Jumat, 11 Juli 2014

Perang Dingin Buku Pilpres 2014

Perhelatan panggung politik dan Pilpres 2014 semakin hari semakin memanas. Ada banyak kampanye yang bertebaran di berbagai media, baik media massa maupun elektronik. Dunia nasional sudah penuh dengan warna-warni politik Capres-Cawapres, baik koran, televisi, facebook, twitter, tiang-tiang di jalan, tembok-tembok, dan pohon-pohon sudah tertempel sosok tokoh yang mulai mengenalkan dirinya, utamanya pengenalan sisi baiknya.

Media massa sudah ada yang dengan jelas dan terang-terangan mendukung salah satu Capres untuk menduduki kursi kepresidenan yang sudah dua periode dipegang kendali oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Kini kursi itu harus diganti pemangku sebagaimana peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, bahwa untuk era reformasi jabatan kursi kepresidenan tidak boleh lebih dari dua periode masa jabatan.


Sebenarnya bukan hanya koran dan televisi yang melakukan perang dingin pra-Pilpres 2014, namun ada banyak media lainnya yang juga ikut andil dalam peperangan dingin ini. Beberapa penerbit kelas ikan teri pun ikut andil mengompori salah satu Capres untuk menjadi pelopor pemenangannya dengan menerbitkan buku yang hanya mensucikan satu Capres saja. Seakan buku untuk saat ini sudah main lirik mata dan menjaga jarak di antara para pembaca.

Namun tak kalah dinginnya dengan media massa yang belakangan ini juga dengan terang-terangan melakukan perang super dingin untuk membekukan salah satu Capres (black campaign) dengan kemunculan tabloid Obor Rakyat. Penerbitan tersebut bukan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, namun untuk menyulut opini publik agar memilih salah satu tokoh Capres dan mengkambinghitamkan Capres yang satunya. Selayaknya sebagai media, Obor Rakyat terbit untuk memberikan pencerahan, bukan untuk meracuni masyarakat secara luas.

Untungnya untuk beberapa penerbitan buku tidak terjadi perang super dingin seperti yang dilakukan oleh Obor Rakyat. Ada beberapa buku yang bermunculan pada panggung pra-Pilpres yang akan dilangsungkan pada 09 Juli 2014 nanti. Salah satunya buku yang berjudul 10 Alasan Jokowi Pantas Jadi Presiden, yang ditulis oleh Ira Puspito Rini, seorang mantan wartawan dan diterbitkan oleh Indoliterasi pada tahun 2013. Sudah sangat jelas, melalui bahasanya yang dingin, buku ini mendukung Capres Jokowi dalam perhelatan panggung politik.

Ada pula buku yang secara dingin mensucikan sosok Prabowo Subianto, seakan tak ada celah sedikit pun dari ulasan dan narasi buku tersebut mengenai sosok yang satu ini. Buku tersebut berjudul Kenapa Prabowo Subianto? 7 Alasan dia Cocok Jadi Presiden, yang ditulis oleh Audrey G.D. Tangkudung dan diterbitkan oleh PT. Era Media Global pada tahun 2013 tahun lalu. Dan masih banyak buku lainnya yang hanya dicetak untuk kepentingan politik.

Dua buku ini secara tidak langsung menghadapkan dua mata pedang secara gesit untuk memenangkan perhelatan di laga Pilpres. Jika untuk Capres Jokowi terdapat sepuluh alasan dirinya layak menjadi presiden, namun untuk Capres Prabowo hanya terdapat tujuh kelayakan. Tapi sebenarnya kata penulis dalam narasinya menyebutkan, bukan hanya tujuh alasan saja, namun masih banyak. Dia mengambil tujuh alasan untuk kelayakan Prabowo menjadi Presiden, karena angka tujuh merupakan angka keberuntungan. Jika dibandingkan, buku yang pro-Jokowi merupakan buku ulasan yang sedikit rasional, tapi bersumber dari internet. Sedangkan untuk buku yang pro-Prabowo tak banyak yang mistis dengan selalu mengandalkan pada hal-hal yang di luara nalar dan logika manusia.

Kepentingan Politik
Buku sebagai jendela dunia benar-benar sangat membantu masa depan kehidupan umat manusia untuk menatap masa depannya. Ada banyak ilmu pengetahuan dan berbagai pengalaman yang tercatat dalam tiap lembaran kertasnya. Namun, ketika buku sudah menjadi kepentingan politik, jika manusia tidak berhati-hati, ia akan menjadi racun yang bisa mematikan pola pikir dan daya kritis manusia itu sendiri.

Kehadiran buku Robert E. Slavin dkk. yang berjudul Membaca Membuka Pintu Dunia Program “Success for All”: Model yang Jelas dan Kuat untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Anak Sekolah Dasar terbitan Pustaka Pelajar 2014 tidak berfungsi lagi. Pada saat menjelang Pilpres, buku bukan lagi menjadi pembuka pintu dunia untuk dibaca, namun hanya sebatas pembuka pintu sosok tokoh yang memiliki kepentingan pribadi yang di dalamnya banyak mengandung berbagai macam racun.

Memang tidak ada buku yang menjelekkan salah satu pasangan Capres secara langsung, namun bahasanya terlihat begitu congkak dengan selalu menganggap satu Capres yang paling baik dan unggul. Padahal mereka memiliki cacat dan kelebihan yang sepatutnya dikenal dan diketahui oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak akan tertipu dengan penulisan buku tentang Capres yang hanya mengedapankan prestasi dan keunggulannya saja. Hal tersebut karena dipicu oleh adanya kepentingan politik sehingga muncul perang dingin dalam tiap lembaran banyak buku, selain memang untuk mencari omset dari penjualan buku tersebut. Padahal jika kita baca, buku-buku itu bisa dicari di internet dengan keabsahan dan validitasnya yang kurang terjamin.
Untuk itulah, masyarakat calon pemilih Pilpres 2014 harus jeli dan hati-hati dalam melihat kampanye yang bertebaran di media massa dan buku. Begitu pula dengan pemerintah harus teliti dalam memberikan kebijakan penerbitan yang sah terhadap media massa. Termasuk pemberian ijin ISBN, kepustakaan nasional harus benar-benar meninjau substansi buku yang akan segera diterbitkan, agar buku tidak hanya dijadikan sebagai bahan omset finansial dan alat politik belaka. Buku merupakan wadah untuk membuka wawasan masyarakat agar lebih cerdas dan berilmu, bukan dengan hanya menelisik dan menyuguhkan hal-hal yang tak seimbang antara kelebihan dan kekurangan untuk kepentingan politik. Jangan biarkan masyarakat buta dengan berita yang hanya memihak dan tak objektif.


[1] Penulis adalah Pecinta Baca Buku dan Bergiat di Komunitas Sastra UIN Sunan Ampel Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...