Oleh: Marlaf Sucipto
Sekitar
tahun 1997, sejak Perusahaan Listrik Negara (PLN) masuk desa, sejak
itulah televisi (TV) menjadi barang istimewa yang banyak digemari
orang desa. Harga TV yang semakin terjangkau, menjadi salah satu
penyebab menjamurnya barang "modern" ini di desa-desa.
TV
menjadi simbol kekayaan, kemajuan, dan peradaban baru bagi orang
desa. Di awal-awal TV masuk desa, di tengah yang memilikinya masih
terbatas, orang desa berbondong-bondong datang ke rumah salah satu
pemilik TV hanya untuk mau menonton TV. Menonton TV menjadi kegemaran
baru yang banyak orang menggandrungi. Bahkan orangtua, melakukan
pengarahan massal agar anaknya lebih memilih menonton TV ketimbang
bermain di luar rumah seperti main layang-layang misalnya. Bermain di
luar rumah dianggap lebih membahayakan dan membawa resiko ketimbang
anaknya duduk manis dan tidur-tiduran sambil menonton TV. Semakin
lama anak menonton TV, semakin merasa senang orangtua. Mainan
tradisional banyak yang ditinggalkan, diganti dengan permainan baru,
yaitu menonton TV.
TV
masuk desa, kebetulan di masa saya masih menjadi anak-anak. Waktu
itu, saya dan teman sepermainan menganderungi nonton TV secara
bersama-sama di rumah teman yang orangtuanya memiliki TV. Kebetulan
pemilik TV itu dekat langgar dan sekolah sore saya. Bahkan setelah
sekolah pagi pun, saya dan teman-teman masih menyempatkan untuk
mampir di rumah teman yang punya TV hanya untuk menonton TV. Acara
manonton itu semakin terbiasa berakhir sampai jam 2 sore. Habis itu,
pulang hanya untuk sarapan dan mandi siang, kemudian berangkat lagi
untuk sekolah sore. Sebelum masuk sekolah, lagi-lagi saya dan
teman-teman nonton TV, bahkan jam masuk sekolah sore sering molor
bila benturan dengan acara TV yang dianggap asyik. Terus kejadian itu
berulang-ulang sampai kini saya besar dan melanjutkan study di
perguruan tinggi. Anak-anak setelah saya, terus memiliki kebiasaan
yang tak kalah lama dalam menonton TV. Bahkan sekarang, TV sudah
banyak ditemui di ruang keluarga atau ruang tamu masyarakat kota,
desa dari Aceh sampai Papua. Acara TV menjejali alam bawah sadar
masyarakat Indonesia kemudian berbuah prilaku sebagaimana yang
ditayangkan TV.
Akhirnya,
kebiasaan baru menonton TV, mampu merevolusi mental masyarakat
Indonesia untuk bermental praktis, pragmatis, individualis, dan
konsumtif.
Coba
tengok dari nama orang saja. Anak-anak yang lahir setelah tahun 1997
sampai sekarang, namanya sudah sedikit yang khas lokal. Nama Jawa,
Madura, Sunda, Papua dan nama-nama lain yang menjadi ciri khas dan
identitas lokal, diganti menjadi nama universal sebagaimana nama-nama
yang ada di TV. Nama-nama yang ada di TV dianggap lebih bagus, maju,
dan gaul ketimbang nama yang beraroma lokal. Ini baru satu langkah
penjajahan mental pertama yang tak banyak orang menyadarinya.
Kemudian,
selain nama, banyak orang yang meniru lebih jauh akan hal yang
ditayangkan TV. Gaya hidup staylis semakin masif. Banyak bergaya,
mulai dari model rambut yang disemir, pakaian serba mini dan sepatu
hak tinggi menjadi gaya baru harian yang semakin banyak ditemui.
Bahkan yang membikin saya ketawa kini, akibat iklan di TV, orang
berbondong-bondong untuk berkulit putih, walau sebenarnya secara
genetik warna kulit mayoritas bangsa Indonesia adalah cokelat atau
sawo matang. Padahal, popularitas putih itu cantik adalah bias dari
politik aparteid yang terjadi di Eropa, politik antara dominasi orang
berkulit putih atas orang yang berkulit hitam. Penindasan secara
sepihak atas bangsa Kongo, Afrika, Sudan, dan daerah etnis berkulit
hitam lainnya. Cantik khas Indonesia terdistorsi akibat paparan TV
yang membawa kebudayaan gelobal berasa Eropa.
Selain
itu, angka perceraian di Indonesia semakin meningkat sesaat setelah
tahun 1997. Dari pengalaman yang saya ketahui, sudah banyak para
istri yang menggugat cerai suaminya hanya persoalan sepele. Menjadi
orang tua tunggal menjadi trend yang tidak sedikit orang
mengandrungi. Barangkali alasanya, biar memiliki kebebasan mengumbar
hasrat seksual sesuai dengan selera yang sering berubah-ubah.
Bukankah hal demikian adalah gaya hidup orang Eropa yang menjunjug
tinggi kebebasan? hal ini terjadi akibat gaya hidup para salabritas
artis yang setiap hari ditayangkan TV. Perceraian, gonta-ganti
pasangan, menjadi sajian jamak yang sering dipertontonkan. Sedangkat
artis itu, menjadi panutan mayoritas orang Indonesia kini.
Dalam
dunia sekolah maupun kampus, TV juga memberi konstribusi. Gaya hidup
anak sekolahan dan manusia kampus yang digambarkan TV, sudah banyak
ditemui di sekolah-sekolah dan kampus di seluruh negeri. Dalam dunia
keluarga, TV hadir melalui sinetron-sinetron, film kolosal, yang saya
rasa, gaya hidup yang ditampilkan TV itu, lebih banyak memberi
pengaruh buruk ketimbang baiknya.
Tayangan
TV menjadi sempurna, ketika iklan yang dihadirkan, hampir semuanya
bersifat konsumtif. Penonton dibuat bagaimana membeli segala hal yang
di-iklan-kan TV, tapi tidak dibuat bagaimana membuat segala hal yang
di-iklan-kan TV. Semakin sempurna, ketika diantara kita, lebih merasa
"wah" ketika membeli prodak dan bergaya hidup ala orang
Eropa, bukan cinta dan menghargai prodak dan kebudayaan nenek moyang
bangsa sendiri.
TV
bentuknya memang kecil, tapi berdampak besar dalam merevolusi diri
menjadi pribadi yang tidak mencintai kebudayaan dan prodak saudara
sebangsa sendiri.
Mari
sadari, cerdaslah memilah dan memilih tayangan TV. Ambil yang positif
dan tanggalkan yang negatif. Yang perlu disadari, tidak semua yang
ditayangkan TV itu positif. Bersikaplah bijak atas setiap tayangan
TV. Anak-anak yang masih belum bisa berfikir, yang aktifitas
hariannya masih lebih dipengaruhi oleh suatu hal yang dilihat,
diraba, dan didengarnya, sebaiknya juga lindungi dari pengaruh buruk
TV. Pilah-pilihlah tayangan TV yang cocok untuk ditonton anak-anak.
Bila perlu, carilah tontonan yang patut dijadikan tuntunan.
Hal
yang saya tulis di atas masih belum seberapa, silakan renungkan dan
cermati sendiri. Semoga hal yang saya tulis ini menjadi pengantar
kesadaran kita bersama agar cerdas memilah tayangan TV.
Salam
cerdas...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...