Jumat, 04 Juli 2014

Awas! Bahaya Laten Telivisi

 Oleh: Marlaf Sucipto
Sekitar tahun 1997, sejak Perusahaan Listrik Negara (PLN) masuk desa, sejak itulah televisi (TV) menjadi barang istimewa yang banyak digemari orang desa. Harga TV yang semakin terjangkau, menjadi salah satu penyebab menjamurnya barang "modern" ini di desa-desa.

TV menjadi simbol kekayaan, kemajuan, dan peradaban baru bagi orang desa. Di awal-awal TV masuk desa, di tengah yang memilikinya masih terbatas, orang desa berbondong-bondong datang ke rumah salah satu pemilik TV hanya untuk mau menonton TV. Menonton TV menjadi kegemaran baru yang banyak orang menggandrungi. Bahkan orangtua, melakukan pengarahan massal agar anaknya lebih memilih menonton TV ketimbang bermain di luar rumah seperti main layang-layang misalnya. Bermain di luar rumah dianggap lebih membahayakan dan membawa resiko ketimbang anaknya duduk manis dan tidur-tiduran sambil menonton TV. Semakin lama anak menonton TV, semakin merasa senang orangtua. Mainan tradisional banyak yang ditinggalkan, diganti dengan permainan baru, yaitu menonton TV.

TV masuk desa, kebetulan di masa saya masih menjadi anak-anak. Waktu itu, saya dan teman sepermainan menganderungi nonton TV secara bersama-sama di rumah teman yang orangtuanya memiliki TV. Kebetulan pemilik TV itu dekat langgar dan sekolah sore saya. Bahkan setelah sekolah pagi pun, saya dan teman-teman masih menyempatkan untuk mampir di rumah teman yang punya TV hanya untuk menonton TV. Acara manonton itu semakin terbiasa berakhir sampai jam 2 sore. Habis itu, pulang hanya untuk sarapan dan mandi siang, kemudian berangkat lagi untuk sekolah sore. Sebelum masuk sekolah, lagi-lagi saya dan teman-teman nonton TV, bahkan jam masuk sekolah sore sering molor bila benturan dengan acara TV yang dianggap asyik. Terus kejadian itu berulang-ulang sampai kini saya besar dan melanjutkan study di perguruan tinggi. Anak-anak setelah saya, terus memiliki kebiasaan yang tak kalah lama dalam menonton TV. Bahkan sekarang, TV sudah banyak ditemui di ruang keluarga atau ruang tamu masyarakat kota, desa dari Aceh sampai Papua. Acara TV menjejali alam bawah sadar masyarakat Indonesia kemudian berbuah prilaku sebagaimana yang ditayangkan TV.

Akhirnya, kebiasaan baru menonton TV, mampu merevolusi mental masyarakat Indonesia untuk bermental praktis, pragmatis, individualis, dan konsumtif.

Coba tengok dari nama orang saja. Anak-anak yang lahir setelah tahun 1997 sampai sekarang, namanya sudah sedikit yang khas lokal. Nama Jawa, Madura, Sunda, Papua dan nama-nama lain yang menjadi ciri khas dan identitas lokal, diganti menjadi nama universal sebagaimana nama-nama yang ada di TV. Nama-nama yang ada di TV dianggap lebih bagus, maju, dan gaul ketimbang nama yang beraroma lokal. Ini baru satu langkah penjajahan mental pertama yang tak banyak orang menyadarinya.

Kemudian, selain nama, banyak orang yang meniru lebih jauh akan hal yang ditayangkan TV. Gaya hidup staylis semakin masif. Banyak bergaya, mulai dari model rambut yang disemir, pakaian serba mini dan sepatu hak tinggi menjadi gaya baru harian yang semakin banyak ditemui. Bahkan yang membikin saya ketawa kini, akibat iklan di TV, orang berbondong-bondong untuk berkulit putih, walau sebenarnya secara genetik warna kulit mayoritas bangsa Indonesia adalah cokelat atau sawo matang. Padahal, popularitas putih itu cantik adalah bias dari politik aparteid yang terjadi di Eropa, politik antara dominasi orang berkulit putih atas orang yang berkulit hitam. Penindasan secara sepihak atas bangsa Kongo, Afrika, Sudan, dan daerah etnis berkulit hitam lainnya. Cantik khas Indonesia terdistorsi akibat paparan TV yang membawa kebudayaan gelobal berasa Eropa.

Selain itu, angka perceraian di Indonesia semakin meningkat sesaat setelah tahun 1997. Dari pengalaman yang saya ketahui, sudah banyak para istri yang menggugat cerai suaminya hanya persoalan sepele. Menjadi orang tua tunggal menjadi trend yang tidak sedikit orang mengandrungi. Barangkali alasanya, biar memiliki kebebasan mengumbar hasrat seksual sesuai dengan selera yang sering berubah-ubah. Bukankah hal demikian adalah gaya hidup orang Eropa yang menjunjug tinggi kebebasan? hal ini terjadi akibat gaya hidup para salabritas artis yang setiap hari ditayangkan TV. Perceraian, gonta-ganti pasangan, menjadi sajian jamak yang sering dipertontonkan. Sedangkat artis itu, menjadi panutan mayoritas orang Indonesia kini.

Dalam dunia sekolah maupun kampus, TV juga memberi konstribusi. Gaya hidup anak sekolahan dan manusia kampus yang digambarkan TV, sudah banyak ditemui di sekolah-sekolah dan kampus di seluruh negeri. Dalam dunia keluarga, TV hadir melalui sinetron-sinetron, film kolosal, yang saya rasa, gaya hidup yang ditampilkan TV itu, lebih banyak memberi pengaruh buruk ketimbang baiknya.

Tayangan TV menjadi sempurna, ketika iklan yang dihadirkan, hampir semuanya bersifat konsumtif. Penonton dibuat bagaimana membeli segala hal yang di-iklan-kan TV, tapi tidak dibuat bagaimana membuat segala hal yang di-iklan-kan TV. Semakin sempurna, ketika diantara kita, lebih merasa "wah" ketika membeli prodak dan bergaya hidup ala orang Eropa, bukan cinta dan menghargai prodak dan kebudayaan nenek moyang bangsa sendiri.

TV bentuknya memang kecil, tapi berdampak besar dalam merevolusi diri menjadi pribadi yang tidak mencintai kebudayaan dan prodak saudara sebangsa sendiri.

Mari sadari, cerdaslah memilah dan memilih tayangan TV. Ambil yang positif dan tanggalkan yang negatif. Yang perlu disadari, tidak semua yang ditayangkan TV itu positif. Bersikaplah bijak atas setiap tayangan TV. Anak-anak yang masih belum bisa berfikir, yang aktifitas hariannya masih lebih dipengaruhi oleh suatu hal yang dilihat, diraba, dan didengarnya, sebaiknya juga lindungi dari pengaruh buruk TV. Pilah-pilihlah tayangan TV yang cocok untuk ditonton anak-anak. Bila perlu, carilah tontonan yang patut dijadikan tuntunan.

Hal yang saya tulis di atas masih belum seberapa, silakan renungkan dan cermati sendiri. Semoga hal yang saya tulis ini menjadi pengantar kesadaran kita bersama agar cerdas memilah tayangan TV.

Salam cerdas...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...