Jumat, 23 Mei 2014

Mendiskusikan Gagasan Revolusi Mental-nya Joko Widodo

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para founding fathers kita adalah para politikus, pemikir dan penulis yang handal, sanggup menuangkan ideologi politik dan refleksi kebangsaannya melalui sekian banyak tulisan. Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, adalah seorang penulis yang handal. Berbagai gagasan politiknya tertuang dalam tulisan-tulisan yang disebarkan lewat surat kabar. Persatuan Indonesia, Koran Pemandangan, Indonesia Merdeka, Fikiran Rakyat dan sebagainya pernah memuat gagasan-gagasan politiknya. Meskipun tidak dangkal dalam wawasan, namun dalam hal kedalaman teoretik, dia tetap kalah apabila dibandingkan dengan Mohammad Hatta. Bahkan, dua proklamator itu kerap berseteru lewat tulisan ketika memperjuangkan kemerdekaan.


Lalu kita mendapati calon presiden yang saat ini sedang naik pamor. Sama-sama bergelar Insinyur, yaitu Joko Widodo (Jokowi), yang ketika tulisan "Revolusi Mental" dimuat di harian Kompas (10 Mei 2014), banyak kenalan lamanya terheran-heran karena mereka tak pernah mengetahui kalau Jokowi bisa menulis artikel. Selain itu, banyak masyarakat Indonesia juga bertanya-tanya: "benarkah itu tulisan Jokowi sendiri?". Dan kata Alfathri Adlin ternyata tulisan itu hasil racikan bersama tim suksesnya, terutama Romo Benny Susetyo. (Tulisan Benny Susetyo dengan judul serupa “Revolusi Mental” dimuat di Harian Seputar Indonesia pada tanggal yang sama).

Kita patut mengapresiasi usaha Jokowi menuangkan gagasannya dalam tulisan (meskipun tidak murni dia yang menulis). Setidaknya ada keinginan untuk mengikuti jejak para founding fathers kita. Bahwa sebelum bertindak, orang harus memiliki rencana dan konsep. Tulisan adalah konsep berfikir sebelum melakukan tindakan.

Kita tidak hendak mempersoalkan apakah tulisan itu hasil racikan Jokowi sendiri atau bukan. Ini bukan pembelaan terhadap Jokowi apalagi kampanye terselebung (black campaign). Bukan, saya bukan orang politik. Akan tetapi kita akan lebih mendiskusikan tentang isi dan substansi yang ada dalam tulisan yang berjudul “Revolusi Mental” tersebut.

Dalam tulisan itu Jokowi bisa dibilang hanya merevitalisasi konsep Trisakti dari Bung Karno, bukan ide miliknya sendiri, namun kita harus tetap salut atas tindakannya merevitalisasi ide-ide Bung Karno. Konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya pada tahun 1963 itu terkenal dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

Konsep Trisakti yang diusung kembali oleh Jokowi itu bisa jadi adalah manuver politik. Kita tahu bahwa calon presiden lawannya adalah orang yang bertanggung jawab atas tragedi Trisakti yang menewaskan beberapa mahasiswa Universitas Trisakti. Dengan memunculkan nama “Trisakti” orang akan mengingat kembali tragedi tahun 1998 tersebut. Dan orang yang berhubungan dengan tragedi itu akan menggugat. Seperti yang dilakukan oleh para aktivis 98.

Bahkan, menurut banyak pakar politik dan pemberitaan media, konsep Trisakti Bung Karno tersebut dijadikan Jokowi sebagai ikon politik, yakni Politik Trisakti. Menanggapi ini Alumni Trisakti yang tergabung dalam Komite Trisakti Menggugat (KTM) melayangkan protesnya atas nama almamaternya yang dijadikan sebagai komoditas politik.

Terlepas dari itu kita patut mencermati "kegalauan" Jokowi (dan kita semua) dengan kondisi bangsa Indonesia ini. 16 tahun Indonesia melakukan reformasi dan dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, dalam bidang ekonomi dan politik memang dinilai sudah mengalami kemajuan. Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesejahteraan yang merupakan tujuan paling urgen masih dinikmati segelintir orang. Yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin.

Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Nation building, kata Jokowi, tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, Jokowi mecanangkan kita perlu melakukan revolusi mental. Dan revolusi mental itu tidak lain harus kita mulai dari hal terkecil. Dimulai dari diri sendiri.


[1] Penulis adalah Mahasiswa Semester VI, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini didiskusikan pada Juma, 23 Mei 2014 di Frontage Road Jl. A. Yani 117 Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...