Jumat, 18 Juli 2014

Sekilas, Praduga Muassal Martil Israel ke Palestina


Terlalu banyak awalan yang saya kira untuk memulai guratan singkat ini. Tapi semoga pilihan berikut cukup sesuai dengan apa yang saya, kita, dan semua orang rasakan kini.

Pada Mei 1913, seorang pembuat film asal Rusia, Noah Sokolovsky tiba di Palestina. Ia berencana membuat sebuah film tentang pemukiman Yahudi di Palestina. Selama mengelilingi negara tersebut antara Mei dan Juni, selesailah sebuah film yang diberi judul The Life of The Jews in Palestine. Sebuah film rumit, bisu, tanpa dubbing suara, membingungkan, dan juga menjadi awal propaganda perang besar.


Saya belum bisa pergi ke Prancis untuk sekedar menonton negatif filmnya yang tersisa ditumpukan arsip film nasional Prancis, tapi menurut beberapa bacaan, saya jadi tahu bahwa mungkin Sokolovsky lah orang yang paling bersalah akan konflik kemanusiaan paling satir sepanjang sejarah kemanusiaan Israel-Palestina. Film ini jadi tontonan wajib dalam tiap pertemuan tahunan Yahudi di berbagai belahan dunia. Di awal-awal tahun setelah diterbitkan, Vienna, Rusia, Polandia, dan beberapa negara lainnya dicekoki hingga menjorok jauh ke alam kebengisan.

Arthur Ruppin, salah satu peserta kongres Zionis di Vienna dengan pidato yang cukup baik, setelah menonton film itu secara langsung menyatakan:  “...Yahudi seharusnya berusaha untuk menjadi mayoritas di Palestina. Jika Orang Yahudi menginginkan kultur mereka, bahasa mereka, sekolah-sekolah mereka, dan akhirnya angkatan bersenjata mereka menjadi dominan, tak ada cara lain, anda harus melihat film Sokolovsky...”. Kita sadar, kini ucapan, maaf, “kotor” itu terwujud.

Terlalu banyak alasan mengapa kita harus melirik kisah miris Palestina. Saat gencarnya pembangunan-pembangunan “mustahil” megapolitan negara Arab kebanyakan, kita masih harus melihat anak-anak dan pemuda dihantam jadi martir saat usia bermain mereka. Saat para pangeran Arab dan negeri muslim lainnya menikmati gedung pencakar langit serta hebohnya pembangunan di sekitar Ka’bah!, kita dipaksa melongok bocah lusuh yang belum tahu arti perang melempar Tank Israel dengan semangatnya di jalur Gaza (tak usah ditulis hancurnya masjid, sekolah, dan rumah). Ah, betapa mahal harga sebuah perdamaian.!

Pada posisi ini, seringkali orang merasa perlu lepas dari sejarah, telanjang kembali ke pulau imajiner tak bercacat, karena peradaban bisa menakutkan. Mungkin Freud benar, bahwa peradaban dibangun oleh manusia pertama yang melontarkan kata penghinaan. Pada 1948, Yahudi dengan titah Inggris telah melakukan itu.

Orang Islam kini remuk, entah untuk berapa lama lagi ke depan. Do’a dan sumbangan moril-materiil kita seakan sia-sia saat rudal menghunjam dada Palestina. Kita tak “sanggup apa-apa”. Palestina mungkin telah terlalu lelah untuk mengerti apa arti mati. Saya ingat, Goenawan Mohammad pernah menulis, “di masa lalu di Jerman ada sebuah nyanyian untuk anak-anak,
Kopi, kopi,
Jangan minum banyak kopi,
Bukan untuk anak-anak, ini minuman Turki
Bikin syaraf lemah, bikin sakit dan pucat pasi.
Jangan jadi muslim, kamu nanti tak sanggup apa-apa!”
----------------------

Persepsi yang tak ramah ini tak terbatas pada anak-anak, bahkan lebih luas lagi. Muslim, yang dalam Bahasa Jerman di sebut “Muselman” adalah orang-orang yang tenggelam, massa yang tanpa nama. Menunjukkan citra Islam yang redup “manusia yang tak berguna lagi, mirip sampah-orang-orang yang terkungkung dan terkekang hukum agama, orang-orang yang sebenarnya terasing dari hidup yang bergerak dan berubah terus.”

Palestina adalah pengalaman pahit, yang terus berharap bayangan aura Tuhan. Tapi Tuhan tak pergi, kita tahu itu!. Ia hanya sekedar menampar pipi kiri kita agar pipi kanan tahu, ada hal yang bisa diperbuat selain berdoa dan mengutuk, Akan selalu saja ada keajaiban dari sekat-sekat peluru di bilik rumah Palestina. Akan ada cerita-cerita kemenangan getir Israel di kemudian hari disisipi jiwa kepahlawanan para martir, para Syuhada, para ksatria tanah suci. Kita memang mengakui, Palestina kini, sebagaimana ungkap Mahmoud Darwish, “…bepergian seperti orang lain, tetapi tak tahu kemana harus pulang (tanah dan tempat tinggal telah direbut Israel),”

Tapi besok, atau kapan pun itu, “…we will not go down, in Gaza tonight...”

prayforGaza,


[1] Pegiat diskusi dan pembelajar jalanan. Tulisan ini didiskusikan di IBI pada Jumat, 18 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...