Oleh:
Rijal Mumazziq Zionis[1]
Eiji Miyahara
alias Umar Hartono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Sabtu
(19/10) silam. Miyahara adalah serdadu Jepang kelahiran Taiwan yang memilih
berjuang memihak RI dalam perang kemerdekaan. Saat Jepang kalah perang, ada
sekitar 2000 serdadu Jepang dari Kaigun (AL) dan Rikugun (AD) yang memilih
tinggal di Indonesia. Mereka bergabung dengan tentara RI. Dari jumlah itu,
hanya 300 kombatan yang selamat melewati perang kemerdekaan. Para samurai ini
kemudian aktif merekatkan kembali hubungan RI-Jepang yang sempat terkoyak
akibat kolonialisme, dan utamanya, tentang Jugun Ianfu.
Miyahara, yang
memperoleh bintang jasa tertinggi kekasiaran Jepang, Order of The Rising Sun,
pada 2009, karena komitmennya dalam memperhangat hubungan RI-Jepang ini, tentu
memiliki alasan mengapa pada era genting itu ia memilih bergabung dalam
perjuangan revolusi Indonesia bersama kawan-kawannya.
Selain
Miyahara, ada pula HJ. Princen, seorang serdadu Belanda yang memilih Indonesia
sebagai tumpah darahnya. Ia berkali-kali memimpin penyerbuan terhadap markas
Belanda. Istrinya, orang Sunda, yang baru dinikahi beberapa minggu, bahkan
gugur diberondong pelor serdadu Belanda di persembunyian gerilyanya. Harap
maklum jika Princen adalah buronan istimewa KST, Kopassus-nya Belanda, di era
Agresi Militer 1 dan 2.
Selain
Princen, ada Rokus Bernardus Visser, bekas anggota KST Belanda, yang menikahi
gadis Sunda dan hidup tenteram menjadi petani di desa. Visser alias Mohammad
Idjon Djanbi, bekas anggota pasukan khusus Belanda, kelak dikenal sebagai bapak
parakomando Indonesia. Ia bersama Alex Kawilarang membidani lahirnya pasukan
khusus Indonesia yang kini bernama Kopassus. Jejak lainnya bisa ditemui dalam
diri Prof. Muhammad Amin Sweeney. Ia serdadu Inggris, ditugaskan di semenanjung
Melayu, tapi malah tertarik dengan budaya & sastra Melayu. Ia jatuh cinta,
asyik masyuk, dan memilih pena ketimbang mesiu. Prof Sweeney yang ramah ini
akhirnya tampil lebih "Melayu", bahkan lebih
"meng-Indonesia" daripada pribumi atau bumiputera, khususnya dalam
etik dan estetika (berbahasa). Ia menggali dan menikmati betul pola bahasa (dan
budaya) Melayu, Sunda, & Indonesia. Ulasannya mengenai Abdul Kadir Munsyi,
pujangga "kontroversial" Melayu, adalah di antara sekian ulasan
komprehensif dan tersubtil.
Demikianlah,
Princen, Visser alias Djanbi, Sweeney, hingga Miyahara, adalah orang asing pada
awalnya, tapi membumiputra pada fase berikutnya. Mereka memaknai pertiwi bukan
sebagai "ibu" yang melahirkannya, melainkan sebagai pengasih-pengasuh
yang membuat mereka hangat dalam dekapan, merengkuhnya saat mereka (hampir)
rubuh, & menjadi gua garba cinta saat mereka berpulang. Hingga pada
akhirnya, pertiwi alias patria hanya sebuah nama yang terletak di sanubari,
bukan semata geografi.
Mereka menjadi
pahlawan, di bidang masing-masing, menjaga sikap dan integritasnya, dan tentu
saja menahbiskan diri sebagai korban; mengorbankan sesuatu yang berharga
miliknya. Ya, hero memang tergantung kaitan antara jasa dan kontribusi seorang
dengan sudut pandang mereka yang merasakan secara langsung jasa-jasanya, dalam
waktu yang tak terbatas. Lebih dari itu, pra-syarat mutlak yang menjadi esensi
pahlawan adalah jiwa perwira, ksatria, berani—bagaimanapun konyolnya ia, dan
tak harus menang. Pahlawan tak melulu pemenang, ia bisa jadi pecundang. Tak
percaya? Silahkan lihat di epos pengisi waktu luang ataupun epos pengantar
tidur. Di sana, ada pemenang yang menekuk pecundang. Si penekuk tak langsung
jadi pahlawan, begitu pula sebaliknya. Yang menjadi—dan disebut—pahlawan adalah
sikap, prinsip, nilai, yang melekat pada tokohnya, bagaimanapun berakhirnya ia.
Magnetnya bukan pada sosoknya, tapi pada sikapnya, pada pemikirannya, dan
tindakannya. Karena itulah, mungkin, kisah kepahlawanan selalu asyik dinikmati.
Asyik dinikmati kisahnya, bagaimanapun berakhirnya ia, karena pahlawan harus
melampaui sisi dramatik, romantik, tragis, ironik, bahkan konyol—sebelum mati
dan dikenang dengan syahdu.
***
Kini, setelah
berpulangnya Miyahara, hanya tersisa satu samurai. Ya, "The Last
Samurai" yang tinggal di Malang. Ia bertani di usia senja, makan lobak
menjadi kegemarannya, dan ia masih semangat berpuasa saat Ramadhan. Rahmat
Shigeru Ono adalah nama samurai terakhir yang masih hidup ini.
Jika Nathan
Algren, perwira Amrik eks serdadu Union, memilih bergabung dengan para samurai
pimpinan Katsumoto Moritsugu dalam film "The Last Samurai", hingga
hanya ia satu-satunya samurai "impor" yang tersisa, maka Miyahara dan
Rahmat Ono adalah dua Samurai terakhir milik republik yang tersisa. Miyahara
telah dikebumikan dengan peti mati berselimut merah putih. Kini yang
benar-benar The Last Samurai hanya Rahmat Ono, yang memoarnya sebagai pejuang
republik dibukukan dengan judul "Mereka yang Terlupakan". Allahu
A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...