Rabu, 28 Mei 2014

The Last Samurai

Eiji Miyahara alias Umar Hartono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Sabtu (19/10) silam. Miyahara adalah serdadu Jepang kelahiran Taiwan yang memilih berjuang memihak RI dalam perang kemerdekaan. Saat Jepang kalah perang, ada sekitar 2000 serdadu Jepang dari Kaigun (AL) dan Rikugun (AD) yang memilih tinggal di Indonesia. Mereka bergabung dengan tentara RI. Dari jumlah itu, hanya 300 kombatan yang selamat melewati perang kemerdekaan. Para samurai ini kemudian aktif merekatkan kembali hubungan RI-Jepang yang sempat terkoyak akibat kolonialisme, dan utamanya, tentang Jugun Ianfu.


Miyahara, yang memperoleh bintang jasa tertinggi kekasiaran Jepang, Order of The Rising Sun, pada 2009, karena komitmennya dalam memperhangat hubungan RI-Jepang ini, tentu memiliki alasan mengapa pada era genting itu ia memilih bergabung dalam perjuangan revolusi Indonesia bersama kawan-kawannya.

Selain Miyahara, ada pula HJ. Princen, seorang serdadu Belanda yang memilih Indonesia sebagai tumpah darahnya. Ia berkali-kali memimpin penyerbuan terhadap markas Belanda. Istrinya, orang Sunda, yang baru dinikahi beberapa minggu, bahkan gugur diberondong pelor serdadu Belanda di persembunyian gerilyanya. Harap maklum jika Princen adalah buronan istimewa KST, Kopassus-nya Belanda, di era Agresi Militer 1 dan 2.
Selain Princen, ada Rokus Bernardus Visser, bekas anggota KST Belanda, yang menikahi gadis Sunda dan hidup tenteram menjadi petani di desa. Visser alias Mohammad Idjon Djanbi, bekas anggota pasukan khusus Belanda, kelak dikenal sebagai bapak parakomando Indonesia. Ia bersama Alex Kawilarang membidani lahirnya pasukan khusus Indonesia yang kini bernama Kopassus. Jejak lainnya bisa ditemui dalam diri Prof. Muhammad Amin Sweeney. Ia serdadu Inggris, ditugaskan di semenanjung Melayu, tapi malah tertarik dengan budaya & sastra Melayu. Ia jatuh cinta, asyik masyuk, dan memilih pena ketimbang mesiu. Prof Sweeney yang ramah ini akhirnya tampil lebih "Melayu", bahkan lebih "meng-Indonesia" daripada pribumi atau bumiputera, khususnya dalam etik dan estetika (berbahasa). Ia menggali dan menikmati betul pola bahasa (dan budaya) Melayu, Sunda, & Indonesia. Ulasannya mengenai Abdul Kadir Munsyi, pujangga "kontroversial" Melayu, adalah di antara sekian ulasan komprehensif dan tersubtil.

Demikianlah, Princen, Visser alias Djanbi, Sweeney, hingga Miyahara, adalah orang asing pada awalnya, tapi membumiputra pada fase berikutnya. Mereka memaknai pertiwi bukan sebagai "ibu" yang melahirkannya, melainkan sebagai pengasih-pengasuh yang membuat mereka hangat dalam dekapan, merengkuhnya saat mereka (hampir) rubuh, & menjadi gua garba cinta saat mereka berpulang. Hingga pada akhirnya, pertiwi alias patria hanya sebuah nama yang terletak di sanubari, bukan semata geografi.

Mereka menjadi pahlawan, di bidang masing-masing, menjaga sikap dan integritasnya, dan tentu saja menahbiskan diri sebagai korban; mengorbankan sesuatu yang berharga miliknya. Ya, hero memang tergantung kaitan antara jasa dan kontribusi seorang dengan sudut pandang mereka yang merasakan secara langsung jasa-jasanya, dalam waktu yang tak terbatas. Lebih dari itu, pra-syarat mutlak yang menjadi esensi pahlawan adalah jiwa perwira, ksatria, berani—bagaimanapun konyolnya ia, dan tak harus menang. Pahlawan tak melulu pemenang, ia bisa jadi pecundang. Tak percaya? Silahkan lihat di epos pengisi waktu luang ataupun epos pengantar tidur. Di sana, ada pemenang yang menekuk pecundang. Si penekuk tak langsung jadi pahlawan, begitu pula sebaliknya. Yang menjadi—dan disebut—pahlawan adalah sikap, prinsip, nilai, yang melekat pada tokohnya, bagaimanapun berakhirnya ia. Magnetnya bukan pada sosoknya, tapi pada sikapnya, pada pemikirannya, dan tindakannya. Karena itulah, mungkin, kisah kepahlawanan selalu asyik dinikmati. Asyik dinikmati kisahnya, bagaimanapun berakhirnya ia, karena pahlawan harus melampaui sisi dramatik, romantik, tragis, ironik, bahkan konyol—sebelum mati dan dikenang dengan syahdu.

***

Kini, setelah berpulangnya Miyahara, hanya tersisa satu samurai. Ya, "The Last Samurai" yang tinggal di Malang. Ia bertani di usia senja, makan lobak menjadi kegemarannya, dan ia masih semangat berpuasa saat Ramadhan. Rahmat Shigeru Ono adalah nama samurai terakhir yang masih hidup ini.

Jika Nathan Algren, perwira Amrik eks serdadu Union, memilih bergabung dengan para samurai pimpinan Katsumoto Moritsugu dalam film "The Last Samurai", hingga hanya ia satu-satunya samurai "impor" yang tersisa, maka Miyahara dan Rahmat Ono adalah dua Samurai terakhir milik republik yang tersisa. Miyahara telah dikebumikan dengan peti mati berselimut merah putih. Kini yang benar-benar The Last Samurai hanya Rahmat Ono, yang memoarnya sebagai pejuang republik dibukukan dengan judul "Mereka yang Terlupakan". Allahu A'lam.


[1] Direktur Penerbit Buku Imtiyaz Surabaya. Tulisan ini didiskusikan pada Jumat, 28 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...