjadi ciri khas atau karakteristik bangsa Indonesia yang sangat nyentrik. Kita harus memegang teguh apa yang diucapkan oleh bapak revolusi kita, Soekarno, agar tetap menjaga jati diri dan tidak mudah terpengaruh oleh bangsa dan budaya asing, supaya kita tidak mudah dijajah oleh mereka. Songkok hitam sudah terbukti memiliki kekuatan eksotik sebagai identitas dan jati diri bangsa Indonesia dimanapun kita berada yang patut kita pertahankan dan abadikan.


[1] Tulisan ini didiskusikan di IBI pada Jumat, 25 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...