Oleh: Ali Murtadlo[1]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para founding
fathers kita adalah para politikus, pemikir dan penulis yang handal,
sanggup menuangkan ideologi politik dan refleksi kebangsaannya melalui sekian
banyak tulisan. Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, adalah seorang penulis
yang handal. Berbagai gagasan politiknya tertuang dalam tulisan-tulisan yang
disebarkan lewat surat kabar. Persatuan Indonesia, Koran Pemandangan,
Indonesia Merdeka, Fikiran Rakyat dan sebagainya pernah memuat
gagasan-gagasan politiknya. Meskipun tidak dangkal dalam wawasan, namun dalam
hal kedalaman teoretik, dia tetap kalah apabila dibandingkan dengan Mohammad Hatta. Bahkan,
dua proklamator itu kerap berseteru lewat tulisan ketika memperjuangkan
kemerdekaan.
Lalu kita mendapati calon presiden yang saat
ini sedang naik pamor. Sama-sama bergelar Insinyur, yaitu Joko Widodo (Jokowi),
yang ketika tulisan "Revolusi Mental" dimuat di harian Kompas
(10 Mei 2014), banyak kenalan lamanya terheran-heran karena mereka tak pernah
mengetahui kalau Jokowi bisa menulis artikel. Selain itu, banyak masyarakat
Indonesia juga bertanya-tanya: "benarkah itu tulisan Jokowi
sendiri?". Dan kata Alfathri Adlin ternyata tulisan itu hasil racikan bersama
tim suksesnya, terutama Romo Benny Susetyo. (Tulisan Benny Susetyo dengan judul
serupa “Revolusi Mental” dimuat di Harian Seputar Indonesia pada tanggal yang
sama).
Kita patut mengapresiasi usaha Jokowi
menuangkan gagasannya dalam tulisan (meskipun tidak murni dia yang menulis).
Setidaknya ada keinginan untuk mengikuti jejak para founding fathers
kita. Bahwa sebelum bertindak, orang harus memiliki rencana dan konsep. Tulisan
adalah konsep berfikir sebelum melakukan tindakan.
Kita tidak hendak mempersoalkan apakah tulisan
itu hasil racikan Jokowi sendiri atau bukan. Ini bukan pembelaan terhadap
Jokowi apalagi kampanye terselebung (black campaign). Bukan, saya bukan orang
politik. Akan tetapi kita akan lebih mendiskusikan tentang isi dan substansi
yang ada dalam tulisan yang berjudul “Revolusi Mental” tersebut.
Dalam tulisan itu Jokowi bisa dibilang hanya
merevitalisasi konsep Trisakti dari Bung Karno, bukan ide miliknya sendiri,
namun kita harus tetap salut atas tindakannya merevitalisasi ide-ide Bung
Karno. Konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam
pidatonya pada tahun 1963 itu terkenal dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang
berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan
”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
Konsep Trisakti yang diusung kembali oleh
Jokowi itu bisa jadi adalah manuver politik. Kita tahu bahwa calon presiden
lawannya adalah orang yang bertanggung jawab atas tragedi Trisakti yang
menewaskan beberapa mahasiswa Universitas Trisakti. Dengan memunculkan nama “Trisakti”
orang akan mengingat kembali tragedi tahun 1998 tersebut. Dan orang yang
berhubungan dengan tragedi itu akan menggugat. Seperti yang dilakukan oleh para
aktivis 98.
Bahkan, menurut banyak pakar politik dan
pemberitaan media, konsep Trisakti Bung Karno tersebut dijadikan Jokowi sebagai
ikon politik, yakni Politik Trisakti. Menanggapi ini Alumni Trisakti yang
tergabung dalam Komite Trisakti Menggugat (KTM) melayangkan protesnya atas nama
almamaternya yang dijadikan sebagai komoditas politik.
Terlepas dari itu kita patut mencermati "kegalauan" Jokowi
(dan kita semua) dengan kondisi bangsa Indonesia ini. 16 tahun Indonesia
melakukan reformasi dan dipimpin bergantian oleh empat presiden
antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga
Susilo Bambang Yudhoyono, dalam bidang ekonomi dan politik memang dinilai sudah
mengalami kemajuan. Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang
tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai
sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat
kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan
kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesejahteraan
yang merupakan tujuan paling urgen masih dinikmati segelintir orang. Yang kaya
semakin kaya dan miskin semakin miskin.
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia
sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan
perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset,
atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).
Nation building, kata Jokowi, tidak mungkin maju kalau sekadar
mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya
atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang
kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan
membawa kesejahteraan. Agar perubahan benar-benar bermakna dan
berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang
merdeka, adil, dan makmur, Jokowi mecanangkan kita perlu melakukan revolusi
mental. Dan revolusi mental itu tidak lain harus kita mulai dari hal terkecil.
Dimulai dari diri sendiri.
[1] Penulis adalah
Mahasiswa Semester VI, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, UIN Sunan Ampel
Surabaya. Tulisan ini didiskusikan pada Juma, 23 Mei 2014 di Frontage Road Jl.
A. Yani 117 Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...