Oleh:
Muhammad Shofa[1]
“Begitu hebatnya pers, sehingga seandainya siang
dikatakan pers, malam pun
Masyarakat—terutama yang lugu, akan mempercayainya”
(KH. Mustofa Bisri, Jawa Pos 31 Maret 2004)
Demikianlah
pernyataan Gus Mus—Musthofa Bisri, saat melihat besarnya pengaruh media massa
dalam upayanya membongkar opini publik. Bagi masyarakat awam penikmat media,
mereka biasanya akan menelan mentah-mentah informasi yang disajikan oleh media,
tanpa terlebih dahulu melakukan proses penyaringan atasnya.
Memasuki
pilpres di tahun ini, media massa pun sepertinya sudah kehilangan independensi
yang dianutnya. Banyaknya pemilik korporasi media yang turut serta dalam proses
dukung mendukung kandidat membuat pemberitaan media massa yang dimilikinya
terkesan tak seimbang. Sebagaimana diketahui, saat ini beberapa pemilik media
sudah mengarahkan kecenderungan keberpihakannya kepada salah satu dari dua
kandidat calon presiden.
Di barisan
pertama, berdiri dengan gagahnya Aburizal Bakri sebagai pemilik ANTV, TV One
dan vivanews yang merapat di kubu Prabowo-Hatta. Amunisi capres dengan
nomor urut satu ini semakin bertambah dengan bergabungnya Hary Tanoesodibjo,
pemilik MNC Group, yang membawahi berbagai media massa baik media cetak, televisi,
dan radio. Sedangkan di seberang barisan, ada Surya Paloh, pemilik Media
Indonesia dan Metro TV yang telah sejak awal berdiri dengan jumawa dan
menyokong kandidat Jokowi-Kalla.
Keberpihakan
pemilik media massa ini tentunya membuat media yang dimilikinya tak lagi
menyuguhkan berita atau informasi yang seimbang. Lihat saja bagaimana hasil
pengamatan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia yang menyatakan adanya
kecenderungan memanfaatkan berita untuk kepentingan kelompoknya saja.[2]
Indikasi penunggangan berita demi memenuhi kepentingan kelompoknya itu bisa
dilihat dalam pemberitaan tentang Capres dan Cawapres yang ditayangkan
sepanjang 19-25 Mei 2014.
Ada dua hal
yang menjadi titik perhatian Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dalam hal ini. Pertama, porsi durasi pemberitaan. Kedua, kuantitas frekuensi
pemberitaan yang tak seimbang. Dalam dua hal tersebut, baik porsi durasi
pemberitaan ataupun kuantitas frekuensi pemberitaan, Metro TV memberikan porsi
pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Kalla dibanding pada
Prabowo-Hatta. Begitupun sebaliknya.
Melihat hal
itu, maka peran dan fungsi media massa sebagai sarana penyampai informasi
kepada publik, sepertinya mengalami distorsi dalam penerapannya. Adanya
beberapa pemilik media massa yang sudah mengarahkan kecenderungan
keberpihakannya semakin menambah runyam persoalan, selain juga adanya kampanye
hitam (black campaign) yang bertebaran di berbagai media sosial. Di sinilah
media telah mengalami disfungsi dalam tatanan sosialnya. Kejadian ini
mengingatkan penulis akan pernyataan Andi Alimuddin Unde yang mengutip Mc Quail
dengan suatu penjelasan yang panjang prihal fungsi dan disfungsi media massa.
Mc Quail menuturkan bahwa dalam deskripsi tentang fungsi media kebanyakan dalam
hal-hal yang bersifat positif, padahal di balik itu terdapat hal-hal bersifat
negatif yang terkadang sulit untuk dihindari. Inilah yang disebut oleh Mc Quail
dengan fungsi tersembunyi dari media.[3]
Jadi jelas,
bahwa media dalam realitasnya tak selalu mengungkap realitas apa adanya.[4]
Bahkan lebih dari itu, media berupaya menggiring masyarakat penikmat berita
menjadi santapan lezat bagi mereka untuk diarahkan sekehendak hatinya. Alur
konstruktivistik ini mengibaratkan konsumen media hanya sebagai benda-benda tak
bergerak yang bisa diatur sedemikian rupa. Inilah alasan pernyataan Gus Mus
yang penulis kutip di atas tadi.
Selain
persoalan tercerabutnya netralitas media massa, tulisan ini juga hendak mengupas
sedikit prihal budaya politik media massa di Indonesia yang berbeda dengan
budaya politik media massa di Amerika. Fenomena terjun bebasnya media massa
dalam aksi dukung mendukung terhadap capres juga terjadi di sana. Bedanya, di
Amerika keberpihakan itu diakui oleh media secara terang-terangan sehingga
pihak media sudah menakar resiko dan konsekuensi atas pilihannya. Di masa
kampanye pilpres inilah sebuah lembaga polling ternama di Amerika, Gallup,
memperoleh hasil bahwa kepercayaan public kepada media di masa pilpres relatif
sangat rendah.[5]
Hal ini berbanding terbalik kondisinya dengan di Indonesia bukan? Dari itu,
solusi yang harus ditawarkan kepada masyarakat agar mereka tidak mengalami
kebingungan, kebimbangan akibat simpang siurnya informasi adalah menggalakkan
gerakan melek kampanye media. Tujuannya satu: menghukum media! Wassalam.
[1] Pengurus LAPMI PB HMI sekaligus
Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Filsafat Agama UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan
ini Didiskusikan di IBI pada Jumat, 6 Juni 2014
[2] Republika, Selasa 3 Juni 2014
[3] Andi Alimuddin Unde, Televisi dan
Masyarakat Pluralistik (Jakarta ; Prenada, 2014), 40.http://junaidikhab.wordpress.com/…/media-massa-dan-budaya-…
[4]
Kun Waziz, 62
[5] Nasrullah,
Perang Media di Pilpres, Republika 22 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...