Oleh: Marlaf Sucipto
Mendiskusikan
ilmu pengetahuan memang tidak ada habisnya. Setelah kemaren (27 Rajab
1435 H) saya mengikuti Sarasehan Budaya yang diselenggarakan oleh
komunitas pemerhati seni dan kebudayaan "Banawa Sekar; Perahu
Bunga dan kebersamaan". Bertempat di Pondopo Agung, Trowulan
Mojokerto. Ada tiga rangkaian acara yang terselenggara; Antraksi
Pencak Silat "Putro Browijoyo" dari Jam 12:00-15:00 Wib,
Serasehan Budaya oleh Agus Sunyoto dari Jam 18:00-20:00 Wib, dan
Maiyah Nusantara bersama MH Ainun Nadjib, Novia Kolopaking, Sabrang
yang tergabung dalam komunitas Sholawat KiaiKanjeng.
Antraksi
pencak silat, sebagaimana penjelasan pimpinan Pencak Silat "Putro
Browijoyo" tak lain sebagai wujud pelestarian kesenian yang
telah diwariskan oleh nenek moyang. Komunitas ini baru berdiri pada
tahun 2010 dan telah menyebet piala di beberapa lomba yang
diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Provinsi, Kabupaten, dan kota di
Jawa Timur. "Putro Browijoyo" dalam berantraksi, serat
dengan nilai mistik. Ada ritual-ritual khusus sebelum dan sesudah
acara. Seperti membakar dupa, menyajikan sesajen yang katanya,
sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah berjasa
besar atas kehidupan yang masih berlangsung ini. Sesajen dimaksud,
juga dalam rangka menghadirkan mahluk halus, kemudian dijelmakan ke
masing-masing peserta pencak silat yang telah disiapkan untuk
berantraksi. Tak pelak, bebera detik kemudian, mahluk halus yang
telah menjelma digiring untuk berantraksi di depan khalayak.
Lengak-lengok ala ular, loncat-loncak kayak monyet, dan nyeruduk
model benteng menjadi pertunjukan yang menarik dan melahirkan gelak
tawa lepas para penonton. Bahkan tak sedikit penonton yang turut
kerasukan, kemudian ikut berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik
gemelan, berikut sinden cantik bersuara agak sumbang. Mendatangkan
"Putro Browijoyo" cukup dengan uang bernilai 3jt rupiah,
dan semangat menghidupkan kesenian ini juga sebagai sarana penyaluran
kreatifitas anak muda Trowulan yang telah terdistorsi oleh kebudayaan
global. Hanya pemuda yang sanggup mengendalikan hawa nafsu yang bisa
bergabung dengan komunitas ini.
Bersambung
ke Sarasehan Budaya. Sebagaimana dituturkan oleh Agus Sunyoto, Benowo
Sekar adalah Upacara Srada yang diselenggarakan setelah 12 tahun
mangkatnya sang raja. Raja Mojopahit bernama Bripamutang Srimanegara
(1465 M) adalah raja pertama yang mendapatkan penghormatan tersebut.
Dalam acara ini, semua keturunan raja berkumpul, melantunkan kidung,
kemudian melarung bunga satu perahu penuh, sebagai penghormatan untuk
mengantarkan arwah sang raja menuju swargaloka. Jadi, tradisi
menghaturkan doa sudah terjadi pada masa Mojopahit.
Mojopahit
pada masanya termasuk negara maju. Hal tersebut didukung oleh
terdokumentasikannya meriam buatan Mojopahit bertanggal 1889 di
Metropolitan Musium, New York, Amerika Serikat. Cuma, penjajah
menelikung sejarah Nusantara yang mengatakan bahwa meriam itu berasal
dari Portugis. Padahal, sebelum Portugis menjajah, Mojopahit telah
memilikinya. Dikembangkan oleh Demak. Mosiu penemunya China. Bukan
eropa.
Mojopahit,
memiliki prinsip kehidupan maritim. Bukan sebagaimana yang dijejali
oleh penjajah kalau nenek moyang bangsa Indonesia ini adalah agraris.
Prinsip itu dipegang karena kehidupan maritim itu jauh lebih maju
ketimbang agraris. Pada waktu itu kapal-kapal Mojopahit sudah
dilengkapi dengan alat penunjuk arah (kompas). Hampir semua lautan di
dunia telah ditaklukkannya dan hampir semua negara telah
disinggahinya. Kapal-kapal Mojopahit telah membikin kagum banyak
masyarakat dunia. Terbukti dari catatan seorang petugas bea cukai
China, bertahun 1280 (Abad ke tiga masehi), bahwa kapal-kapal dari
selatan (Nusantara) besar-besar, melebihi kapal besar yang dimiliki
China. Waktu itu, kapal besar China panjangnya 60 kaki, sedangkan
kapal Nusantara sudah mencapai 200 kaki. Kapal di Nusantara mengalami
kemerosoton setelah Portugis datang sebagai penjajah. Kapal Nusantara
yang berlayar berikut rempah dan pangan yang diangkutnya selalu
dibajak (rampok) di tengah laut. Waktu itu, pangan (beras) Nusantara
sudah sampai dijual ke Malaka (India). Muatan kapal Nusantara sudah
ada yang mencapai 800 Ton. Jadi, waktu itu hanya kapal dari Nusantara
lah yang berteknologi tinggi.
Menurut
catatan Tomimpiris (1513), Pondopo Agung-nya kerajaan Mojopahit jauh
lebih besar dari yang dimiliki kerajaan Sunda. Waktu itu masyarakat
mojopahit sudah rasional, bahkan nyaris tanpa mistis sebagaimana
sekarang. Rasionalitas masyarakat Mojopahit terlihat dari proses
pembuatan keris yang berlangsung paling singkat selama satu tahun dan
paling lama mencapai dua tahun. Keris tersebut terbuat dari baja
korusani, baja terbaik dunia yang didatangkan dari Kurosan. Dulu,
keris sebagai identitas seseorang, ibarat KTP bagi orang-orang
sekarang. Waktu itu, legenda mistis seperti Nyai Roro Kidul sang
penguasa Ratu Pantai Selatan nyaris tak ada. Maka tak heran jika
semua lautan ditaklukkan.
Kemakmuran,
keamanan masyarakat Mojopahit terpelihara dengan baik. Tidak ada
masyarakat yang makan jagung, apalagi singkong. Semuanya makan nasi
yang berbahan beras. Jagung dan singkong dikenalkan oleh penjajah
kepada masyarakat Nusantara. Jagung dan singkong ini berasal dari
Afrika. Embrionya bukan di Nusantara. Tapi karena Nusantara tanahnya
subur, jagung dan singkong pun dapat tumbuh subur.
Mojopahit,
sepintas terlihat feodal. Ada tujuh pengelompokan (klasifikasi)
masyarakat. Semakin terikat dengan dunia, semakin rendah orang itu.
Kedudukan tertinggi adalah kaum Brahmana; pemuka agama, suka bertapa,
nyepi, puasa, menahan segala bentuk hasrat keduniaan, bahkan nyaris
terlepas dari segala kepentingan dunia yang berbentuk materi dan
inmateri. Bertindak sebagai penasehat raja karena kecerdasan dan
idealismenya yang tinggi, suci. Juga, sebagai pemegang fatwa atas
nama agama. Hanya kaum Brahmana lah yang berhak bicara agama. Kedua,
kaum Ksatria; ia adalah abdi negara yang tidak boleh memiliki
kekayaan pribadi, karena ia bekerja untuk negara. Ketiga, kaum Waisa;
para petani yang punya rumah, ternak, ladang, kebun. Keempat, kaum
Sudra; ialah para saudagar, pengusaha, rentenir, tuan tanah, yang
memiliki banyak harta kekayaan. Kelima, kaum Candala; ialah
masyarakat yang hidup dengan memburu mahluk lain. Termasuk juga Singa
mandala dan Singa manjaga yang ditugaskan membunuh orang atas nama
Negara. Keenam, kaum Mleca; orang asing. Dan ketujuh adalah kaum
Tucca; pecinta duniawi yang tidak mau memahami hak orang lain. Selain
kaum Brahmana, dilarang bicara agama. Apalagi struktur masyarakat
dari Sudra ke bawah. Soal agama, baik-buruk, benar-salah, indah-jelek
hanya kaum Brahmana lah yang berhak menetapkan standart-nya. Karena
kaum ini adalah kaum tersuci dari segala kepentingan dan gemerlap
dunia. Semakin berharta manusia itu, dalam strukturisasi masyarakat
Mojopahit, semakin hina. Karena kekayaan hanya patut dinikmati secara
merata, bukan menumpuk di perorangan sebagaimana kebanggaan
masyarakat Indonesia sekarang.
Raja
Mojopahit memiliki lima Bangsal (kantor) pemerintahan. Di depan
Bangsal selalu dilengkapi dengan Pulomiti; tempat menambat gajah.
Waktu itu, gajah adalah alat transportasi yang hanya pemerintah lah
yang punya. Bangsal itu sebagai tempat permusyawaratan raja dan para
ksatria dalam merumuskan langkah taktis strategis atas nama Negara.
Karena para ksatria dilarang memiliki harta pribadi, maka harta yang
terkumpul atas nama negara yang dikumpulkan melalui pajak, upeti dan
sejenisnya, sepenuhnya semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat secara merata dan menjamin ketentraman hidupnya. Selain
kaum Brahmana, tidak memiliki wewenang untuk bicara agama, mereka
adalah pengikut yang taat. Setiap fatwa agama yang diputuskan oleh
kaum Brahmana semuanya hanya untuk kemaslahatan. Dan semua harus
patuh atas keputusan tersebut. Termasuk raja sekali pun. Untuk
mengambarkan kesederhanaanya Raja Mojopahit, ia hanya memiliki satu
rumah pribadi (puri).
Dari
sebuah catatan China, dijelaskan bahwa Mojopahit sudah dikelilingi
tembok bata satinggi 5 meter, dan memiliki warga sebanyak 500 ribu
penduduk. Dari penjelasan yang didapat dari kitab Sotasoma beraksara
jawa, konsep kesetaraan yang dilakukan oleh Raja dengan rakyatnya,
dilihat dari tradisi meminum air suci yang digilir, berwadah yang
terbuat dari emas, masing-masing orang seteguk, dimulai dari raja dan
diakhiri oleh raja. Itu dilakukan sebagai bentuk bahwa Raja itu
adalah bagian dari rakyat. Di depan Bangsal, selalu ada pasatan;
tempat ayam jago yang selalu berkokok lengking. Kokok ayam jago juga
sebagai penentu waktu untuk mengheningkan cipta menghadap sang
Hyangwedi. Karena bila telah masuk sepertiganya malam, ayam-ayam ini
tanpa dikomando langsung berkokok sahut-sahutan antara satu dan yang
lain.
Orang
asing dimasukkan ke golongan orang rendahan dan diposisikan sebagai
pelayan karena Mojopahit lebih mengedapankan warga pribumi. Orang
pribumi adalah orang mulya, agung, terhormat. Dan harus menjadi tuan
di tanahnya sendiri. Orang pribumi tidak boleh bertindak sebagai
pelayan, bila ada yang ditemukan bertindak sebagai pelayan maka
negara akan memberikan sanksi yang tegas. Maka tak heran, di awal
Islam masuk ke Nusantara langsung mendapatkan penolakan, karena
dibawa oleh orang asing yang pekerjaannya sebagai saudagar
(pedagang). Sedangkan pedagang dalam tingkatan orang Mojopahit berada
di urutan keempat yang sama sekali tidak boleh bicara agama. Agama
Islam menyebar di Nusantara setelah Walisongo menyebarkannya dengan
identitas Mojopahit. Dakwahnya ditulis dengan aksara Jawa, bukan Arab
pegon yang saat ini ditradisikan di pesantren-pesantren. Islam
Nusantara akhirnya memiliki ciri khas tersendiri setelah mengalami
akulturasi dengan kebudayaan lokal. Aktifitas harian masyarakat
sampai sekarang, baik formal dan semi formal, masih banyak yang
bercorak Hindu dengan substansi keyakinan yang sudah bernuansa Islam.
Bakar dupa, peringatan hari kematian, dan tradisi slametan adalah
satu, dua, tiga contoh dari sekian hasil "perkawinan"
budaya Hindu dan Islam. Jadi identitas keislaman masyarakat Indonesia
telah memiliki ciri khas tersendiri, dan berbeda dengan negara mana
pun, termasuk dengan negeri Arab sekali pun, di mana Islam itu tumbuh
dan berkembang pertama kali. Itulah sebabnya mengapa Islam dapat
bertahan di Nusantara selama 800 tahun sampai sekarang. Dan, Negara
Mojopahit dengan sistem pembagian kelas masyarakat sebagaimana saya
ulas di atas, mampu bertahan sampai umur 200 tahun. Hebat bukan?
Pesantren-pesantren
kini yang metode pengajarannya sudah tidak lagi menggunakan aksara
jawa karena telah terpengaruh oleh pendidikan yang berdiri di Timur
Tengah. Tidak sedikit pesantren yang menganggap segala sesuatu yang
terjadi di Timur Tengah layak diterapkan di Indonesia. Padahal, nama
pesantren hanya ada di Nusantara dan semangat didirikanya pesantren
untuk terus mengembangkan Islam Nusantara. Islam yang berdialog
dengan kebudayaan lokal kemudian memiliki peran yang menyelamatkan.
Bukan Islam yang hanya terjebak pada ritus srimonial yang miskin
penghayatan.
Basis
keagamaan masyarakat Mojopahit yang beragama Hindu dan Budha, sebelum
Islam masuk sudah mengenal peribadatan religius bernuansa metafisis.
Sehingga, masyarakat Mojopahit untuk menstabilkan kondisi hidupnya
selalu memenuhi kebutuhannya yang bersifat fisik (Pari) dan psikis
(pari'an). Pari itu kebutuhan hidup dalam bentuk makanan dan minuman,
sedangkan Pari'an adalah makanan bathin, baik dalam bentuk tembang,
kidung, dan tindakan meditatif dalam rangka pensucian.
Dalam
Kamus Kawi yang beraksara Jawa, dan kamus ini menjelaskan tentang
kosa kata jawa. Bahwa bangsa Nusantara, lebih-lebih pada masa
Mojopahit jaya, tidak pernah mengenal kosakata kalah. Yang ada
hanyalah "Jaya", "Pamenang", "Pralaya"
(gugur/mati). Maksudnya apa, kejayaan, kemenangan adalah harga mati
atas setiap gerak dan nafas dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.
Ideologi masyarakat Nusantara tidak untuk gagah-gagahan, tapi untuk
dilaksanakan dengan penghayatan filosofis penuh pemaknaan.
Masyarakat
Nusantara dikenal sebagai masyarakat majmuk sudah sejak dahulu kala.
Bahkan Agama Budha menyebar ke China melalui lautan Nusantara. Pada
masa Mojopahit masih berdiri, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sudah ada. Dan itu terjadi sejak tahun 1688. KUHP diterapkan pertama
pada masa kerajaan Kalingga. Kemudian dikembangkan pada zaman
Singgosari berkuasa, kemudian disempurkan oleh Mahapatih Gajahmada.
Semua
Parasasti di Nusantara ditulis dengan huruf jawa. Tidak sebagaimana
sekarang, aksara yang kita pakai merupakan aksara impor dari Eropa.
Bahkan standart kebaikan, kebenaran, keindahan sampai hal-hal kecil
sejak kita bangun tidur sampai mau tidur lagi standart-nya mengacu
kepada standart yang ditetapkan orang Eropa. Kita mengalami
keterjajahan dari berbagai macam segi tanpa kita menyadari kalau saat
ini kita dalam posisi terhegemoni. Menjadi bangsa yang mem-bebek
kepada bangsa asing dan cenderung melupakan kejayaan dan kemerdekaan
yang pernah dicapai oleh nenek moyang sendiri. Dalam pendidikan pun,
kita juga mengalami keterjajahan secara struktural dan masif.
Sehingga tak pelak, standart sukses, hebat, selalu mengacu kepada
standart yang ditetapkan oleh penjajah yang kini lebih dikenal dengan
sebutan imprealize'm. Kita akan dikategorikan terbelakang, miskin,
bodoh, dan buta huruf, jika tidak mengikuti standart ala penjajah.
Dalam hal apa pun. Sampai kapan akan bertahan demikian?
Pada
masa Mojopahit, Perempuan pekerjaannya menari, merawat diri untuk
melayani suami. Sedangkan laki-laki harus lihai berperang karena
tertuntut melindungi perempuan, selain juga harus menjadi bagian
untuk menjaga kadaulatan. Penasehat raja dari kaum Brahmana aksesoris
kesehariannya selalu putih. Putih itu simbol ketulusan dan kesucian.
Di atas telinga sang penasehat selalu tersemat bunga harum yang
dipetik langsung dari alam Nusantara. Bukan bungga-bunga impor yang
di-brand lokal. Bunga itu simbol perdamaian. Seorang penasehat harus
bisa "membisiki" raja untuk menjaga perdamaian, minimal
berdamai dengan egoisme yang juga kadang melekat pada diri sang raja.
Kemudian,
bersambung pada Maiyah Nusantara yang dipandu langsung oleh MH. Ainun
Nadjib (Cak Nun) dan KiaiKanjeng. Hadir juga Novia Kolopaking dan
Sabrang yang tak lain adalah istri Cak Nun dan Putranya.
Oleh
Cak Nun, Agus Sunyoto dikatakan sebagai Professor leluhur Nusantara.
Bahkan
Pak Agus--sebagaimana Agus Sunyoto dipanggil--pernah menyerahkan
daftar nama kabinet Mojopahit kepada Cak Nun. Oleh Pak Agus
dikatakan, bahwa bangsa Nusantara telah memiliki Undang-undang
bernama Kutaramanawa. Terdiri dari 19 bidang, termasuk didalamnya
bidang Astacora (kriminal) dan Paradara (perempuan). Sedangka kita
kini, dalam bernegara sumber hukumnya mengacu kepada prodak hukum
Belanda. Hukum Bangsa Nusantara lebih dulu hadir mendahului hukum
yang dibuat oleh orang Eropa dan Arab. Hukum itu terbukukan dalam
kitab Purwadigamadarmasastra.
Jika
kita ke Madagaskar sebelah Timur Afrika, akan banyak menemui orang
yang dari segi kulit, bahasa, dan kebiasaan yang menyerupai
masyarakat Nusantara. Termasuk juga di pasifik/hawai, yang
masyarakatnya memiliki pola tanam padi yang tak jauh beda dengan
masyarakat Nusantara. Dalam sebuah pemberitaan yang akhir-akhir ini
merebak di media massa Indonesia, tentang ditemukannya fosil orang
purba tertua di dunia, yang ditemukan di sepanjang sungai brantas,
maka semakin mempermantap fakta dan data sejarah bahwa Nusantara
adalah pusat peradaban manusia sejak zaman bahula. Sebenarnya, kita
bangsa Indonesia telah memiliki nenek moyang yang pernah sampai di
puncak berperadaban tertinggi dunia. Nenek moyang bangsa Indonesia
adalah Pengarung lautan sejati.
Semangat
"Banawa Sekar" sebagaimana digelorakan Cak Nun, ialah
ajakan agar bangsa Indonesia ke depan mampu membangun laut dan
daratan, seperti yang pernah dilakukan oleh moyang bangsa Indonesia
semasih bernama Nusantara ini. Mojopahit waktu itu telah memiliki
kemampuan matematika dan keahlian dalam membuat kalender berdasarkan
bulan, matahari, dan musim. Perubahan kalender bangsa Nusantara baru
dirubah setelah 99ribu tahun berlangsung.
Kita
bangsa Indonesia, sebagaimana harapan Cak Nun, harus terbiasa dengan
situasi yang gampang berubah-ubah. Jangan mudah goyah dan gampang
ikut orang tanpa penghayatan yang mendalam. Masing-masing orang harus
memiliki pedoman sendiri tentang kebaikan dan kebenaran sejati.
Karena kebaikan dan kebenaran sejati hanya lahir melalui
masing-masing diri yang mau menghayati atas kejadian hidup yang telah
terjadi.
Di
Ma'iyah Nusantara ini, Cak Nun mengajak untuk memanjatkan doa selamat
untuk Indonesia, karena terhitung sejak Juni-Juli ini, setidaknya
akan ada 4 orang "besar" yang mungkin ditangkap dan diadili
karena kasus korupsi.
Saat
ini kondisi bangsa lagi terpuruk. Warga negara diadu domba dalam soal
aqidah, moral, keyakinan atau meminjam bahasanya Cak Nun, "Diadu
domba dalam hal ayat-ayat makkiyah". Sedangkan dalam urusan
ekonomi, politik, hukum dan urusan lain sesama manusianya (ayat
madaniyah) di-design membebek kepada ideologi besar bernama
sekulerisme. Kita dibikin sibuk dalam hal yang sebenarnya tidak
penting. Diobok-obok dalam konteks keyakinan dan aqidah yang sampai
kapan pun tidak akan ditemukan ujung pangkalnya.
Perselesihan-perselisihan dalam urusan paling kecil sekalipun
diperuncing menjadi tajam dan melebar. Organisasi kemasyarakatan
seperti Nahdlatul Ulama' (NU), Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII), Hizbuttahrir Indonesia (HTI), dan ormas-ormas
keagamaan lain dibuat "bermusuhan" hanya dalam soal
pemahaman. Belum lagi hadirnya kelompok Ahmadiyah, Syiah yang diklaim
sesat oleh sebagian golongan hanya memiliki pandangan yang berbeda.
Ini masih dalam satu agama, belum masuk pada pemahaman dan keyakinan
antar agama-agama.
Karena
bangsa yang plural dan majmuk ini telah disibukkan dalam urusan
keyakinan, maka urusan lain seperti perekonomian, politik, hukum,
pendidikan, dan pengelolaan sumber daya alam jatuh ke tangan bangsa
lain. Kita dibuat miskin di tanah sendiri yang sebenarnya subur. Kita
dibuat tidak berdaya mengelola dan mengembangkan sumber daya alam
sendiri. Segala kebutuhan harian kita dipaksa tanpa sadar untuk
meng-elu-elukan prodak bangsa asing. Bahkan dalam urusan paling
privat sekalipun seperti (maaf) seksologi, gaya dan modelnya
"dipaksa" mengikuti trand ala bangsa asing. Ini belum dalam
konteks tekhnologi. Semua sisi di setiap dimensi hidup kita telah
dikendalikan oleh asing. Masihkah kita akan tetap berdebat dalam soal
keyakinan yang bangsa asing tak turut ambil bagian kecuali dalam hal
propagandis untuk memperuncing perbedaan?. Mari sadari, kalau soal
keyakinan sudah menjadi tanggung jawab masing-masing diri di depan
Tuhan nanti. Tak perlu diperuncing apalagi memaksakan kebenaran dan
kebaikan yang sebenarnya adalah keyakinan, kepada orang lain. Karena
dalam konteks keyakinan, setiap kelompok, apalagi agama, sudah pasti
memiliki standart kebenaran sendiri-sendiri.
Kita
semua mari berusaha sebaik mungkin agar selalu ada di jalan yang
benar, tapi merasa benar adalah tindakan yang tidak baik. Karena
kebaikan untuk detik ini, belum tentu baik untuk detik selanjutnya.
Maka dari itu, dalam kitabnya orang muslim, dalam setiap gerak dan
hembusan nafas kita supaya selalu meminta petunjuk kepada Tuhan untuk
Ihdinasshirothol Mustaqim (memohon petunjuk untuk diarahkan kepada
jalan yang lurus). Sedangkan jalan yang lurus (baik), selalu
mengalami perubahan sesuai dengan dinamika zaman. Itulah sebabnya,
kenapa al-Quran dapat menjadi kitab (petunjuk) dalam segala zaman.
Bagi siapa pun yang menjadikan al-Quran sebagai petunjuk.
Dengan
keberagaman keyakinan, mari kita pupuk persaudaraan, persahabatan.
Bukan permusuhan, apalagi sampai menyebabkan perpecahan. Yang
penting, dalam soal keyakinan, kita memiliki ke-istiqomah-an
sendiri-sendiri. Hal ini tercermin dari kerendahhatian seorang yang
kemudian disebut kiai. Karena asal kata "kiai" berawal dari
saling mempersilakan antara orang satu dan lainya untuk lebih dulu
memulai; "Iki ae-iki ae" (ini saja-ini saja).
Kerendahhatian ini bila benar-benar dapat diinternalisir dalam diri
kita masing-masing, kemudian dapat menjadi kasadaran kolektif, maka
kebasaran nenek moyang yang dulu pernah terjadi lebih mungkin
dibangkitkan kembali. Kita plural, kita Bhinnika Tunggal Ika
sebenarnya sudah sejak dahulu kala.
Mari,
jadilah diri sendiri menjadi bangsa yang hebat dengan mengenali lebih
jauh akan potensi diri yang telah dimiliki. Mari bangkit bersama
untuk Indonesia yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...