Oleh:
Junaidi Khab[1]
Perhelatan
panggung politik dan Pilpres 2014 semakin hari semakin memanas. Ada banyak
kampanye yang bertebaran di berbagai media, baik media massa maupun elektronik.
Dunia nasional sudah penuh dengan warna-warni politik Capres-Cawapres, baik
koran, televisi, facebook, twitter, tiang-tiang di jalan, tembok-tembok, dan
pohon-pohon sudah tertempel sosok tokoh yang mulai mengenalkan dirinya,
utamanya pengenalan sisi baiknya.
Media massa
sudah ada yang dengan jelas dan terang-terangan mendukung salah satu Capres
untuk menduduki kursi kepresidenan yang sudah dua periode dipegang kendali oleh
Susilo Bambang Yudhoyono. Kini kursi itu harus diganti pemangku sebagaimana
peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, bahwa untuk era reformasi
jabatan kursi kepresidenan tidak boleh lebih dari dua periode masa jabatan.
Sebenarnya
bukan hanya koran dan televisi yang melakukan perang dingin pra-Pilpres 2014,
namun ada banyak media lainnya yang juga ikut andil dalam peperangan dingin
ini. Beberapa penerbit kelas ikan teri pun ikut andil mengompori salah satu
Capres untuk menjadi pelopor pemenangannya dengan menerbitkan buku yang hanya
mensucikan satu Capres saja. Seakan buku untuk saat ini sudah main lirik mata
dan menjaga jarak di antara para pembaca.
Namun tak
kalah dinginnya dengan media massa yang belakangan ini juga dengan
terang-terangan melakukan perang super dingin untuk membekukan salah satu
Capres (black campaign) dengan kemunculan tabloid Obor Rakyat.
Penerbitan tersebut bukan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, namun
untuk menyulut opini publik agar memilih salah satu tokoh Capres dan
mengkambinghitamkan Capres yang satunya. Selayaknya sebagai media, Obor Rakyat
terbit untuk memberikan pencerahan, bukan untuk meracuni masyarakat secara
luas.
Untungnya
untuk beberapa penerbitan buku tidak terjadi perang super dingin seperti yang
dilakukan oleh Obor Rakyat. Ada beberapa buku yang bermunculan pada panggung
pra-Pilpres yang akan dilangsungkan pada 09 Juli 2014 nanti. Salah satunya buku
yang berjudul 10 Alasan Jokowi Pantas Jadi Presiden, yang ditulis oleh Ira
Puspito Rini, seorang mantan wartawan dan diterbitkan oleh Indoliterasi pada
tahun 2013. Sudah sangat jelas, melalui bahasanya yang dingin, buku ini
mendukung Capres Jokowi dalam perhelatan panggung politik.
Ada pula buku
yang secara dingin mensucikan sosok Prabowo Subianto, seakan tak ada celah
sedikit pun dari ulasan dan narasi buku tersebut mengenai sosok yang satu ini.
Buku tersebut berjudul Kenapa Prabowo Subianto? 7 Alasan dia Cocok Jadi Presiden,
yang ditulis oleh Audrey G.D. Tangkudung dan diterbitkan oleh PT. Era Media
Global pada tahun 2013 tahun lalu. Dan masih banyak buku lainnya yang hanya
dicetak untuk kepentingan politik.
Dua buku ini
secara tidak langsung menghadapkan dua mata pedang secara gesit untuk
memenangkan perhelatan di laga Pilpres. Jika untuk Capres Jokowi terdapat
sepuluh alasan dirinya layak menjadi presiden, namun untuk Capres Prabowo hanya
terdapat tujuh kelayakan. Tapi sebenarnya kata penulis dalam narasinya
menyebutkan, bukan hanya tujuh alasan saja, namun masih banyak. Dia mengambil
tujuh alasan untuk kelayakan Prabowo menjadi Presiden, karena angka tujuh
merupakan angka keberuntungan. Jika dibandingkan, buku yang pro-Jokowi
merupakan buku ulasan yang sedikit rasional, tapi bersumber dari internet.
Sedangkan untuk buku yang pro-Prabowo tak banyak yang mistis dengan selalu
mengandalkan pada hal-hal yang di luara nalar dan logika manusia.
Kepentingan
Politik
Buku sebagai
jendela dunia benar-benar sangat membantu masa depan kehidupan umat manusia
untuk menatap masa depannya. Ada banyak ilmu pengetahuan dan berbagai
pengalaman yang tercatat dalam tiap lembaran kertasnya. Namun, ketika buku
sudah menjadi kepentingan politik, jika manusia tidak berhati-hati, ia akan
menjadi racun yang bisa mematikan pola pikir dan daya kritis manusia itu
sendiri.
Kehadiran buku
Robert E. Slavin dkk. yang berjudul Membaca Membuka Pintu Dunia
Program “Success for All”: Model yang Jelas dan Kuat untuk Meningkatkan
Kemampuan Membaca Anak Sekolah Dasar terbitan Pustaka Pelajar 2014 tidak
berfungsi lagi. Pada saat menjelang Pilpres, buku bukan lagi menjadi pembuka
pintu dunia untuk dibaca, namun hanya sebatas pembuka pintu sosok tokoh yang
memiliki kepentingan pribadi yang di dalamnya banyak mengandung berbagai macam
racun.
Memang tidak
ada buku yang menjelekkan salah satu pasangan Capres secara langsung, namun
bahasanya terlihat begitu congkak dengan selalu menganggap satu Capres yang
paling baik dan unggul. Padahal mereka memiliki cacat dan kelebihan yang
sepatutnya dikenal dan diketahui oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat
tidak akan tertipu dengan penulisan buku tentang Capres yang hanya
mengedapankan prestasi dan keunggulannya saja. Hal tersebut karena dipicu oleh
adanya kepentingan politik sehingga muncul perang dingin dalam tiap lembaran
banyak buku, selain memang untuk mencari omset dari penjualan buku tersebut.
Padahal jika kita baca, buku-buku itu bisa dicari di internet dengan keabsahan
dan validitasnya yang kurang terjamin.
Untuk itulah,
masyarakat calon pemilih Pilpres 2014 harus jeli dan hati-hati dalam melihat
kampanye yang bertebaran di media massa dan buku. Begitu pula dengan pemerintah
harus teliti dalam memberikan kebijakan penerbitan yang sah terhadap media
massa. Termasuk pemberian ijin ISBN, kepustakaan nasional harus benar-benar
meninjau substansi buku yang akan segera diterbitkan, agar buku tidak hanya
dijadikan sebagai bahan omset finansial dan alat politik belaka. Buku merupakan
wadah untuk membuka wawasan masyarakat agar lebih cerdas dan berilmu, bukan
dengan hanya menelisik dan menyuguhkan hal-hal yang tak seimbang antara
kelebihan dan kekurangan untuk kepentingan politik. Jangan biarkan masyarakat
buta dengan berita yang hanya memihak dan tak objektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...