Jumat, 06 Juni 2014

Media Massa dan Budaya Politik di Indonesia

“Begitu hebatnya pers, sehingga seandainya siang dikatakan pers, malam pun
Masyarakat—terutama yang lugu, akan mempercayainya”
(KH. Mustofa Bisri, Jawa Pos 31 Maret 2004)

Demikianlah pernyataan Gus Mus—Musthofa Bisri, saat melihat besarnya pengaruh media massa dalam upayanya membongkar opini publik. Bagi masyarakat awam penikmat media, mereka biasanya akan menelan mentah-mentah informasi yang disajikan oleh media, tanpa terlebih dahulu melakukan proses penyaringan atasnya.

Memasuki pilpres di tahun ini, media massa pun sepertinya sudah kehilangan independensi yang dianutnya. Banyaknya pemilik korporasi media yang turut serta dalam proses dukung mendukung kandidat membuat pemberitaan media massa yang dimilikinya terkesan tak seimbang. Sebagaimana diketahui, saat ini beberapa pemilik media sudah mengarahkan kecenderungan keberpihakannya kepada salah satu dari dua kandidat calon presiden.


Di barisan pertama, berdiri dengan gagahnya Aburizal Bakri sebagai pemilik ANTV, TV One dan vivanews yang merapat di kubu Prabowo-Hatta. Amunisi capres dengan nomor urut satu ini semakin bertambah dengan bergabungnya Hary Tanoesodibjo, pemilik MNC Group, yang membawahi berbagai media massa baik media cetak, televisi, dan radio. Sedangkan di seberang barisan, ada Surya Paloh, pemilik Media Indonesia dan Metro TV yang telah sejak awal berdiri dengan jumawa dan menyokong kandidat Jokowi-Kalla.

Keberpihakan pemilik media massa ini tentunya membuat media yang dimilikinya tak lagi menyuguhkan berita atau informasi yang seimbang. Lihat saja bagaimana hasil pengamatan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia yang menyatakan adanya kecenderungan memanfaatkan berita untuk kepentingan kelompoknya saja.[2] Indikasi penunggangan berita demi memenuhi kepentingan kelompoknya itu bisa dilihat dalam pemberitaan tentang Capres dan Cawapres yang ditayangkan sepanjang 19-25 Mei 2014.

Ada dua hal yang menjadi titik perhatian Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal ini. Pertama, porsi durasi pemberitaan. Kedua, kuantitas frekuensi pemberitaan yang tak seimbang. Dalam dua hal tersebut, baik porsi durasi pemberitaan ataupun kuantitas frekuensi pemberitaan, Metro TV memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Kalla dibanding pada Prabowo-Hatta. Begitupun sebaliknya.

Melihat hal itu, maka peran dan fungsi media massa sebagai sarana penyampai informasi kepada publik, sepertinya mengalami distorsi dalam penerapannya. Adanya beberapa pemilik media massa yang sudah mengarahkan kecenderungan keberpihakannya semakin menambah runyam persoalan, selain juga adanya kampanye hitam (black campaign) yang bertebaran di berbagai media sosial. Di sinilah media telah mengalami disfungsi dalam tatanan sosialnya. Kejadian ini mengingatkan penulis akan pernyataan Andi Alimuddin Unde yang mengutip Mc Quail dengan suatu penjelasan yang panjang prihal fungsi dan disfungsi media massa. Mc Quail menuturkan bahwa dalam deskripsi tentang fungsi media kebanyakan dalam hal-hal yang bersifat positif, padahal di balik itu terdapat hal-hal bersifat negatif yang terkadang sulit untuk dihindari. Inilah yang disebut oleh Mc Quail dengan fungsi tersembunyi dari media.[3]

Jadi jelas, bahwa media dalam realitasnya tak selalu mengungkap realitas apa adanya.[4] Bahkan lebih dari itu, media berupaya menggiring masyarakat penikmat berita menjadi santapan lezat bagi mereka untuk diarahkan sekehendak hatinya. Alur konstruktivistik ini mengibaratkan konsumen media hanya sebagai benda-benda tak bergerak yang bisa diatur sedemikian rupa. Inilah alasan pernyataan Gus Mus yang penulis kutip di atas tadi.

Selain persoalan tercerabutnya netralitas media massa, tulisan ini juga hendak mengupas sedikit prihal budaya politik media massa di Indonesia yang berbeda dengan budaya politik media massa di Amerika. Fenomena terjun bebasnya media massa dalam aksi dukung mendukung terhadap capres juga terjadi di sana. Bedanya, di Amerika keberpihakan itu diakui oleh media secara terang-terangan sehingga pihak media sudah menakar resiko dan konsekuensi atas pilihannya. Di masa kampanye pilpres inilah sebuah lembaga polling ternama di Amerika, Gallup, memperoleh hasil bahwa kepercayaan public kepada media di masa pilpres relatif sangat rendah.[5] Hal ini berbanding terbalik kondisinya dengan di Indonesia bukan? Dari itu, solusi yang harus ditawarkan kepada masyarakat agar mereka tidak mengalami kebingungan, kebimbangan akibat simpang siurnya informasi adalah menggalakkan gerakan melek kampanye media. Tujuannya satu: menghukum media! Wassalam.


[1] Pengurus LAPMI PB HMI sekaligus Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Filsafat Agama UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini Didiskusikan di IBI pada Jumat, 6 Juni 2014
[2] Republika, Selasa 3 Juni 2014
[3] Andi Alimuddin Unde, Televisi dan Masyarakat Pluralistik (Jakarta ; Prenada, 2014), 40.http://junaidikhab.wordpress.com/…/media-massa-dan-budaya-…
[4] Kun Waziz, 62
[5] Nasrullah, Perang Media di Pilpres, Republika 22 Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...