Oleh: Libasut Taqwa[1]
Terlalu banyak awalan
yang saya kira untuk memulai guratan singkat ini. Tapi semoga pilihan berikut
cukup sesuai dengan apa yang saya, kita, dan semua orang rasakan kini.
Pada Mei 1913, seorang
pembuat film asal Rusia, Noah Sokolovsky tiba di Palestina. Ia berencana
membuat sebuah film tentang pemukiman Yahudi di Palestina. Selama mengelilingi
negara tersebut antara Mei dan Juni, selesailah sebuah film yang diberi judul The Life of The Jews in Palestine. Sebuah
film rumit, bisu, tanpa dubbing
suara, membingungkan, dan juga menjadi awal propaganda perang besar.
Saya belum bisa pergi ke
Prancis untuk sekedar menonton negatif filmnya yang tersisa ditumpukan arsip
film nasional Prancis, tapi menurut beberapa bacaan, saya jadi tahu bahwa
mungkin Sokolovsky lah orang yang paling bersalah akan konflik kemanusiaan
paling satir sepanjang sejarah kemanusiaan Israel-Palestina. Film ini jadi
tontonan wajib dalam tiap pertemuan tahunan Yahudi di berbagai belahan dunia. Di
awal-awal tahun setelah diterbitkan, Vienna, Rusia, Polandia, dan beberapa
negara lainnya dicekoki hingga menjorok jauh ke alam kebengisan.
Arthur Ruppin, salah satu
peserta kongres Zionis di Vienna dengan pidato yang cukup baik, setelah
menonton film itu secara langsung menyatakan: “...Yahudi seharusnya berusaha untuk
menjadi mayoritas di Palestina. Jika Orang Yahudi menginginkan kultur mereka,
bahasa mereka, sekolah-sekolah mereka, dan akhirnya angkatan bersenjata mereka
menjadi dominan, tak ada cara lain, anda harus melihat film Sokolovsky...”.
Kita sadar, kini ucapan, maaf, “kotor” itu terwujud.
Terlalu banyak alasan
mengapa kita harus melirik kisah miris Palestina. Saat gencarnya
pembangunan-pembangunan “mustahil” megapolitan negara Arab kebanyakan, kita
masih harus melihat anak-anak dan pemuda dihantam jadi martir saat usia bermain
mereka. Saat para pangeran Arab dan negeri muslim lainnya menikmati gedung
pencakar langit serta hebohnya pembangunan di sekitar Ka’bah!, kita dipaksa
melongok bocah lusuh yang belum tahu arti perang melempar Tank Israel dengan
semangatnya di jalur Gaza (tak usah ditulis hancurnya masjid, sekolah, dan
rumah). Ah, betapa mahal harga sebuah perdamaian.!
Pada posisi ini,
seringkali orang merasa perlu lepas dari sejarah, telanjang kembali ke pulau
imajiner tak bercacat, karena peradaban bisa menakutkan. Mungkin Freud benar,
bahwa peradaban dibangun oleh manusia pertama yang melontarkan kata penghinaan.
Pada 1948, Yahudi dengan titah Inggris telah melakukan itu.
Orang Islam kini remuk,
entah untuk berapa lama lagi ke depan. Do’a dan sumbangan moril-materiil kita
seakan sia-sia saat rudal menghunjam dada Palestina. Kita tak “sanggup apa-apa”.
Palestina mungkin telah terlalu lelah untuk mengerti apa arti mati. Saya ingat,
Goenawan Mohammad pernah menulis, “di masa lalu di Jerman ada sebuah
nyanyian untuk anak-anak,
Kopi, kopi,
Jangan minum banyak kopi,
Bukan untuk anak-anak,
ini minuman Turki
Bikin syaraf lemah, bikin
sakit dan pucat pasi.
Jangan jadi muslim, kamu
nanti tak sanggup apa-apa!”
----------------------
Persepsi yang tak ramah
ini tak terbatas pada anak-anak, bahkan lebih luas lagi. Muslim, yang dalam
Bahasa Jerman di sebut “Muselman” adalah orang-orang yang tenggelam, massa yang
tanpa nama. Menunjukkan citra Islam yang redup “manusia yang tak berguna
lagi, mirip sampah-orang-orang yang terkungkung dan terkekang hukum agama,
orang-orang yang sebenarnya terasing dari hidup yang bergerak dan berubah
terus.”
Palestina adalah
pengalaman pahit, yang terus berharap bayangan aura Tuhan. Tapi Tuhan tak pergi,
kita tahu itu!. Ia hanya sekedar menampar pipi kiri kita agar pipi kanan tahu,
ada hal yang bisa diperbuat selain berdoa dan mengutuk, Akan selalu saja ada
keajaiban dari sekat-sekat peluru di bilik rumah Palestina. Akan ada
cerita-cerita kemenangan getir Israel di kemudian hari disisipi jiwa
kepahlawanan para martir, para Syuhada, para ksatria tanah suci. Kita memang
mengakui, Palestina kini, sebagaimana ungkap Mahmoud Darwish, “…bepergian
seperti orang lain, tetapi tak tahu kemana harus pulang (tanah dan tempat
tinggal telah direbut Israel),”
Tapi besok, atau kapan pun
itu, “…we will not go down, in Gaza tonight...”
prayforGaza,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...